Rancangan Buku 2018
Rancangan Buku 2018
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Kota Semarang
BAB II
GEOGRAFI FISIK KOTA SEMARANG
1.2 GEOMORFOLOGI
Bentuklahan ini tampak sebagai alur sungai tetapi tidak ada aliran air karena aliran airnya
telah pindah ketempat lain ( Kali Sampangan). Satuan ini mempunyai relief yang cekung dengan
kemirringan lereng 3 – 5 %. Ketinggian 0,5 – 2 m dari permukaan air sungai rata-rata, sering tergenang
air pada musim penghujan dengan tinggi genangan antara 0,25 – 0,50 m. Air tanah dangkal pada
sumur gali mencapai kedalaman -2 m hingga -6 m dari permukaan lahan. Lembah yang ditingggalkan
merupakan daerah pengendapan dari material yang diangkut oleh aliran air. Daya tumpu tanahnya
kecil yaitu < 0,5 kg/cm2.
Ditemukan sebuah lembah yang ditinggalkan yaitu terdapat di wilayah Pegandan. Satuan ini
telah dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk lokasi pemukiman dan tegalan.
Teras Sungai ( A 19) ; Satuan ini merupakan suatu permukaan lahan yang bertingkat yang
dibentuk oleh aktivitas aliran air sungai. Kemiringan lereng keseluruhan (general slope) berkisar
antara 2 -5 %, memiliki ketinggian 2-5 m dari permukaan air sungai rata-rata dan kedalaman air tanah
2-6 m dari permukaan lahan setempat. Di daerah penelitian teras sungai terdapat di wilayah
Sampangan dan Pegandan (Kali Garang).
Dasar Lembah ( P20 ) ; Satuan ini merupakan cekungan yang relatif stabil sebagai hasil erosi
alur dan erosi parit. Ketinggiannya berkisar antara 15 – 40 m dari permukaan air sungai rata-rata,
daya tumpu tanahnya sebesar 0,8 kg/cm2 hingga 3,2 kg/cm2 (Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas
Teknik UNDIP), dan kemiringan lerengnya sebenar 5 – 10 %. Kedalaman air tanah dangkal yang dapat
diamati pada sumur gali mencapai -8 hingga -16 m dari permukaan ringan. Di daerah penelitian
bentuklahan tersebut berada di wilayah Lempongsari hingga Tanahputih.
Tebing Lembah ( P 21 ); Satuan ini berada diantara dasar lembah dan dataran puncak bukit,
reliefnya sangat miring dengan kemiringan lereng 50-70%. Pada bentuklahan ini terjadi erosi
permukaan, erosi alur dan erosi parit sedang hingga berat dan di bebarapa tempat terjadi
pelongsoran seperti di wilayah Ngaglik, Kintelan dan akamdowo. Daya tumpu tanahnya sebasar 0,8
kg/cm2 – 3,2 kg/cm2 (Lab. Mekanika Tanah Fakultasa Teknik UNDIP, tidak pernah banjir, ketinggiannya
lebih dari 15 m dari permukaan air sungai rata-rata dan kedalaman air tanah pada sumur gali
mencapai -18 m hingga -32 m dari permukaan lahan.
Dataran Puncak Bukit ( P 22 ); Pada beberapa puncak bukit terdapat medan yang memiliki
relief yang datar hingga landai dengan kemiringan lereng 2-6 %, lebarnya berkisar antara 50 m hingga
150 m. Bentuklahan tersebut dinamakan dataran puncak bukit. Material penyusunnya terdiri dari
lempung berlanau, lempung berpasir, pasir dan batu. Daya tumpu tanahnya sebasar 0,21 kg/cm2
hingga 3,25 kg/cm2 (Laboratorium Mekanika Tanah Fakulta Teknik UNDIP), proses geomorfologi yang
terjadi pada satuan ini berupa erosi permukaan ringan. Kedalaman air tanah pada sumur gali
mencapai -25 m hingga -35 m dari permukaan tanah.
Planasi ( P 23); Di sebelah selatan perbukitan lipatan terdapat suatu wilayah yang tertutup
oleh hasil erupsi volkan Ungaran Tua, yang memiliki ketinggian di atas 200 m. Satuan ini tidak
mengalami pelipatan dan memiliki medan yang datar. Pada foto udara medan ini tampak sebagai
puncak-puncak bukit yang datar, yang terletak di antara lembah –lembah sungai. Bentuklahan inilah
yang dinamakan planasi (planeze).
Satuan ini mempunyai kemiringan lereng 2-6 %, tidak pernah terkena bnajir dan kedalaman
air tanah yang diamati pada sumur gali berkisar antara -5 m hingga -12 m di bagian Utara satuan ini
sedang di bagian selatan berkisar antara -10 m hingga -18 m dari permukaan lahan setempat. Proses
geomorfologi yang tampak pada satuan ini berupa erosi permukaan ringan. Daya tumpu tanahnya
berkisar antara 0,6 kg/cm2 hingga 2,0 kg/cm2 (Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik UNDIP),
dan material penyusunnya terdiri dari breksi volkanoi, pasir dan lempung berpasir.
Bentuklahan ini tersebur dari Tembalang, Kramas, Banyumanik di bagian timur hingga
Mundingan dan Cepoko di bagian barat. Di wilayah Tembalang, Kramas, Bulusan, Banyumanik,
Pedalangan, Srondol Kulon, serta Srondol Wetan, satuan ini telah menjadi wilayah permukiman
penduduk yang berkembang begitu pesat. Pemukiman yang berkemabang pesat tersebut berada di
bagian timur laut selatan ini.
Lembah Sungai ( P 24 ) ; Satuan ini mempunyai relief yang terjal hingga sangat terjal, dengan
kemiringan lereng berkisar antara 35% hinggga 150%, dan tidak pernah kena bnajir. Proses
geomorfologi yang terjadai pada bentuklahan ini adalah erosi alur dan erosi parit sedang hingga berat
serat pelonggsoran pada Formasi Breksi Volkanik dan Formasi Damar seperti di wilayah Pudakpayung
dan Karanggeneng, sedang Formasi Marin terjadi erosi alur dan erosi parit berat, pelongsoran dan
rayapan eperti di wilayah Tinjomoyo, Kalipancur dan Banaran timur laut. Kedalaman air tanah pada
sumur gali mencapai -6 m hingga -20 m dari permukaan lahan. Daya tumpu tanahnya berkisar antara
0,6 kg/cm2 hingga 3,2 kg/cm2 (Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik UNDIP).
Satuan bentuklahan ini dibedakan menjadi dua satuan yang lebih kecil yaitu lembah sungai
bagian atas dan lembah sungai bagian bawah. Lembah sungai bagian atas memiliki kemiringan lereng
30% hingga 70 % sedang lembah sungai bagian bawah lerengnya lebih terjal yaitu sebesar 65% hingga
150%.
Lereng Kaki Atas Perbukitan Lipatan ( P25) ; Bentuklahan ini terdapat pada lereng bagian
atas perbukitan lipatan. Reliefnya miring hingga terjal, dengan kemiringan lereng berkisar antara 15%
hinggga 70%. Proses geomorfologi yang terjadi pada satuan ini berupa erosi sedang hingga berat,
pelongsoran dan peruntuhan. Daya tumpu tanah pada Formasi Damar 0,6 kg/cm 2 -3,1 kg/cm2 (Lab
Mekanika Tanah Fakultas Teknik UNDIP) sedang pada Formasi marin 1,25 kg/cm2 (pengukuran
dengan penetrometer). Kedalaman air tanah pada sumur gali berkisar antara -17 m hingga -25 m dari
permukaan lahan setempat.
Lereng Kaki Bawah Permukaan Lipatan ( P 26 ) ; Satuan ini berasosiasi dengan bentuklahan
lereng kaki atas perbukitan ( P 25 ), mempunyai relief yang landai hingga bergelombang dengan
kemiringan lereng sebesar 5% hinggga 30% . Pada satuan ini terjadi erosi permukaan ringan hingga
sedang, erosi alur dan erosi parit sedang. Kadalaman air tanah pada sumur gali berkisar -5 m hingga
-17 m dari permukaan lahan setempat. Bentukalahan ini berada pada Formasi Marin, di samping
terjadi proses geomorfologi tersebut juga terjadi proses geomorfologi yang berupa rayapan tanah
dan pelongsoran, seperti yang terjadi di wilayah Sulkorejo, Tinjomoyo, sebelah selatan Kalipancur
dan Sadeng Utara. Rayapan tanah dan pelongsoran tersebut akan menjadi aktif pada lahan terbuka
di musim penghujan. Dengan adanya dua karakteristik pada bentuklahan ini maka satuan ini
dibedakan dua kelompok yaitu bentuklahan lereng kaki bawah perbukitan yang tidak terletak pada
Formasai Marin, dengan diberi simbol P 26a dan bentuklahan lereng kaki bawah perbukitan yang
berada pada Formasi Marin dengan diberi simbol P 26b berada di daerah perbukitan bagian
tengggara dan barat daya.
Bukit Sisa Terpisah (P 27) ; Satuan ini berupa bukit yang terpisah dari rangkaian
perbukitan di sekitarnya, dan dikelilingi oleh permukaan lahan yang rendah (dataran alluvial). Satuan
ini mempunyai relief yang miring hingga terjal dengan kemiringan lereng sebesar 35 % hingga 150 %,
terjadi erosi permukaan sedang hingga berat, erosi alur dan erosi parit berat. Material penyusunnya
terdiri dari breksi vulkanik, kedalaman air tanah pada sumur gali antara – 17 m hingga – 35 m dari
permukaan lahan setempat. Pada satuan ini terjadi proses pelongsoran dan peruntuhan. Di daerah
penelitian bentuk lahan ini terdapat di wilayah Bergoto, Ketileng dan Rowosari.
Bocca (P 28) ; Bentuk lahan ini tampak sebagai kubah, dengan kemiringan lereng ke bagian
kaki yang hampir sama kesegala arah, yaitu sebesar 60 % hingga 70 %. Bentuk lahan ini terbentuk
oleh penerobosan magma ke prmukaan bumi. Material penyusunnya berupa batu beku andesit.
Proses geomorfologi yang terjadi pada satuan ini adalah erosi permukaan dan erosi alur ringan hingga
sedang. Di daerah penelitian hanya terdapat sebuah Bocca yaiti Gunung Turun, luasnya ± 3,50 ha,
dengan puncak tertinggi 348 m dari permukaan laut. Bocca tersebut terletak di sebelah utara Desa
Gersalam dan di sebelah barat laut Desa mangunsari.
Gawir (P 29) ; Bentuk lahan ini merupakan kenampakan medan yang berupa lereng yang
curam hingga terjal dengan kemiringan lereng 110 %. Lereng curam hingga terjal tersebut terjadi
karena proses alami atau karena aktivitas manusia, yang berupa perobohan (toppling), reruntuhan
(falling), pelongsoran (landsliding). Proses perobohan terjadi pada massa batuan yang memiliki retak-
retak vertikal, seperti yang terjadi di wilayah Karangkempel, Karangkumpul dan Karangrejo.
Peruntuhan merupakan runtuhnya massa batuan karena pengruh gravitasi, seperti yang terjadi di
wilayah Sampangan dan Simongan. Pelongsoran merupakan gerak massa batuan pada bidang gelincir
yang miring dan di daerah penelitian proses ini dapat diamati di wilayah Pudakpayung, Srondolkulon,
Meteseh, Patemon, Sadeng dan Banaran.
Lahan Rusak (P 30) ; Bentuk lahan ini merupakan kenampakan medan yang ditandai
adanya jaringan saluran yang rapat, terjal, sempit karena pengikisan oleh air, pelongsoran,
peruntuhan dan erosi berat. Pada umumnya bentuk lahan ini tertutup oleh tumbuh-tumbuhan dan
tidak diolah. Oleh karena itu sebauknya bentuk lahan ini tidak dijadikan lokasi permukiman.
Lereng Kaki Volakan (K 31) ; satuan ini mempunyai relief miring sebesar 15 % hingga 30 %.
Material penyusunnya terdiri dari endapan vulkanik Unggaran Tengah, daya tumpu tanahnya
berkisar antara 1,52 kg/cm2 – 1.72 kg/cm2 (Laboratorium mekanika Tanah fakultas Teknik UNDIP) dan
kedalam air tanah pada sumur gali antara -15 m hingga -24 m dari permukaan lahan setempat. Proses
geomorfologi yang berkembang pada satuan ini adalah erosi permukaan ringan hingga sedang, erosi
alur ringgan dan pelongsoran.
Lembah Sungai Kaki Volakan (K 32) ‘ Satuan ini mempunyai relief yang miring hingga terjal
dengan kemiringan lereng sebesar 40 % hingga 110 %. Proses geomorfologi yang berkembang pada
satuan ini berup arosi permukaan dan erosi alur sedang, pelongsoran dan peruntuhan. Kedalaman
air tahan yang dapat diamati pad asumur gali mencapai kedalaman -10 m hingga -18 m dari
permukaan lahan. Materia penyusunnya terdiri dari endapan volkanik Ungaran Tengah dan satuan
ini tidak pernah kena banjir.
1.3 HIDROLOGI
Paparan tentang kondisi hodrologi Semarang diuraikan dalam bebrapa kajian yaitu kajian
pola aliran sungai, banjir, Rob, dan kondisi air tanah.
Kota Semarang dilalui oleh banyak sungai yang semuanya mengalir ke laut Jawa. Kota
Semarang mempunyai dua sistem saluran air yang besar yaitu Kali Banjir Kanal Barat dan Kali
Banjir Kanal Timur. Selain itu sungai-sungai kecil yang mengalir di kota Semarang dari arah barat
ke timur yaitu: Kali Plumbon, Kali Mangkang Kulon, Kali Beringin, Kali Randugarut, Kali Boom
Karanganyar, Kali Tapak, Kali Tugurejo, Kali Jumlong, Kali Buntu, Kali Tambakharjo, Kali
Silandak, Kali Siangker, Kali Bulu, Kali Kali Asin, Kali Semarang, Kali Baru, Kali Banger, Kali
Tenggang, dan Kali Sringin (lihat peta aliran sungai Kota Semarang).
Upaya yang dilakukan pemerintah Belanda untuk pengendalian banjir dengan berbagai
cara, antara lain memotong aliran Kali Semarang dengan melakukan pelurusan Kali Garang
menjadi Kali Banjir Kanal Barat. Pada tahun 1892 upaya pengendalian banjir tersebut dilengkapi
dengan pembangunan tanggul atau normalisasi Kali Banjir Kanal Barat. Pada tahun 1900 upaya
pembuatan tanggul atau normalisasi sungai dilanjutkan pada kali Banjir Kanal Timur. Berikut ini
akan dipaparkan tentang kondisi sungai-sungai besar di Kota Semarang.
Kali Banjir Kanal Barat merupakan saluran penampung aliran dari tiga buah sungai
utama yang ketiganya berhulu di daerah Gunung Ungaran, yaitu Kali Kreo, Kali Kripik, dan
kali Garang Hulu. Ketiga kali tersebut bertemu menjadi satu di dekat desa Kalipancur, lokasi
tersebut ditandai dengan adanya monumen atau tugu yang dinamakan Tugu Suharto. Secara
keseluruhan DAS Garang mempunyai luas sekitar 240 km2 dan panjangnya 32 km2. Panjang
alur Kali Garang Hulu adalah 30 km, Kali kripik 10,4 km, dan kali Kreo sekitar 10,5 km
Hulu Kali Garang di daerah selatan terdiri dari daerah perbukitan gunungapi kwarter,
bagian tengah merupakan daerah perbukitan gunungapi Pleistosen dan endapan gamping
berbukit, serta pada bagian bawah DAS merupakan dataran alluvial pantai. Secara hidrologi
bentang lahan bagian atas dan tengah merupakan kawasan resapan yang cukup potensial.
Pada bagian hilir kali Garang terdapat bendung Simongan, yang berfungsi untuk menaikkan
muka air guna kebutuhan air baku bagi PDAM Semarang, dan penggelontoran drainase kota
melalui Kali Semarang. Batas antara Kali Garang dan kali Banjir Kanal Barat adalah
bendungan Simongan, Kali Banjir Kanal Barat terletak di bagian hilir bendung Simongan.
Pada daerah hulu kali garang, Kali Kripik, dan Kali Kreo beserta anak-anak sungainya
membentuk daerah erosi yang luas dan intensif, bahkan di sepanjang daerah plateau Kali
garang menyayat dengan gradient yang tinggi dan terjal. Mengarah ke hilir pada
pertemuannya dengan Kali Kreo membentuk dataran banjir yang cukup luas, selebar kurang
lebih 500 meter dan memanjang sejauh 3 kilometer hingga dataran pantai Semarang. Pada
daerah ini atau tepatnya setelah pertemuan dengan dua sungai lain, Kali Garang mengalir
dengan pola aliran meander atau berkelok-kelok.
Kali Banjir Kanal Timur merupakan saluran penampung aliran dari sebuah sungai
yang agak besar yaitu Kali Pengkol dengan cabang-cabangnya yang berupa sungai-sungai
kecil antara lain Kali Jurugajar, kali Wideng, Kali Sat, Kali Braholo, Kali Kedungmundu, dan
Kali Candi.
Seperti kondisi Kali Banjir Kanal Barat, maka hulu DAS Banjir Kanal Timur berupa
kawasan perbukitan dan daerah hilir sungai berupa dataran alluvial yang relatif landai,
sehingga aliran air memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencapai laut. Dahulu daerah
hulu sungai merupakan kawasan pertanian atau hutan, yang secara umum disebut sebagai
kawasan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan penyangga. Kawasan tersebut meliputi
Jangli, Jomblang, kawasan Candi, Gunung Gombel, dan kawasan Tembalang bagian utara.
Kawasan tersebut merupakan daerah yang berdampingan dengan kota sehingga sekarang
(pada tahun 2002) sudah menjadi kawasan permukiman yang padat.
Pada kawasan hulu sungai Banjir Kanal Timur ini sudah berubah, dari lahan
konservasi menjadi areal permukiman. Pada musim penghujan kawasan hulu sungai tidak
dapat meresapkan banyak air, sehingga air sungai mengalir menjadi aliran permukaan yang
deras dan membawa material yang tererosi dan diendapkan di Kali banjir Kanal TImur.
Secara umum berdasarkan pada bentuk dan aliran sungainya, maka pola aliran
sungai Kali Banjir Kanal Barat dan Timur dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu pola aliran
sungai subdendritik dan subparenial (Sihwanto1983). Pola aliran sungai subdendritik terdapat
di bagian selatan menempati daerah satuan medan pegunungan. Pola aliran jenis ini banyak
dipengaruhi oleh kemiringan lereng dari kaki Gunung Ungaran yang sesuai dengan arah aliran
sungai yaitu ke arah utara. Sungai dengan pola aliran jenis ini mempunyai cabang-cabang anak
sungai yang tidak teratur dan berbentuk menyerupai urat daun. Sungai yang termasuk dalam
kategori pola aliran subdendritik antara lain Kali Garang, Kali Kripik, Kali Kreo, dan Kali Pengkol.
Pola aliran subparenial terdapat di bagian tengah dan utara , menempati daerah
satuan medan perbukitan dan dataran, yang secara umum mempunyai kemiringan lereng ke
arah utara. Pola aliran sungai ini banyak dipengaruhi oleh keadaan topografi yang mempunyai
kemiringan lereng ke utara sesuai dengan arah aliran sungai yang mengalir ke utara. Satuan
batuan yang dilewati oleh pola aliran ini terdiri dari batulempung gampingan, batupasir
gampingan, breksi vulkanik, dan batupasir volkanik yang kadang-kadang diselingi dengan
konglomerat serta aluvial.
Kali Beringin termasuk dalam kategori sungai yang besar di kota Semarang. Luas
DAS Beringin mencapai sekitar 38,65 km2 dengan panjang sungai utama dari hulu sungai
sampai hilir mencapai 21 km. Sungai ini cukup menarik untuk dikaji karena setiap tahun
kawasan hilir dan muara sungai tepatnya di kelurahan Wonosaro, Mangkang, dan Tambak
sari selalu mengalami banjir. Kejadian banjir di daerah ini dari tahun ke tahun bertambah
besar dan kawasan banjir semakin meluas. Pada daerah hulu sungai tepatnya di Kelurahan
Ngaliyan dan Mijen terjadi perubahan penggunaan lahan secara luas menjadi kawasan
permukiman, sehingga memperbesar aliran permukaan di DAS Beringin.
Bentuk DAS Beringin menunjukkan pola memanjang dengan lebar pada bagian
tengah DAS mencapai sekitar 25 m dengan kedalaman sungai sekitar 5 m tepatnya di
Kelurahan Wonosari, sedangkan bagian hulu dan hilir DAS menyempit. Pada muara kali
Beringin di kelurahan Tambaksari lebar sungai menyempit menjadi sekitar 6,5 m dengan
kedalaman 2 m saja. Fenomena penyempitan sungai tersebut sangat menghambat arus
aliran air, diperparah lagi dengan topografi yang datar dari kelurahan Wonosari sampai
Tambaksari atau laut. Pada saat terjadi hujan deras dengan intensitas tinggi maka limpasan
Kali Beringin akan menerjang areal permukiman dan persawahan yang ada di kanan kiri
sungai.
Pola aliran sungai termasuk kategori dendritik, pada bagian hulu sungai berkelok-
kelok dan banyak terdapat cabang anak sungai. Cabang anak sungai Beringin tersebut ada
yang berkelok arah sebesar 900, berbentuk meander dan bentuk pembelokan tersebut
menghambat arus aliran sungai. Banyaknya anak sungai dengan arah aliran yang tidak
teratur disebabkan karena lokasinya di Kecamatan Ngaliyan pada daerah perbukitan atau
topografi yang bergelombang.
Arus aliran yang besar dan kuat pada musim hujan memacu proses penggerusan
pada beberapa tempat, sehingga terjadi kelokan-kelokan sungai atau mender. Bentuk sungai
tidak lurus lagi, sehingga menghambat arus air dan sewaktu terjadi aliran besar arah aliran
cenderung lurus dan akan menerjang areal permukiman.
Berikut ini ditampilkan pola aliran sungai dari tiga buah sungai besar di kota
Semarang, yaitu Kali Banjir Kanal barat, kali Banjir Kanal Timur, dan Kali Beringin.
Gambar 1. Pola Aliran Sungai Banjir Kanal Barat
Gambar 2. Pola Aliran Sungai Banjir Kanal Timir,
Gambar 3. Pola Aliran Sungai Beringin.
B. Kondisi Banjir Kota Semarang
Semarang sebagai ibukota Propinsi Jawa Tengah terletak di pinggir pantai utara Jawa.
Luas wilayah mencapai luas 373,73 km2 dengan topografi yang unik karena dapat dibedakan
dalam 3 bentuk lahan dengan batas yang mudah diamati, yaitu daerah pantai seluas sekitar 10
%, dataran rendah seluas 26 %, dan daerah perbukitan seluas 64 %. Kemiringan lereng di daerah
pantai dan dataran rendah berkisar antara 0-10 % dengan ketinggian 0 – 3,5 meter di atas
permukaan air laut. Pada daerah perbukitan mempunyai kemiringan lereng sekitar 2 % sampai
40%. Keunikan kondisi di atas memberikan kenyamanan bagi penduduk yang tinggal di kawasan
perbukitan atau disebut sebagai kawasan Semarang atas, namun terutama pada musim hujan
akan akan memberikan kesengsaraan pada daerah pantai dan dataran rendah yang rentan akan
bahaya banjir dan genangan. Air limpasan hujan akan mengalir dari daerah perbukitan menuju
daerah pantai. Apabila terjadi hujan yang bersamaan di kawasan Semarang atas dan Semarang
bawah, maka aliran limpasan tidak dapat masuk ke laut dengan cepat karena di daerah pantai
telah terjadi genangan akibat hujan lokal, akibatnya terjadi genangan dan banjir di bantaran
sungai maupun pada daerah yang cekung seperti kawasan simpanglima. Kondisi tersebut
diperparah lagi bila datangnya hujan lokal di Semarang bawah bersamaan dengan adanya
limpasan atau banjir kiriman dari atas, dan pasang naik air laut, maka areal genangan semakin
meluas.
Menurut BCEOM (lembaga bimbingan teknis Departemen PU, dalam Retno, 2002), banjir
Semarang sudah mulai menjadi masalah sejak tahun 1970. Namun jauh sebelum itu menurut
Bemmelen, pada masa kolonial Belanda, penanggulangan banjir lokal sudah dilakukan dengan
cara membangun saluran Banjir Kanal Kali Baru (tahun 1872), saluran Banjir Kanal Barat (pada
tahun 1892), dan saluran Banjir Kanal Timur (tahun 1900). Berarti pada masa itu kejadian banjir
dirasakan sudah menggangu aktivitas rakyat dan khususnya bagi pemerintah kolonial Belanda,
sehingga merasa perlu untuk membuat tanggul penahan aliran pada saat terjadi banjir pada
ketiga saluran tersebut.
Banjir besar di Semarang yang cukup signifikan sejak dasawarsa terakhir adalah kejadian
banjir pada tahun 1973, 1990, 1993, 2000, dan terakhir pada bulan Januari 2002 yang lalu.
Karakter banjir di kota Semarang yang sangat beragam menimbulkan permasalahan yang cukup
kompleks, seperti banjir di kawasan Tawang Mas (Kompas, 09/04/2001) yang terjadi akibat
pembelokan sungai Tawang, sungai Cicacah, dan sungai Ronggolawe (demi dibangunnya
kawasan wisata Pusat Rekreasi dan Pameran Pembangunan PRPP dan Puri Maerokoco menjadi
anak sungai Banjir Kanal Barat.
Kejadian banjir yang diuraikan di atas merupakan fenomena banjir kiriman dari daerah
hulu sungai, namun kejadian banjir lokal dan Rob tak kalah menariknya untuk dikaji dan
diupayakan penanggulangannya, karena menimbulkan banyak masalah dan merisaukan
masyarakat akibat luas genangan yang semakin meluas. Banjir lokal merambah kawasan
Simpang Lima, Pleburan-UNDIP, bundaran Jl.Pahlawan, Jl.A.Yani, bundaran Bubakan,
pertokoan Johar, Jurnatan, dan terutama pada kawasan Kota Lama, serta Kaligawe sampai
Terminal Terboyo. Kawasan Rob juga senantiasa menghampiri kawasan Kota Lama,
Bandarharjo, Ronggowarsito, kawasan Pelabuhan, Terminal Bus Terboyo, dan Kaligawe,
fenomena banjir lokal, banjir kiriman, dan Rob saling mempengaruhi dan mengakibatkan
kawasan banjir genangan semakin meluas. Bahkan menurut Suara Pembaharuan (02/07/99)
untuk kawasan Rob sudah meluas sekitar 1700 ha menuju kearah Semarang Urata dan
Semarang Barat, dengan ketinggian 50 sampai 75 cm. Banjir Rob ini sangat mengganggu dan
merusak infrastruktur yang ada, menghambat kegiatan di Pelabuhan Tanjung Mas, dan otomatis
menjadi kendala bagi pertumbuhan perekonomian Kota Semarang..
Setiap musim penghujan kawasan Semarang yang berada pada elevasi rendah akan
selalu mengalami genangan air dan banjir, bahkan pada daerah pantai meskipun tidak turun
hujan ada daerah yang tergenang akibat pasang air laut atau Rob. Penyebab banjir di kota
Semarang dapat diidentifikasi dan dibedakan menjadi tiga macam kejadian banjir, yaitu banjir
lokal, banjir kiriman, dan banjir pasang air laut (rob) yang diuraikan sebagai berikut.
Banjir lokal sering terjadi di pusat kota Semarang, disebabkan oleh keadaan topografi
yang rendah atau berada pada kawasan cekungan. Kawasan Semarang bawah merupakan
daerah reklamasi pantai, merupakan lahan bekas rawa dan tambak, sehingga diperkirakan
daerah ini berupa cekungan atau berupa daratan yang landai. Dataran rendah yang landai
dapat mengakibatkan terhambatnya aliran hujan yang turun dan mengalir menuju ke laut.
Aliran air hujan tidak bisa mengalir secara cepat ke laut apalagi kalau terjadi hujan dengan
intensitas yang tinggi atau terjadi hujan lebih dari 2 jam, air hujan yang jatuh tidak dapat
segera masuk ke laut karena slope di dataran rendah ini sangat kecil.
Landainya dataran rendah mulai dari kaki bukit sampai ke muara di bagian utara, akan
menimbulkan limpahan air hujan yang datangnya cepat, tetapi untuk mencapai ke laut
dibutuhkan waktu yang lama. Penyebab lain adalah kondisi pantai di muara Kali Semarang
dan Kali Banger yang sangat landai dan dangkal. Disamping itu terdapat kecenderungan
berkembangnya garis pantai ke arah laut yang terjadi akibat reklamasi pantai secara alami
maupun yang dilakukan oleh Pelabuhan Tanjung Mas dan tempat rekreasi Tanjung Mas.
Perkembangan pantai utara Semarang secara alami menurut hasil penelitian diperkirakan
mencapai 10 meter per tahun.
Banjir kiriman datang melalui sungai-sungai yang ada di Kota Semarang, yang
mengalirkan air dari daerah atas (Semarang Atas) ke daerah bawah menuju ke lautan. Pada
kondisi normal air sungai akan mengalir normal dan tidak menimbulkan banjir, namun pada
kondisi tidak normal pada saat terjadi hujan di daerah atas atau hulu sungai dengan intensitas
tinggi atau terjadi hujan deras selama 2 (dua) jam maka akan terjadi aliran sungai yang besar
dan deras. Apabila sungai tersebut tidak dapat menampung maka air sungai akan melimpah
ke luar bantaran sungai dan terjadilah banjir. Kejadian banjir ini terutama terjadi di daerah
dataran rendah Kota Semarang yang landai, penyebabnya limpahan air hujan yang mengalir
di sungai datangnya cepat sedangkan untuk mencapai laut dibutuhkan waktu yang lama
karena terhambat oleh kemiringan dasar sungai yang landai di dataran rendah.
Banjir pasang air laut atau Rob di Kota Semarang lebih dikenal dengan istilah rob,
disebabkan karena terjadinya pasang air laut. Wilayah yang terkena banjir jenis ini adalah
daerah yang dekat dengan pantai. seperti komplek perumahan Tanah Mas, Kelurahan Darat
Lasimin, Kelurahan Mlaju Darat, Kelurahan Bandarharjo, Kelurahan Kuningan, Kelurahan
Dadapsari, dan kelurahan Tanjung Mas. Daerah yang terkena banjir rob akibat pasang air
laut umumnya mempunyai elevasi permukaan tanah antara +1,00 m sampai +1,5 m,
sedangkan pasang maksimum pernah terjadi pada tahun 1996 sudah mencapai +1,84 m.
Banjir pasang air laut ini akan terasa semakin berat pada saat terjadi hujan deras
bersamaan dengan terjadinya pasang air laut, dan akan terasa berat lagi apabila datangnya
secara antara banjir kiriman, hujan lokal dan terjadi pasang air laut. Banjir pasang air laut
terjadi karena air laut masuk ke daratan atau permukiman melalui Kali Semarang, Kali Baru,
Kali Asin, dan terus menggenang pada tepi sungai dan pada daerah yang mempunyai
topografi rendah.
Beberapa faktor penyebab timbulnya banjir pada satu tempat (kelurahan berbeda dengan
tempat lain, tergantung pada topografi, fisiografi, dan bentuk lahan suatu wilayah. Identifikasi
tentang beberapa penyebab terjadinya banjir pada setiap kecamatan telah dilakukan oleh Dinas
Pekerjaan Umum Kota Semarang dalam rangka proyek penyusunan Semarang Urban Drainage
Master Plan Project (SUDMP)Tahun 2000. Faktor penyebab tersebut antara lain banjir karena
kiriman dari hulu, banjir pasang air laut, karena saluran tersumbat lumpur atau sampah, limpasan
dari sungai, atau karena ada bangunan yang melintang dan mengganggu aliran/saluran. Uraian
tentang faktor penyebab banjir pada setiap kecamatan diuraikan seperti Tabel 2.
Beberapa kecamatan mempunyai faktor penyebab banjir yang berbeda-beda, selain itu
masing-masing kecamatan mempunyai sumber banjir dari sungai atau saluran yang berbeda
pula, berikut ini dipaparkan tentang beberapa nama sungai dan saluran yang menjadi sumber
banjir. Khusus untuk kecamatan Tembalang dan Gunungpati tidak pernah mengalami kejadian
banjir karena lokasinya pada daerah perbukitan dan lereng gunung Ungaran, jenis sungai atau
saluran juga tidak ada karena merupakan kawasan hulu sungai.
Tabel 2. Nama sungai dan saluran sebagai sumber banjir di Kota Semarang
Saluran drainase di dalam kota khususnya untuk kota bagian utara (Semarang Bawah)
dimaksudkan untuk membuang air limbah rumah tangga dan air hujan, agar tidak terjadi
genangan atau banjir. Sistem drainase di Semarang Bawah (khususnya antara kali Banjir Kanal
Barat dengan Kali Banjir Kanal Timur), dibagi menjadi lima sistem daerah pengaliran, yaitu
daerah pengaliran Bulu (78.35 ha), daerah pengaliran A2 Leideng (324 ha), daerah pengaliran
Randusari (82,05 ha), daerah pengaliran kali Semarang (660,32 ha), dan daerah pengaliran A1
leideng (514,90 ha) (Sudarsono, 1996). .
Kelima sistem daerah pengaliran yang ada di Semarang bawah yang paling luas adalah
sistem drainase Kali Semarang. Daerah pengaliran Kali Semarang dibagi lagi menjadi 15 daerah
drainase. Pembuangan air sebagian daerah drainase pada sistem drainase Kali Semarang
dibantu dengan pompa ke Kali banjir Kanal Timur, daerah tersebut mencakup sistem drainase
Simpang Lima dan Singosari. Selain itu sistem pembuangan ke laut melalui Kali Semarang, Kali
Banjir Kanal Barat, dan Kali Baru. Bahkan sekarang (sejak tahun 2001) dibangun satu sistem
polder di sepan stasiun Tawang yang berfungsi untuk mengatur dan menampung limpahan air
hujan pada satu sub sistem drainase Bandarharjo saja. Idealnya diperlukan beberapa Polder
pada beberapa sub sistem dengan tujuan /fungsi yang sama.
Kali Semarang merupakan sistem drainase primer untuk membuang limbah dan
mengalirkan air hujan. Elevasi tertinggi Kali Semarang (pada Bendung Simongan) 5,6 m di atas
permukaan air laut, panjang Kali Semarang dari Bendung Simongan sampai muara 13,9 km, dan
gradien rata-rata Kali Semarang sebesar 0,40 m/km (DPU Kodya Semarang, 1990). Aliran Kali
Semarang merupakan kepanjangan Kali Garang, berawal dari Bendung Simongan dan bermuara
di laut Jawa. Dari Bendung Simongan ke arah timur sampai di rumah Sakit Dr. Kariadi, membelok
ke utara sampai di Tugu Muda, terus ke gandok Puspo ke arah timur laut sampai di Pasar Johar
dan arah aliran berbelok ke arah barat laut. Sebelah utara Pasar Johar Kali Semarang bercabang
dua, yaitu lurus ke utara menuju Kali Baru terus ke pelabuhan dan yang ke arah barat laut
merupakan kelanjutan Kali Semarang dan bermuara di laut Jawa.
Kejadian banjir di kota Semarang dari tahun ke tahun dirasakan semakin meningkat baik
frekuensi, kedalaman, dan luas genangannya. Pada tahun 1980 beberapa bagian kota Semarang
bagian utara atau kota bawah telah sering dilanda banjir yang disebabkan oleh jenis banjir lokal.
Daerah-daerah lokal yang sering terkena banjir, terutama adalah daerah yang terletak pada
satuan bentuk lahan yang rendah, terletak di tepi Kali Banger dan Kali Semarang. Kedalaman,
lama, dan luas banjir di kota Semarang bagian bawah periode tahun 1990 sampai tahun 1996
dapat dilihat pada tabel berikut ini dan dapat diamati dari Peta daerah banjir di pusat kota
Semarang dari tahun 1980 sampai tahun 1995.
Tabel 3. Kedalaman, lama dan luas banjir lokal di pusat kota Semarang Tahun 1980 – 1995
Berdasarkan Tabel 3 di atas, diketahui bahwa lama dan kedalaman banjir bervariasi. Di
sekitar Jalan Agus Salim, pada tahun 1980 belum ditemukan adanya banjir, kawasan yang di
landa banjir lokal hanya sebagian kecil saja dan tersebar. Antara tahun 1985 sampai 1990 kondisi
banjir relatif tetap, tetapi pada tahun 1995 kedalaman mengalami kenaikan dari 50 cm menjadi
70 cm, namun sekarang (sejak tahun 2000) mengalami penurunan lagi karena dilakukannya
program peninggian jalan sekitar 50 cm dan program pavingisasi. Lama genangan juga
mengalami kenaikan dan penurunan seperti terlihat pada Tabel 3 di atas. Peninggian badan jalan
maupun bangunan berlomba dengan banjir.
Komplek Mlatiharjo, Jalan Mataram, daerah Pengapon, dan Rejomulyo, pada tahun 1980
kondisi banjir belum meluas, bahkan di Rejomulyo wilayah yang dilanda banjir masih sedikit dan
tersebar atau dapat dikatakan belum ada banjir. Pada tahun 1985 sampai 1990 kejadian banjir
meningkat baik luasan maupun lama genangan, terutama di daerah Mlatiharjo. Pada tahun 1995
sampai 2000 kejadian banjir baik ketinggian, luasan maupun lama genangan menurun
disebabkan karena ada proyek peninggian badan jalan dan pavingisasi yang dilakukan di daerah
pusat kota Semarang terutama di kawasan Kota Lama.
Kawasan Simpang Lima mengalami banjir yang selalu meningkat dari tahun 1980 sampai
1990. Namun mulai tahun 1995 dapat dikatakan bebas banjir, karena dilakukan proyek
normalisasi saluran drainase di seputar Simpang Lima yang berfungsi untuk menampung
sebagian air limpahan air hujan maupun limpasan dari Semarang atas. Selain itu stasiun pompa
Kartini yang berfungsi menyedot air di Komplek Simpang Lima ke Kali Banjir Kanal Timur sudah
beroperasi secara penuh. Namun apabila terjadi terjadi hujan dengan intensitas tinggi, kawasan
Simpang Lima masih sering tergenang air walaupun hanya dalam waktu kurang dari 1 jam. Hal
ini disebabkan terbatasnya kapasitas saluran penampung dan kemampuan debit pompa di
stasiun Kartini dalam menyedot air dari kawasan Simpang Lima ke Kali Banjir Kanal Timur.
Uraian di atas menceritakan tentang fenomena banjir di Kawasan pusat kota Semarang,
dengan sumber limpasan banjir dari Kali Banjir Kanal Barat, Kali Banjir Kanal Timur, Kali
Semarang, kali Banger, maupun kali Baru. Berikut ini akan diuraikan fenomena yang terjadi banjir
yang terjadi di kawasan Semarang Barat, dengan sumber limpasan banjir dari Kali Beringin dan
Kali Plumbon. Fenomena banjir di kawasan ini perlu dikaji karena kejadian banjir dari tahun ke
tahun semakin meningkat dan kawasan yang terlanda banjir berupa permukiman penduduk dan
areal persawahan.
Banjir yang terjadi di kecamatan Tugu tepatnya kelurahan Mangkang, Tambaksari, dan
Wonosari disebabkan terutama oleh meluapnya Kali Beringin dan sebagian kecil oleh Kali
Plumbon. Kali Beringin merupakan sungai dengan DAS yang cukup luas sekitar 38 km2 melewati
dua kecamatan, yaitu kecamatan Ngaliyan dan kecamatan Tugu. Hulu sungai merupakan wilayah
Kecamatan Ngaliyan yang banyak mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan
menjadi lahan terbuka atau lahan permukiman, sehingga diidentifikasi sebagai faktor penyebab
meningkatnya debit aliran kali Beringin.
Berdasarkan hasil penelitian Liesnoor (2000) diidentifikasi bahwa kejadian banjir terjadi
pada setiap tahun dengan tinggi, lama, dan luas genangan yang bervariasi (lihat Tabel 4),
Kejadian banjir yang paling besar terjadi pada tahun 1976, dan tahun 1999, banjir pada kurun
waktu tersebut mengakibatkan jebolnya tanggul sungai dan hanyutnya beberapa rumah dan harta
benda penduduk.
1999 1,0 – 2,0 m 0,5 – 1,0 m 0,5 – 1,0 m 2 s/d 5 2 s/d 3 1 s/d 3
jam jam jam
2 jam s/d 2 s/d 6
2000 0,5 – 2,5 m 1,0 – 2,0 m 0,5 – 1,5 m 1 s/d 4
1hari jam
jam
Sumber: Hasil Penelitian, Liesnoor tahun 2000.
Kejadian banjir terjadi pada setiap tahun, tepatnya pada saat terjadi hujan lebat di daerah
hulu dan hilir secara bersamaan. Banjir yang dirasakan cukup mengganggu terutama pada lokasi
0 sampai 50 meter dari sungai, dengan lama genangan ada yang mencapai hitungan satu hari
atau pada kejadian banjir pada tahun 1976 mencapai lama genangan sampai 3 (tiga) hari
terencam air. Kejadian banjir Kali Beringin dirasakan dari tahun ke tahun semakin meluas dan
meningkat frekuensinya.
Faktor penyebab utama peningkatnya banjir Kali Beringin diuraikan sebagai berikut
(Liesnoor, 2000), yaitu:
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa banjir di Kota Semarang bawah
disebabkan oleh kapasitas saluran yang lebih kecil dari debit aliran sungai. Kapasitas saluran
yang tidak dapat menampung debit aliran dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
pendangkalan saluran, penyempitan saluran, dan meningkatnya debit aliran sungai, kerusakan
DAS di daerah hulu seperti pembukaan lahan hutan atau lahan konservasi yang dipergunakan
untuk kawasan permukiman atau lahan terbuka.
C. Kondisi Banjir Rob di Kota Semarang
Secara topografis 60 % kota Semarang terdiri dari daerah berbukit dengan Kemiringan
daerah berkisar 2 – 40 % dan berada 90-270 meter di atas muka air laut, sedangkan 30 %
merupakan dataran rendah dan 10 % berupa daerah pantai dengan kemiringan antara 0 – 20 %
dengan ketinggian antara 0-3,5 meter di atas muka air laut). Berdasarkan data tersebut maka
luas wilayah 60% dapat dikatakan sebagai faktor penyebab banjir di Kota Semarang, dan wilayah
dataran rendah dan pantai (dengan luas sekitar kurang dari 40 %) menerima akibatnya yaitu
mengalami kejadian banjir, terutama pada wilayah bantaran sungai, daerah cekungan, dan
daerah dekat muara sungai.
Pada akhir tahun 1980-an, beberapa lokasi di Kota Semarang bawah telah dilanda banjir
yang disebabkan banjir lokal dan banjir karena pasang air laut. Tempat-tempat yang sering
dilanda banjir lokal antara lain Simpang lima, Sekayu, Rejomulyo, di sekitar muara Kali Semarang
dan sekitar muara Kali Banger (Purwadi, 1988). Pada pertengahan tahun 1990-an, genangan air
rob telah meluas ke arah daratan sesuai dengan elevasi permukaan tanah dan hampir semua
wilayah di tepi pantai Kota Semarang telah terkena genangan rob (Liesnoor, 1998). Meluasnya
banjir karena pengaruh pasang tersebut disebabkan oleh turunnya permukaan tanah atau disebut
amblesan tanah.
Tabel 5. Kedalaman dan lama genangan air rob pada tiga kelurahan di Kecamatan Semarang
Utara, Tahun 1984, 1990, dan 1996.
Kejadian banjir pasang air laut atau rob terjadi hampir setiap pada saat air laut pasang,
dengan ketinggian yang bervariasi. Kedalaman dan genangan di wilayah Tanah Mas dan
kelurahan Panggung Lor berkisar antara 20-30 cm, dengan lama genangan selama 3-5 jam pada
tahun 1984 dan sedalam 50 cm dengan lama genangan 1-2 jam pada tahun 1996. Di keluarahan
Bandarharjo kedalaman genangan mencapai 50-60 cm dengan lama genangan 3-6 jam pada
tahun 1984-1996 (lihat Tabel.5).
Pada tahun 1996 kondisi genangan air rob meluas ke arah daratan sesuai dengan
elevasi muka tanah. Areal air rob ini tergantung dari pasang surut air laut, pada saat terjadi bulan
purnama dan bulan baru kedudukan bulan bumi dan matahari berada pada satu garis lurus, akan
terjadi pasang air laut tinggi. Pengaruh luasan genangan air laut akan meningkat dan meluas ke
daratan, apabila kejadian pasang bersamaan dengan terjadi hujan deras di daerah hulu sungai
(Ungaran). Akibatnya terjadi areal genangan yang luas karena datangnya banjir kiriman
bersamaan dengan dengan air laut pasang, sehingga limpasan air tidak bisa secepatnya msuk
ke laut.
Tabel 6. Perluasan kawasan genangan tahun 1984 dan tahun 1996 di Kecamatan Semarang
Utara.
Kawasan genangan merupakan kawasan yang selalu terganggu dan terendam oleh air
laut. Kawasan yang dimaksud meliputi penggunaan lahan untuk perumahan, pekarangan rumah,
jalan, saluran drainase. Kedalaman genangan dan lama genangan bervariasi tergantung kondisi
topografi, saluran drainase, dan jarak lokasi terhadap sungai. Pada tahun 1984 persentase
genangan sebesar 25,5 % pada tahun 1996 meluas menjadi 67,0 %. Persentase pertambahan
luas genangan sebesar 31,5 %. Daerah yang sering tergenang umumnya terletak di tepi sungai,
secara umum luasan wilayah kelurahan yang tergenang dapat dilihat pada Tabel 6 dan peta
tentang genangan air laut di wilayah antara Kali Banjir Kanal Barat dan Kali Banjir Kanal Timur
dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Air rob yang setiap hari selalu datang di kawasan permukiman penduduk khususnya di
Kecamatan Semarang Utara menimbulkan keresahan masyarakat. Dampak air rob yang
dirasakan oleh penduduk antara lain (Sugiyanto, 1999):
a. Bangunan rumah atau tempat tinggal menjadi rusak, dinding rumah yang tergenang rob
menjadi rusak atau rapuh akibat terjadi penggaraman. Sekitar 70 % dari jumlah rumah
penduduk di kelurahan Bandarharjo dan Tanjung Mas serta panggung Lor dinding rumah
tumbuh jamur dan rapuh karena proses penggaraman.
b. Peresapan dan septi tank tidak berfungsi, sehingga mengganggu kesehatan. Setiap 2 bulan
sekali harus dilakukan pengurasan septi tank karena selalu terendam rob.
c. Air tanah menjadi lebih asin, sehingga tidak bisa diminum, khusunya di yiga kelurahan di atas.
d. Alat rumah tangga dan kendaraan yang terbuat dari besi akan mudah korosi.
e. Jalan yang semula beraspal menjadi rusak atau mengelupas, sehingga jalan berubah menjadi
tanah berlumpur.
f. Nyamuk mudah berkembang biak di wilayah ini.
Upaya mengatasi dampak rob yang dilakukan oleh penduduk yang mampu adalah
dengan cara meninggkan lantai rumah atau membangunnya kembal. Bagi yang kurang mampu
hanya meninggikan lantai rumah saja. Bagi yang tidak mampu sama sekali akan membiarkan
rumahnya tergenang air rob. Akibat kondisi kemampuan warga atau pemilik rumah tidak sama,
maka dalam meninggikan rumah dan jalan menjadi tidak sama tingginya.
Permukaan laut di pantai utara Semarang terus meningkat, khususnya pada lokasi
Semarang bawah yang dibatasi oleh Kali Banjir kanal Barat dan kali Banjir Kanal Timur. Pada
muara Kali Semarang ada kenaikan permukaan laut dari tahun 1985 sampai 1996 sebesar 42
cm (pada saat pasang tinggi) dan 11 cm (pada saat pasang rendah). Fenomena naiknya
permukaan laut dimaksudkan untuk memberikan gambaran global tentang faktor-faktor yang
berpengarih terhadap kenaikan air laut. Beberapa kemungkinan penyebab naiknya air laut di
pantai uatara Semarang yaitu: adanya pemanasan global atau terjadi penurunan muka tanah
(Sudarsono, 1996).
a. Pemanasan Global
Pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya
intensitas rumah kaca. Pemanasan global telah menjadi isu internasional, meskipun
sebenarnya masih terdapat ketidakpastian tentang apakah benar akan terjadi pemanasan
global. Pada gejala pemanasan global dikhawatirkan akan terjadi kenaikan permukaan air
laut yang disebabkan oleh: kenaikan suhu dan pemuaian air laut, kenaikan suhu dan
melelehnya es abadi di daerah Antartika dan Artika serta di pegunungan tinggi, atau terjadinya
massa es di Antartika yang lepas dan ambruk ke dalam laut sehingga permukaan air laut naik
(Sumarwoto, 1991).
Apabila ketiga hal tersebut benar terjadi maka di seluruh permukaan laut di bumi ini
akan naik, termasuk pantai utara Jawa dan khususnya pantai Semarang. Berikut ini
ditunjukkan data tentang kondisi pasang surut air laut di Pantai Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya (tahun 1985 – 1995) dan data pasut di Pelabuhan tanjung mas Semarang.
Apabila dibandingkan, maka kondisi pasang surut di pelabuhan Tanjung Mas Semarang
dan Tanjung Perak Surabaya tidak terjadi kenaikan permukaan air laut, yang terjadi hanyalah
fluktuasi air laut saja. Pengaruh gejala pemanasan global tidak terjadi pada kedua pelabuhan
tersebut, tetapi lebih banyak disebabkan oleh pengaruh pemanasan lokal saja. (lihat Tabel
7).
Tabel 7. Pasang Surut Air Laut di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan dan tanjung mas
Semarang Tahun 1985 – 1995.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala penurunan muka tanah di Kota
Semarang telah dapat dibuktikan. Beberapa lokasi pengamatan gejala penurunan muka
tanah terus diamati dari tahun ke tahun, memang ada angka pasti yang menunjukkan angka
penurunan setiap tahunnya. Gejala penurunan muka tanah berbeda-beda antara satu tempat
dengan tempat yang lain. Penurunan muka tanah di daerah pantai lebih besar dari daerah
perbukitan. Penurunan kawasan pantai yang digunakan untuk permukiman dan pelabuhan
lebih besar jika dibandingkan kawasan pantai yang digunakan untuk lahan kosong atau
kasawan tambak. Muka air laut seolah-olah mengalami kenaikan, akibatnya air laut semakin
terdorong ke arah hulu Kali Semarang dan kali Baru.
Penentuan titik tinggi tanah (ground controled) di Kota Semarang telah dilakukan oleh
beberapa instansi pemerintah antara lain oleh SPB (Semarang peril baru) oleh Proyek
Pengaliran Jratun Seluna, penentuan TTG (titik tinggi geodesi) yang dilakukan oleh
Bakosurtanal dan Dinas Tata Kota, maupun oleh Tim SUDMP 2000. Selain itu Tim fakultas
Teknik undip tahun 1996 telah melakukan pemantauan penurunan muka tanah pada titik
referensi patok TTG 447, TTG 446 dan DTK Kota Semarang dari SPBU Kaliwiru sampai ke
Pelabuhan tanjung Mas. Data tentang gejala penurunan tanah di Kota Semarang antara
tahun 1984 sampai 1996 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Penurunan Muka Tanah di Kota Semarang Tahun 1984 - 1996
Berdasarkan Tabel 8, dalam interval tahun 1984 sampai 1996 dapat diamati adanya
gejala penurunan muka tanah pada suatu tempat berbeda dengan tempat lain. Pada SPBU
Kaliwiru tidak ada gejala penurunan muka tanah, karena kawasan ini merupakan perbukitan
dengan batuan yang kuat dan stabil. Pada daerah Tugu Muda, ada penurunan sebesar 1,6
cm/tahun, daerah ini merupakan dataran rendah atau dahulu merupakan daerah pantai dan
sekarang digunakan sebagai kompleks perkantoran dan sekolah. Jalan Imam Bonjol ada
penurunan sebesar 2,43 cm/tahun, dahulu daerah ini merupakan kawasan perluasan pantai
dan sekarang merupakan kawasan permukiman yang padat. Jl. Arteri utara sebesar 7,23
cm/tahun dan pada Pos I Pelabuhan terjadi penurunan sebesar 5,20 cm/tahun, kedua
kawasan ini mengalami penurunan muka tanah yang lebih besar dibanding tiga tempat
terdahulu. Faktor penyebab utama karena kedua kawasan adalah daerah bekas rawa dan
tambak di tepi pantai Semarang, dan sekarang merupakan kawasan permukiman padat dan
tempat rekreasi, seperti perumahan tanah mas, Pondok Indraprasta, Semarang Indah, tempat
rekreasi Pantai Tanjung Mas dan Taman Mini Jawa Tengah Puri Maerokoco..
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Geologi Proyek SUDMP tahun 2000,
memberikan gambaran tentang penurunan tanah dalam perkiraan kurun waktu lima tahun
(seperti terlihat pada Tabel 9. Salah satu penyebab penurunan tanah adalah akibat
pengambilan air tanah dalam yang berlebihan.
Tabel 9. Tingkat Penurunan Tanah di Kota semarang Bawah
Tahun 1995 sampai 2000
atau akibat terjadinya konsolidasi tanah, atau perkembangan permukiman pada kawasan
yang tidak sesuai, ataupun karena adanya gerakan tanah, namun semua itu masih dalam
tahap perbincangan secara terbatas, belum ada bukti kuat tentang fenomena penurunan
tanah.
Selama kurun waktu terakhir yaitu tahun 1995 sampai tahun 2000, Team SUDMP
melakukan pemantauan penurunan tanah pada bebera tempat di Kota Semarang. Terminal
Terboyo dan Kawasan LIK Genuk mengalami penurunan tanah tertinggi yaitu sebesar 22 cm
per-tahun, disusul pada kawasan Karang Kimpul dan Pelabuhan tanjung Mas sebesar 8-10
cm per-tahun.Stasiun tawang ada penurunan tanah sebesar 7-8 cm per-tahun dan kawasan
simpang lima sebesar 4 cm per-tahun, serta bandara A.Yani ada penurunan sebesar 2-4 cm
per-tahun. Bila diamati tabel 7 dan tabel 8 dalam kurun waktu berbeda ternyata ada kenaikan
penurunan tanah dari tahun ke tahun (dari pengamatan tahun 1984 sampai tahun 2000.
3. Upaya Penanggulangan
Secara umum penyebab banjir di suatu wilayah (kecamatan) berbeda dengan wilayah
yang lain, demikian pula upaya yang dilakukan oleh masyarakat berbeda dari suatu wilayah
dengan wilayah yang lain. Berikut ini diuraikan beberapa upaya yang dilakukan oleh masyarakat
setempat dalam menanggulangi banjir dan rob di wilayahnya. Jenis banjir berbeda maka upaya
yang dilakukan berbeda pula.
Upaya penanggulangan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan sumber dana
dari swadaya masyarakat. Namun untuk pembangunan tanggul yang memerlukan biaya besar
masyarakat dapat mengajukan kepada pihak pemerintah dan instansi terkait seperti Dinas
Pekerjaan Umum, atau Pemda untuk menangani bentuk penanggulangan banjir yang
memerlukan biaya besar. Pihak Biaya yang dipergunakan bisa diambil dari APBD maupun dana-
dana proyek lain.
Tabel 10. Usaha masyarakat dalam menanggulangi banjir dan Rob di wilayah Kecamatan
Air merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup.
Walaupun air merupakan sumberdaya alam yang sangat penting bagi makhluk hidup, pelestarian
secara kualitatif dan kuantitatif kurang mendapat perhatian. Secara kualitatif pencemaran
sumberdaya air oleh manusia semakin tinggi, dan secara kuantitatif peningkatan jumlah
penduduk berkaitan dengan kebutuhan air yang semakin besar sedangkan jumlah sumberdaya
air relatif tetap akan berkurang jumlahnya.
Menurunnya potensi air tanah di Kota Semarang antara lain disebabkan oleh eksploitasi
atau pengambilan air tanah yang berlebih di daerah hilir (Semarang bawah) dan pengisian air
tanah (recharge area) di daerah hulu (Semarang atas) yang semakin berkurang. Perkembangan
permukiman di kota Semarang yang menuju kearah perbukitan memaksa adanya pembukaan
lahan, akibatnya lahan pada kawasan perbukitan yang berfungsi sebagai areal resapan air hujan
menjadi berkurang dan memacu berkurangnya potensi air tanah.
Ini semua merupakan konsekuensi Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia,
disatu pihak dituntut laju pembangunan yang tinggi, dilain pihak terjadi degradasi lingkungan
antara lain ketersediaan air tanah semakin berkurang. Dilema dari kondisi tersebut merupakan
tantangan bagi para ahli dan pengambil kebijakan untuk mengantisipasinya.
1.4 IKLIM
Jenis iklim di kota Semarang dapat ditentukan berdasarkan analisis terhadap data-
data curah hujan dan temperatur dengan menggunakan pendekatan empirik, yaitu
pengelompokan iklim yang didasarkan atas unsur-unsur dari iklim itu sendiri. Untuk keperluan
tersebut uraian tentang iklim kota Semarang akan dimulai dari gambaran tentang karakteristik
curah hujan dan temperatur. Berdasarkan karakteristik ke dua unsur iklim tersebut selanjutnya
jenis iklim di kota Semarang ditentukan berdasarkan sistem pengelompokan iklim dari Schidt-
Ferguson dan sistem klasifikasi Koppen.
1. CURAH HUJAN
Berdasarkan Tabel.1 dapat diketahui bahwa bulan bulan basah terdapat pada bulan
Oktober hingga Mei, dan bulan kering berada pada bulan Juni hingga September. Rata-rata hujan
tahunan masing-masing stasiun pengamat hujan cukup tinggi, yaitu diatas 1900 mm. Sedangkan
rata-rata hujan tahunan kota Semarang dapat diketahui dengan cara rata-rata aritmatik dan rata-
rata poligon Thiessen.
Rumus rata-rata aritmatik adalah :
A1 x P1 + A2 + P2 + …. + An Pn
P =
∑A
dimana :
n = Jumlah stasiun
Tabel. 1. Curah Hujan Bulanan Rata-Rata
Hasil perhitungan hujan rerata tahunan Kota Semarang dapat dilihat pada Tabel
.2 , sedangkan luas poligon dan distribusi stasiun pengamatan hujan disajikan pada Peta Poligon
Thiessen (Peta No.1)
Tabel.2. Perhitungan Hujan Tahunan Rata-Rata Menggunakan Metode Aritmatik
Stasiun Ai Pi Ai x Pi
(Ha) (mm)
Tugurejo 461 1935,99 892491,39
Kalibanteng 1022 2259,47 2309178,34
Simongan 1218 2308,88 2812215,84
Kalisari 1809 2373,68 4293987,12
Pandean Lamper 943 2154,55 2031740,65
Candi 1196 2106,71 2519625,16
Total 6649 13139,28 14859238,50
Hujan rerata tahunan (mm) 2189,88 2234,81
2. TEMPERATUR
Data temperatur kota Semarang disajikan pada Tabel.3. Data temperatur udara
di Stasiun Kalibanteng (3 m dpal) dijadikan dasar untuk mengetahui temperatur udara stasiun
yang tidak lengkap datanya, dan dikoreksi dengan menggunakan metode “Mock”.
dengan :
T = Beda temperatur udara antara Z1 dan Z2
Stasiun Pengamat
Cuaca
Kalsifikasi tipe curah hujan dari Scmidt dan Ferguson yang didasarkan atas
perbandingan rata-rata jumlah bulan basah dan rata-rata jumlah bulan kering. kriteria untuk
menentukan bulan basah dan kering mendasarkan klasifikasi Mohr, yaitu :
1. Bulan basah yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih dari 100 mm. Curah hujan lebih besar
dari penguapan.
2. Bulan lembab yaitu suatu bulan yang curah hujannya lebih besar dari 60 mm tetapi kurang dari
100 mm. Curah hujan kurang seimbang dengan penguapan.
3. Bulan kering yaitu suatu bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm. Curah hujan lebih kecil
dari penguapan. Temperatur udara rata-rata tahunan, temperatur udara bulan terdingin,
temperatur udara terpanas pada setiap stasiun pengamat cuaca dapat dilihat pada Tabel. 4.
Dasar penggolongan tipe hujan ini menggunakan suatu rasio antara jumlah rerata
bulan kering dan rerata bulan basah. Dengan melihat Tabel .6, dapat diketahui besar curah hujan
bulan kering dan curah hujan bulan basah di Kota Semarang.
Tabel. 4. Temperatur Udara Rata-Rata Tahunan, Temperatur Udara Bulan Terdingin, Temperatur
Udara Bulan Terpanas
** Hasil perhitungan
Penggolongan tipe curah hujan menurut Scmidt dan Ferguson berdasarkan pada
besar nilai Q, yaitu :
Berdasarkan nilai Q, tipe hujan di Indonesia dibagi atas delapan golongan, yaitu :
Tugurejo 4 8 50 C
Kalibanteng 1 8 12,5 A
Simongan 1 8 12,5 A
Kalisari 1 8 12,5 A
Pandean Lamper 2 8 25 B
Candi 2 8 25 B
Iklim C = dibagi menjadi Cfa, Cfb, Cfe, Cwa, Cwb, Css, dan Csb.
Iklim D = dibagi menjadi Dfa, Dfb, Dfc, Dwa, Dwb, Dwc, dan Dwd.