Anda di halaman 1dari 9

PERSAMAAN ARRHENIUS DAN ENERGI AKTIVASI

1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Aspek - aspek yang sangat penting dalam kinetika kimia adalah bagaimana
laju reaksi bergantung temperatur. Secara emperik, untuk banyak reaksi kimia,
tetapan laju dihubungkan terhadap temperatur absolut T melalui ungkapan
−𝐵
𝑘 = 𝐴𝑒 𝑇
Dengan A dan B adalah tetapan. Hubungan tersebut dirumuskan oleh van’t hoff
dan Arrhenius dalam bentuk.
−𝐸
𝑘 = 𝐴𝑒 𝑅𝑇
Dengan R adalah tetapan gas ideal (R= ,3145 JK-1) dan E dikenal sebagai energi
pengaktifan. Secara historis persamaan tersebut bermula dari ide Van’t Hoff yang
mengungkapkan argumentasi berdasar kepada variasi tetapan kesetimbangan
terhadap temperatur dan mencatat bahwa suatu hubungan yang serupa harus
berlaku untuk tetapan laju reaksi. Ide tersebut telah secara sukses digunakan oleh
Arrhenius untuk mengkaji banyak reaksi kimia (Mulyani, 2004:166-167).
Syarat - syarat, suatu reaksi untuk bereaksi adalah, molekul yang
bertumbukan harus memiliki energi kinetik total sama dengan atau lebih besar
daripada energi aktivasinya (Ea), yaitu suatu jumlah minimum energi yang
diperlukan untuk melakukan reaksi kimia. Apabila energinya lebih kecil daripada
energi aktivasi, molekul tetap utuh dan tidak ada perubahan akibat tumbukan yang
terjadi tidak kuat. Spesi yang terbentuk sementara oleh molekul reaktan sebagai
akibat tumbukan sebelum membentuk produk dinamakan kompleks teraktifkan.
Kita dapat membayangkan energi aktivasi sebagai penghalang yang mencegah
molekul yang kurang berenergi untuk bereaksi. Karena jumlah molekul reaktan
dalam reaksi biasa sangat banyak, maka kecepatan, dan dengan demikian juga
energi kinetik molekul, juga sangat beragam. Umumnya, hanya sebagian kecil
molekul yang bertumbukan, yaitu molekul dengan energi yang paling cepat, yang
memiliki energi kinetik yang cukup (Chang, 2005: 44-45).
Apabila suatu reaksi terjadi dengan waktu yang lama, sehingg konversi
yang diperoleh meningkat. Kondisi ini terjadi karena lamanya kontak antara
molekulmolekul yang saling bertumbukan. Konversi yang dihasilkan pada suhu
353 dan 363 K pada 10 menit pertama tidak lebih dari 50 %, kenaikan konversi
cukup besar pada suhu 373 sampai 383 K. Sementara pada suhu 393 K kenaikan
konversi relatif kecil ,sehingga kondisi optimum pada suhu 383 K . Hubungan
antara konstanta kecepatan reaksi dengan kenaikan suhu dengan menggunakan
persamaan Arrhenius (Rasyid, 2010: 307)
Semua molekul memiliki energi kinetik, semakin cepat gerakannya
semakin besar energi kinetiknya. Jika energi kinetik awalnya besar, molekul yang
bertumbukan akan bergetar kuat sehingga memutuskan beberapa ikatan kimianya.
Putusnya ikatan merupakan langkah pertama pembentukan produk. Jika energi
kinetik awalnya kecil, molekul hanya akan berpental tetapi masih utuh. Dari segi
energi, ada semacam energi tumbukan minimun yang harus tercapai yang harus
tercapai agar reaksi terjadi. Molekul yang bertumbukan harus memiliki energi
kinetik total sama dengan atau lebih besar energi aktivasi (Ea), yaitu jumlah
minimun energi yang diperlukan untuk mengawali reasi kimia. Apabila energi
lebih kecil daripada energi aktivasi, moleul tetap utuh, dan tidak ada perubahan
tumbukan. Spesi terbentuk sementara oleh molekul reatan sebagai akibat
tumbukan sebelum pembentukan produk dinamakan komples teraktifan (juga
dinamakan keadaan transisi (Chang, 2005: 44).
Pada umumya suatu reaksi menjadi lebih cepat bila dipanaskan, jadi harga
k semakin besar. Hanya reaksi:
2 NO + O2 2 NO2-
yang mempunyai koefisien temperatur negatif. Kalau molekul bereaksi, mula-
mula molekul ini bertumbukan lebih dahulu, jadi kecepatan reaksi sebanding
dengan jumlah tumbukan molekul. Dari hitungannya ternyata jumlah tumbukan
molekul yang diperoleh dari percobaan lebih kecil daripada teori. Ini berarti tidak
setiap tumbukan molekul menghasilkan molekul baru untuk dapat bereaksi,
molekul-molekul harus mempunyai tenaga tertentu. Kalau A = tenaga rata-rata
pereaksi, dan C adalah tenaga rata-rata hasil reaksi, maka agar A dapat menjadi
C, molekul-molekulnya harus melewati tenaga penghalang ∆E1*, tenaga ini
disebut tenaga aktivasi untuk reaksi kekanan. Untuk reaksi kekiri dibutuhkan
tenaga aktivasi , ∆E2*.Selisih keduanya merupakan selisih tenaga dalam atau
panas reaksi pada V tetap
∆E = ∆E1* - ∆E2* = (EB - EA) - (EB – EC) = Ec – EA’
(Sukardjo, 2013: 342-344)
Persamaan Arrhenius dapat digunakan untuk mempelajari pengaruh suhu
terhadap laju reaksi kimia pada suatu bahan pangan. Perkiraan masa simpan
dilakukan dengan menggunakan orde 1 dengan indikasi kerusakan berupa
pertumbuhan mikroba, ketengikan, produksi off flavor, kerusakan vitamin dan
penurunan mutu protein. Pada Penelitian ini meramal umur lengkuas segar yang
disimpan pada berbagai suhu dengan menggunakan persamaan Arrhenius
berdasarkan parameter kadar air dan kadar sari larut dalam air. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa nilai Q10 untuk kadar air adalah 3,23 dan untuk kadar sari
larut air adalah 4,94. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
penyimpanan maka umur simpan bahan akan semakin pendek (Khathir, 2014: 16).
Pengamatan empiris menemukan bahwa banyak reaksi mempunyai
konstanta laju yang mentaati persamaan Arrhenius:
Ea
ln k - = ln A −
RT
Jadi untuk banyak reaksi, ternyata bahwa grafik antara ln k terhadap 1/T
menghasilkan garis lurus. Persamaan Arrhenius sering dituliskan sebagai:
k = Ae-Ea/RT
A disebut faktor praeksponensial dan Ea: energi pengaktifan. Secara bersamaan,
keduanya disebut parameter Arrhenius reaksi, dan beberapa nilai eksperimen
diberikan dalam tabel diatas. Persamaan Arrhenius kadang-kadang dituliskan
dalam bentuk lain, yang menggabungkan kedua parameter:
k = c-∆G/RT atau –RT ln k = ∆G
dengan ∆G disebut fungsi Gibbs pengaktifan. Dalam bentuk ini, ungkapan untuk
konstanta keseimbangan yang berkenaan dengan fungsi Gibbs reaksi standar.
Parameter pengaktifan sebagai parameter empiris murni yang memungkinkan kita
membahas variasi konstanta laju terhadap temperatur. (Atkins, 1996: 345-346).
Teori kinetik molekul gas menyatakan bahwa molekul gas sering
bertumbukan satu dengan yang lainnya. Jadi sangat masuk akal jika kita
menganggap, dan biasanya benar, bahwa reaksi kimia berlangsung sebagai akibat
dari tumbukan antara molekul-molekul yang bereaksi. Dari segi teori tumbukan
dari kinetika kimia, maka, kita perkirakan laju reaksi akan berbanding lurus
dengan banyaknya tumbukan molekul per detik, atau berbanding lurus dengan
frekuensi tumbukan molekul:
banyaknya tumbukan
laju ∝
detik
hubungan yang sederhana ini menjelaskan ketergantungan laju reaksi terhadap
konsentrasi (Chang, 2005: 43).
Kita dapat melihat bahwa energi pengaktifan merupakan energi minimum
yang harus dimiliki reaktan untuk membentuk produk. Salah satu contohnya,
dalam reaksi fase gas terdapat banyak tumbukan dalam setiap detik, tetapi hanya
sebagian kecil diantaranya yang cukup berenergi untuk menghasilkan reaksi,
fraksi tumbukan dengan energi kinetika melebihi Ea, dinyatakan dengan distribusi
Boltszmann: e-Ea/RT, yang seperti persamaan Arrhenius. Jadi faktor eksponensial
dalam persamaan Arrhenius dapat ditafsirkan sebagai fraksi tumbukan yang
mempunyai cukup energi untuk menghasilkan reaksi. Penafsiran yang analog
tentang faktor praeksponensial adalah: faktor ini merupakan laju terjadinya
tumbukan, terlepas dari energinya. Jadi hasil kali antara A dengan faktor
eksponensial dalam persamaan Arrhenius, menyatakan laju tumbukan yang
berhasil (Atkins, 1996: 346).
Ketergantungan konstanta laju reaksi terhadap suhu dapat dinyatakan
dengan persamaan yang dikenal sekarang sebagai persamaan Arrhenius:
k = Ae-Ea/RT
dimana Ea adalah energi aktivasi dari reaksi (dalam kilojoule per mol), R adalah
konstanta gas (8,314 J/K . mol). T adalah suhu mutlak, dan e adalah basis dari
skala logaritma natural. Besaran A menyatakan frekuensi tumbukan dan
dinamakan faktor frekuensi. Faktor ini dapat dianggap sebagai konstanta untuk
sistem reaksi tertentu dalam kisaran suhu yang cukup lebar. Persamaan diatas
menunjukkan bahwa konstanta laju berbanding lurus dengan frekuensi tumbukan.
Selain itu karena tanda minus untuk eksponen Aa/RT, maka konstanta laju
menurun dengan meningkatnya energi aktivasi dan meningkat dengan
meningkatnya suhu. Persamaan ini dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih baik
dengan menghitung logaritma natural dikedua sisi:
Ea
ln k - = ln A −
RT
Persamaan ini dapat diubah dalam bentuk persamaan linear:
Ea 1
ln k = (− ) ( ) + ln A
RT T
Jadi plot ln k terhadap 1/T menghasilkan garis lurus yang kemiringannya m sama
dengan Ea/R dan titik potong b dengan sumbu y adalah ln A (Chang, 2005: 45).
Dalam beberapa kasus, ketergantungan pada temperatur tidak sesuai
dengan persamaan Arrhenius. Akan tetapi, kita masih mungkin menyatakan
kekuatan ketergantungan itu dengan mendefinisikan energi pengaktifan sebagai
∂ ln k
Ea = RT 2 ( )
∂T
Defenisi ini menyederhanakan definisi sebelumnya (sebagai kemiringan grafik
Arrhenius) untuk energi pengaktifan yang tidak bergantung pada temperatur. Jadi
dengan d(1/T) = -dT/T2, kita dapat menata ulang persamaan di atas menjadi
persamaan :
∂ ln k
Ea = −R ( )
∂(1/T)
yang tidak bergantung pada temperatur. Walaupun jika grafik Arrhenius tidak
lurus, suatu persamaan menunjukkan bahwa makin tinggi energi pengaktifan,
makin kuat pula ketergantungan konstanta laju pada temperatur. Jadi energi
pengaktifan yang tinggi mempunyai arti bahwa konstanta laju berubah dengan
cepat terhadap temperatur (Atkins, 1996: 347).
Dengan dinaikkan suhu reaksi maka energi yang dimiliki oleh molekul-
molekul pereaksi bertambah besar dalam mengatasi energi aktivasinya. Hal ini
menyebabkan tumbukan antar molekul meningkat, sehingga berakibat pada
meningkatnya laju reaksi. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan percobaan yang
dilakukan Gelosa dkk. dengan menggunakan konsentrasi katalisator Amberlyst-15
sebesar 15 massa resin/massa gliserol. Pada percobaan yang dilakukan tersebut
perolehan konversi sebesar 50%. Ini artinya katalisator Indion 225 Na cukup baik
untuk digunakan sebagai katalisator pada esterifikasi antara gliserol dan asam
asetat (Nuryoto, 2011:37-38).
Untuk reaksi sederhana (contohnya, reaksi antara atom-atom) kita dapat
merumuskan faktor frekuensi A dalam persamaan Arrhenius dengan frekuensi
tumbukan antara spesi-spesi yang bereaksi. Untuk reaksi yang lebih rumit, kita
juga harus mempertimbangkan “faktor orientasi” yaitu bagaimana moleku-
molekul yang bereaksi berorientasi relatif terhadap lainnya. Reaksi yang dikaji
secara cermat antara atom kalium (K) dan metil iodin (CH3I) membentuk kalium
iodida (KI) dan radikal metil (CH3) menjelaskan ini:
K + CH3I → KI + CH3
Reaksi ini paling mudah terjadi hanya jika atom K bertumbukan frontal dengan
atom dalam CH3I. Jika tidak hanya sedikit atau bahkan tak ada produk yang
terbentuk (Chang, 2005: 48).
1.2. Tujuan
1.2.1 Menjelaskan hubungan laju reaksi dengan tempratur.
1.2.2 Menghitung enrgi aktivasi (Ea) dengan menggunakan persamaan
Arrhenius
2. Metode Percobaan
2.1 Alat
2.1.1 Rak tabung reaksi 2 buah
2.1.2 Tabung reaksi besar 10 buah
2.1.3 Pipet tetes 4 buah
2.1.4 Gelas kimia 600 mL 1 buah
2.1.5 Pembakar spiritus 1 buah
2.1.6 Kaki tiga 1 buah
2.1.7 Kasa asbes 1 buah
2.1.8 Penjepit tabung 2 buah
2.1.9 Thermometer 110oC 2 buah
2.1.10 Botol semprot 1 buah
2.1.11 Stopwatch 1 buah
2.1.12 Lap kasar 1 buah
2.1.13 Lap halus 1 buah
2.2 Bahan
2.2.1. Aquades (H2O)
2.2.2. Es batu (H2O(s))
2.2.3. Label
2.2.4. Larutan kanji 3%
2.2.5. Amonium persulfat 0,04 M (NH4)2S2O8
2.2.6. Natrium tiosulfat 0,04 M (Na2S2O3)
2.2.7. Kalium Iodida (KI)
2.2.8. Tisu
2.3 Prosedur Kerja
2.3.1 Masing-masing tabung reaksi diisi dengan larutan sampel seperti tabel
berikut:
Tabung 1 Tabung 2
Sistem
V. S2O82- V. H2O V. I V. H2O V. S2O8- Larutan kanji
1 5 mL 5 mL 10 mL - 1 mL 1 mL
2 7 mL 3 mL 8 mL 2 mL 1 mL 1 mL
2.3.2 Campuran air dan es disiapkan dan diletakkan dalam gelas kimia 600 mL.
2.3.3. Untuk suhu 20oC, dimasukkan tabung reaksi kedalam gelas kimia 600 mL
yang telah berisi campuran air dan es tersebut. Ukur suhu campuran pada
tabung reaksi hingga suhu 20oC.
2.3.4. Kemudian isi tabung dicampur dengan cara isi tabung A dimasukkan ke
tabung larutan B, lalu dengan secepatnya dimasukkan lagi ke tabung A,
kemudian jalankan stopwatch.
2.3.5. Waktu dan suhu larutan dicatat sampai campuran tampak warna biru untuk
pertama kali.
2.3.6. Untuk suhu 30oC, 40oC, 50oC, dan 60oC dilakukan dengan cara disiapkan
campuran pada tabung reaksi seperti pada tabel cara 1.
2.3.7. Kemudian masing-masing tabung dimasukkan pada gelas kimia yang telah
dipanaskan dan kemudian diukur suhu larutan sesuai dengan suhu yang
telah ditentukan yaitu 30oC.
2.3.8. Setalah suhu masing-masing larutan sama, kemudian tabung pada masing-
masing sistem dicampurkan dengan cara tabung A dimasukkan pada
tabung B dan dengan cepat dimasukkan kembali ke tabung A.
2.3.9. Stopwatch dijalankan dan dicatat waktu dan suhu yang diperlukan larutan
tampak warna biru untuk pertama kali.
2.3.10. Prosedur 6-10 diulangi untuk suhu 40oC, 50oC, dan 60oC.
DAFTAR PUSTAKA

Atkins, P.W. 1996. Kimia Fisika. Jakarta: Erlangga.

Chang, Raymond. 2005. Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga.

Khathir, Rita, Ratna, dan Rama. 2014. Penentuan Umur Simpan lengkuas dengan
Model Arrhenius Berdasarkan Kadar Air dan Kadar Sari Larut dalam Air.
Jurnal Rona Teknik Pertanian. 7(1)

Mulyani, Sri, dan Hendrawan. 2005. Kimia Fisika 2. Malang: Jica

Nuryoto, Hary, Suprihastuti,dan Sutijan. 2011. Kinetika Reaksi Esterifikasi


Gliserol dengan AsamAsetat Menggunakan Katalisator Indion 225 Na.
Jurnal Rekayasa Proses. 5(2)

Rasyid, Rismawati. 2010. Pengaruh Suhu dan Konsentrasi katalis pada Proses
Esterifikasi Distilat Asam Lemak Minyak Sawit Menjadi Biodisel. Jurnal
Kimia Valensi. 1(6)

Sukardjo. 2013. Kimia Fisika. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai