Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada
Bagian/SMF Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Meuraxa Kota Banda Aceh
Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama
Oleh
Pembimbing
dr. Zahrul Wardani, Sp.B
ii
3.10 Tatalaksana ....................................................................................... 52
Appendisitis Akut Tanpa Komplikasi ...................................... 52
Appendisitis Akut dengan Komplikasi .................................... 55
Tatalaksana Operatif ................................................................. 55
3.11 Prognosis .......................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 64
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. S
Usia : 39 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 06-12-1979
Agama : Islam
Status : Janda
Suku : Aceh
Pekerjaan : Petani
Alamat : Lambunot, Aceh Besar
Tanggal masuk RS : 30 Agustus 2019
Tanggal keluar RS : 04 September2019
No. Rekam medis : 109035
1.2 Anamnesis
a. Keluhan utama :
Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Os datang ke IGD dengan keluhan nyeri perut sejak 1 hari SMRS. Os
merasakan nyeri perut tersebut hilang timbul. Os tidak mengeluhkan mual
dan muntah, BAK dan BAB lancar tidak ada keluhan. Sebelumnya Os
mengaku bahwa pernah mengalami kecelakaan 10 bulan yang lalu dan Os
mengalami cedera kepala ringan. Os juga mengkonsumsi obat dari dr.
spesialis saraf selama 6 bulan tetapi Os lupa nama obat tersebut.
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit jantung disangkal
2
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat asma disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat asma disangkal
e. Riwayat Penggunaan Obat :
Riwayat penggunaan obat dari dr. spesialis saraf tetapi Os lupa nama Obat
tersebut.
3
b. Pembesaran kelenjar getah bening (-)
5. Thorak
a. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
b. Palpasi : Nyeri tekan (-) dan fremitus kiri sama dengan
kanan
c. Perkusi : Sonor (+/+)
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Abdomen
a. Inspeksi : Permukaan datar
b. Auskultasi : Peristaltik usus (+)
c. Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan di titik
Mc Burney (+), rovsing sign (+), Psoas sign (+)
d. Perkusi : Timpani (+)
7. Urologi
1. Flank Area
a. Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
2. Supra Pubik
a. Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
3. Genetalia
a. Inspeksi : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Palpasi : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
8. Orthopedi
a. Look : ekstremitas kanan dan kiri semestris
b. Fell : tidak ada nyeri
c. Move : pergerakan aktif
4
1.5 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin tanggal 30 Agustus 2019
DARAH Hasil Nilai Rujukan
RUTIN
Hemoglobin 12,5 g/dL 12.0– 16.0
Eritrosit 4,28 10^6/uL 3.8 – 5.2
Hematokrit 38,1 % 36.5 – 45.0
MCV 89.0 fL 80.0 – 96.0
MCH 29.2 pg 28.0 – 33.0
MCHC 32.8 g/dL 33.0 – 36.0
RDW-SD 36.7 fL 35.0 – 47.0
RDW-CV 11.6 % 11.5 – 14.5
Leukosit 8.0 10^3/uL 4.0 – 14.5
HITUNG
JENIS
Eosinofil 0,5 % 2.0–4.0
Basofil 0.2 % 0–1
Neutofil 66.4% 40.0 – 70.0
Limfosit 28.2 % 20.0 – 40.0
Monosit 4.7 % 2.0 – 8.0
Trombosit 299 10^/uL 150-450
LED 20 mm/jam
5
b. Pemeriksaan Urinalisa tanggal 30 Agustus 2019
MAKROSKOPIS Hasil Nilai Rujukan
PH 6.0 Negatif
Sediment
Mikroskopis
6
A. Pemeriksaan USG :
1.8 Penatalaksanaan
Medika Mentosa
- IVFD Ringer laktat 20 tetes per menit makro
- Inj. Ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
1.9 Prognosis
7
1.1 FOLLOW UP PASIEN
Tanggal S O A P
31-8-2019 1. Nyeri perut 1. KU : stabil 1. Apendisitis 1. IVFD RL 20
kanan 2. kesadaran : akut gtt/menit
bawah (+) compos metis 2. Inj.
2. Nyeri ulu 3. Motorik : stabil Ceftriaxone
hati (-) 4. TD : 106/70 1gr/12 jam
3. Mual (-) 5. HR : 85x/i 3. Inj. Ranitidine
4. Kembung(-) 6. RR : 20x/i 1 amp/12 jam
5. Muntah (-) 4. Inj. Ketorolac
1 amp/ 8 jam
8
2-9-2019 1. Nyeri 1 . KU : stabil post op 1. IVFD RL 20
didaerah 2. Kesadaran : apppendisitis gtt/menit
operasi (+) compos 2. Inj.
metis Ceftriaxone
3. Motorik : 1gr/12 jam
stabil 3. Inj. Ranitidine
4. TD : 109/78 1 amp/12 jam
5. RR : 21x/i 4. Inj. Ketorolac
1 amp/ 8 jam
3-9-2019 1. Nyeri 1. KU : stabil post op 1. IVFD RL 20
didaerah 2. Kesadaran : appendisitis gtt/menit
operasi (+) compos metis 2. Inj.
3. Motorik : Ceftriaxone
stabil 1gr/12 jam
4. TD : 112/80 3. Inj. Ranitidine
5. RR : 20x/i 1 amp/12 jam
4. Inj. Ketorolac
1 amp/ 8 jam
4-9-2019 1. Nyeri 1. KU : stabil post op pasien PBJ
didaerah 2. Kesadaran:: appebdisitis
operasi (-) compos Terapi pulang :
metis - Ibuprofen 3x1
3. Motorik : - Cefadroxil
stabil 2x1
4. TD : 120/76
5. RR : 22x/i
9
Saat Operasi
10
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
12
konsisten dengan alur taenia coli libera yang tampak jelas mengarah ke basis
appendiks vermiformis, tetapi lokasi bagian appendiks vermiformis yang lain
sangat bervariasi (Gambar 3.3). Bagian appendiks vermiformis yang lain dapat
berada di :
posterior dari saekum atau bagian bawah kolon ascendens, atau keduanya,
dengan posisi retrosaekalis atau retrocolicae;
menggantung di atas apertura pelvis, di dalam pelvis, atau dalam posisi
descendens, dengan posisi pelvical;
di bawah saekum pada lokasi subsaekale; atau
anterior dari ileum terminal, kemungkinan berhubungan dengan dinding tubuh,
pada posisi pre-ileale atau posterior dari ileum terminal pada posisi post-ileale.4
13
Gambar 3.3 Posisi appendiks
Sumber : DrakeRL, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray’s basic anatomy. 1st ed. Singapore:
Elsevier (Singapore) Pte Ltd; 2014. p. 161.
14
Gambar 3.4 Arteria appendicularis
Sumber : DrakeRL, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray’s basic anatomy. 1st ed. Singapore:
Elsevier (Singapore) Pte Ltd; 2014. p. 162.
15
Nodus lymphaticus
mesenterica superior
Nodus lymphaticus
ileocolica
Nodus lymphaticus
appendicular
3.1.4 Innervasi
Persarafan appendiks vermiformis berasal dari kompenen simpatis dan
parasimpatis dari pleksus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis berasal dari
medula spinalis setinggi T10, sedangkan serabut saraf parasimpatis berasal dari
cabang nervus vagus yang berjalan mengikuti arteria mesenterica superior dan
arteria appendicularis. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri dari
appendiks berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi
T10.1,5
16
3.1.5 Fisiologi
Selama bertahun-tahun, appendiks secara keliru dianggap sebagai organ
yang tidak memiliki fungsi. Namun sekarang, appendiks telah diidentifikasi sebagai
organ imunologis yang secara aktif mensekresikan immunoglobulin, terutama
Immunoglobulin A (IgA).1 Appendiks juga telah diketahui sebagai salah satu
komponen penting dalam sistem imunitas mukosa yang mensensitisasi sel limfosit
B dan limfosit T. Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml per hari yang membantu
pergerakan dan pembuangan zat-zat yang tak terpakai dalam sistem pencernaan.
Appendiks juga memiliki drainase limfatik yang membantu dalam regulasi patogen
dalam sistem pencernaan.6
3.2. Appendisitis
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis.
Peradangan pada appendiks ini merupakan kausa tersering dari penyakit akut
abdomen dan merupakan kausa laparotomi tersering pada anak dan juga pada orang
dewasa. Appendisitis bahkan merupakan salah satu penyakit paling umum yang
dihadapi oleh dokter bedah.3
4.3. Epidemiologi
Appendisitis dapat ditemukan pada semua golongan usia. Diperkirakan
sebanyak 6% sampai 7% dari populasi manusia akan mengalami appendisitis dalam
masa hidup mereka, dengan frekuensi memuncak pada usia dekade kedua
kehidupan. Insiden pada pria dan wanita umumnya sebanding. Appendisitis akut
umumnya lebih sering ditemui di negara maju dibandingkan negara berkembang,
namun beberapa tahun terakhir angka kejadian pada negara maju mulai menurun.3
17
ditemukan pada kisaran usia tersebut.9 Feses yang terperangkap dalam lumen
appendiks mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekalit yang akhirnya
menjadi kausa dari obstruksi. Proses ini merupakan kausa appendisitis yang paling
umum. Selain proses ini, faktor-faktor lain yang meski jarang terjadi namun juga
dapat menyebabkan obstruksi dari lumen appendiks ialah enterobiasis, askariasis,
balantidiasis, taeniasis, actinomycosis, schistosomiasis, amebiasis, trichuriasis,
tumor, dan keganasan.9-10
Obstruksi proksimal dari lumen appendiks akan menyebabkan
peningkatan tekanan pada bagian distal dari lumen appendiks. Hal ini disebabkan
oleh sekresi mukus dan produksi gas oleh bakteri dalam lumen appendiks tetap
berlangsung sehingga terjadilah distensi. Distensi dari appendiks akan
menstimulasi ujung saraf dari serabut saraf aferen yang berjalan bersama saraf
simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi T10. Stimulasi dari serabut saraf
aferen ini kemudian akan menimbulkan keluhan nyeri pada regio yang diinervasi
oleh segmen medulla spinalis setinggi T10 yakni regio iliaca dextra dan regio
umbilikus dengan sifat nyeri yang tumpul dan difus.1
Tekanan intra lumen yang terus meningkat akan melampaui tekanan
kapiler dan tekanan vena pada appendiks. Oleh karena itu, aliran kapiler dan venula
akan tersumbat, namun aliran arteriol akan terus berlangsung. Hal ini menimbulkan
oedema pada dinding appendiks dan kongesti vaskular pada appendiks sehingga
appendiks tampak hiperemis. Peningkatan tekanan intra lumen ini juga
mengganggu aliran limfatik, khususnya aliran limfatik ke nodus lymphaticus
subpyloric sehingga timbul keluhan mual, muntah, anoreksia, dan nyeri pada daerah
epigastrium.1,3 Stadium ini disebut Appendisitis Akut Sederhana.
Fekalit yang terperangkap di dalam lumen appendiks lambat laun akan
menyebabkan erosi pada mukosa lumen appendiks. Hal ini akan merusak sistem
pertahanan pada dinding mukosa sehingga memungkinkan masuknya bakteri ke
lapisan submukosa.11 Tabel 3.1 menunjukkan bakteri yang umunya ditemukan
terisolasi pada appendiks.
18
Bakteri anaerob Bakteri Aerob
Bacteroides fragilis Escherichia coli
Bacteroides thetaiotaomicron Viridans streptococcus
Bilophila wadsworthia Group D streptococcus
Peptostreptococcus spp. Pseudomonas aeruginosa
Tabel 3.1 Spesies bakteri yang terisolasi dalam appendiks
Sumber : Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of surgery :
the biological basis of modern surgical practic. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1297
Proses selanjutnya ialah invasi dari bakteri Escherichia coli dan spesies
bacteroides dari lapisan submukosa, ke lapisan muskularis, hingga ke lapisan
serosa atau peritoneum. Peritoneum parietal yang dipersarafi oleh saraf somatik
peka terhadap rasa nyeri sehingga terjadilah gejala peritonitis lokal kanan bawah.3
Stadium ini disebut Appendisitis Akut Supuratif.
Dengan kenaikan tekanan intra lumen yang terus berlanjut, oklusi pada
pembuluh darah dinding appendiks mulai terjadi. Hal ini menyebabkan terjadinya
iskemia mukosa dan gangren pada dinding appendiks. Stadium ini disebut
Appendisitis Gangrenosa. Pada stadium ini, telah terjadi mikroperforasi. Obstruksi
dan iskemia yang terus terjadi akan menyebabkan terjadinya perforasi. Perforasi
ditandai dengan kenaikan suhu tubuh yang meningkat dan menetap tinggi.3 Stadium
ini disebut Appendisitis Perforasi.
Waktu dari awal terjadinya obstruksi hingga pada tahap perforasi
bervariasi dengan kisaran jam hingga beberapa hari. Presentasi yang terjadi setelah
terjadinya perforasi juga bervariasi. Sekuel yang paling umum terjadi adalah
pembentukkan abses di daerah periappendikular atau pelvis.3 Stadium ini disebut
Appendisitis Abses.
Abses di daerah periappendikular ini dapat terbentuk karena sejak
terjadinya mikroperforasi lumen appendiks yakni pada appendisitis gangrenosa,
keadaan ini akan diikuti oleh pembentukkan infiltrat yang merupakan reaksi
pertahanan lokal tubuh untuk membatasi penyebaran proses infeksi dengan cara
membungkus mikroperforasi tersebut dengan omentum, usus halus, dan/atau
19
peritoneum. Jika proses radang appendiks dapat dibatasi, akan terbentuk suatu
massa periappendikular yang disebut dengan infiltrat periappendikularis. Proses ini
terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya perforasi. Stadium ini disebut
Appendisitis Infiltrat.12
Namun, di dalam massa periappendikular tetap dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Usaha tubuh untuk
membatasi proses infeksi dengan pembentukkan massa appendikular dapat berjalan
sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau
kondisi penderita yang kurang baik. Pada proses yang sempurna, yakni pada
stadium Appendisitis Infiltrat, jika tidak terbentuk abses, appendisitis akan sembuh
dan massa periappendikular akan mengurai dengan sendirinya. Sedangkan bila
pertahanan tubuh gagal, terjadi perforasi, terbentuk abses periappendikular, dan
terjadi peritonitis difus atau peritonitis generalisata.10
Appendiks yang pernah mengalami inflamasi tidak akan sembuh
sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang
di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan sebagai eksaserbasi akut.12
3.6. Klasifikasi
Terdapat 2 tipe appendisitis, yakni appendisitis akut dan appendisitis
kronik. Appendisitis akut diklasifikasikan berdasarkan tahapan patogenesisnya,
yang berdasarkan struktur makroskopik dan mikroskopik dapat dilihat dalam Tabel
3.2.
a. Appendisitis akut
Appendisitis Akut Sederhana
Pada appendisitis akut sederhana, proses peradangan baru terjadi di
tunika mukosa dan submukosa yag disebabkan oleh obstruksi lumen
appendiks. Sekresi mukus tetap berlangsung dalam lumen appendiks sehingga
terjadi peningkatan tekanan intra lumen yang mengganggu aliran pembuluh
darah dan aliran limfatik. Mukosa appendiks mengalami oedema dan
20
kemerahan atau hiperemis. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada appendisitis akut
sederhana, terjadi leukositosis dan appendiks dapat terlihat normal, hiperemis,
oedema, dan tidak ada eksudat serosa.1,3,12
Appendisitis Gangrenosa
Peningkatan tekanan intra lumen yang terus terjadi akan mulai
menggangu aliran darah arteri sehingga terjadi infark dan gangren. Selain
didapatkan tanda-tanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian
tertentu. Pada appendisitis gangrenosa, dinding appendiks berwarna keunguan,
hijau keabuan, atau kehitaman. Pada appendisitis gangrenosa telah terjadi
mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.1,3,12
Appendisitis Perforasi
Keadaan iskemia yang terus terjadi akan menyebabkan appendiks yang
telah mengalami gangren dapat mengalami perforasi. Bila terjadi perforasi,
abses dan mikroorganisme akan masuk ke dalam rongga peritoneum sehingga
terjadi peritonitis difus atau peritonitis generalisata. Pada dinding appendiks
tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.1,3,12
21
Appendisitis Infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah tahap dimana penyebaran proses radang
appendiks dapat dibatasi oleh proses pertahanan lokal tubuh yaitu oleh
omentum, usus halus, dan/atau peritoneum sehingga membentuk gumpalan
massa periappendikular (flegmon) yang disebut infiltrat periappendikular.12
Appendisitis Abses
Appendisitis abses terjadi bila terdapat massa yang berisi pus, biasanya
di periappendikular, yakni di fossa iliaca kanan, lateral dari saekum,
retrosaekal, atau pelvis.12
22
Struktur Maksroskopik Struktur Mikroskopik
Appendiks normal (Gambar 3.7A)
Keadaan normal Tidak ada perubahan yang Tidak tampak ada
terlihat. kelainan.
Appendisitis akut sederhana
Inflamasi intraluminal Tidak ada perubahan yang Tampak neutrofil pada
akut terlihat. lumen tanpa kelainan pada
mukosa.
Inflamasi mukosa atau Tidak ada perubahan yang Tampak neutrofil pada
submukosa akut terlihat. mukosa atau submukosa
dan/atau dengan ulserasi.
Appendisitis akut supuratif (Gambar 3.7B)
Appendisitis akut Tampak kongesti vaskular, Tampak inflamasi
supuratif perubahan warna transmural, ulserasi,
appendiks, peningkatan trombosis, dengan atau
diameter, eksudat, pus. tanpa pus ekstramural.
Appendisitis akut kompleks (Gambar 3.7C)
Appendisitis Tampak perubahan warna Tampak inflamasi
gangrenosa appendiks menjadi transmural dengan
keunguan, hijau keabuan, nekrosis.
atau kehitaman.
Appendisitis perforasi Tampak perforasi Tampak perforasi (tidak
selalu tampak dalam
tampilan mikroskopik)
Appendisitis abses Ditemukan abses pada Tampak inflamasi
pemeriksaan penunjang transmural dengan pus
atau selama proses operasi. dengan atau tanpa
perforasi.
Tabel 3.2 Struktur makroskopik dan mikroskopik appendisitis
Sumber : Bhangu A, Soreide K, Saverio SD, Assarsson JH, Drake FT. Acute appendicitis: modern
understanding of pathogenesis, diagnosis, and management. Lancet. 2015; 386: 1279
23
Gambar 3.6 Tampilan makroskopis appendisitis akut. (A) Appendiks normal. (B)
Appendisitis akut supuratif. (C) Appendisitis akut perforasi
Sumber : Bhangu A, Soreide K, Saverio SD, Assarsson JH, Drake FT. Acute appendicitis: modern
understanding of pathogenesis, diagnosis, and management. Lancet. 2015; 386: 1280
24
Hiperplasia jaringan limfoid submukosa
Peritonitis lokal
Gangren
Appendisitis
Infiltrat periappendikularis Perforasi Perforasi
Appendisitis
Peritonitis difus Abses Abses
25
b. Appendisitis kronik
Appendisitis kronik merupakan tahapan lanjut dari appendisitis akut
supuratif sebagai proses inflamasi yang persisten akibat infeksi
mikroorganisme dengan virulensi rendah dan obstruksi lumen appendiks yang
terjadi merupakan obstruksi parsial. Pada appendisitis kronik, terdapat riwayat
nyeri berulang atau hilang timbul pada perut kanan bawah lebih dari dua
minggu. Secara histologis, dinding appendiks mengalami oedema, sedangkan
lapisan submukosa dan muskularis externa mengalami fibrosis. Selain itu,
terdapat infiltrat sel limfosit dan eosinofil pada submukosa, muskularis externa,
dan serosa. Pembuluh darah pada lapisan serosa tampak mengalami dilatasi.13
26
terjadinya obstruksi pada lumen appendiks karena dapat meningkatkan
risiko feses yang tertahan di dalam lumen appendiks sehingga
meningkatkan risiko terbentuknya fekalit yang menjadi penyebab
obstruksi pada lumen appendiks.14-15
Faktor trauma
Trauma tumpul pada abdomen dapat meningkatkan risiko
appendisitis, baik trauma langsung pada appendiks, maupun trauma tidak
langsung. Trauma langsung pada appendiks dapat menyebabkan trauma
kompresi pada appendiks yang menjadi penyebab obstruksi pada lumen
appendiks, atau jika terjadi trauma tarikan (shearing injury) pada
appendiks dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada appendiks sehingga
menyebabkan oedema, hematoma, atau hiperplasia pada jaringan limfoid
submukosa yang mengobstruksi lumen appendiks. Sedangkan pada trauma
tidak langsung, dapat terjadi obstruksi pada lumen appendiks oleh
hematoma ileosaekal atau oleh impaksi feses yang terdorong ke appendiks.
Gejala yang dirasakan pada appendisitis traumatis sama seperti gejala pada
appendisitis non-traumatis yaitu mual, muntah, demam, dan nyeri perut
kanan bawah. Oleh karena trauma tumpul abdomen dapat menyebabkan
appendisitis, maka appendisitis harus dipertimbangkan sebagai salah satu
diagnosis banding pada pasien yang datang ke rumah sakit karena trauma
tumpul pada abdomen.13,14
27
dihubungkan dengan kebiasaan pola diet dalam keluarga terutama diet
rendah serat.15,16
Faktor usia
Anak-anak dan orang dewasa berusia 8 sampai 20 tahun memiliki
risiko menderita appendisitis yang lebih tinggi. Hal ini berhubungan
dengan ditemukannya hiperplasia limfoid submukosa yang lebih sering
terjadi pada kisaran usia tersebut. Alasan dari hal ini belum diketahui.11
28
Bila appendiks dalam posisi retroperitoneal, gejala rangsangan peritoneal
tidak begitu jelas dan gejala yang dijumpai adalah nyeri pinggang atau nyeri
punggung.
Bila appendiks dalam posisi pelvical di dekat kandung kemih, dapat dijumpai
peningkatan frekuensi berkemih dan nyeri suprapubik yang menyerupai
gejala infeksi saluran kemih.
Bila appendiks terletak di dekat rektum, maka akan timbul gejala dan
rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat dan terjadi
pengosongan rektum yang lebih cepat dan berulang-ulang (diare).3,12
Anoreksia
Anoreksia atau penurunan nafsu makan timbul beberapa jam setelah
timbulnya rasa nyeri. Keadaan ini hampir selalu ditemukan pada setiap pasien
appendisitis.1,3,12
Diare
Beberapa penderita appendisitis juga mengalami diare. Hal ini dapat
timbul umumnya jika letak appendiks pelvical atau dekat rektum sehingga
merangsang daerah rektum.1,3,12
Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi juga ditemui pada pasien appendisitis
dengan suhu umumnya dibawah 38,5oC. Jika ditemukan suhu yang lebih tinggi,
maka diduga telah terjadi appendisitis perforasi.1,3,12
29
Untuk menegakkan diagnosis appendisitis didasarkan pada anamnesis
ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Tabel 3.3
menunjukkan gejala appendisitis yang terjadi mulai dari awal patogenesis
appendisitis1,3,12.
30
Patogenesis Keluhan
Appendisitis akut sederhana Pada awal proses inflamasi yakni inflamasi
intraluminal akut, pasien umumnya mengeluh rasa
tidak nyaman atau nyeri pada daerah ulu hati dan
sekitar pusar. Kemudian setelah terjadi inflamasi
pada mukosa atau submukosa, nyeri berpindah ke
abdomen kanan bawah disertai dengan keluhan
mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan demam
ringan.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien dengan appendisitis tampak sakit sedang. Jika
terdapat peritonitis lokal, pasien umumnya akan berbaring diam, karena sedikit
gerakan saja akan menimbulkan rasa nyeri. Takikardia seringkali dijumpai pada
pasien appendisitis. Demam juga sering kali dijumpai, umumnya berupa demam
ringan dengan suhu kurang dari 38,5oC, atau dapat juga terdapat peningkatan suhu
tubuh yang lebih tinggi bergantung pada proses dan tingkat keparahan penyakit.
Tidak adanya demam tidak menyingkirkan diagnosis appendisitis.3,11
Hasil pemeriksaan abdomen pada pasien appendisitis menunjukkan hasil
sebagai berikut:
31
1. Inspeksi
Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan gambaran spesifik
appendisitis. Kadang pasien tampak sangat kesakitan hingga membatasi
gerak tubuh, memilih untuk berbaring diam, dan berjalan dengan
membungkuk atau memegang perut. Hal ini merupakan gejala iritasi pada
peritoneum. Pada appendisits infiltrat, dapat terlihat penonjolan pada perut
kanan bawah yang merupakan flegmon atau massa periappendikular. 1,12
2. Auskultasi
Bising usus umumnya normal, namun dapat hilang bila terjadi
ileus paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis
perforasi.1,12
3. Palpasi
Pada palpasi di daerah titik Mc Burney, didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal, yaitu:
Nyeri tekan Mc Burney (+)
Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen atau titik Mc Burney
ini merupakan kunci diagnosis appendisitis. Hal ini umumnya sudah
ditemukan sejak terjadinya inflamasi mukosa atau submukosa pada
stadium appendisitis akut sederhana. Namun nyeri akan dirasakan
lebih berat jika telah terjadi peritonitis lokal pada appendisitis akut
supuratif.1,3,12
32
tes nyeri lepas tekan ini memiliki sensitivitas lebih tinggi
dibandingkan tes lain seperti defans muskular dan Rovsing’s sign,
dengan spesifisitas yang tidak jauh berbeda.19
33
Psoas sign
Psoas sign adalah nyeri yang timbul pada kuadran kanan bawah
abdomen akibat ekstensi pada paha kanan. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menimbulkan ransangan pada muskulus psoas (Gambar 3.10).
Terdapat 2 cara pemeriksaan psoas sign:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa.
Pasien diminta untuk memfleksikan articulatio coxae dextra yaitu
dengan mengangkat paha kanan ke atas (Gambar 3.10). Psoas sign
(+) bila terdapat nyeri pada abdomen kanan bawah.
2. Pasif : Pasien miring ke kiri, paha kanan dihiperekstensikan oleh
pemeriksa (Gambar 3.11). Psoas sign (+) bila terasa nyeri pada
abdomen kanan bawah.3,21-22
34
Gambar 3.10 Pemeriksaan psoas sign aktif dengan pasien memfleksikan
paha melawan tahanan dari pemeriksa.
Sumber : Ubaidi BAA. Missed appendicitis in primary care: lessons learned. J Cardiol
Curr Res. 2016; 7(4): 3.
Obturator sign
Obturator sign dilakukan dengan menimbulkan rangsangan pada
muskulus obturator internus (Gambar 3.12). Obturator sign adalah nyeri
yang timbul pada kuadran kanan bawah abdomen ketika dilakukan
gerakan fleksi dan rotasi internal pada articulatio coxae dextra atau paha
kanan (Gambar 3.13).3,21-23
35
Gambar 3.12 Dasar anatomis untuk pemeriksaan obturator sign :
appendiks yang mengalami inflamasi dengan letak pelvikal bersentuhan
dengan muskulus obturator internus yang diregangkan pada manuver ini.
Sumber : Hardin DM. Acute appendicitis: review and update. Am Fam Physician. 1999
Nov; 60(7): 2027-34.
Dunphy’s sign
Dunphy’s sign adalah nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen
ketika pasien diminta batuk oleh pemeriksa.13-14
36
Pemeriksaan Rectal Toucher
Pada pemeriksaan rectal toucher, umumnya hasil pemeriksaan
normal. Namun, dapat dijumpai massa dan nyeri tekan pada jam 9 -12 jika
ujung appendiks terletak pada pelvis atau terdapat abses pada pelvis.3,21-22
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan hematologi
Tingkat keparahan appendisitis sangat berhubungan dengan
proses inflamasi, oleh karena itu pemeriksaan laboratorium merupakan
salah satu pemeriksaan yang penting dalam diagnosis appendisitis. Pada
pemeriksaan hematologi awal, yaitu pada kondisi akut dan belum terjadi
perforasi, terdapat leukositosis ringan (10.000 hingga 18.000/mm3) yang
didominasi >75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), neutrofil (shift-to-
the-left). Sedangkan bila terdapat leukosit lebih dari 18.000/mm3
kemungkinan telah terjadi perforasi appendiks dengan atau tanpa abses.1,22
Pemeriksaan C-reaktif protein (CRP) juga merupakan
pemeriksaan yang mendukung diagnosa appendisitis. Konsentrasi CRP
yang meningkat (lebih dari 0,8 mg/dL) merupakan indikator kuat untuk
appendisitis, khususnya pada appendisitis dengan komplikasi. CRP
merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi bakteri yang dibentuk di
hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi
jaringan. Namun pemeriksaan ini harus dikombinasikan dengan
pemeriksaan leukosit, karena jika dilakukan tanpa kombinasi, pemeriksaan
ini tidak spesifik dan tidak sensitif.1,22
Jumlah leukosit juga dapat rendah yang disebabkan oleh reaksi
sepsis, namun pada keadaan ini proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi.
Oleh karena itu, seluruh variabel inflamasi harus dinilai bersama. Jika
terdapat peningkatan konsentrasi C-reaktif protein disertai peningkatan
leukosit dan neutrofil, maka kemungkinan appendisitis sangat tinggi
37
dengan sensitivitas 97 hingga 100%.1,22 Sedangkan, jika ketiga variabel ini
tidak meningkat, maka kemungkinan appendisitis sangat rendah.1,22
Pemeriksaan urin
Pada pasien appendisitis, pemeriksaan urinalisis mungkin
ditemukan pyuria, proteinuria, dan hematuria ringan, namun tidak
ditemukan bakteriuria yang merupakan tanda infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang memiliki gejala
klinis serupa dengan appendisitis.1,22
Skoring Appendisitis
Penegakkan diagnosis appendisitis bersifat sangat subjektif
dengan menimbang berbagai variabel yang ditemukan pada hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun dengan adanya sistem skoring,
penegakkan diagnosis dapat lebih bersifat objektif.1,22
Skor Alvarado
Skor alvarado adalah sistem skoring appendisitis yang paling
umum digunakan. Sistem skoring ini memiliki sensitivitas yang
baik (khususnya pada pria), namun spesifisitas yang rendah
(Tabel 3.4).1,24
38
Skor Alvarado
Gejala
Mual atau muntah 1
Anoreksia 1
Perpindahan nyeri dari ulu hati atau
1
umbilkus ke abdomen kanan bawah
Tanda
Nyeri pada abdomen kanan bawah 2
Nyeri lepas tekan (rebound tenderness) 1
Demam diatas 37,5oC 1
Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis 2
Hitung jenis leukosit shift-to-the-left 1
Skor total 10
Interpretasi Skor
1 – 4 : Mungkin bukan appendisitis akut, observasi rawat
jalan.
5 – 6 : Mungkin appendisitis akut, dipastikan dengan
pemeriksaan imaging, berikan antibiotik.
7 – 10 : Sangat mungkin appendisitis, operasi dini.
Tabel 3.4 Skor Alvarado
39
Skor AIR
Gejala
Muntah 1
Tanda
Nyeri pada abdomen kanan bawah 1
Nyeri lepas tekan (rebound tenderness) :
Ringan 1
Sedang 2
Berat 3
Demam diatas 38,5oC 1
Pemeriksaan laboratorium
Polimorfonuklear leukosit
70-84% 1
≥85% 2
Kadar leukosit
10,0 – 14,9 x 109 /L 1
≥15,0 x 109 /L 2
Konsentrasi C-reaktif protein
10-49 g/L 1
≥50 g/L 2
Skor total 12
Interpretasi Skor
0 – 4 : Mungkin bukan appendisitis akut, observasi rawat
jalan.
5 – 6 : Mungkin appendisitis akut, observasi rawat inap.
7 – 12 : Sangat mungkin appendisitis, eksplorasi surgikal.
Tabel 3.5 Skor AIR
Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan imaging yang dapat digunakan untuk keperluan
diagnosis appendisitis adalah foto polos abdomen, ultrasonografi (USG),
computed tomography (CT) scan, dan magnetic resonance imaging
(MRI).1,3,12
Foto polos abdomen umumnya dilakukan di instalasi gawat
darurat ketika menjumpai kasus nyeri akut abdomen. Namun untuk
diagnosis appendisitis, foto polos abdomen dinyatakan tidak sensitif dan
tidak spesifik. Pada kurang dari 5% kasus appendisitis, dapat ditemukan
temuan yang mendukung diagnosis appendisitis, yakni tampak fekalit pada
kuadran kanan bawah.1,3,12 Dengan penilaian hati-hati terhadap foto polos
abdomen, dapat dijumpai dinding appendiks yang menebal dan udara
40
dalam lumen appendiks (Gambar 3.15).15 Jika menemukan
pneumoperitoneum, klinisi harus diperingati terhadap kemungkinan
penyebab lain dari perforasi, seperti perforasi ulser atau divertikulitis,
karena hal ini jarang dijumpai pada appendisitis, bahkan pada appendisitis
perforasi.1,3,12
41
atau lebih (Gambar 3.16b).12 Jika dengan kompresi, diameter appendiks
kurang dari 5 mm, maka diagnosis appendisitis dapat ditiadakan. Diagnosis
sonografi pada appendisitis dilaporkan miliki sensitivitas 55% sampai 96%
dan spesifisitas 85% sampai 98%. Kekurangan dari pemeriksaan USG adalah
bergantung pada pengguna atau operator-nya (operator-dependent).1
42
Terlepas dari potensi manfaat CT-scan, kekurangan dari CT-scan
adalah biaya pemeriksaan yang mahal, terdapat paparan radiasi kepada
pasien, dan oleh karena hal ini CT-scan tidak dapat digunakan pada wanita
hamil. Selain itu, adanya alergi terhadap iodin atau kontras pada beberapa
pasien dapat membatasi prosedur CT-scan dengan kontras. Beberapa pasien
juga tidak dapat mentolerir konsumsi zat pewarna luminal.1
Gambar 3.16 CT-scan abdomen dengan appendisitis akut potongan axial : tanda
panah menunjukkan penebalan dinding appendiks (target sign).
Sumber : Richmond B. Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston
Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practic. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1300
43
Gambar 3.17 CT-scan abdomen dengan appendisitis akut potongan koronal
: tanda panah menunjukkan penebalan dinding appendiks, appendiks yang
terelongasi dengan periappendiceal fat stranding, dan cairan bebas
periappendikular.
Sumber : Richmond B. Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston
Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practic. 20th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1300
A B
Gambar 3.18 Hasil MRI perempuan berusia 33 tahun, usia gestasi 13 minggu,
dengan nyeri abdomen kanan bawah sejak 2 hari dan kecurigaan klinis
appendisitis. Potongan koronal (A) dan aksial (B) T2-weighted menunjukkan
pembesaran appendiks (panah putih) yang dikelilingi oleh massa periappendikular
yang hiperintense (kepala panah), dan terdapat pembesaran uterus (panah hitam).
44
Sumber : Cobben LP, Groot I, Haans L, Blickman JG, Puylaert J. MRI for clinically suspected
appedicitis during pregnancy. Am J Roentgenol. 2004 Sep; 183(3): 671-5.
Gambar 3.19 Hasil MRI perempuan berusia 33 tahun, usia gestasi 13 minggu,
dengan nyeri abdomen kanan bawah sejak 2 hari dan kecurigaan klinis
appendisitis. Potongan koronal T2-weighted menunjukkan inflamasi disekitar
appendiks (kepala panah) dengan gambaran daerah dengan intensitas yang tinggi.
Tampak pembesaran uterus (panah hitam). Appendiks tidak tampak pada
gambaran ini.
Sumber : Cobben LP, Groot I, Haans L, Blickman JG, Puylaert J. MRI for clinically suspected
appedicitis during pregnancy. Am J Roentgenol. 2004 Sep; 183(3): 671-5.
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi merupakan gold standard untuk
diagnosis appendisitis, dengan didapatkan gambaran morfologi appendiks
pada appendisitis berupa:12
Appendisitis akut sederhana
- Tampak eksudasi neutrofil di lapisan mukosa, lapisan sub
mukosa, dan lapisan muskularis eksterna. Umumnya, pada
lapisan mukosa.
45
Appendisitis akut supuratif
- Tampak neutrofil yang mengalami eksudasi akan keluar lebih
banyak dari dinding appendiks.
- Banyaknya leukosit polimorfonuklear dan lapisan fibropurulen di
atas serosa.
- Dapat tampak abses di dinding appendiks, ulserasi, dan nekrosis
supuratif fokal di mukosa.
46
kemungkinan mesenterik adenitis akut. Observasi selama beberapa jam
merupakan tatalaksana yang tepat pada diagnosis mesenterik adenitis akut
karena penyakit ini merupakan self-limited disease.1
Intususepsi juga merupakan penyakit yang paling sering didiagnosis
appendisitis pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Tanda khas intususepsi
pada anak-anak adalah adanya BAB berdarah dan perut kembung.1
Divertikulitis kadang juga disalah diagnosis sebagai appendisitis,
namun lebih jarang terjadi jika dibangdingkan dengan appendisitis. Nyeri
divertikulitis hampir sama dengan appendisitis, tetapi lokasi nyeri berbeda,
yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pemeriksaan imaging, ditemukan
massa inflamasi di daerah abdomen tengah.12
Diagnosis banding yang paling sulit dibedakan dengan appendisitis
adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala dan tanda yang sangat
mirip dengan appendisitis, yakni diare, mual, dan muntah. Namun, pada
gastroenteritis akut, mual, muntah, dan diare umumnya mendahului rasa
sakit. Sakit perut juga umumnya lebih ringan. Leukositosis kurang menonjol
pada gastroenteritis akut dibandingkan pada appendisitis.12
Infark omentum juga dapat dijumpai pada pasien pediatrik dengan
gejala serupa appendisitis, namun umumnya teraba massa pada abdomen dan
nyeri tidak berpindah.12
Pasien lansia
Appendisitis pada usia lanjut sangat sukar untuk didiagnosis.
Divertikulitis dan karsinoma dengan perforasi pada saekum atau sigmoid
yang terletak pada kuadran kanan bawah abdomen sangat sulit dibedakan
dengan appendisitis. Oleh karena itu, kedua penyakit ini harus
dipertimbangkan dalam diagnosis appendisitis. CT-scan dapat membantu
diagnosis pada pasien lansia dengan nyeri abdomen kanan bawah dan
presentasi klinis yang tidak khas. Pada pasien yang berhasil diberikan
tatalaksana secara konservatif, pemeriksaan kolonoskopi mungkin
diperlukan.1
47
Pasien wanita dan golongan dewasa .
Penyakit pada organ reproduksi wanita sering disalah diagnosis
sebagai appendisitis. Penyakit yang sering disalah diagnosis tersebut pada
umumnya merupakan PID, ruptur kista ovarium atau kista ovarium terpuntir,
endometriosis, dan kehamilah ektopik terganggu (KET). Oleh karena hal ini,
maka tingkat kesalahan diagnosis lebih tinggi pada pasien perempuan.1
Pada PID, infeksi umumnya terjadi bilateral, namun jika hanya pada
saluran bagian kanan, maka dijumpai gejala yang mirip dengan appendisitis.
Mual dan muntah umumnya selalu ditemui pada pasien appendisitis, namun
hanya 50% pada pasien PID. Nyeri dan nyeri tekan umumnya lebih ringan
dibandingkan appendisitis dan lebih difus. Beberapa pasien mengeluh
terdapat noda purulen pada vagina. Suhu demam umumnya lebih tinggi
dibandingkan suhu demam pada appendisitis. Rasio appendisitis
dibandingkan dengan PID rendah pada fase awal siklus menstruasi dan tinggi
pada fase luteal.1
Adanya kista pada ovarium umumnya asimtomatik. Namun ketika
kista terdapat pada bagian kanan terpuntir atau ruptur, maka manisfestasi
yang muncul akan serupa dengan appendisitis. Pasien akan mengalami nyeri
abdomen kanan bawah, nyeri tekan, nyeri lepas tekan, demam, dan
leukositosis. USG dan CT-scan dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis. Kista ovarium terpuntir membutuhkan penanganan operasi dini,
karena jika berlangsung lama, maka pedikel akan mengalami trombosis, dan
ovarium dan tuba falopi akan menjadi gangren dan harus direseksi. Namun,
detorsi sederhana, fenestrasi kista, dan fiksasi ovarium sebagai intervensi
primer, diikuti dengan laparoskopi beberapa hari kemudian dapat
direkomendasikan.1
KET merupakan salah satu diagnosis banding appendisitis. Pasien
umumnya mengalami menstruasi yang abnormal, seperti hilang satu atau dua
periode, atau darah yang keluar hanya sedikit atau tidak ada sama sekali.
Sayangnya, pasien tidak selalu menyadari bahwa mereka sedang hamil.
48
Diagnosis KET umumnya relatif mudah, yaitu ditemui adanya massa pada
pelvis dan peningkatan kadar Human Chrionic Gonadotropin (hCG). Meski
jumlah leukosit juga meningkat, kadar hematokrit umumnya turun sebagai
akibat dari perdarahan intra abdomen. Pada vaginal toucher, ditemukan nyeri
goyang serviks dan nyeri parametrium. Pemeriksaan yang lebih definitif
dapat dilakukan dengan kuldosintesis. Tatalaksana dari KET adalah operasi
dini.1
Batu ureter yang mengendap dekat pada appendiks juga umumnya
memiliki gejala klinis dengan appendisitis retrosaekal. Namun pada kejadian
ini, nyeri menjalar hingga ke labia, skrotum, penis, dan dapat dijumpai
hematuria.
Pasien imunosupresif
Angka kejadian appendisitis akut pada pasien yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dilaporkan 0,5%. Angka kejadian ini lebih
tinggi dibandingkan angka kejadian 0,1% sampai 0,2% pada populasi umum.
Gejala appendisitis akut pada pasien HIV serupa dengan gejala pada pasien
tanpa HIV, dengan mayoritas mengalami gejala demam, nyeri yang
berpindah dari periumbilikal ke kuadran kanan bawah abdomen, nyeri
kuadran kanan bawah abdomen, dan nyeri lepas tekan. Pasien HIV tidak
menunjukkan adanya leukositosis absolut, namun hampir semua pasien HIV
dengan appendisitis menunjukkan adanya leukositosis relatif.1
Risiko terjadinya ruptur atau perforasi appendiks meningkat pada
pasien HIV. Hal ini dihubungkan dengan keterlambatan presentasi pada
populasi ini. Jumlah CD4 yang rendah dikaitkan dengan peningkatan kejadian
appendisitis perforasi.1
Diagnosis banding dari ditemukannya nyeri pada kuadran kanan
bawah abdomen pada pasien HIV lebih luas dibandingkan pada pasien umum.
Salah satu yang harus ikut dipertimbangkan adalah neutropenic enterocolitis
(typhlitis).1
49
3.10 Komplikasi
Komplikasi appendisitis yang dapat terjadi adalah peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforasi, yang dapat berkembang menjadi ileus paralitik,
hingga syok sepsis.1,10,12
Peritonitis
Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum atau lapisan serosa yang
melapisi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya. Peritonitis dapat
terjadi secara lokal maupun umum, melalui proses infeksi akibat perforasi usus,
seperti ruptur appendiks.17
Ileus Paralitik
Pada peritonitis generalisata, terjadi perlengketan organ-organ intra
abdomen dan lapisan peritoneum visceral dan parietal. Timbulnya perlengketan ini
menyebabkan aktivitas peristaltik berkurang sehingga timbul ileus paralitik. Akibat
ileus paralitik ini, absorpsi cairan dalam usus dan rongga peritoneum akan
terganggu sehingga mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan
oliguria. Akibat absropsi yang terganggu ini, terdapat cairan pada rongga
peritoneum dan dalam lumen usus. Dalam keadaan ini, ditemukan manifestasi
klinis yakni distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus, disertai dengan gejala sistemik seperti demam, takikardi, takipnea,
dehidrasi, oliguria, disorientasi, dan pasien tidak dapat buang air besar atau buang
angin.19
Syok Sepsis
Pada keadaan lanjut, bakteri akan masuk ke dalam pembuluh darah
(bakteremia) yang pada akhirnya dapat berlanjut menjadi syok sepsis dan multiple
organ dysfunction syndrome (MODS). 19
50
3.11 Tatalaksana
Appendisitis Akut Tanpa Komplikasi
Pada pasien dengan appendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana operatif
appendiktomi merupakan gold standard atau standar terapi yang paling tepat.
Namun, konsep tatalaksana non operatif untuk appendisitis telah dikembangkan
melalui 2 jalur observasi. Pertama, pada pasien di lingkungan yang tidak tersedia
fasilitas operasi, pengobatan dengan antibiotik saja dilaporkan efektif. Kedua, pada
pasien dengan gejala dan tanda yang mengacu pada appendisitis yang tidak
menjalani terapi medis terkadang memiliki resolusi spontan terhadap penyakit
mereka.1
Pada appendisitis tanpa komplikasi, antibiotik tunggal umumnya cukup.
Pilihan antibiotik yang dapat digunakan umumnya ditujukan pada bakteri gram
negatif dan anaerob seperti Penicillin, Aminoglikosida, Metronidazole,
Cephalosporin generasi kedua atau ketiga, dan Clindamycin. Cakupan broad
spectrum dapat diperoleh dengan Piperacillin-Tazobactam, Ampicillin-Sulbactam,
Ticarcillin-Clavulanate, atau Imipenem-Cilastatin. Tabel 3.6 menunjukkan dosis
pemberian antibiotik untuk appendisitis.18
51
Tabel 3.6 Terapi Antibiotik untuk Manajemen Appendisitis
52
Efek samping dari penicillin yang paling umum adalah reaksi
hipersensitivitas sehingga dapat terjadi anafilaksis, angioedema, dan urtikaria serta
bercak maculopapular. Pemberian penicillin dosis tinggi secara intravena sering
dikaitkan dengan terjadinya anemia hemolitik dan neutropenia.20
Aminoglikosida digunakan untuk melawan bakteri gram negatif. Efek
samping dari aminoglikosida adalah ototoksik yang dapat mengenai kedua koklea
dan sistem vestibular, sehingga dapat terjadi penurunan fungsi pendengaran dan
pusing. Efek samping lainnya ialah nefrotoksik, gagal ginjal akut, depresi sistem
respirasi, dan paralisis muskular.20
Metronidazole dapat melawan bakteri gram negatif dan anaerob. Efek
samping dari metronidazole ialah mual, rasa tidak enak pada mulut, muntah, dan
diare. Selain itu mungkin juga didapati lemas, pusing, ataksia, sakit kepala,
insomnia, perubahan mood atau status mental. Beberapa pasien dilaporkan
mengalami neuropati perifer dan kesemutan pada ekstremitas.20
Clidamycin efektif dalam melawan bakteri gram positif aerob dan anaerob,
kecuali enterococci. Clindamycin dapat memberikan efek samping berupa diare,
kolitis, mual, muntah, nyeri abdomen, kram, dan rasa tidak enak atau rasa metalik
pada mulut jika diberikan secara intravena dosis tinggi. Beberapa pasien dilaporkan
memiliki reaksi hipersensitivitas, leukopenia, agranulositosis.20
Cephalosporin yakni cefoxitin yang merupakan cephalosporin generasi
kedua bekerja dengan melawan bakteri gram positif, gram negatif (non-
pseudomonas), dan anaerob. Cefotetan juga merupakan cephalosporin generasi
kedua yang efektif melaan bakteri gram positif dan gram negatif cocci. Efek
samping cephalosporin mirip dengan efek samping penicillin.20
Tingkat keberhasilan pembetian antibiotik ini tidak terlalu tinggi, sehingga
tatalaksana operatif appendiktomi merupakan gold standard atau standar terapi
yang paling tepat pada appendisitis akut tanpa komplikasi. Pada persiapan
appendiktomi, pasien harus menjalan resusitasi cairan dan pemberian antibiotik
broad-spectrum melalui intravena yang melawan bakteri gram negatif dan anaerob.
Operasi harus dilakukan sedini mungkin.1
53
Appendisitis Akut dengan Komplikasi
Appendisitis dengan komplikasi mengacu pada appendisitis perforasi yang
umumnya disertai dengan abses atau flegmon. Pasien dengan tanda-tanda sepsis
dan peritonitis generalisata harus segera menjalani tindakan operasi sesegera
mungkin dengan resusitasi dilakukan secara bersamaan. Tindakan operasi yang
dipilih bergantung pada tingkat kemampuan dokter bedah, namun appendiktomi
terbuka melalui insisi linea mediana mungkin diperlukan untuk menangani
komplikasi.1
Tatalaksana Operatif
Puasa dan Pemberian Antibiotik Preoperatif (Persiapan Preoperatif)
Sebelum operasi, pasien akan dipuasakan 6-8 jam.
Pemberian antibiotik preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post operatif. Antibiotik yang diberikan ialah antibiotik spektrum luas
(broad-spectrum) yang dapat melawan bakteri gram negatif dan anaerob. Antibiotik
preoperatif atau antibiotik profilaksis ini diberikan oleh ahli bedah dan harus
diberikan 30 menit sebelum operasi dimulai. Antibiotik yang umumnya digunakan
adalah antibiotik kombinasi seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime
dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat,
seperti Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus
viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.1,3
Teknik Operasi
Appendiktomi terbuka (Open Appendectomy)
Indikasi appendiktomi terbuka:1,3,12
1. Appendisitis akut
2. Appendisitis kronik
3. Appendisitis perforasi
4. Infiltrat periappendikular dalam stadium sedang.
5. Appendiks terbawa pada laparotomi operasi vesica urinaria.
Kontraindikasi:1,3,12
1. Penyulit radang pelvis dan endometriosis.
54
2. Abses periappendikular atau flegmon akibat perforasi appendiks.
Beberapa klinisi memilih untuk memberikan antibiotik broad-
spectrum terlebih dahulu dan dilakukan drainase perkutan. Barulah
diikuti dengan appendiktomi.
55
Gambar 3.22 (A) Kiri, lokasi insisi yang dapat dilakukan pada appendiktomi
terbuka. Kanan, Mesoappendiks dibebaskan. (B) Ligasi pada basis appendiks dan
pemotongan appendiks. (C) Jahitan tabac sac / purse-string / Z-suture
disimpulkan. (D) Sisa appendiks dikuburkan dalam simpul.
Sumber : Richmond B. Chapter 50. The appendix. In: Towsend CM, Beauchamp RD, Evers BM,
Mattox KL. Sabiston Textbook of Surgery : The Biological Basis of Modern Surgical Practic. 20th
ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1301.
56
Perawatan Pasca Operasi Appendiktomi Terbuka
Pada hari operasi, pasien diberikan infus menurut kebutuhan
sehari-hari umumnya 2-3 L cairan Ringer Laktat atau Dekstrosa. Pada
appendisitis non perforasi, antibiotik umumnya hanya diberikan 1 x 24
jam. Sedangkan pada appendisitis perforasi, antibiotik diberikan hingga
gejala klinis infeksi telah berkurang dan hasil pemeriksaan laboratorium
normal umumnya setelah 4 sampai 7 hari.1,3,12
Setelah pasien sadar pasca operasi, pasien harus mulai melakukan
mobilisasi dengan menggerakan kaki miring ke kiri dan ke kanan
bergantian dan duduk. Jika sudah dapat berjalan, pasien diperbolehkan
berjalan pada hari pertama pasca operasi. Diet pasca operasi dimulai
apabila sudah terdapat aktivitas usus, yaitu adanya flatus dan bising usus.
Pada diet awal, diberikan minum sedikit-sedikit tiap jam. Bilamana setelah
pemberian minuman pasien tidak mengeluh kembung, maka pemberian
makanan peroral dapat mulai dilakukan. Beberapa pasien diberikan obat
pereda nyeri untuk mengurangi nyeri bekas insisi. Jahitan dicabut pada
hari kelima sampai hari ketujuh pasca operasi.1,3,12,19
Setelah pasien diperbolehkan pulang, pasien harus merawat luka
bekas insisi di rumah. Luka operasi harus kering dan tertutup. Jika terdapat
darah atau pus pada bekas insisi, atau jika jahitan terlepas, pasien harus
segera memberitahukannya kepada dokter. Selain itu, jika timbul demam
dan peningkatan rasa nyeri pada bekas insisi, maka pasien juga harus
memberitahukannya kepada dokter.20
57
adalah mengurangi rasa nyeri pasca operasi, waktu pemulihan yang lebih
singkat, dan bekas luka yang lebih kecil. Namun, kekurangan dari prosedur
ini adalah meningkatkan risiko abses intra abdominal jika dibandingkan
dengan appendiktomi terbuka, durasi operasi lebih lama, dan biaya operasi
lebih mahal.1,3
58
Indikasi:28
1. Appendisitis akut.
2. Appendisitis kronik.
Kontraindikasi absolut:21
1. Menderita hipertensi portal dan koagulopati (hemodynamic
instability).
2. Kurangnya pengalaman dalam melakukan teknik laparoskopik
appendiktomi.
Kontraindikasi relatif:21
1. Distensi abdomen yang berat yang dapat menghalangi pandangan
operasi.
2. Peritonitis generalisata.
3. Penyakit paru berat.
4. Obesitas berat.
5. Pasien hamil.
59
3.12. Komplikasi Operasi
Komplikasi operasi appendiktomi yang dapat terjadi ialah perdarahan,
perlengketan organ dalam (adhesi), ileus paralitik, infeksi pada bekas operasi
(surgical-site infection), cedera pada organ abdomen sekitar, dan abses intra
abdomen.1,20
Adhesi
Pasca operasi, dapat terbentuk jaringan parut yang menyebabkan
adhesi. Tatalaksana pada adhesi ialah dilakukannya adhesiolisis. Agar
adhesi tidak berulang, perlu diupayakan pemulihan saluran cerna sedini
mungkin dan mobilisasi sedini mungkin. Bila fungsi saluran pencernaan
telah pulih, retensi NGT minimal (< 200 cc/24 jam) bisa diberikan diet cair
yang secara bertahap dirubah menjadi diet lunak atau padat sesuai kondisi
klinis pasien.1,21
Ileus Paralitik
Ileus paralitik dapat ditemukan pada pasca operasi appendiktomi.
Dalam keadaan normal, usus bergerak secara konstan, mencerna makanan
dan melakukan penyerapan nutrisi. Sedikit gangguan pada usus, bahkan
ketika dokter bedah hanya menyentuh sedikit bagian dari usus, maka dapat
menyebabkan gerakan usus terhenti. Cairan dan gas dalam usus yang
tertinggal dapat menyebabkan usus mengalami distensi. Penanganan dari
keadaan ini ialah dimasukkan selang nasogastric (NGT) melalui lubang
hidung hingga ke lambung pasien untuk mengurangi distensi.21
Ketika fungsi usus telah kembali normal, ditandai dengan adanya
flatus atau bising usus, NGT dapat dilepas. Sampai dilakukannya
pelepasan NGT ini, makanan dan minuman dilarang untuk diberikan
kepada pasien melalui mulut dan hidrasi dipertahankan secara intravena.
60
Ileus paralitik umumnya terjadi pada appendiks yang telah mengalami
perforasi.27-28
3.13. Prognosis
Angka mortalitas appendisitis akut adalah 0.1% jika appendiks tidak
mengalami perforasi dan 15% jika appendiks mengalami perforasi. Kematian
biasanya berasal dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi. Prognosis membaik dengan
diagnosis dini sebelum ruptur dan antibiotik yang lebih baik.1,12
Morbiditas meningkat dengan ruptur dan usia tua. Komplikasi dini adalah
sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan
predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi
peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu
bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus
dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut
meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.1
61
Dengan diagnosis yang akurat serta dilakukannya pembedahan, tingkat
mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang
dapat terjadi bila appendiks tidak segera diangkat.12
62
DAFTAR PUSTAKA
1
Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM, Berger DH. Chapter 30. The appendix. In:
Brunikardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB,
et al., editors. Schwartz’s Principles of Surgery. 10th ed. United States:
McGraw-Hill Education; 2015. p.1241-62.
2
Kooji A, Sahami S, Meijer SL, Buskens CJ, Velde AA. The immunology of the
vermiform appendix: a review of the literature. Clin Exp Immunol. 2016 Oct;
186(1):1-9.
3
Richmond B. Chapter 50. The appendix. In: Towsend CM, Beauchamp RD,
Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook of Surgery : The Biological Basis of
Modern Surgical Practic. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1296-1311.
4
DrakeRL, Vogl AW, Mitchell AWM. Gray’s basic anatomy. 1st ed. Singapore:
Elsevier (Singapore) Pte Ltd; 2014. p. 160-2.
5
Snell RS. Clinical anatomy by regions. 9th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2012. p. 182.
6
Zahid A. The vermiform appendix: not a useless organ. J Coll Physicians Surg
Pak. 2004 Apr; 14(4): 256-8.
7
Emre A, Akbulut S, Bozdag Z, Yilmaz M, Kanlioz M, Emre R, et al. Routine
histopathologic examination of appendectomy specimens: retrospective analysis
of 1255 patients. Int Surg. 2013 Oct-Dec; 98(4): 354-62.
8
Akbulut S, Tas M, Sogutcu N, Arikanoglu Z, Basbug M, Ulku A, et al. Unusual
histopathologic findings in appendectomy specimens: a retrospective analysis
and literature review. World J Gastroenterol. 2011 Apr 21; 17(15): 1961-70.
9
Kommuru H, Rao R, Anuradha S, Jothi S. Maximum incidence of appendicitis
during pubertal and peri pubertal age group observed by histological study of
appendix. AJMMS. 2013; 3(5): 108-11.
63
10
Dudley HAF. Acute appendicitis. In: Dudley HAF, editor. Hamilton Bailey's
Emergency Surgery. 11th ed. Bristol: John Wright & Sons, 1986. p. 336-45.
11
Wray CJ, Kao LS, Millas SG, Tsao Kuojen, Ko Tien Ce: Acute appendicitis:
controversies in diagnosis and management. Curr Probl Surg. 2014; 50: 54-86.
12
Petroianu A. Diagnosis of acute appendicitis. Int J Surg. 2012; 10(3): 115-9.
13
Hardin DM. Acute appendicitis: review and update. Am Fam Physician. 1999
Nov; 60(7): 2027-34.
14
Verghese BG, Kashinath SK, Ravikanth R. Retroperitoneal appendicitis: a
surgical dilemma. EJOHG. 2013; 3(1): 83-4.
15
Ekere C, Lillie A, Mehta C, Clarke A. A plain abdominal radograph diagnosis
of appendicitis. Int J Surg Case Rep. 2013; 4(12): 1091–2.
16
Cobben LP, Groot I, Haans L, Blickman JG, Puylaert J. MRI for clinically
suspected appedicitis during pregnancy. Am J Roentgenol. 2004 Sep; 183(3):
671-5.
17
Jacobs DO. Chapter 356. Acute appendicitis and peritonitis. In: Kasper DL,
Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles
of Internal Medicine. 19th ed. United States: McGraw-Hill Education; 2015. p.
1985-9.
18
Panesar K. Antibiotic therapy for appendicitis in children. US Pharm. 2013;
38(12): HS14-HS20.
19
Swierzewski SJ. Postoperative care after appendectomy [Internet]. 2015 [citied
2018 Feb 25]. Available from: URL:
http://www.healthcommunities.com/appendicitis/postoperative-care-
appendecto my.shtml
20
Park HC, Kim MJ, Lee BH. The outcome of antibiotic therapy for uncomplicated
appendicitis with diameters ≤10 mm. Int J Surg. 2014 Sep; 12(9): 897-900.
21
Clark JJ, Johnson SM. Laparoscopic drainage of intraabdominal abscess after
appendectomy: an alternative to laparotomy in cases not amenable to
percutaneous drainage. J Pediatr Surg. 2011 Jul;46(7):1385-9.
64