Anda di halaman 1dari 6

Perjalanan Terindah

Di keheningan, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul


sang pemimpi. Mataku sedikit terbuka. Jam menunjukkan pukul 04.30. Aku tetap terbaring.
Kuhayati setiap lirik musik yang kudengarkan, penuh dengan makna. Musik reff terdengar,
semangatku semakin berkumpul. Ku terbangun dan langsung membuka gorden jendela
kamarku. Angin pagi berhembus menyegarkan, walaupun memang masih gelap. Ucapan do’a
tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari alam yang sempurna. Aku siap melewati
hari ini.

Aku berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu menyiapkan sarapan pagi. Ku tersenyum
pada ibu, ku teruskan langkahku untuk mandi, menyegarkan badan dan wajah kusutku seusai
bangun tidur. Selesai mandi, aku pergi ke kamar kak Rani dan memanggilnya untuk sarapan.
Bertiga saja kami duduk di depan meja makan, aku , ibu dan kak Rani.

“Sudah siap semua barangnya, Cha ?” tanya ibuku.

“Tentu saja sudah bu, tinggal berangkat saja”, jawabku sambil bercanda.

“Hati-hati ya kalau sudah disana, terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa” ucap ibu
khawatir.

“Tenang saja bu, insyaAllah Echa bisa jaga diri kok, kan ada kak Rani yang menemani”,
ujarku.

Baguslah kalau begitu, nanti ayah langsung mengantarmu ke terminal. Aku hanya terdiam
dan mengangguk.Terdengar suara adzan subuh, aku langsung mengambil air wudhu untuk
melaksanakan sholat shubuh dan langsung melanjutkan dengan membaca al-qur’an. Setelah
sholat shubuh dan membaca al-qur’an, kulanjutkan membereskan apa saja yang harus ku
bawa. Aku mungkin terlalu keasyikan, aku malah terdiam dan termenung. “Liburan ke rumah
nenek semoga bisa mengisi hari-hari ku dengan indah”, bisikku dalam hati.

“Cha !” ucap ayahku dengan keras.

“Iya yah ?” jawabku kaget.

“Ayo, sudah pukul tujuh. Nanti terlambat masuk bus” ucap ayahku cemas.

“Ohh, baiklah ayah.”


Ibu tak ikut mengantarkan ku, karna ibu harus menjaga rumah. “Hati-hati ya Cha, Rani. Banyak
berdo’a. Tetap semangat, jangan lupa ibadah nya” nasehat dari ibuku. “Baik bu. Do’akan saja semoga
Echa dan Kak Rani selamat sampai ke kampung” ucapku dengan sedih. “Iya Cha, pastilah ibu
mendo’akan kamu berdua” ucap ibuku. Aku pun bersalaman dengan ibu. Aku mengerti, memang
seperti itulah perasaan seorang ibu yang tidak bisa jauh dari anaknya. Segera ku bergegas menaiki
motor. “Kalau begitu, kami berangkat dulu ya bu, Assalamu’alaikum” ucap kami bersamaan.
“Wa’alaikumussalam” jawab ibuku.

Sesampainya di terminal, ternyata bus beberapa menit lagi akan berangkat. Aku dan kak Rani
berlari dengan kencangnya, membawa barang-barang yang cukup berat.

“Hati-hati ya Cha, Rani. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau ibu. Kabari ayah kalau sudah
sampai” ucap ayahku dengan lembutnya.

“Baik yah, do’a kan Echa dan kak Rani ya yah. Assalamu’alaikum” ucapku.

“Wa’alaikumussalam” ayah tersenyum.

Tepat pada saat itu, aku pun masuk ke dalam bus. Ku cari tempat duduk yang masih kosong dan
akhirnya dapat tempat duduk di pinggir dekat jendela. Kulihat ayahku masih berdiri, menunggu
keberangkatan bus hingga jauh nya. Aku masih tetap tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Aku
dan kak Rani berdo’a semoga selamat sampai ke tujuan.

Perjalanan di dalam bus memang sangat membuatku nyaman. Apalagi dengan duduk tepat dipinggir
jendela. Di pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk
menyegarkan penglihatan ini. Asri, indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaan-Nya. Angin
berhembus, menerpa jilbab biru mudaku, hingga akhirnya tersenyum refleks, tanpa sadar. Langit biru
bersama para awan semakin memperindah suasana ini.

Bebarapa menit berjalan, bus pun berhenti. Ada dua orang pemuda yang naik ke dalam bus. Mereka
duduk di kursi paling belakang. Kak Rani pun menoleh ke belakang. Dan ternyata, salah satu dari
pemuda tersebut adalah teman nya kak Rani, namanya bang Rehan. Bang Rehan bersama adik nya
yang berbaju merah. Di dalam bus aku mendengarkan lagu-lagu melalui headset, dan kak Rani
membaca novel kesukaan nya. Setelah lama berjalan, bus pun berhenti di sebuah rumah makan kecil.
Aku dan kak Rani berniat untuk turun, karena ingin mencuci muka dan sekaligus membeli makanan
ringan untuk dimakan selama perjalanan. Sambil menyandang tas kecil, lelaki berbaju merah tadi
lewat dibelakangku.

“Permisi, saya mau lewat, saya sudah ditunggu abang saya diluar.” ujarnya.
“Ohh ya, silahkan” jawabku. Aku cukup malu sebenarnya, dia begitu lembut padaku. Dia pun lewat
disampingku.

“Makasih ya” ucap lelaki itu sambil tersenyum.

Aku tersenyum kecil. Aku pun melangkah turun dengan kak Rani. Setelah dari kamar mandi, aku
dan kak Rani membeli makanan dan minuman. Kami berjumpa lagi dengan dua orang pemuda itu.
Mereka juga membeli makanan yang sama dengan yang kami beli. Lelaki berkaos merah itu selalu
menatapku. Dan itu sangat membuatku malu. Aku pun bertanya padanya, “Mengapa kamu
menatapku?”. “Ohh, tidak ada apa-apa” jawab nya sambil tersenyum. Selesai berbelanja, kami
bersama-sama untuk naik ke bus lagi. Ketika itu, kak Rani dan bang Rehan jalan berdua sambil cerita-
cerital. Dan aku berjalan sendirian di belakang pemuda berkaos merah itu. Jarak ku dengan pemuda
itu cukup jauh, dan dia pun berhenti seperti menunggu ku. “Ayo, cepat jalan nya, sebentar lagi bus
akan berangkat” ujar pemuda itu. “ Iya !” jawabku sambil berlari. Dia selalu menatapku dengan
senyuman, akan tetapi aku seakan-akan tidak melihat wajah nya, karena aku malu sekali apabila
ditatap seperti itu. Kami pun masuk ke dalam bus dan duduk ditempat duduk kami masing-masing.

Aku masih tetap asyik melihat pemandangan sambil duduk di kursi dekat jendela. Aku merenung
dan terkadang tersenyum sendiri. Kulihat kembali lelaki berkaos merah itu, duduk di dekat pintu
belakang sambil memegang kamera SLR nya. Dia memotret segala yang ada disekitarnya, dan dia
seperti memoteret ke arahku. Rasa suudzhan mulai muncul di dalam hatiku, sepertinya dia hendak
mengambil fotoku. Bagaimana bisa aku membiarkan seseorang yang tak ku kenal mengambil foto
wajahku. Aku pun langsung beranjak dari tempat ku dan menghampirinya. “Kamu mengambil fotoku
ya ? Buat apa ? Aku nggak kenal sama kamu !” ucapku dengan nada yang cukup tinggi.

Dia hanya terdiam. Aku pun merebut kamera nya. Kulihat foto-foto yang dia ambil. Ternyata bukan
foto ku. Ada beberapa foto yang kulihat dan itu adalah foto-foto pemandangan disepanjang jalan yang
telah dilewati. Seketika itu dia merebut kembali kamera nya dengan wajah yang sinis. Aku sangat tak
berkutik waktu itu. Dia sepertinya kesal padaku. Aku hanya terdiam, aku merasa sangat bersalah.
“Maaf” ucapku. Tanpa melihat wajah nya, aku langsung berlari ke tempat duduk ku. Aku malu,
mengapa aku harus suudzhan kepadanya. Semakin ku mengingatnya, semakin ku merasa bersalah
padanya.

Perjalanan masih jauh, aku belum shalat Dzuhur. Biarlah,mungkin nanti bisa di qashar. Bus berhenti
di sebuah terminal, menunggu penumpang yang akan segera masuk. Sesekali pengamen dan juga para
pedagang masuk. Seorang anak kecil datang menghampiri penumpang dan memberikan amplop yang
bertuliskan sesuatu. Bapak/Ibu, mohon kasihani kami. Kami belum makan, kami lapar. Mohon minta
keikhlasannya. Semoga amalan bapak/ibu diterima disisi Allah, Aamiin. Itulah kata-kata yang tertulis
di amplop itu. Hati kecilku merenung, betapa keras nya kehidupan mereka. Kulihat dompet ku, tak
begitu banyak uang disana. Kusisihkan sedikit saja, mungkin dapat membantu mereka. Mereka tidak
mungkin berbohong, kalaulah memang mereka berbohong, aku yakin bahwa mereka membutuhkan
uang dari orang lain. Sungguh hatiku tersentuh melihat anak kecil itu.

Sesekali aku melihat ke belakang bus, duduk laki-laki berkaos merah tadi. Teringat kembali rasa
bersalah ku padanya. Aku hanya diam dan dia tidak menoleh sedikitpun, dia sepertinya marah padaku.
Aku pun memaklumi nya bila dia bersikap seperti itu padaku. Tiba-tiba handphone ku bergetar, ku
kira ada telepon dari ayah atau ibuku. Ternyata hanya sms dari operator seluler. Aku terdiam kembali,
aku lupa mengisi pulsaku. Jadi aku hanya bisa menunggu telepon dari orang tua. Aku kembali
merenung dan melamun. Itulah kebiasaanku di waktu senggang, memikirkan berbagai hal. Sambil
melamun, aku pun tertidur diatas pundak nya kak Rani.

Setelah lama berjalan, bus pun berhenti di sebuah rumah makan yaitu rumah makan Terang Bulan.
Aku sudah sangat lapar. Menunggu kak Rani membawa barang-barang nya seperti kamera,
handphone,dompet dan lain sebagainya. Aku berjalan terlebih dahulu keluar. Karna terburu-buru
ingin keluar, kaki ku tersandung dengan besi dekat pintu depan bus itu. Beberapa kertas jatuh dari
tasku. “Astaghfirullahal’azim” ucapku terkejut. Lelaki berkaos merah itu menghampiri ku dan
membawa salah satu kertas yang terjatuh tadi. Dia berlari keluar dari pintu bus itu. Aku refleks
mengejar nya keluar. Kak Rani pun terkejut dan memanggilku, tapi aku tak menghiraukan nya. Lelaki
itu hanya tersenyum. Aku kelelahan, sambil berlari aku berteriak “Heeey, kamu ! kembalikan kertas
ku. Mau kamu apakan kertasku. Heeeeyy!!”. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum kembali. “Aku
capek ! Tolong jangan ambil kertas itu. Aku masih memerlukan nya. Heeeey!!!” teriakku lebih
kencang lagi.

Di suatu tempat dia berhenti. Aku menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah. ”Kenapa
berhenti ? Puas kamu ngerjain aku ?” teriakku dengan cukup keras. “Santai aja. Nih kertas nya.”
Ucapnya sambil tersenyum. “ Lohh, maksud kamu apa ? Bawa kertas saya, terus dikembalikan lagi.
Gak ada kerjaan ya emangnya……” ucapku berhenti. Aku pun duduk dengan nafas yang terengah-
engah. Aku memperhatikan disekeliling ku, seketika aku berkata “SubhanAllah”. Dia pun tersenyum.
Tanpa aku sadari, aku berada di suatu tempat yang nyaman dengan pemandangan yang sangat indah.
Tempat itu tidak jauh dari rumah makan Terang Bulan. Keadaan nya yang sangat sejuk dan asri
membuatku terkesima tanpa batas.

Aku tersenyum, terdiam, dan melihat kearah langit biru. Sungguh inilah salah satu keindahan atas
segala kekuasaan yang lain. Fathamorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang
berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa
akan segalanya untuk beberapa saat. Setelah itu aku teringat kembali akan suatu hal.

“Mengapa kamu membawa ku kemari ?”tanyaku pada lelaki berkaos merah itu.
“Sudahlah, tak usah banyak Tanya. Nikmati saja keindahan alam yang telah diciptakan oleh Sang
Pencipta ini” ucapnya sambil tersenyum.

Laki-laki itu terlihat baik dan lemah lembut tutur kata nya. Dia juga lelaki yang sholeh. Itu
menurutku. Kami pun berjalan menuju rumah makan Terang Bulan. “Tunggu, saya belum sholat.
Bisakah kita shalat dahulu ?” ucapku. “Astaghfirullahal’azim, saya pun lupa. Baiklah kita sholat
terlebih dahulu . Di sekitar sini ada mushalla” ucapnya dengan raut wajah yang menyejukkan hati.
Kami berjalan, melangkah di jalan yang penuh dengan pohon. Daun berguguran diterpa angin yang
betiup. Beberapa menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mushalla . Para jamaah nya pun
banyak, ada yang sedang membaca Al-Qur’an, sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi.
Kami sholat berjamaah disana.

Sesudah sholat kami berjalan kembali. Sesekali kami membeli dagangan disekitarnya seperti es
krim, roti bakar dan yang lain nya. Tempat singgah terakhir kami yaitu dibawah pohon yang sangat
rindang. “Mengapa kamu mengajakku kemari?” tanyaku padanya. “ Taka apa, aku hanya ingin
mengenalmu lebih dekat,” jawab nya. “Mengapa kamu berkata seperti itu ?” Aku tidak mengenalmu,
kamu tidak mengenaliku bukan ?” tanyaku kembali. “Tentu saja tidak, tapi saat pertama kali aku
melihat wajah mu di dalam bus dan ketika bang Rehan dan kak Rani bercerita, aku mendengar
pembicaraan mereka dan salah satu nya mereka membicarakan tentang mu. Aku merasakan sesuatu
hal yang tidak pernah kurasakan sebelum nya” jelasnya. “Memang perasaan apa ?” ujarku bingung.
“Ternyata kamu tu bawel ya, tapi asyik juga” ucapnya sambil tersenyum. “ Maaf ya atas perlakuan ku
tadi,” ucapku menyesal. “Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan dan tidak perlu juga minta maaf. Aku
malah tersenyum mengingatnya” ujarnya. “Yahh….Gak usah gombal lah”.

Eh ya, aku lupa. Aku sedang dalam perjalanan ke rumah nenek ku di Payakumbuh. Ya Allah, pasti
kak Rani sudah risau mencariku. Dan bisa juga kak Rani sudah pergi meninggalkan ku.
“Astaghfirullahal’azim” ucapku dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu sih, mengajakku terlalu
lama” ujarku sedikit kesal padanya. Aku pun berlari meninggalkan lelaki itu. “Tak usah terburu-buru,
kamu masih punya waktu sekitar 15 menit lagi” ujarnya seakan menghiburku.

Lima belas menit lagi ? Bagaimana bisa ? Bus pasti sudah berangkat dari tadi !” ujarku dengan
nada yang cukup tinggi. “Mau kemana ?” ucapnya khawatir. Tentu aku mau ke tempat Kak Rani. Aku
mau ke rumah nenek.” Teriak ku padanya. “Ya Allah, sabarlah dulu,” ucapnya semakin khawatir.
“Aku takut nanti aku ditinggal” ucapku dan kemudian terdiam.

Jangan khawatir. Tu lihat, kak Rani dan bang Rehan masih makan disana. Aku pun terdiam. Rasa
lapar yang kurasakan tadi sudah hilang karena bertemu dengan nya. Dalam kesedihan aku tersenyum.
Dia sungguh lelaki yang baik. Aku tak tahu siapa dia, tapi aku bisa merasa nyaman dengan nya.
Setelah itu kami duduk diluar rumah makan sambil menunggu kak Rani dan bang Rehan.
“Terimakasih ya atas hari ini” ucapnya dengan wajah yang berseri-seri. “Justru aku yang
berterimakasih padamu. Maaf telah merepotkan mu.” Ucapku. Dia tak berkata apapun, hanya
tersenyum kecil.

Kak Rani dan bang Rehan pun keluar. Aku dan kak Rani langsung kembali ke bus. Sambil berjalan
aku bertanya pada kak Rani, “Bang Rehan dan adiknya kok gak kembali ke bus kak ?”. “Mereka turun
disini Ca, rumah mereka tak jauh dari sini. Mereka sedang menunggu jemputan. Makanya kakak tadi
lama bercerita dengan bang Rehan, maklum sudah lama ngga jumpa Ca,” ujar kak Rani. Aku
mengangguk dengan perkataan Kak Rani barusan. Aku menoleh ke belakang dan ternyata lelaki
berkaos merah itu berlari ke arahku. Dia memberikan sebuah plastik yang aku tidak tahu apa isinya.
Senyumnya melebar. “Ini apa ?” tanyaku padanya. “Nanti saja buka ya, semoga kamu suka dengan
pemberian aku ini” jawabnya. Dia pun langsung pergi dan aku berteriak sambil berkata “Makasih
yaaa…”.

Sebelum naik bus, seketika aku lupa menanyakan sesuatu hal , “Siapa nama mu ?” teriak ku. Dia
menjawab, namun tak terdengar olehku, karena dia sudah dijemput oleh keluarganya. Akupun
bertanya pada kak Rani siapa nama adik bang Rehan tadi, namun kak Rani juga tidak mengetahuinya.
Aku melangkah ke tempat duduk ku. Ku buka plastik yang dia berikan sambil membaca
Bismillahirrahmanirrahim..Isi dari plastik itu adalah sebuah gelang dan bros jilbab yang berbentuk
bintang. Dan terselip juga sebuah kertas kecil yang berisi kata-kata nya yang indah. Aku hanya
tersenyum sambil membaca surat itu. Yang ada dipikiranku saat itu adalah dia selalu senyum, senyu,
dan tersenyum padaku.

Setiap pertemuan tentu aka nada perpisahan. Aku dan dia berpisah pada sore hari karena aku harus
melanjutkan perjalanan ke rumah nenek. Akhir yang tak begitu indah, karena kami berpisah dalam
keadaan tidak tahu nama masing-masing. Perjalanan ini akan selalu ku ingat, perjalanan terindah
dalam hidupku. Sejak saat itu, aku semakin merasakan indah nya hari-hari ku. Aku tak tahu dia ada
dimana sekarang. Yang pasti untuk saat ini, yang harus aku lakukan adalah menggapai cita-cita
menjadi kebanggaan orang tua, dan dapat menjadi manfaat bagi orang lain. Aku yakin, suatu saat
nanti dia pasti datang kembali. Entah kapan, menunggu waktu yang tepat dari Sang Pencipta. Inilah
keyakinan hatiku. Semoga kita dapat bertemu kembali, dengan kisah dan dengan jalan Allah yang
mungkin lebih indah dari perjalanan terindah yang kita lewati dan juga diridhoi oleh-Nya.. Aamiin.
“SEMOGA”……

Anda mungkin juga menyukai