Anda di halaman 1dari 10

1.

Implikasi dari disahkannya RUU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) menjadi Undang-
undang terhadap usaha implementasi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dewasa ini publik digemparkan dengan isu-isu hukum dan politik


yang sudah menjadi buah bibir di berbagai kalangan terutama kalangan
Intelektual. Isu tersebut semakin merebak dengan kelihaian media sosial
dan massa yang turut andil mempengaruhi wawasan informasi kepada
masyarakat. Isu yang menjadi trending topik yakni KPK yang diterpa
badai cobaan yang berimplikasi pembatasan-pembatasan gerak geriknya.
Badai tersebut semakin kencang dengan disahkannya RUU KPK atau
Revisi UU KPK menjadi Undang-undang sontak menuai kritik pedas dari
elemen masyarakat. Dilansir dari gosulsel.com, Akademisi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah (Unismuh)
Makassar, Andi Luhur Priyanto mengecam rencana revisi Undang-undang
nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal
ini disinyalir sebagai upaya melemahkan institusi KPK RI. Bahkan
kecenderungannya ada serangan politik legislasi yang akan semakin
mematikan bara yang membakar semangat pemberantasan korupsi di
bangsa ini (Fardi, 2019). Tetap saja pada Kamis, 5 September 2019 secara
resmi DPR mengesahkan revisi UU KPK dalam waktu yang singkat
secepat kilat.
Pada dasarnya, merevisi UU memang tidak bisa dihindarkan
karena adanya faktor-faktor yang menjadi pemicu agar UU tersebut masih
menjadi pegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu
faktor tersebut adanya perkembangan zaman yang dinamis dimana kondisi
dan keadaan dilapangan berubah-ubah yang dipengaruhi oleh sektor-sektor
lainnya. Tentu UU dituntut menjawab atas dinamisnyanya perkembangan
zaman. Hal itupun merembet pada diri KPK yang bergerak dengan pondasi
UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dalam melaksanakan tugas wewenangnya. Namun publik
khususnya kaum akademisi, aktivis, dan intelektual bertanya-tanya ada apa
sebenarnya revisi UU KPK tersebut berjalan cepat dan lebih parahnya
tidak melibatkan KPK itu sendiri. Maka timbul asumsi adanya praktik
kompromis yang transaksional dengan kelompok-kelompok kepentingan
di belakang layar.
Dengan disahkannya RUU KPK menjadi UU maka mau tidak mau
KPK bekerja sesuai UU KPK hasil revisi itu. Jika diperhatikan dengan
seksama, bermunculan pasal-pasal yang mengarah pada pelemahan KPK.
Pasal-pasal yang dianggap bermasalah tersebut dapat berpengaruh pada
kinerja KPK dalam mengimplementasikan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Berikut poin-poin yang berimplikasi pada KPK:
a. KPK bukan lagi Lembaga Negara Independen
Dalam UU KPK hasil revisi, KPK tidak lagi ditempatkan menjadi
lembaga negara independen tetapi lembaga eksekutif. Tentu saja
penempatan tersebut akan mempengaruhi proses-proses hukum yang
berjalan. Bermula dari penyelidikan, penyidikan sampai penuntutan.
Sebenarnya ketentuan tersebut kontradiktif dengan putusan MK No.
012-016- 019/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa KPK adalah
lembaga negara yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman
(BEM SI, 2019). Implikasi dari penempatan KPK sebagai lembaga
eksekutif pun akan menjadi hambatan dalam menyelesaikan dan
mengungkapkan kasus korupsi dimana akhir-akhir ini ada beberapa
pimpinan instansi eksekutif terjerat korupsi. Sehingga Roh
independensi KPK yang menjadi senjata ampuh pemberantasan
korupsi akan musnah.
b. Pegawai KPK yang berstatus ASN
Status pegawai KPK menjadi ASN sanagt mengejutkan.
Bagaimana tidak ASN sendiri merupakan kaki tangan pemerintah
dimana ada ada rantai komando dalam struktur birokrasi. Kedua
berimplikasi pada gaji pegawai yang akan disamakan dengan ASN
lainnya. Padahal selama ini KPK mengangani kasus korupsi miliaran
hingga triliunan. Dilansir dari Kompas.com, Mantan Komisioner KPK
Mochamad Jasin berpendapat status ASN itu justru akan mengurangi
gaji dan tunjangan pegawai KPK sehingga akhirnya mereka rentan
terhadap godaan. Apalagi, UU KPK hasil revisi disahkan juga
mengatur wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian
penyidikan (SP3) (Ihsanuddin, 2019). Dengan demikian apabila
pegawai KPK yang tak memadai hingga wewenang SP3 bisa menjadi
celah bagi koruptor yang ingin lolos dari jerat KPK.
c. Pembentukan Dewan Pengawas
Revisi UU KPK ternyata melahirkan dewan baru yang masih
terikat untuk KPK yang disebut Dewan Pengawas yang terdapat di
pasal 37A hingga 37E (BEM SI, 2019). Berdasarkan pasal 37A
diketahui yang dimaksud dengan dewan pengawas ialah lembaga non
struktural yang bersifat mandiri dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Adapun tugas dewan pengawas berdasarkan pasal 37B
diantaranya ialah memberikan izin penyadapan dan penyitaan,
menyusun dan menetapkan kode etik piminan KPK, melakukan
evaluasi kinerja KPK, dan menerima dan menindaklanjuti laporan dari
masyarakat menegenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh
pimpinan KPK. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap lembaga
sangat perlu adanya kontrol dan pengawasan tak terkecuai KPK.
Apalgi teori mengenai kontrol dan pengawasan antar cabang
kekuasaan berkembang. Dalam konstitusionalisme beberapa bentuk
pengawasan dapat berupa pemisahan kekuasaan (separated),
penyebaran kekuasaan (distributed), dan pembagian kekuasaan
(divided) (BEM SI, 2019). Akan tetapi, dewan pengawas yang
dimaksud nyatanya dipilih dan dibentuk oleh DPR atas usulan
Presiden. Sedangkan banyak anggota DPR dan pejabat publik terjerat
korupsi. KPK mencatat, hingga Juni 2019, anggota DPR dan DPRD
merupakan pejabat publik terbanyak yang tersandung ke dalam
pusaran korupsi dan pencucian uang dengan 255 perkara (dalam BEM
SI). Hal ini akan berimplikasi pada proses penyadapan dan penyitaan.
Jika sasaran penyadapan oleh KPK masih bertalian hubungan dengan
DPR. Maka sangat dikhawatirkan dan rentan terjadinya konflik
kepentingan didalamnya yang berujung tidak dikeluarkan perizinan.
Belum lagi proses perizinan yang berbelit-belit dan lama yang
memperpanjang birokrasi.
d. Penuntutan harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung
Dalam Pasal 12A rancangan perubahan UU KPK menyatakakan
bahwa penuntutan oleh KPK harus dikoordinasikan kepada Kejaksaan
Agung. Padahal penuntutan oleh KPK tidak perlu berkoordinasi
dengan lembaga manapun. Implikasinya pada wewenang KPK dalam
melakukan penuntutan. Kewajiban berkoordinasi dengan Kejaksaan
Agung pada UU KPK hasil revisi i akan menghambat kinerja KPK
dalam melakukan penuntutan. Apalagi, independensi menjadi poin
krusial apabila harus dikoordinasikan dengan Kejaksaan Agung.
Kejaksaan Agung dinilai publik sebagai lembaga yang cukup “tumpul”
dalam beberapa kasus besar. Contohnya dari minimnya gerak dan
inisiatif Kejaksaan Agung untuk menyelesaikan banyak kasus
Pelanggaran HAM berat (BEM SI, 2019). KPK tidak lagi memiliki
kehendak bebas dalam melakukan penuntutan.
e. KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani perkara dan
diharuskan menerbitkan SP3
Dalam Pasal 40 UU KPK hasil revisi dijelaskan bahwa KPK
berhak menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam jangka waktu
1 tahun apabila kasus tidak kunjung selesai. Pembatasan waktu ini
berpengaruh pada kinerja KPK yang terkesan terburu-buru dan dibatasi
waktu. Padahal seperti yang diketahui untuk melakukan penyidikan
dalam Tindak Pidana Korupsi membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sedangkan penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)
menandakan tindakan KPK yang mengurusi kasus berlangsung harus
dilepaskan. Hal ini akan menyamakan tindak pidana korupsi dengan
pidana yang biasa.
f. Penyelidik Hanya Boleh dari Kepolisian dan Tidak Adanya Penyidik
Independen
KPK berwenang mengangkat dan memerhentikan penyidik dan
penyelidik secara mandiri karena memang KPK sebagai lembaga
independen. Namun, tampaknya kewenangan itu dikikis melalui UU
KPK hasil revisi. Pasal 43 mengatakan bahwa “Penyelidik Komisi
Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diperbantukan
dari kepolisian selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan
Korupsi”, artinya penyelidik hanya terbatas dari lembaga kepolisian.
Terkait penyidik, pasal 45 rancangan perubahan UU KPK mengatakan
bahwa “Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan
penyidik yang diperbantukan dari kepolisian, kejaksaan, dan penyidik
pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang”, diketahui penyidik hanya dibatas pada ketiga institusi
tersebut yang artinya tidak ada lagi penyidik independen (BEM SI,
2019). Implikasinya terjadi ketergantungan dengan lembaga-lembaga
tersebut dalam proses pemberantasan korupsi.
2. Peran tuntutan mahasiswa terhadap kelangsungan UU KPK hasil revisi.
Seperti yang diketahui bersama, RUU KPK menuai kritik terutama
di kalangan intelektual yakni mahasiswa. Hal ini karena terdapat
pasal-pasal yang bermasalah bahkan melemahkan kekuatan KPK
sebagai lembaga anti rasuah dan independen. Dampaknya pun tak
main-main, gelombang demonstrasi mahasiswa bergulir menentang
RUU KPK tersebut. Demonstrasi atau unjuk rasa tersebut kemudian
merembet ke berbagai daerah yang berlangsung di depan gedung
DPRD masing-masing pada 23-26 September 2019. Selain RUU
KPK, Mahasiswa juga menolak RUU Pertanahan, RUU
Ketenagakerjaan, RUU Minerba, dan RUU KUHP. Protes mahasiswa
ini bermula di Senayan yang mana ratusan mahasiswa dari berbagai
universitas menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR/MPR/DPD
pada Kamis, 19 September 2019. Dilansir dari Liputan6.com, para
mahasiswa menyuarakan penolakan Revisi Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) dan Revisi Undang-Undang KUHP (RUU KUHP). Dalam aksi
itu, para mahasiswa menilai DPR telah mencederai amanat reformasi.
Dalam unjuk rasa tanggal 19 September itu akhirnya berujung
audiensi dengan DPR. Dimana Sekjen DPR Indra Iskandar menerima
audiensi mahasiswa yang menggelar aksi unjuk rasa terkait
pengesahan sejumlah RUU di depan Gedung DPR/MPR/DPD.
Audiensi ini menghasilkan kesepakatan yang berisikan DPR tidak
boleh mengesahkan RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU
Minerba, dan RUU KUHP dalam kurun waktu empat hari ke depan
(Agiesta, 2019). Berikut beebrapa poin hasil audiensi mahasiswa
dengan DPR:
a. Aspirasi dari masyarakat Indonesia yang direpresentasikan
mahasiswa akan disampaikan kepada pimpinan Dewan DPR RI
dan seluruh anggota.
b. Sekjen DPR RI akan mengundang dan melibatkan seluruh
mahasiswa yang hadir dalam pertemuan 19 September 2019,
dosen atau akademisi serta masyarakat sipil untuk hadir dan
berbicara di setiap perancangan UU lainnya yang belum
disahkan
c. Sekjen DPR menjanjikan akan menyampaikan keinginan
mahasiswa untuk membuat pertemuan dalam hal penolakan
revisi UU KPK dengan DPR penolakan revisi UU KPK dan
RUU KUHP dengan DPR serta kepastian tanggal pertemuan
sebelum tanggal 24 September 2019.

Selain itu, terkait kritik mahasiswa pada RUU KPK aliansi BEM
Seluruh Indonesia menyatakan tiga sikap sebagai berikut:
1. Menolak tegas Rancangan perubahan undang-undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Mendesak Presiden untuk menolak Rancangan perubahan UU
KPK dan membatalkan rencana pembahasan rancangan
perubahan UU KPK.
3. Mengajak semua elemen masyarakat untuk bersatu dan terus
melakukan penolakan kepada setiap upaya yang mengancam
pemberantasan korupsi di Indonesia (BEM SI, 2019).
Oleh karena itu, peran tuntutan mahasiswa sangat penting yang
akan berpengaruh apakah UU KPK hasil revisi itu tetap
berlangsung atau tidak. Salah satu cara menggagalkan UU KPK
hasil revisi tersebut ditetapkannya perppu oleh Presiden. Pada
mulanya Presiden jokowi menolak penerbitan perppu karena tidak
ada kekosongan hukum dan kegentingan yang memaksa. Namun
karena desakan dari elemen masyarakat terutama gelombang aksi
unjuk rasa mahasiswa di berbagai daerah yang berujung bentrok
dengan aparat kepolisian hingga menimbulkan luka-luka dan
korban jiwa. Maka dengan lunaknya pada Kamis, 26 September
2019 Presiden Jokowi mempertimbangkan penerbitan Perppu
mengenai KPK menyusul penolakan revisi UU KPK. Pertimbangan
tersebut Presiden mengundang para tokoh baik budayawan maupun
agama. Sehingga hasil tuntutan tersebut akan terjawab saat
Presiden Jokowi menyatakan sikapnya terkait Perppu tersebut.
Daftar Pustaka

Agiesta, F. S. (2019). 3 Sikap Mahasiswa yang Demo di DPR terkait Revisi UU


KPK dan RUU KUHP. Jakarta: Liputan6.com.

Aliansi BEM SI. (2019). RILIS SIKAP Aliansi BEM Seluruh Indonesia Terhadap
Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta.

Fardi, M. (2019). Akademisi Fisip Unismuh Kecam Serangan Politik Legislasi


Untuk Pelemahan KPK RI. Makassar: GOSULSEL.COM.

Ihsanuddin. (2019). Jadi ASN, Pegawai KPK Dikhawatirkan Tergoda Suap.


Jakarta: Kompas.com.
PAPER
IMPLIKASI PENGESAHAN RUU KPK MENJADI UU TERHADAP
IMPLEMENTASI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN PERAN
TUNTUTAN MAHASISWA TERHADAP KELANGSUNGAN UU
TERSEBUT

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Nilai Mata


Kuliah Implementasi dan Evaluasi Kebijakan Publik
Disusun Oleh :
Bima Maulana Rahmad Hidayat/ D0117028

Dosen Pengampu
Drs. Wahyu Nurharjadmo, M.Si

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019

Anda mungkin juga menyukai