Anda di halaman 1dari 20

Makalah

Mata Kuliah Dasar Penetapan Tarif Pelayanan Kesehatan”


Blok 22: Manajemen Pelayanan Kesehatan

Dosen Pengampu :
drg. Kiswaluyo., M.Kes

Disusun oleh:
Kelompok Tutorial I

M. Setya Bayu Utama 181610101080


N. Alvira Dwi Damayanti 181610101081
Fransisca Wulan 181610101082
Alief Ratu Fauziyah 181610101084
Naufal Aditya Tarma 181610101086
Esti Maulidya Suryaningrum 181610101087
Diana Ajeng Yusnita 181610101088
Weny Octa Celina 181610101089
Mia Wilfira 181610101090
Rafif Hanif Fawwazi 181610101091
Gilang Kartika Ghoni Haliman 181610101092

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS


KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas berkat dan rahmat dari Allah SWT atas
karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan mata kuliah
“Dasar Penetapan Tarif Pelayanan Kesehatan” Blok 22: Manajemen Pelayanan
Kesehatan. Laporan ini kami susun dengan tujuan untuk melengkapi materi mata
kuliah kami. Penulisan laporan ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. drg. Kiswaluyo, M.Kes selaku dosen mata kuliah yang telah membimbing
kelompok tutorial I Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember atas bimbingan
dan masukannya untuk tercapainya tujuan belajar.
2. Semua pihak yang rela membantu dalam pembuatan laporan ini. Penulisan
laporan ini tidak lepas dari kekruangan dan kesalahan, oleh karenanya kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan dan peningkatan
kedepanya. Kami berarap agar laporan ini dapat bermanfaat.

Jember, 31 Oktober 2021


Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.............................................................................................5
2.1 PermenKes Tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit.........................................5
2.2 Prinsip Penetapan Tarif..........................................................................................7
2.3 Tujuan Penetapan Tarif..........................................................................................8
2.4 Kebijakan Penetapan Tarif.....................................................................................11
2.5 Proses Penetapan Tarif........................................................................................1 2
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................1 6
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................1 7

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Tarif merupakan salah satu elemen kunci yang sangat menentukan


keberlanjutan dan kesehatan manajemen rumah sakit. Penetapan tarif secara rasional
dan proporsional akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Tarif
rumah sakit merupakan nilai dari tindakan pelayanan kesehatan yang ditetapkan
dalam ukuran uang. Menurut PMK No. 85 tahun 2015 tentang pola tarif nasional
rumah sakit, tarif rumah sakit adalah imbalan yang diterima oleh pihak rumah sakit
atas jasa dari kegiatan pelayanan maupun non pelayanan yang diberikan kepada
pengguna jasa.
Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan ukuran
sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai uang tersebut sebuah
rumah sakit bersedia memberikan jasa kepada pasien. Tarif rumah sakit merupakan
aspek yang sangat diperhatikan oleh rumah sakit swasta juga oleh rumah sakit milik
pemerintah. Bagi sebagian rumah sakit pemerintah, tarif memang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menkes atau Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukkan
adanya kontrol ketat pemerintah sebagai pemilik terhadap rumah sakit sebagai firma
atau pelaku usaha. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah umumnya mempunyai
cost-recovery (pemulihan biaya) yang rendah. Apabila tarif mempunyai tingkat
pemulihan biaya rendah diberlakukan pada kelas pelayanan bawah (misal kelas III)
maka hal tersebut merupakan sesuatu yang layak, sehingga terjadi subsidi pemerintah
bagi masyarakat miskin untuk menggunakan pelayanan rumah sakit. Akan tetapi,
apabila tingkat pemulihan biaya ternyata juga rendah untuk kelas VIP misalnya, maka
dapat terjadi subsidi untuk masyarakat atas. Adanya kebijakan swadana telah
memberikan wewenang penetapan tarif pada direktur rumah sakit, khususnya untuk
bangsal VIP dan kelas I yang tidak banyak mempengaruhi orang miskin. Oleh karena
itu, pemahaman mengenai konsep tarif perlu diketahui oleh para manajer rumah sakit.
Dalam ekonomi mikro, sudah dikenal suatu titik keseimbangan yaitu harga berada
pada equilibrium berdasarkan demand dan supply. Pada sistem ekonomi yang
berbasis pada keseimbangan pasar, jelas bahwa subsidi pemerintah tidak dilakukan
atau terbatas pada masyarakat miskin. Akibatnya, tarif dibiarkan sesuai dengan
permintaan pasar. Akan tetapi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya ketidakadilan

1
yaitu masyarakat miskin sulit mendapatkan pelayanan rumah sakit, sehingga subsidi
perlu diberikan karena keadaan ini sangat penting pada proses penetapan tarif rumah
sakit pemerintah.
Rumah sakit perlu menetapkan tarif secara cermat agar dapat membiayai
operasionalnya dan pengembangannya tanpa meninggalkan misinya untuk pelayanan
publik. Perlu disadari bahwa rumah sakit merupakan organisasi nirlaba yang
eksistensinya adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat tanpa mengejar profit.
Hal ini tidak berarti bahwa rumah sakit tidak perlu menghitung berapa biaya dan
mengejar margin. Sebaliknya, rumah sakit justru harus menghitung biaya-biaya yang
dibutuhkan untuk mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan berkualitas.
Meskipun untuk rumah sakit pemerintah, ada dukungan dana dari pemerintah untuk
membiayai operasional rumah sakit untuk memenuhi kepentingan publik, namun
rumah sakit tetap dituntut untuk dapat mandiri dalam operasionalnya agar tidak
membebani masyarakat. Sebagai organisasi nirlaba, rumah sakit tidak mengenal
istilah profit melainkan surplus. Surplus tersebut harus dapat digunakan untuk
membiayai pengembangan rumah sakit sesuai dengan rencana strategisnya.
hal mendasar yang menjadi konsideran bagi semua rumah sakit tersebut adalah
bagaimana mengelola biaya agar tidak lebih besar daripada pendapatan. Tidak sedikit
rumah sakit yang mengalami defisit dari tahun ke tahun. Tentu penyebab terjadinya
kondisi ini dipengaruhi banyak hal. Salah satu diantaranya, rumah sakit terkadang
hanya mampu menghitung berapa biaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan
kesehatan, namun tidak mengaitkan biaya tersebut dengan pendapatan yang dapat
diterimanya atas pelayanan yang disajikan. Akibatnya, manajemen rumah sakit
mungkin akan menerima daftar kebutuhan dari unit kerja. Berdasarkan pengalaman
penulis, melatih dan melibatkan unit kerja untuk memahami unsur pembentuk tarif
akan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kendali mutu dan kendali biaya di dalam
penyelenggaraan kesehatan.
Rumah sakit sebagai salah satu sarana pelayanan Kesehatan masyarakat, kini
telah berkembang ke arah kesatuan pelayanan yang mencakup aspek preventif,
kuratif,
promotif dan rehabilitatif. Dalam hal ini rumah sakit dituntut untuk selalu
meningkatkan pengelolaannya mulai dari perencanaan sampai pada evaluasi.
Di samping itu rumah sakit merupakan suatu organisai yang menghasilkan
jasa yang bersifat pada modal dan padat karya tenaga terampil. Kualitas jasa sangat

2
erat kaitanya dengan kualaitas sumber daya yang tersedia dan berpengaruh pada
peningkatan mutu pelayanan rumah sakit. Peningkatan mutu pelayanan baik rawat
jalan maupun rawat inap akan berdampak pada peningkatan pendapatan rumah sakit.
Peningkatan mutu pelayanan rumah sakit mencakup peningkatan semua sarana
penunjang yang ada termasuk peningkatan pengelolaan keuangan dan kinerja
pengelolanya. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan kepuasan pasien dalm
kesadaran masyarakat untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Untuk memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen terhadap permintaan
pelayanan Kesehatan yang diperkirakan akan semakin meningkat akibat pertambahan
penduduk, transisi demografi dan bergesernya pola penyakit ke arah penyakit kronik,
maka efisiensi dan efektivitas daya dan dana rumah sakit perlu ditingkatkan.
Di era otonomi daerah tuntutan masyarakat terhadap pelayanan Kesehatan
semakin meningakat sehingga kesiapan pemberi pelayanan Kesehatan seperti rumah
sakit harus dilaksanakan secara professional dan terstandarisai baik profesi
providernya maupun manajemen pengelolaannya. Misi rumah sakit pemerintah
menuntut agar amanat rakyat rumah sakit dipenuhi, namun di Sisi lain kemampuan
pemerintah masih kurang.
Biaya investasi dan operasional pelayanan Kesehatan di rumah sakit yang
terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, antara lain disebabkan oleh
meningkatnya harga obat-obatan, penggunaan alat dan teknologi yang semakin
canggih dan meningkatnya demand (permintaan) masyarakat.
Apabila tarif terlalu rendah, dapat menyebabkan pendapatan (revenue) yang
rendah pula dan apabila ternyata lebih rendah dari total pengeluaran, dapat dipastikan
akan menimbulkan kesulitan dalam pembiayaan. Apabila rumah sakit ingin tetap
menjaga kelangsungan programnya (sustainability), maka mengupayakan agar biaya
yang dikeluarkan lebih rendah dari pendapatan. Dengan demikian semua unit
pelayanan di rumah sakit tidak hanya menjadi cost center, tetapi sebagai revenue
center.
Perlu disadari bahwa penentuan tarif harus disertai dengan penyempurnaan
pengelolaan dan mutu pelayanan sehingga memberi kepuasan terhadap konsumen jasa
rumah sakit yang berakibat terhadap loyalitas pengunjung untuk memenuhi kewajiban
jasa pelayanan dan tarif yang sedikit tinggi tidak terasa berat yang akhirnya
meningkatkan jumlah kunjungan rumah sakit.

3
Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu dan efesiensi pelayanan rumah
sakit diperlukan beberapa indikator. Selain itu agar informasi yang ada dapat
bermakna harus ada nilai perameter yang ada sebagai nilai banding antara fakta
dengan standar yang digunakan antara lain: (Dirien Pel. Medik Depkes. 2002).
1) Tingkat pemanfaatan sarana pelayanan (utilisasi) antara lain kunjungan rawat
jalan, kunjungan rawat darurat, kunjungan rawat inap;
2) Mutu pelayanan antara lain ALOS (Average Length of stay), BTO (Bed Turn
over), NOR (Net death Rate), GDR (Gross Death Rate);
3) Tingkat efesiensi pelayanan antara lain TOL (Turn Over Interval).

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 PermenKes Tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit

Dengan melibatkan seluruh unit kerja, maka tim rumah sakit akan bergotong
royong menyajikan pelayanan kesehatan secara berkeadilan untuk seluruh lapisan
masyakarat dengan tidak mengutamakan keuntungan sebagaimana diamanahkan
Peraturan Menteri Kesehatan 85 tahun 2015 tentang Pola Tarif Rumah Sakit.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2015
Tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit

Dasar Penetapan Tarif

Pasal 4

Tarif Rumah Sakit yang dikelola oleh swasta ditetapkan oleh Kepala Rumah Sakit
atau Direktur Rumah Sakit atas persetujuan pemilik Rumah Sakit.

Pasal 5
Dalam menetapkan Tarif Rumah Sakit harus memperhatikan asas gotong royong, adil
dengan mengutamakan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah, dan tidak
mengutamakan untuk mencari keuntungan.

Pasal 6
1) Penetapan Tarif Rumah Sakit harus mengacu pada Pola Tarif Nasional dan pagu
tarif maksimal.
2) Pola Tarif Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan
komponen biaya satuan pembiayaan (unit cost) dan dengan memperhatikan
kondisi regional.
3) Pagu tarif maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Gubernur berdasarkan Pola Tarif Nasional dengan memperhatikan kondisi
regionalnya.

5
4) Pagu tarif maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku untuk seluruh
Rumah Sakit di wilayah provinsi yang bersangkutan.
5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Gubernur
dalam menetapkan pagu tarif maksimal juga harus mempertimbangkan
keberlangsungan pelayanan pada setiap rumah sakit di wilayahnya.
6) Dalam hal Gubernur belum menetapkan pagu tarif maksimal, penetapan Tarif
Rumah Sakit mengacu pada Pola Tarif Nasional.

Pasal 7
1) Komponen biaya satuan pembiayaan (unit cost) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) dihitung dengan mempertimbangkan kontinuitas dan
pengembangan layanan, daya beli masyarakat, asas keadilan dan kepatutan, dan
kompetisi yang sehat.
2) Biaya satuan pembiayaan (unit cost) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan hasil perhitungan total biaya (total cost) masing-masing kegiatan yang
dikeluarkan Rumah Sakit.

Pasal 8
1) Tarif Rumah Sakit bagi masyarakat yang dijamin oleh program jaminan
kesehatan nasional mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Tarif Rumah Sakit untuk program tertentu mengacu pada standar tarif yang
ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Program tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa program
rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika, dan program kesehatan lain.

Kegiatan Yang Dikenakan Tarif


Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
Semua kegiatan pelayanan dan kegiatan non pelayanan di Rumah Sakit dikenakan
Tarif Rumah Sakit.

6
2.2 Prinsip Penetapan Tarif

Tarif rumah sakit adalah semua harga yang harus dibayarkan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tarif rumah sakit terdiri atas
biaya ditambah margin yang diharapkan. Secara matematis maka tarif rumah sakit
dapat digambarkan dalam formula berikut:
Tarif = Total Biaya Tetap + (Biaya Variabel x Volume) + Margin
Oleh karena itu, penetapan tarif sangat penting memperhitungkan biaya-biaya
yang dikelurkan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
Tarif rumah sakit yang dibayarkan pasien untuk menerima pelayanan
kesehatan juga merupakan bagian dari tarif tetapi muncul dalam bentuk kwitansi. Di
dalamnya kwitansi yang dibayarkan pasien, ada tarif jasa tenaga kesehatan, tarif
bahan habis pakai, dan tarif obat-obatan. Biaya tetap dan margin merupakan
komponen yang telah ditambahkan di dalam sarana kesehatan.
Salah satu hal penting perhitungan tarif berbasis unit cost adalah menghindari
terjadinya terhitung beberapa kali (double counting) dan/atau tidak terhitung (lupa
diperhitungkan sehingga tidak diperhitungkan dalam unit cost) sehingga
menyebabkan tarif berlebihan atau sebaliknya tidak mencakup biaya tertentu. Hal ini
dimaksudkan agar semua biaya dapat diperhitungkan dan rumah sakit tidak
mengalami kerugian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan rumah sakit di dalam menetapkan tarif
adalah:
1) Menghitung unit cost untuk semua tindakan pelayanan kesehatan Hal paling
mendasar yang menajdi landasan penetapan tarif rumah sakit adalah mengetahui
unit cost atau harga pokok standar setiap tindakan pelayanan kesehatan yang
disajikan rumah sakit.
2) Mengetahui tujuan strategis rumah sakit dalam penetapan tarif
Rumah sakit adalah organisasi nirlaba yang sebaiknya tidak dikejar dengan
target pengembalian investasi dalam jangka waktu yang singkat. Tujuan strategis
rumah sakit antara lain memaksimalkan pendapatan, mememuhi kebutuhan biaya
operasional dan pengembangan, memperluas pangsa pasar, meningkatkan utilisasi
penggunaan pelayanan kesehatan, meminimalkan utilisasi pelayanan kesehatan, dan
sebagainya.

7
3) Memahami struktur pasar tindakan pelayanan kesehatan yang disajikan rumah
sakit.
4) Memahami faktor-faktor pembentuk struktur pasar untuk setiap tindakan
penyajian pelayanan kesehatan yang disajikan rumah sakit antara lain adalah
permintaan
5) Peraturan pemerintah
Peraturan pemerintah juga merupakan landasan yang harus diacu oleh rumah
sakit dalam penetapan tarif.Sejauh ini pola tarif nasional ditetapkan oleh Kementerian
Kesehatan No 85 tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit atau pada
Peraturan Gubernur setempat yang mengatur pola tarif regional. Selain itu, terdapat
penetapan tarif asuransi sosial yang saat ini diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

2.3 Tujuan Penetapan Tarif

Penetapan tarif sangat bervariasi sehingga tarif rumah sakit dapat berbeda antara satu
rumah sakit dengan rumah sakit lainnya. Beberapa tujuan penetapan tarif antara lain:
1) Penetapan tarif untuk membiayai semua biaya operasional
Salah satu dasar penetapan tarif yang paling mendasar adalah bagaimana tarif
dapat membiayai semua biaya operasional rumah sakit atau dikenal dengan cost
recovery. Cost recovery adalah nilai dalam persentase yang menentukan bagaimana
suatu rumah sakit dapat menutupi biaya operasionalnya. Rumus yang digunakan
untuk menghitung cost recovery adalah realisasi pendapatan dibagi dengan realisasi
belanja. Besaran persentase tersebut disebut recovery rate. Jika nilai recovery rate
100%, maka rumah sakit memiliki surplus. Dalam penyelenggaraan rumah sakit,
istilah profit dianggap tabu, meskipun perhitungan surplus dan profit menggunakan
formula yang sama yaitu surplus = total pendapatan – total belanja.
2) Penetapan Tarif untuk untuk Pembiayaan Subsidi Silang
Subsidi silang dibutuhkan rumah sakit sebab tidak semua unit kerja
merupakan revenue centre.Oleh karena itu, diperlukan subsidi silang karena rumah
sakit merupakan sistem dimana semua unit ini harus ada untuk penyelenggaraan
kesehatan. Rumah sakit tidak dapat beroperasi tanpa kehadiran salah satu dari unitunit
tersebut. Perencanaan subsidi silang secara komprehensif akan mendukung kualitas
pelayanan kesehatan yang disajikan.
3) Penetapan Tarif untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan

8
Tarif rumah sakit yang rendah secara sepintas nampak dapat meningkatkan
akses pelayanan kesehatan. Namun, masyakarat membutuhkan bukan hanya akses,
tetapi akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas. Untuk mampu menyajikan
pelayanan kesehatan berkualitas, rumah sakit perlu memiliki tarif yang rasional.
Pelayanan kesehatan memerlukan tenaga professional, bahan habis pakai yang
memenuhi standar, alat yang terkalibrasi, dan sebagainya. Kesemuanya itu
membutuhkan biaya. Oleh karena itu, prinsip penetapan tarif di rumah sakit bukanlah
menetapkan tarif serendah rendahnya sebab biaya penyelenggaraan kesehatan
berkualitas tentu memiliki satuan biaya yang rasional. Pemerintah menetapkan pola
tarif nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan 85 tahun 2015. Penetapan
Tarif untuk Meningkatkan Mutu Pelayanan.
Di berbagai rumah sakit pemerintah daerah, kebijakan penetapan tarif pada
bangsal VIP dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk peningkatan mutu pelayanan
dan peningkatan kepuasan kerja dokter spesialis. Sebagai contoh, bangsal VIP
dibangun untuk mengurangi waktu spesialis di rumah sakit swasta. Terlalu lamanya
waktu yang dipergunakan dokter spesialis pemerintah bekerja di rumah sakit swasta
dapat mengurangi mutu pelayanan.
4) Penetapan Tarif untuk Pemulihan Biaya
Tarif dapat ditetapkan untuk meningkatkan pemulihan biaya rumah sakit.
Keadaan ini terutama terdapat pada rumah sakit pemerintah yang semakin lama
semakin berkurang subsidinya. Pada masa lalu kebijakan swadana rumah sakit
pemerintah pusat ditetapkan berdasarkan pemulihan biaya (cost-recovery.) Oleh
karena itu, muncul pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan swadana berkaitan
dengan naiknya tarif rumah sakit.
5) Penetapan Tarif untuk Subsidi Silang
Dalam manajemen rumah sakit diharapkan ada kebijakan agar masyarakat
ekonomi kuat dapat ikut meringankan pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi
masyarakat ekonomi lemah. Dengan konsep subsidi silang ini maka tarif bangsal VIP
atau kelas I harus berada di atas unit cost agar surplusnya dapat dipakai untuk
mengatasi kerugian di bangsal kelas III. Selain subsidi silang berbasis pada ekonomi,
rumah sakit juga diharapkan melakukan kebijakan penetapan tarif yang berbeda pada
bagian-bagiannya. Sebagai contoh IRD mempunyai potensi sebagai bagian yang
mendatangkan kerugian. Oleh karena itu, perlu disubsidi oleh bagian lain yang
mempunyai potensi mendatangkan keuntungan, misalnya instalasi farmasi. Kebijakan

9
subsidi silang ini secara praktis sulit dilakukan karena terjadi tarif rumah sakit yang
melakukan subsidi silang jauh berada di atas tarif pesaingnya. Apabila rumah sakit
memaksakan melakukan subsidi silang dari tarif–tarif yang ada dikhawatirkan akan
terjadi penurunan mutu pelayanan dalam jangka panjang dibandingkan dengan rumah
sakit yang tidak mempunyai tujuan untuk subsidi silang.
6) Tujuan Penetapan Tarif untuk Meningkatkan Akses Pelayanan
Ada suatu keadaan rumah sakit mempunyai misi untuk melayani masyarakat
miskin. Oleh karena itu, pemerintah atau pemilik rumah sakit ini mempunyai
kebijakan penetapan tarif serendah mungkin. Diharapkan dengan tarif yang rendah
maka akses orang miskin menjadi lebih baik. Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa
akses tinggi belum berarti menjamin mutu pelayanan yang baik. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa mutu pelayanan rumah sakit pemerintah rendah akibat subsidi
pemerintah terbatas dan tarif rumah sakit rendah dengan sistem manajemen yang
birokratis. Kegagalan pemerintah memberikan subsidi cukup bagi biaya operasional
dan pemeliharaan rumah sakit yang mempunyai tarif rendah menyebabkan mutu
pelayanan rumah sakit semakin rendah secara berkesinambungan.
7) Penetapan Tarif untuk Tujuan Lain
Tujuan lain dari tarif adalah untuk menghasilkan keunggulan bersaing. Dalam
situasi dimana lingkungan persaingan ketat, maka tarif dapat menjadi salah satu
keunggulan bersaing. Oleh karena itu, penepatan tarif perlu memperhatikan
lingkungan industri, struktur pasar, dan analisa pesaing.
Penetapan tarif untuk mengurangi pesaing dapat dilakukan untuk mencegah
adanya rumah sakit baru yang akan menjadi pesaing. Dengan cara ini, rumah sakit
yang sudah terlebih dahulu beroperasi mempunyai strategi agar tarifnya tidak sama
dengan rumah sakit baru. Penetapan tarif untuk memperbesar keuntungan dapat
dilakukan pada pasar rumah sakit yang cenderung dikuasai satu rumah sakit
(monopoli). Oleh karena itu, penetapan tarif dapat dilakukan dengan tujuan
memaksimalisasikan pendapatan. Tanpa kehadiran pesaing dalam suasana pasar
dengan demand tinggi, maka tarif dapat dipasang pada tingkat yang setinggi-
tingginya, sehingga dapat meningkatkan surplus secara maksimal. Ada hal yang
menarik tentang penetapan tarif yang bertujuan minimalisasi penggunaan pelayanan,
mengurangi pemakaian, tarif dapat ditetapkan secara tinggi. Sebagai contoh, tarif
periksa umum pada rumah sakit pemerintah ditetapkan jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan pelayanan serupa di Puskesmas. Dengan cara ini maka fungsi rujukan dapat

10
ditingkatkan sehingga masyarakat hanya menggunakan rumah sakit apabila perlu saja.
Penetapan tarif dengan tujuan menciptakan Corporate Image adalah penetapan tarif
yang ditetapkan dengan tujuan meningkatkan citra sebagai rumah sakit golongan
masyarakat kelas atas. Sebagai contoh, berbagai rumah sakit di Jakarta menetapkan
tarif bangsal super VIP dengan nilai yang sangat tinggi. Timbul kesan seolah-olah
berlomba untuk mendapatkan citra rumah sakit paling mewah.

2.4 Kebijakan Penetapan Tarif

Menurut Sabarguna (2003), kebijakan tarif merupakan dasar pemikiran dalam


penentuan tarif. Menurut Trisnantoro (2004), kebijakan tarif akan mengakibatkan
perbedaan tarif di dalam rumah sakit yang tidak terlepas dari kepemilikan rumah sakit
berupa lembaga swasta, perorangan ataupun pemerintah yang mempunyai misi dan
tujuan yang berbeda sebagai rumah sakit for-profit atau non-profit.
Pada sektor kesehatan, pemerintah mempunyai kewajiban mengatur tarif
rumah sakit pemerintah untuk memberikan jaminan pemerataan pelayanan rumah
sakit bagi masyarakat. Kewajiban ini diwujudkan dengan memberikan subsidi
terhadap biaya penyelenggaraan rumah sakit, antara lain gaji, investasi, serta
penelitian dan pengembangan. Dengan demikian, rumah sakit pemerintah mendapat
pengaruh langsung dari peraturan-peraturan atau norma-norma pemerintah.
Hal-hal yang membedakan rumah sakit pemerintah dengan swasta yaitu:
1) Rumah sakit pemerintah merupakan milik masyarakat sehingga direksi rumah
sakit bertanggung jawab kepada pemimpin politik daerah atau nasional dan
bertanggung jawab pula kepada DPR, pusat atau daerah. Keadaan ini yang
menyebabkan keputusan-keputusan manajemen rumah sakit pemerintah menjadi
lamban karena harus menunggu persetujuan pihak-pihak yang berwenang.
2) Rumah sakit pemerintah cenderung lebih besar dibanding dengan swasta, baik
dalam segi ukuran dan kepemimpinan dalam teknologi kedokteran. Akan tetapi,
rumah sakit pemerintah dapat lebih murah dibanding swasta karena adanya
subsidi terhadap biaya investasi dan biaya-biaya penelitian serta pengembangan,
dimana biaya-biaya tersebut biasanya tidak diperhitungkan dalam perhitungan
tarif. Untuk dapat mengukur kinerja secara tepat, seharusnya biaya-biaya tersebut
tetap diperhitungkan di dalam tarif.
3) Rumah sakit pemerintah cenderung mempunyai overhead cost yang tinggi. Hal
ini dikarenakan biaya gaji yang tinggi akibat besarnya jumlah pegawai tetap

11
sehingga proses pentarifannya seringkali tidak memperhitungkan biaya sumber
daya manusia.
Sesuai kebijakan tarif rumah sakit pemerintah, biaya penyelenggaraan rumah
sakit dipikul bersama oleh pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan
kemampuan keuangan negara dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Tarif rumah
sakit tidak dimaksudkan untuk mencari laba tetapi ditetapkan berdasarkan azas gotong
royong, adil dengan mengutamakan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah
dan tarif rumah sakit untuk golongan masyarakat yang dijamin oleh pihak penjamin,
ditetapkan atas dasar saling membantu melalui ikatan perjanjian tertulis.

2.5 Proses Penetapan Tarif

Pemilik rumah sakit dapat berupa lembaga swasta, perorangan ataupun


pemerintah. Misi dan tujuan rumah sakit swasta dan pemerintah tentu dapat berbeda.
Rumah sakit swasta dapat berupa rumah sakit for-profit ataupun non-profit. Dengan
perbedaan tersebut, maka proses penetapan tarif dapat berbeda pula. Pada bagian ini
akan dibahas mengenai perbedaan penetapan tarif rumah sakit swasta dengan rumah
sakit pemerintah.
1) Penetapan Tarif Rumah Sakit dengan Menggunakan Pendekatan Perusahaan
Pada perusahaan penetapan tarif mungkin menjadi keputusan yang sulit
dilakukan karena informasi mengenai biaya produksi mungkin tidak tersedia. Di
sektor rumah sakit, keadaannya lebih parah karena informasi mengenai unit cost
misalnya, masih sangat jarang. Teknik-teknik penetapan tarif pada perusahaan
sebagian besar berlandaskan informasi biaya produksi dan keadaan pasar, baik
monopoli, oligopoli, maupun persaingan sempurna. Teknik-teknik tersebut antara
lain:
 full-cost pricing
 kontrak dan cost-plus
 target rate of return pricing
 acceptance pricing.
2) Full-Cost Pricing
Cara ini merupakan cara yang paling sederhana secara teoritis, tetapi
membutuhkan informasi mengenai biaya produksi. Dasar cara ini dilakukan dengan
menetapkan tarif sesuai dengan unit cost ditambah dengan keuntungan. Dengan cara
ini, jelas bahwa analisis biaya (lihat bagian terdahulu) merupakan hal mutlak yang

12
harus dilakukan. Teknik penetapan tarif ini dikritik karena pertama, sering
mengabaikan faktor demand. Dengan berbasis pada unit cost, maka asumsinya tidak
ada pesaing ataupun demand-nya sangat tinggi. Dengan asumsi ini maka pembeli
seakan-akan dipaksa menerima jalur produksi yang menimbulkan biaya walaupun
mungkin tidak efisien. Dengan demikian teknik ini mengabaikan faktor kompetisi.
Kedua, membutuhkan penghitungan biaya yang rumit dan tepat. Sebagai gambaran
untuk mengembangkan sistem akuntasi yang baik, dibutuhkan modal yang besar.
3) Kontrak dan Cost-Plus
Tarif rumah sakit dapat ditetapkan berdasarkan kontrak misalnya kepada
perusahaan asuransi, ataupun konsumen yang tergabung dalam satu organisasi. Dalam
kontrak tersebut penghitungan tarif juga berbasis pada biaya dengan tambahan surplus
sebagai keuntungan bagi rumah sakit. Akan tetapi, saat ini perhitungan tarif kontrak
dengan asuransi kesehatan masih sering menimbulkan perdebatan: apakah rumah
sakit mendapat surplus dari kontrak, atau justru malah rugi atau memberikan subsidi.
Tarif kontrak ini dapat memaksa rumah sakit menyesuaikan tarifnya sesuai dengan
kontrak yang ditawarkan perusahaan asuransi kesehatan. Dengan demikian, masalah
efisiensi menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan.
4) Target Rate of Return Pricing
Cara ini merupakan modifikasi dari metode full-cost di atas. Misalnya, tarif
ditentukan oleh direksi harus mempunyai 10% keuntungan. Dengan demikian, apabila
biaya produksi suatu pemeriksaan darah Rp5.000,00, maka tarifnya harus sebesar
Rp5.500,00 agar memberi keuntungan 10%. Walaupun cara ini masih dikritik karena
berbasis pada unit cost, tetapi faktor demand dan pesaing telah diperhitungkan. Pada
saat melakukan investasi, seharusnya telah diproyeksikan demand dan pesaingnya
sehingga direksi berani menetapkan target tertentu. Dalam teknik ini dibutuhkan
beberapa kondisi antara lain, pertama, rumah sakit harus dapat menetapkan tarif
sendiri tanpa harus menunggu persetujuan pihak lain; kedua, rumah sakit harus dapat
memperkirakan besar pemasukan yang benar; dan ketiga, rumah sakit harus
mempunyai pandangan jangka panjang terhadap kegiatannya.
5) Acceptance Pricing
Teknik ini digunakan apabila pada pasar terdapat satu rumah sakit yang
dianggap sebagai panutan (pemimpin) harga. Rumah sakit lain akan mengikuti pola
pentarifan yang digunakan oleh rumah sakit tersebut. Mengapa butuh pemimpin
dalam menetapkan harga? Keadaan ini dapat timbul karena rumah-rumah sakit sakit

13
enggan terjadi perang tarif dan mereka enggan saling merugikan. Walaupun mungkin
tidak ada komunikasi formal, tetapi ada saling pengertian antarrumah sakit. Jadi hal
ini bukan semacam kartel. Pada situasi ini, dapat muncul rumah sakit yang menjadi
pemimpin harga. Rumah sakit yang lain mengikutinya. Masalah akan timbul apabila
pemimpin harga ini merubah tarifnya. Para pengikutnya harus mengevaluasi apakah
akan mengikutinya atau tidak.
6) Penetapan Tarif dengan Melihat Pesaing
Struktur pasar rumah sakit saat ini menjadi semakin kompetitif. Hubungan
antarrumah sakit dalam menetapkan tarif dapat menjadi "saling mengintip".
Penetapan tarif benar-benar dilakukan berbasis pada analisis pesaing dan demand.
Dalam metode ini, biaya yang menyesuaikan dengan tarif. Terdapat dua tipe metode
ini yaitu: (1) penetapan tarif di atas pesaing, dan (2) penetapan tarif di bawah pesaing.
Dengan melihat berbagai macam teknik penetapan tarif di perusahaan swasta,
beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain,tujuan penetapan tarif harus diyakini
secara jelas, dan tarif harus ditetapkan dengan berbasis pada tujuan; struktur pasar dan
demand harus dianalisis; informasi kualitatif perlu dicari untuk membantu penetapan
tarif; pendapatan total dan biaya total harus dievaluasi dalam berbagai tingkat harga
dengan asumsi-asumsi yang perlu dan penetapan tarif harus melibatkan partisipasi
dari bagian akuntansi, pemasaran, dan unit-unit pelaksana fungsional.
7) Penetapan Tarif pada Organisasi Pemerintah
Pada berbagai sektor termasuk kesehatan, pemerintah masih mempunyai
kewajiban mengatur tarif. Kewajiban ini ditujukan untuk menjamin terjadinya
pemerataan pelayanan rumah sakit. Untuk itu, pemerintah merasa perlu menegaskan
bahwa berbagai komponen biaya penyelenggaraan rumah sakit tetap disubsidi, antara
lain gaji, investasi, dan penelitian pengembangan. Dengan demikian, rumah sakit
pemerintah mendapat pengaruh langsung dari peraturanperaturan atau norma-norma
pemerintah. Dengan latar belakang ini, jika dipandang dari sudut ekonomi manajerial,
maka rumah sakit pemerintah berbeda dengan swasta dalam beberapa hal.
Pertama: rumah sakit pemerintah merupakan milik masyarakat sehingga
direksi rumah sakit harus bertanggung jawab kepada pemimpin politik daerah atau
nasional, dan bertanggung jawab pula kepada Dewan Perwakilan Rakyat, pusat atau
daerah. Keadaan ini menyebabkan keputusan-keputusan manajemen rumah sakit
pemerintah seringkali menjadi lamban karena harus menunggu persetujuan pihak-

14
pihak berwenang. Contoh klasik yaitu penetapan tarif rumah sakit daerah yang harus
membutuhkan persetujuan bupati dan DPRD.
Kedua: rumah sakit pemerintah cenderung lebih besar dibanding dengan
swasta, misalnya di Jakarta dan Surabaya, rumah sakit terbesar adalah milik
pemerintah pusat dan daerah. Besar dalam segi ukuran juga sering disertai dengan
kepemimpinan dalam teknologi kedokteran. Dengan disubsidinya investasi dan biaya-
biaya penelitian pengembangan, rumah sakit pemerintah terutama rumah sakit
pendidikan mempunyai peluang untuk memonopoli segmen pelayanan tertentu tanpa
mempertimbangkan biaya investasi. Dengan demikian, biaya investasi tidak
diperhitungkan dalam pentarifan sehingga dapat lebih murah dibanding swasta.
Ketiga: rumah sakit pemerintah cenderung mempunyai overhead cost yang
tinggi. Hal ini terutama karena biaya gaji yang tinggi akibat besarnya jumlah pegawai
tetap, akan tidak disertai dengan produktivitas yang tinggi. Akibatnya, dalam proses
pentarifan sering kali biaya sumber daya manusia tidak diperhitungkan. Berbasis
perbedaaan dengan rumah sakit swasta, maka proses penetapan tarif dalam rumah
sakit pemerintah harus memperhatikan berbagai isu yaitu isu sosial dan amanat
rakyat, isu ekonomi, dan isu politik. Sebenarnya rumah sakit keagamaan atau sosial
yang tidak mencari keuntungan juga menghadapi berbagai isu yang serupa misalnya,
bagaimana isu melayani kaum dhuafa bagi rumah sakit Islam atau menjalankan
pelayanan berdasarkan Kasih bagi orang miskin pada rumah sakit Katolik.

15
BAB 3
PENUTUP

Telah diuraikan mengenai analisis demand para pengguna rumah sakit dan
rumah sakit sebagai suatu firma. Uraian ditujukan untuk lebih memahami penggunaan
konsep ekonomi dalam manajemen rumah sakit. Pembahasan menggunakan model
Circular Flow pada aspek demand membahas berbagai hal yang spesifik untuk rumah
sakit, yang berbeda dengan analisis demand pada sektor lain. Salahsatu perbedaan
penting adalah adanya fenomena supplier-induced-demand.
Dalam pengkajian rumah sakit sebagai firma, telah dibahas terutama konsep
produksi dan informasi biaya dalam keputusan manajerial rumah sakit. Untuk
menetapkan keputusan manajemen yang baik, seorang manajer rumah sakit harus
memahami perilaku biaya. Dua fungsi biaya yang utama digunakan dalam pembuatan
keputusan-keputusan manajemen adalah fungsi biaya jangka pendek dan fungsi biaya
jangka panjang. Fungsi biasa jangka pendek yaitu periode waktu dengan beberapa
sarana produksi sebuah usaha tidak dapat diubah dan digunakan dalam keputusan
sehari-hari. Fungsi biaya jangka panjang adalah periode waktu yang cukup panjang
yang memungkinkan suatu usaha mengubah sistem produksinya secara penuh melalui
penambahan, pengurangan, atau penggantian asetnya dan digunakan untuk keperluan
perencanaan.
Di dalam sektor rumah sakit pemikiran dalam mencari keuntungan
memerlukan pemakaian informasi biaya, misalnya bangsal VIP. Rumah sakit-rumah
sakit yang memerlukan subsidi juga memerlukan analisis biaya. Tindakan ini mutlak
dilakukan agar subsidi tepat penggunaanya dan dapat direncanakan dengan baik.
Tanpa informasi biaya, berbagai keputusan manajemen seperti penetapan harga tidak
dapat ditentukan secara benar.

16
DAFTAR PUSTAKA

Nurgadima, Achmad Djalaluddin. 2021. Analisis Cost Recovery Rate (CRR) pada
Instalasi Rawat Inap. Jakarta: Nem
Pemerintah Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan No. 85 Tahun 2015
tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit. Berita Negara RI Tahun 2015, No 9.
Jakarta: Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham RI.
Sudirman, Indriyanti. 2020. STRATEGI PENETAPAN TARIF RUMAH SAKIT
BERDASARKAN UNIT COST. Makassar: Nas Media Pustaka.
Trisnantoro, L. (2004). Konsep Penetapan Tarif Dalam Manajemen Rumah Sakit,
MM. Universitas Gajah Mada.
Trisnantoro, Laksono. (2015). Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam
Manajemen Rumah sakit. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

17

Anda mungkin juga menyukai