Anda di halaman 1dari 6

TUGAS BAHASA INDONESIA

“Menulis Cerita Sejarah”

XII MIPA 2
OLEH :
DYAH AYU FITRIANA
(13)

SMA Negeri 3 Ponorogo


Jalan Laks. Yos Sudarso III/1 telp. (0352) 481525
Tahun Pelajaran 2018/2019
DESA YANG TENGGELAM

Pada zaman dahulu terdapat sebuah keluarga kecil yang tinggal di daerah lereng gunung
wilis sebelah selatan. Tepatnya di Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Desa ini penuh
dengan ketentraman dan kedamaian. Desa ini juga memiliki pemandangan yang indah, udara
yang sejuk dan sangat asri karena banyak pepohonan yang ada. Namun, terlepas dari semua itu
ternyata ada masalah yang dihadapi oleh sepasang suami istri dari desa tersebut.

Konon, terdapat sepasang suami istri yang tinggal di rumah yang sederhana. Mereka
sangat menantikan buah hati yang tak kunjung diberi oleh sang maha pencipta. Namun, pada
akhirnya istrinya pun mengandung. Hal itu membuat mereka tampak berbahagia dan tak
hentinya mengucap syukur kepada dewa. Setelah Sembilan bulan mengandung istrinya itu
melahirkan, sayangnya mereka diberi cobaan oleh para dewa. Istrinya tersebut melahirkan
bukan manusia seutuhnya melainkan seekor ular naga. Alangkah kagetnya pasangan suami istri
tersebut ketika mengetahui anaknya seekor ular naga.
“Haaaa…nggak mungkin, Pak ini bukan anak kita kan?” ucap sang istri dengan nada tinggi
sedikit terengah-engah sembari menangis.

“Bu ini anak kita, anak ini lahir dari rahim ibu” ucapnya suami dengan mencoba menenangkan
istrinya, walaupun sebenarnya ia sangat terkejut dan bersedih dengan apa yang dialaminya.
“Nggak mungkin semua ini pak, mengapa dewa memberikan cobaan kepada kita seberat ini”.
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa, ini cobaan dari dewa, apapun cobaan itu kita harus
menghadapinya walaupun itu sangat sulit bagi kita”.
Istrinya hanya bisa diam sambil menangis tersedu-sedu. Namun sang suami tetap bersabar dan
terus menenangkan istrinya. Anak tersebut mereka namai dengan sebutan Baru Klinting.

“Kita harus bersabar bu, bagaimanapun keadaanya ini tetap anak kita, kita harus menerima dan
menyayangi dia dengan setulus hati”

“Iya pak, namun ada satu hal yang saya takutkan, saya khawatir ada warga yang tau persoalan
ini, saya tidak mau ada yang menghina keluarga kita dengan melihat wujud Baru Klinting”
“Iya bu, dari tadi saya juga memikirkan hal itu”
“Terus kita harus bagaimana bu?”
“Salah satu cara adalah kita harus pindah dari sini”

. Akhirnya cara yang mereka tempuh adalah pindah dari sana. Keputusan itu adalah yang
terbaik bagi mereka, karena mereka tidak berani tinggal di desa tersebut. Mereka takut akan
menjadi bahan gujingan warga desanya. Dengan rasa kesedihan yang mereka alami, mereka
terpaksa meninggalkan desa tersebut dan memutuskan untuk mengasingkan diri ke puncak
gunung. Setiap hari sepasang suami istri itu berdoa kepada para dewa agar anak mereka bisa
berubah wujud menjadi manusia. Mereka lewati hari-hari dengan penuh sabar dan tak henti-
hentinya mereka selalu berdoa. Hingga pada suatu hari para dewa mengabulkan doa suami istri
tersebut, namun dengan sebuah syarat. Jika syarat yang diberikan dewa bisa dilakukan oleh
Baru Klinting maka dewa akan mengabulkan. Syarat yang harus dilakukan Baru Klinting pun
sangat susah, ia harus melakukan pertapaan selama 300 tahun dengan cara melingkarkan
tubuhnya di Gunung Wilis. Baru Klinting pun menyetujui dan melakukan syarat yang diajukan
dewa. Baru Klinting pun dengan penuh semangat dan berusaha keras untuk melingkarkan
tubuhnya di Gunung wilis. Namun sayangnya, ternyata tubuh Baru Klinting masih kurang satu
jengkal untuk bisa benar-benar melingkari seluruh gunung wilis tersebut. Baru Klinting tidak
kurang akal agar bisa mencapai ekornya yang jaraknya hanya tinggal satu jengkal lagi. Tanpa
berfikir panjang, Baru Klinting mencoba menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ujung
ekornya untuk menutupi kekurangan itu.

Setelah berhasil melingkarkan tubuhnya di gunung wilis , Baru Klinting memulai


pertapaannya selama 300 tahun. Ternyata, syarat agar Baru Klinting untuk manusia tak hanya
itu. Para dewa memberi syarat kepada ayah Baru Klinting untuk memotong lidah anaknya yang
sedang bertapa. Sebenarnya ayahnya tidak tega untuk memotong lidah anaknya itu, namun ia
harus melakukannya supaya Baru Klinting berubah menjadi manusia. Dengan berat hati, sang
ayah melakukan syarat tersebut. Baru Klinting yang sedang bertapa pun tak menolak karena
hal itu untuk kebaikannya sendiri agar bisa menjadi manusia. Baru Klinting kehilangan
lidahnya, setelah dipotong oleh ayahnya, kepala dan ekornya tidak bisa menyatu lagi. Namun
demikian Baru Klinting tetap diperbolehkan oleh dewa untuk melanjutkan pertapaanya,
walaupun ia telah melanggar syarat.

Baru Klinting melaksakan pertapaan dengan penuh kesabaran. Setelah bertapa selama
ratusan tahun, tubuh Baru Klinting ditumbuhi oleh pepohonan dan semak-semak, sehingga
tubuhnya tidak terlihat seperti seekor ular naga lagi. Beberapa hari sebelum bertapa Baru
Klinting berakhir, sebuah dekat desa Baru Klinting bertapa, sang kepala desa akan
menyelenggarakan pesta pernikahan anaknya secara besar-besaran, untuk itu ia membutuhkan
bahan makanan yang sangat banyak. Sayangnya kepala desa kekurangan makanan. Oleh karena
itu, kepala desa meminta warganya untuk berburu dihutan, sebagai tambahan makanan dipesta
pernikahan anaknya.

“Para warga desaku berburulah ke hutan, karena aku kekurangan bahan makanan untuk pesta
pernikahan anakku” ucap kepala desa kepada para warganya.

Dengan penuh semangat dan secara sukarela para warga tersebut membantu kepala desa untuk
mempersiapkan pesta pernikahan anaknya dengan mencari bahan makanan di hutan.

“Mari kita semua harus membantu pak kepala desa untuk berburu makanan di hutan, kita harus
memeriahkan pesta pernikahan anak pak kepala desa”.

Para warga desa pun pergi kehutan. Mereka mencari berbagai bahan makanan mulai
dari buah-buahan hingga hewan buruan, seperti rusa,babi hutan, dan kijang. Namun, sudah
lama para warga berburu, hasilnya tidak memuaskan. Tak seekor hewan pun yang bisa mereka
temui, seolah-olah semua hewan di hutan menghilang entah kemana.

Ada salah seorang warga desa sangat kelelahan setelah seharian mencari hewan buruan,
namun tak kunjung berhasil. Kemudian ia melihat sebuah batang pohon yang tumbang dan ia
berniat untuk beristirahat di situ. Tidak kuat menahan kelelahan, warga desa tersebut duduk
dipohon tersebut dan menancapkan parangnya pada pohon besar yang tumbang tersebut.
Alangkah terkejutnya warga tersebut ketika melihat batang pohon tersebut mengucur darah
segar. Para warga desa yang penuh dengan penasaran mengerumuni batang pohon tersebut
yang mengeluarkan darah.

“Ini bukan batang pohon tapi ini seekor ular naga raksasa” ucap salah satu warga dengan muka
yang kaget serta panik.

Mengetahui batang pohon tersebut ternyata seekor ular naga raksasa mereka menyadari
kalau para warga itu belum mendapatkan hasil buruan. Para warga desa itupun kemudian
mengambil daging ular naga tersebut, untuk dijadikan tambahan bahan makanan pesta
pernikahan anak kepala desa.

Hari yang telah ditunggu pun tiba yaitu hari berakhirnya masa pertapaan Baru Klinting
selama 300 tahun yang bertepatan pula dengan hari pernikahan anak dari kepala desa. Tak lama
Baru Klinting berubah menjadi manusia yang berwujud seorang anak kecil. Namun sayang
tubuh anak kecil tersebut penuh dengan luka akibat perbuatan warga desa. Tak hanya itu Baru
Klinting juga mengalami kesusahan saat berbicara karena lidahnya dipotong sebagai syarat
untuk menjadi manusia.

Kemudian Baru Klinting berjalan entah kemana, dan pada akhirnya ia berada pada
tempat pesta pernikahan, dan pesta itu ternyata pernikahan anak kepala desa. Karena dia merasa
sangat lapar, Baru Klinting meminta makanan kepada warga. Namun tak ada seorang pun
warga yang merasa belas kasihan ataupun peduli terhadap Baru Klinting.
“Aku sangat lapar, berilah sedikit makananmu untuk mengganjal perutku” ucap Baru Klinting
dengan memohon-mohon agar diberi makanan oleh warga.
“Pergilah.. tidak ada makanan untukmu disini, kamu disini hanya mengganggu saja… dasar
anak kecil” ucap salah satu warga.

Baru Klinting sangat sedih atas ucapan para warga terhadapnya. Bahkan tak hanya itu,
Baru Klinting juga diejek, dan dihina, mereka lakukan itu karena badan yang penuh sayatan
dan lidahnya yang terpotong. Warga desa justru mengusirnya, padahal daging yang mereka
masak adalah dagingnya sewaktu masih menjadi naga. Namun diantara warga yang berperilaku
buruk masih ada seorang wanita tua yang berbaik hati kepada Baru Klinting.

“Nak… mari nak ikutlah kerumah nenek, masih ada makanan untukmu disana” ucap wanita
tua

Wanita tua tersebut akhirnya membawa Baru Klinting kerumahnya untuk memberi
makanan untuknya. Wanita itu memberikan makanan dengan berbagai hidangan lezat sama
seperti yang di sediakan pada pesta pernikahan anak kepala desa. Baru Klinting makan dengan
lahap, kecuali dengan daging yang disediakan. Baru Klinting menolak untuk memakan daging
lantaran ia mengetahui bahwa itu dagingnya sendiri saat masih berwujud ular naga.
“Maafkan nenek nak, cuma makanan ini yang nenek punya”

“Tidak apa-apa nek, aku sangat berterima kasih kepada nenek karena telah menolongku yang
kelaparan ini”.

“Iya nak sama-sama, nenek tidak tega kalau melihat anak kecil kelaparan, apalagi dicaci maki
oleh pak kepala desa dan warganya”.

“Saya mengira sudah tidak ada lagi orang baik di desa ini, ternyata masih ada orang seperti
nenek, sebagai ucapan rasa terima kasih saya mohon nenek menyiapkan lesung. Bila nanti ada
banjir datang segelah nenek menaiki lesung tersebut”

Lesung adalah alat yang digunakan untuk menumbuk padi agar menjadi beras. Lesung
digunakan pada zaman dahulu sebelum mesin penggiling padi ditemukan. Wanita tua tersebut
pun menuruti ucapan Baru Klinting tanpa bertanya sedikit pun. Kemudian Baru Klinting pun
berpamitan pergi dari rumah wanita tua tersebut sembari membawa daging.

Baru Klinting kembali kerumah kepala desa sambil membawa sekerat daging tadi dan
sebatang lidi ditangannya. Setelah sampai dirumah kepala desa, Baru Klinting menancapkan
lidi tersebut ke tanah di depan tempat persta tersebut.
“ Wahai semua warga desa, datanglah kemari”.
Para warga tersebut bergegas dan semuanya datang menghampiri Baru Klinting, mereka
terlihat marah karena anak kecil yang mereka usir datang kembali.
“Hai kamu anak kecil ada apa lagi kamu datang kesini?”

“Wahai warga desa, cabutlah batang lidi ini, jika kalian mampu maka aku akan memberikan
sekerat daging ini kepadamu dan aku akan pergi tidak akan kembali lagi, namun jika kalian
tidak mampu maka mencabut lidi ini maka kalian harus memberikan semua daging yang kalian
masak kepadaku”.
“Baiklah jika hanya mencabut batang lidi saja semua orang juga bisa” sahut seorang warga

Warga desa yang merasa ditantang akhirnya seorang warga yang pertama kali
menemukan daging ular naga langsung maju dan mencabut batang lidi tersebut. Anehnya tak
ada satupun warga desa yang bisa mencabut batang lidi. Meski sudah mencoba berkali-kali.
Semua warga desa bergantian mencoba mecabut batang lidi tersebut. Namun tak ada yang
berhasil. Bahkan kepala desa sekalipun, tidak mampu mencabut batang lidi tersebut. Para
warga juga tidak mau memberikan daging yang mereka masak kepada Baru Klinting.

“Ini tidak mungkin kenapa aku tidak mampu mencabut batang lidi ini”. ucap salah seorang
warga
“Hai anak kecil sebenarnya kamu ini siapa?” tanya pak kepala desa

“Ketahuilah bahwa daging yang kau masak itu adalah tubuhku sewaktu aku masih berwujud
naga, kalian memang manusia tamak dan serakah kepada sesama manusia,kepada manusia
cacat sepertiku, kalian tidak peduli terhadap penderitaan seorang manusia, daging itu adalah
daging ku saat aku sedang bertapa dan kau ambil dagingku ini. Kalian akan mendapatkan
pembalasan yang setimpal”.

Kemudian Baru Klinting mencabut batang lidi tersebut. Dengan ajaibnya air keluar dari
lubang bekas lidi tersebut ditancapkan. Semakin lama air yang keluar semakin menderas. Para
warga pun berlarian menyelamatkan diri, dan berteriak minta tolong. Air yang keluar dari
lubang bekas lidi tersebut akhirnya menenggelamkan satu kampung. Tidak ada yang selamat
dari kemarahan Baru Klinting. Seluruh warga desa tersebut tenggelam, hanya satu orang yang
selamat yaitu wanita tua yang memberi makan Baru Klinting. Desa tersebut menjadi telaga dan
Baru Klinting kembali berubah wujud lagi menjadi seekor naga dan ian melingkarkan tubuhnya
di dasar telaga . Desa yang penduduknya bersifat tamak dan tidak mau menolong akhirnya
berubah menjadi sebuah telaga. Telaga ini masih ke dalam bagian daerah yang bernama
Ngebel, yang kemudian dikenal dengan nama Telaga Ngebel.

Anda mungkin juga menyukai