Anda di halaman 1dari 8

A.

Perbedaan Sistem Imun Innate dan Sistem Imun Adaptif

B. Inflamasi
Inflamasi merujuk ke serangkaian proses bawaan non-spesifik yang saling berkaitan erat
yang diaktifkan sebagai respons terhadap invasi asing, kerusakan jaringan, atau keduanya. Tujuan
peradangan adalah membawa fagosit dan protein plasma ke tempat invasi atau kerusakan untuk
dapat (1) mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan penyerang; (2) membersihkan debris;
dan (3) mempersiapkan proses penyembuhan dan perbaikan. Respons peradangan keseluruhan
sangat mirip satu sama lain tanpa memandang apapun pemicunya (invasi bakteri, cedera kimiawi,
atau trauma mekanis) meskipun mungkin terlihat beberapa perbedaan ringan, bergantung pada
bahan yang mencederai atau tempat kerusakan. Rangkaian proses berikut biasanya terjadi selama
responsperadangan. Sebagai contoh, kita menggunakan masuknya bakteri ke kulit yang rusak.
Respon Peradangan adalah akibat dari respons inflamasi lokal, perubahan yang ditimbulkan
oleh pensinyalan molekul yang dilepaskan pada saat cedera atau infeksi. Salah satu molekul
pemberi sinyal inflamasi yang penting adalah histamin, yang disimpan dalam vesikel padat sel
mast, yang ditemukan di jaringan ikat. Histamin yang dilepaskan di lokasi kerusakan memicu
pembuluh darah di dekatnya membesar dan menjadi lebih permeabel. Pembuluh kapiler melebar
cairan ke jaringan tetangga, menyebabkan pembengkakan lokal.
Makrofag dan neutrofil juga berpartisipasi dalam respon inflamasi. Setelah diaktifkan, sel-
sel ini mengeluarkan sitokin, menandakan molekul yang memodulasi respons imun. Sitokin yang
dilepaskan oleh makrofag dan neutrofil meningkatkan aliran darah ke tempat cedera atau infeksi.
Peningkatan pasokan darah lokal menghasilkan warna kemerahan dan peningkatan suhu kulit yang
khas dari respons peradangan (dari peradangan Latin, hingga terbakar).
Selama peradangan, siklus pensinyalan dan respons mengubah situs. Protein komplemen
yang teraktivasi meningkatkan pelepasan histamin lebih lanjut, menarik lebih banyak sel fagosit
yang memasuki jaringan yang terluka dan melakukan fagositosis tambahan. Pada saat yang sama,
peningkatan aliran darah ke situs membantu mengantarkan peptida antimikroba. Hasilnya adalah
akumulasi nanah, cairan yang kaya sel darah putih, patogen mati, dan puing-puing sel dari jaringan
yang rusak.

Sumber: Reece, Jane B. 2014. 10th edition. Campbell Biology. Jakarta: Erlangga.
Cedera ringan atau infeksi menyebabkan respons peradangan lokal, tetapi kerusakan atau
infeksi jaringan yang parah dapat menyebabkan respons yang sistemik (ke seluruh tubuh). Sel-sel
dalam jaringan yang terluka atau terinfeksi sering mengeluarkan molekul yang merangsang
pelepasan neutrofil tambahan dari sumsum tulang. Dalam kasus infeksi parah, seperti meningitis
atau radang usus buntu, jumlah sel darah putih dalam aliran darah dapat meningkat beberapa kali
lipat hanya dalam beberapa jam.
1) Pertahanan Oleh Makrofag Jaringan Residen
Ketika bakteri masuk melalui kerusakan di sawar eksternal kulit (atau melewati jalan
lain), makrofag yang sudah ada di daerah tersebut segera memfagosit mikroba asing tersebut,
melakukan pertahanan melawan infeksi selama jam-jam pertama, sebelum mekanisme lain
diaktifkan (lihat foto pembuka bab). Makrofag residen juga menyekresi bahan-bahan kimia
seperti kemotaksin dan sitokin yang menimbulkan berbagai respons imun, seperti yang akan
dijelaskan berikut ini.
2) Vasodilatasi Lokal
Hampir segera setelah invasi mikroba, arteriol di daerah tersebut melebar, meningkatkan
aliran darah ke tempat cedera. Vasodilatasi lokal ini terutama dipicu oleh histamin yang
dibebaskan dari sel mast di daerah jaringan yang rusak (Peningkatan penyaluran darah lokal
membawa lebih banyak leukosit fagositik dan protein plasma, keduanya penting bagi respons
pertahanan).
3) Peningkatan Permeabilitas Kapiler
Pelepasan hista-min juga meningkatkan permeabilitas kapiler dengan mem-perbesar
pori kapiler (celah antara sel-sel endotel) sehingga protein plasma yang biasanya dicegah
keluar dari darah kini dapat masuk ke jaringan yang meradang.
4) Edema Lokal
Akumulasi protein plasma yang bocor di cairan interstisium meningkatkan tekanan
osmotik koloid cairan interstisium lokal. Selain itu, meningkatnya aliran darah lokal
meningkatkan tekanan darah kapiler. Karena kedua tekanan ini cenderung memindahkan
cairan keluar kapiler, perubahanperubahan tersebut mendorong ultrafiltrasi dan mengurangi
reabsorpsi cairan di kapiler. Hasil akhir dari pergeseran keseimbangan cairan ini adalah edema
lokal. Karena itu, pembengkakan yang biasa terlihat menyertai peradangan disebabkan oleh
perubahan-perubahan vaskularyang dipicu oleh histamin. Demikian juga, manifestasi makro
lain pada peradangan, misalnya kemerahan dan panas, sebagian besar disebabkan oleh
meningkatnya aliran darah arteri hangat ke jaringan yang rusak.
Nyeri disebabkan oleh peregangan lokal di dalam jaringan yang membengkak dan oleh
efek langsung bahan-bahan yang diproduksi lokal pada ujung reseptor neuron-neuron aferen
yang mensarafi daerah tersebut. Karak teristik proses peradangan yang mudah kita amati ini
(pembengkakan, kemerahan, panas, dan nyeri) berkaitan dengan tujuan utama perubahan
vaskular di daerah yang cedera meningkatkan jumlah fagosit leukositik dan protein-protein
plasma krusial di daerah tersebut.
5) Pembentengan Daerah Yang Meradang
Protein-protein plasma yang bocor dan paling penting bagi respons imun adalah
protein-protein dalam sistem komplemen serta faktor pembekuan dan anti-pembekuan. Pada
pajanan ke tromboplastin jaringan di jaringan yang cedera dan ke bahan-bahan kimia spesifik
yang dikeluarkan oleh fagosit di tempat kejadian, fibrinogen faktor akhir dalam sistem
pembekuan-diubah menjadi fibrin.
Fibrin membentuk bekuan cairan interstisium di ruang-ruang sekitar bakteri
penginvasi dan sel yang rusak. Pembentengan bagian yang cedera ini dari jaringan sekitar
mencegah, atau setidaknya memperlambat, penyebaran bakteri dan produk-produk toksiknya.
Kemudian faktor-faktor anti-pembekuan yang bekerja belakangan secara bertahap melarutkan
bekuan setelah bekuan tidak lagi diperlukan.
Sumber: Sherwood, Laurlee. 2013. Fisiologi Manusia 8th edition. Kanada: Yolanda Cossio.

6) Emigrasi Leukosit
Dalam sejam setelah cedera, area cedera dipenuhi oleh leukosit yang telah
meninggalkan pembuluh darah. Neutrofil tiba pertama kali, diikuti selama 8 hingga 12 jam
berikutnya oleh monosit yang bergerak lebih lambat. Monosit kemudian membesar dan matang
menjadi makrofag dalam periode 8 hingga 12 jam berikutnya. Sekali meninggalkan aliran
darah, neutrofil atau monosit tidak akan didaur ulang ke darah.
Kemotaksin yang dilepaskan di tempat cedera menarik fagosit ke tempat kejadian.
Perhatikan leukosit yang beremigrasi dari darah ke jaringan dengan berperilaku seperti amuba
dan terperas melalui pori-pori kapiler. Sel mast menyekresikan histamin yang mendilatasi
pembuluh dan melebarkan pori. Makrofag menyekresikan sitokin yang menimbulkan berbagai
efek sistemik dan lokal.
Leukosit dapat beremigrasi dari darah ke dalam jaringan melalui tahap-tahap berikut:
Neutrofil dan monosit yang berada di dalam darah melekat ke lapisan dalam endotel kapiler
di jaringan yang terkena, suatu proses yang dinamai marginasi. Selektin, sejenis molekul perekat
sel (cell adhesion molecuie, CAM) yang menonjol dari lapisan pembuluh ini, menyebabkan
leukosit yang lewat di darah melambat dan bergulir di sepanjang interior pembuluh darah, seperti
bulu-bulu halus pada karpet yang memperlambat laju mobilmobilan anak. Perlambatan ini
memungkinkan neutrofil dan monosit memiliki cukup waktu untuk memeriksa factor-faktor
penggiat lokal "sinyal SOS", seperti sitokin yang dilepaskan oleh makrofag residen di jaringan
sekitar yang terinfeksi. Jika ada, faktor-faktor aktivasi ini menyebabkan leukosit melekat erat ke
lapisan endotel melalui interaksi dengan CAM jenis lain, integrin.
Leukosit yang telah melekat tersebut segera meninggalkan pembuluh darah melalui
mekanisme yang dikenal sebagai diapedesis. Leukosit yang melekat tersebut, dengan melakukan
gerakan mirip amuba, menyelinap masuk melalui pori kapiler (meskipun leukosit berukuran lebih
besar daripada pori) dan kemudian merangkak maju menuju area yang terluka. Neutrofil tiba
paling dini di tempat peradangan karena mobilitasnya lebih tinggi daripada monosit.
Sel fagositik tertarik ke kemotaksin, mediator-mediator kimiawi yang dilepaskan pada
tempat kerusakan (taksis berarti "daya tarik"). Pengikatan kemotaksin dengan reseptor protein di
membran plasma sel fagositik meningkatkan masuknya Ca2+ ke dalam sel. Kalsium, pada
gilirannya, mengaktifkan perangkat kontraktil sel yang menghasilkan pergerakan merayap mirip
amuba. Karena konsentrasi kemotaksin secara progresif meningkat mendekati tempat cedera,
selsel fagositik bergerak secara tepat menuju tempat ini mengikuti gradien konsentrasi kemotaksin.

Sumber: Hall, John E. 2011. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 12nd edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier.

Neutrofil dan makrofag pada jaringan menyerang dan menghancurkan bakteri, virus, dan
agen-agen merugikan lain yang menyerbu masuk ke dalam tubuh. Neutrofil adalah sel matang
yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri, bahkan di dalam darah sirkulasi. Sebaliknya,
makrofag jaringan memulai hidup sebagai monosit darah, yang merupakan sel belum matang
walaupun tetap berada di dalam darah dan memiliki sedikit kemampuan untuk melawan agen-agen
infeksius pada saat itu. Namun, begitu makrofag masuk ke dalam jaringan, sel-sel ini mulai
membengkak kadang diameternya membesar hingga lima kali lipat sampai sebesar 60 hingga 80
grn, suatu ukuran yang hampir dapat dilihat dengan mata telanjang. Sel-sel ini sekarang disebut
makrofag, dan mempunyai kemampuan hebat untuk memberantas agen-agen penyakit di dalam
jaringan.
a. Sel Darah Putih Memasuki Ruang Jaringan dengan Cara Diapedesis.
Neutrofil dan monosit dapat terperas melalui pori-pori kapiler darah dengan cara
diapedesis. Jadi, walaupun sebuah pori ukurannya jauh lebih kecil daripada sel, pada suatu
ketika sebagian kecil sel tersebut meluncur melewati pori-pori; bagian yang meluncur
tersebut untuk sesaat terkonstriksi sesuai dengan ukuran pori, seperti yang terlihat pada.
b. Sel Darah Putih Bergerak Melewati Ruang Jaringan dengan Gerakan Ameboid.
Neutrofil dan makrofag dapat bergerak melalui jaringan dengan gerakan ameboid
seperti yang dijelaskan. Beberapa sel dapat bergerak dengan kecepatan 40 grnimenit,
sepanjang ukuran tubuhnya sendiri setiap menit.
c. Sel Darah Putih Tertarik ke Daerah Jaringan yang Meradang dengan Cara Kemotaksis.
Banyak jenis zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan neutrofil dan makrofag
bergerak menuju sumber zat kimia. Fenomena ini, seperti yang tampak, dikenal sebagai
kemotaksis. Bila suatu jaringan mengalami peradangan, banyak produk dibentuk sehingga
menyebabkan kemotaksis ke arah area yang mengalami peradangan. Zat-zat ini adalah (1)
beberapa toksin bakteri atau virus, (2) produk degeneratif jaringan yang meradang itu
sendiri, (3) beberapa produk reaksi "kompleks komplemen" yang diaktifkan di jaringan yang
meradang, dan (4) beberapa produk reaksi yang disebabkan oleh pembekuan plasma di area
yang meradang, dan juga zat-zat lainnya. Proses kemotaksis bergantung pada perbedaan
konsentrasi zat-zat kemotaktik. Pada daerah dekat sumber, konsentrasi zat-zat ini paling
tinggi, dan menyebabkan gerakan sel darah putih yang terarah. Kemotaksis efektif sampai
jarak 100 µm dari jaringan yang meradang. Oleh karena hampir tidak ada area jaringan yang
jauhnya lebih dari 50 µm dari kapiler, maka sinyal kemotaktik dapat dengan mudah
memindahkan sekelompok sel darah putih dari kapiler ke daerah yang meradang.
Sumber: Sherwood, Laurlee. 2013. Fisiologi Manusia 8th edition. Kanada: Yolanda Cossio.

Respons inflamasi sistemik lainnya adalah demam. Menanggapi patogen tertentu, zat yang
dilepaskan oleh makrofag yang diaktifkan menyebabkan termostat tubuh diatur ulang ke suhu yang
lebih tinggi. Ada bukti yang baik bahwa demam dapat bermanfaat dalam memerangi infeksi
tertentu, meskipun mekanisme yang mendasarinya masih menjadi bahan perdebatan. Satu
hipotesis adalah bahwa suhu tubuh yang meningkat dapat meningkatkan fagositosis dan, dengan
mempercepat reaksi kimia, mempercepat perbaikan jaringan.
Infeksi bakteri tertentu dapat menyebabkan respons peradangan sistemik yang luar biasa,
yang mengarah ke kondisi yang mengancam jiwa yang dikenal sebagai syok septik. Ditandai
dengan demam yang sangat tinggi, tekanan darah rendah, dan aliran darah yang buruk melalui
kapiler, syok septik paling sering terjadi pada orang yang sangat tua dan sangat muda (Reece,
2014).
C. Pengaturan Umpan Balik terhadap Respon Makrofag dan Neutrofil
Faktor-faktor ini terdiri atas (1) faktor nekrosis tumor (TNF), (2) interleukin-1 (IL-1), (3)
faktor perangsang-koloni granulosit-monosit (GM-CSF), (4) faktor perangsang-koloni granulosit
(G-CSF), dan (5) faktor perangsang-koloni monosit (M-CSF). Faktor-faktor ini dibentuk oleh sel
makrofag yang teraktivasi di jaringan yang meradang. Penyebab peningkatan produksi granulosit
dan monosit oleh sumsum tulang ini terutama adalah tiga faktor perangsangkoloni, satu di
antaranya, GM-CSF, merangsang produksi granulosit maupun monosit: dan dua lainnya, G-CSF
dan MCSF, berturut-turut merangsang granulosit dan monosit. Kombinasi antara TNF, IL-1, dan
faktor perangsang koloni merupakan mekanisme umpan balik yang kuat yang dimulai dengan
peradangan jaringan, kemudian berlanjut membentuk sejumlah besar sel darah putih pertahanan
yang membantu untuk menghilangkan penyebab radang.

Sumber: Hall, John E. 2011. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 12nd edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier.

Bila neutrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan nekrotik, pada
dasarnya semua neutrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati. Sesudah beberapa hari,
di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga. Rongga tersebut mengandung berbagai
bagian jaringan nekrotik, neutrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan. Campuran seperti ini
biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi dapat ditekan, sel-sel mati dan jaringan nekrotik yang
terdapat dalam pus secara bertahap akan mengalami autolisis dalam waktu beberapa hari, dan
kemudian produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam jaringan sekitar dan cairan limfe hingga
sebagian besar tanda kerusakan jaringan hilang.

DAFTAR PUSTAKA
Reece, Jane B. 2014. 10th edition. Campbell Biology. Jakarta: Erlangga.
Sherwood, Laurlee. 2013. Fisiologi Manusia 8th edition. Kanada: Yolanda Cossio.
Hall, John E. 2011. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 12nd edition. Philadelphia:
Saunders Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai