Anda di halaman 1dari 5

REALITAS SOSIAL KEAGAMAAN DALAM MODERNISASI KEHIDUPAN

“KISAH CINTA BEDA KEYAKINAN”


ESAI FILM “CINTA TAPI BEDA”
TUGAS MATA KULIAH KESUSATRAAN INDONESIA

oleh:

Ayi Heriwiyadi R.

NIM: 1907288

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2019
REALITAS SOSIAL KEAGAMAAN DALAM MODERNISASI KEHIDUPAN
“KISAH CINTA BEDA KEYAKINAN”

ESAI FILM “CINTA TAPI BEDA”


oleh:
AYI HERIWIYADI R. (1907288)

Tema yang diangkat dalam film ini adalah kisah percitaan beda agama, toleransi antar
umat beragama, keyakinan yang kuat antar penganut agama terhadap Tuhannya, serta
kebudayaan dan kebinekaan. Pada film tersebut digambarkan mengenai budaya Jawa dan
Minang. Realitas kehidupan metropolis dan modernis digambarkan melalui kisah percintaan yang
terkadang tidak pernah melihat lagi latar belakang. Baik itu latar budaya, adat istiadat, atau
agama sekalipun. Seperti dalam ungkapan “cita itu tak pandang bulu”, artinya memang jika cinta
sudah hinggap di kalbu setiap insan, apapun halangan dan rintangnnya pasti akan selalu dihadapi
hingga tercapai tujuan akhirnya berupa kebersamaan.
Kisah dalam film ini merupakan kisahnyata yang dialami oleh sutradara dan penulis
skenarionya itu sendiri yaitu, Hestu Saputra. Secara kognisi social Hestu memandang bahwa
selain dirinya banyak masyarakat Indonesia yang mengalami hal serupa dengannya. Dalam
kontek social keagamaan, semua agama menginginkan yang terbaik untuk pemeluknya, yaitu
menikah dengan orang yang satu keyakinan dan melarang menikah dengan yang tidak satu
keyakinan.
Perntaan terakhir inilah yang penulis garis bawahi. Penulis yang menganut ajaran Islam
tentu saja tidak sependapat dengan terjadinya pernikahan beda agama walau apapun alasan dan
kondisinya, sebab hal ini seperti yang tertuang dalam kitab suci umat Islam (Al-Quran) Surat Al-
Baqarah ayat 221

‫ر ِمن ُّم ۡش ِر َك ٖة َولَ ۡو أ َ ۡع َج َب ۡت ُك ۡۗۡم َو ََل‬ٞ ‫ة ُّم ۡؤ ِمنَةٌ خ َۡي‬ٞ ‫ت َحت َّ َٰى يُ ۡؤ ِم َّۚ َّن َو ََل َ َم‬ ِ ‫َو ََل تَن ِك ُحواْ ۡٱل ُم ۡش ِر َٰ َك‬
َٰٓ
َ‫ر ِمن ُّم ۡش ِر ٖك َولَ ۡو أ َ ۡع َج َب ُك ۡۗۡم أ ُ ْو َٰلَئِ َك يَ ۡدعُون‬ٞ ‫ ُّم ۡؤ ِم ٌن خ َۡي‬ٞ‫تُن ِك ُحواْ ۡٱل ُم ۡش ِر ِكينَ َحت َّ َٰى يُ ۡؤ ِمنُو َّۚاْ َولَعَ ۡبد‬
ِ َّ‫ع َٰٓواْ ِإلَى ۡٱل َجنَّ ِة َو ۡٱل َم ۡغ ِف َر ِة بِإِ ۡذنِ ِهۦِۖ َويُبَيِ ُن َءا َٰيَتِ ِهۦ ِللن‬
َ‫اس لَ َعلَّ ُه ۡم يَت َ َذ َّك ُرون‬ ُ ‫ٱَّللُ يَ ۡد‬ ِ ِۖ َّ‫ِإلَى ٱلن‬
َّ ‫ار َو‬
٢٢١
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran. (QS Al-Baqarah:221)

Pada ayat tersebut jelaslah bahwa kita sebagai pemeluk ajaran agama Islam
sangat dilarang untuk menikahi seseorang yang (musyrik) tidak sekeyakinan dengan kita.
Meskipun berbagai alasan yang menurut pandangan manusia itu baik. Sebab menurut
manusia itu baik, belum tentu menurut sang pencipta Allah SWT juga baik, dan kita harus
meyakini bahwa hal yang ditentukan oleh tuhan kita Allah SWT adalah sesuatu hal yang
terbaik bagi kita.
Penulis sangat sependapat dengan pernytaan yang disampaiakan oleh tokoh
bapaknya dari tokoh utama Cahyo, yang menentang dengan keras terjadinya perkawinan
antar agama. Bapaknya Cahyo memberikan pernyataan bahwa permasalahan yang
sedang dihadapi bukan masalah toleransi dan permaslahan memberikan kebahagiaan
kepada anak, akan tetapi hal itu terkait dengan keyakinan (akidah) yang tidak bisa tawar-
menawar. Seperti dalam kutipan percakapan berkut:

“Kalau kamu menghormati bapakmu!! Kamu tidak akan pergi mengikuti


hawanapsumu.”
“Pak, minta maaf pak”Apa gunanya kita minta dihormati anak, kalua kta
tidak bisa memberikan kebagahiaannya. Bapak sendiri sering berbicara
dengan orang-orang tentang toleransi”
“Ini Bukan toleransi bu! Ini keyakinan.”
“Tugas kita sebagai orang tua menyayangi, mendidik, mengingatkan,
konsekwensinya sudah lebih dari cukup”
“Belum bu, belum cukup. Bila anakmu masuk ke Neraka, Bapak juga ikut
berdosa, Ibunya juga.”
“Tapi pak, ini ada haknya anak. Kita orang tua wajib hukumnya
memberikannya.”

Dalam percakapan teresebut sangat terlihat sekali relatia kehidupan yang dialami
oleh sang tokoh Cahyo. Nyaris seperti dalam kenyataan kehidupan, sesorang yang
dihadapkan dengan permasalahan cinta berbeda agama lalu kemudian mendapatkan
penentangan dari orang tua. Sang Bapak yang menentang keras dan sang Ibu yang
berusaha menyejukan memberikan alasan-alasan agar sang Bapak mau bersikap
legowo.
Disinilah sebetulnya pokok pemikiran kita, apakah hawa napsu, keinginan, rasa
sayang (toleransi) akan mengalahkan tuntunan ajaran agama yang sudah jelas-jelas
hukumnya. Tokoh ayah mencerminkan orang yang berpegang teguh dengan keyakinan
dan penulis sangat sependapat. Dalam persoalan akidah keyakinan kita tidak bisa
dipermainkan hanya dengan alasan toleransi, hak, ataupun rasa sayang. Keyakinan dan
aturan Tuhan adalah harga mutlak. Disisi lain sang Ibu yang begitu menghayati perannya
juga seolah-olah membius pikiran kita agar membenarkan pandangannya. Bahwa
kebahagiaan adalah hak anak, kewajiban orang tua hanyalah menyayangi,
mengingatkan dan mengarahkannya saja. Hal ini justru adalah pengecoh terhadap
keyakinan kita. Benarkan aturan Tuhan itu akan diluluhkan dengan perasaan, rasa
toleransi, kasih sayang dan sebagainya. Penulis tetap dengan pendirian keyakinan tidak
dapat digadaikan dengan hal lain. Seperti teguhnya pendirian sang Bapak terhadap
keyakinan agamanya. “Anak yang celaka maka orang tua akan ikut menggung juga
akibatnta”
Dalam percakapan itu juga kita seolah-olah dibawa kedalam perasaan sang tokoh
utama Cahyo, sehingga hati dan perasaan kita terlena dengan suasana dan mengiyakan
apa yang dirasakan oleh Cahyo serta dukungan dari sang Ibu. Padahal jika kita telisik
lebih dalam dan menggunakan akal serta keyakinan kita, maka sebenarnya kita akan
berpihak kepada sang Bapak, yang memegang teguh keyakinan dan ingin
menyelamatkan keluarganya dari azab dan murka Tuhan nanti di Neraka. Seperti halnya
dalam Al-Quran dinyatakan bahwa setiap kita harus menjaga keluarga kita dari api
neraka.
َٰٓ
‫ظ‬ٞ ‫ارة ُ َعلَ ۡي َها َم َٰلَئِ َكةٌ ِغ ََل‬
َ ‫اس َو ۡٱل ِح َج‬ َ ُ‫َٰ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ قُ َٰٓواْ أَنف‬
ُ َّ‫س ُك ۡم َوأ َ ۡه ِلي ُك ۡم ن َٗارا َوقُو ُدهَا ٱلن‬
٦ َ‫ٱَّلل َما َٰٓ أ َ َم َر ُه ۡم َويَ ۡف َعلُونَ َما يُ ۡؤ َم ُرون‬
َ َّ َ‫صون‬ ُ ۡ‫ ََّل يَع‬ٞ‫ِش َداد‬
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan. [at-Tahrîm/66:6]

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa kita harus menjaga keluarga kita dari siksa api
neraka. Seperti yang dinyatakan oleh tokoh sang Bapak.
Dari tayangan film besutan Hanung Brahmantiyo dan Hestu Saputra ini kita
diberikan edukasi religi yang cukup mendalam. Kita diajak berfikir dan berusaha mencari bahan-
bahan rujukan terkait dengan permaslahan yang diangkat dalam tema film tersebut. Film ini juga
sempat mendapatkan keritikan dan pembahasan-pembahasan dari berbagai kalangan.
Dibalik kekurangn dan kelebihannya filim ini bagi penulis memberikan manfaat yang luar
bisa. Penulis dapat lebih memperdalam lagi tentang agama yang dianut oleh penulis. Semoga
menjadi penambah ilmu bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai