Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tujuan perjuangan negara Indonesia adalah "Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah ddarah Indonesia dan amuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan int
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial”. Prinsip dasar yang tam dipegang teguh untuk
mencapai tujuan ini adalah dengan: me-nrusun kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu. Undang Undang Dasar Negara Indonesia yang
terbentuk dan suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dan berdasar kepada pancasila. Dengan demikian Negara Indonesia
mempunyai fungsi dan sekaligus menjadi tujuannya yaitu: melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosoal.1
Dasar negara Indonesia adalah Pancasila, tentunya akan sejalan
dengan tujuan perjuangan negara Indonesia di atas, oleh karena itu dalam
makalah ini akan di bahasa mengengai beberapa hal yaitu tentang: Pancasila
sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, Ilmu dalam perspektif historis,
Beberapa aspek penting dalam ilmu pengetahuan, pilar-pilar penyangga bagi
eksistensi ilmu pengetahuan, dan prinsip-prinsip berfikir ilmiah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa maksud dari Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu ?
2. Apa pengertian ilmu dalam perspektif historis ?
3. Apa saja aspek penting dalam ilmu pengetahuan ?

1
H.A.W. Widjaja, “Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002) h. 1

1
4. Apa saja pilar-pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan ?
5. Apa saja prinsip-prinsip berfikir ilmiah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan maksud dari Pancasila sebagai dasar nilai
pengembangan ilmu.
2. Untuk menjelaskan pengertian ilmu dalam perspektif historis.
3. Untuk menjelaskan aspek penting dalam ilmu pengetahuan.
4. Untuk menjelaskan saja pilar-pilar penyangga bagi eksistensi ilmu
pengetahuan.
5. Untuk menjelaskan saja prinsip-prinsip berfikir ilmiah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu


Andaikan para ilmuwan dalam pengembangan ilmu konsisten akan
janji awalnya ditemukan ilmu, yaitu untuk mencerdaskan manusia,
memartabatkan manusia dan mensejahterakan manusia, maka pengembangan
ilmu yang didasarkan pada kaedah-kaedah keilmuannya sendiri tak perlu
menimbulkan ketegangan-ketegangan antara ilmu (teknologi) dan masyarakat.
Fakta yang kita saksikan saat ini ilmu-ilmu empiris mendapatkan
tempatnya yang sentral dalam kehidupan manusia karena dengan teknologi
modern yang dikembangkannya dapat memenuhi kebutuhan praktis hidup
manusia. Ilmu-ilmu empiris tersebut tumbuh dan berkembang dengan cepat
melebihi ritme pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. Ironisnya
tidak diimbangi kesiapan mentalitas sebagian masyarakat, khususnya di
Indonesia.
Teknologi telah merambah berbagai bidang kehidupan manusia secara
ekstensif dan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan manusia secara intensif,
termasuk merubah pola pikir dan budaya manusia, bahkan nyaris
menggoyahkan eksistensi kodrati manusia sendiri (Iriyanto, 2005). Misalnya,
anak-anak sekarang dengan alat-alat permainan yang serba teknologis seperti
playstation, mereka sudah dapat terpenuhi hasrat hakekat kodrat sosialnya
hanya dengan memainkan alat permainan tersebut secara sendirian. Mereka
tidak sadar dengan kehidupan yang termanipulasi teknologi menjadi manusia
individualis.Masih terdapat banyak persoalan akibat teknologi yang dapat
disaksikan, meskipun secara nyata manfaat teknologi tidak dapat dipungkiri.
Problematika keilmuan dalam era millenium ketiga ini tidak terlepas dari
sejarah perkembangan ilmu pada masa-masa sebelumnya. Karena itu untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif perlu dikaji aspek kesejarahan
dan aspek-aspek lainnya terkait dengan ilmu dan teknologi. Dari sini,

3
Problematika keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan
kerangka dasar nilai bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus
menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip
kehidupan masyarakat, yang sudah mengakar dan membudaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.2
Adapun penjelasan mengenai nilai dapat yaitu, nilai atau “value”
(bahasa Inggris) termasuk bidang kajian filsat. Persoalan-persoalan tentang
nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai
(axiologi, theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai. Istilah nilai di dalam ilmu filsafat dipakai untuk menunjuk kata
benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau kebaikan (goodness),
dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai
atau melakukan penilaian.3

B. Ilmu dalam Perspektif Historis


Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut
dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno,
AbadPertengahan, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer.
Masa Yunani Kuno (abad ke 6 SM – 6 M) saat ilmu pengetahuan
lahir, kedudukan ilmu pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak
mitologis. Alam dengan berbagai aturannya diterangkan secara theogoni,
bahwa ada peranan para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu
yang ada. Bagaimanapun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia
terus menerobos lebih jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya
sesuatu yang esa, tetap, dan abadi, di balik yang bhinneka, berubah dan
sementara.
Memasuki Abad Pertengahan (abad ke-5 M), pasca Aristoteles filsafat
Yunani Kuno menjadi ajaran praktis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana
diajarkan oleh Stoa, Epicuri, dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan

2
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2013, h. 111-112
3
Kaelan, “Pendidikan Pancasila” (Yogyakarta: Paradigma, 2003) h. 87

4
dengan pudarnya kekuasaan Romawi yang mengisyaratkan akan datangnya
tahapan baru, yaitu filsafat yang harus mengabdi kepada agama (Ancilla
Theologiae).
Selanjutnya Abad Modern (abad ke 18-19 M) dengan dipelopori oleh
gerakan. Renaissance di abad ke 15 dan dimatangkan oleh gerakan
Aufklaerung di abad ke-18, melalui langkah-langkah revolusionernya filsafat
memasukitahap baru atau modern. Kepeloporan revolusioner yang telah
dilakukan oleh anak-anak Renaissance dan Aufklaerung seperti: Copernicus,
Galileo Galilei, Kepler, Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan
implikasi yang amat luas dan mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala
kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak
manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu
kehidupan pembebasan dari kedudukannya yang semula merupakan koloni
dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang semula menguasai dan
manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan oleh filsafat. Masing-masing
berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikiran sendiri
(Koento Wibisono, 1985)
Revolusi ilmu pengetahuan memasuki Abad Kontemporer (abad ke-
20-sekarang) berkat teori relativitas Einsteinyang telah merombak filsafat
Newton (semula sudah mapan) di samping teori kuantumnya yang telah
mengubah persepsi dunia ilmu tentang sifat-sifat dasar dan perilaku materi
sedemikian rupa sehingga para pakar dapat melanjutkan penelitian-
penelitiannya, dan berhasil mengembangkan ilmu-ilmu dasar seperti:
astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, hasilnya seperti yang dapat
dinikmati oleh manusia sekarang ini (Sutardjo,1982).
Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya dewasa ini beserta anak-
anak kandungnya, yaitu teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat
manusia. Iptek kini telah menjadi sesuatu yang substansial, bagian dari harga
diri (prestige) dan mitos, yang akan menjamin survival suatu bangsa,
prasyarat (prerequisite) untuk mencapai kemajuan (progress) dan
kedigdayaan (power) yang dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa.

5
Dalam kedudukannya yang substansif tersebut, Iptek telah menyentuh semua
segi dan sendi kehidupan secara ekstensif, dan pada gilirannya mengubah
budaya manusia secara intensif. Fenomena perubahan tersebut tercermin
dalam masyarakat kita yang dewasa ini sedang mengalami masa transisi
simultan, yaitu:
1. Masa transisi masyarakat berbudaya agraris-tradisional menuju
masyarakat dengan budaya industri modern. Dalam masa transisi ini peran
mitos mulai diambil alih oleh logos (akal pikir). Bukan lagi melalui
kekuatan kosmis yang secara mitologis dianggap sebagai penguasa alam
sekitar, melainkan sang akal pikir dengan kekuatan penalarannya yang
handal dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan mengatur
kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja, kaedah-
kaedah normatif yang semula menjadi panutan, bergeser mencari
format baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat yang
berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat“sesama bus kota tidak
boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut
adalah prestasi, siap pakai, keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-
inovatif-kreatif.
2. Masa transisi budaya etnis-kedaerahan menuju budaya nasional
kebangsaan. Puncak-puncak kebudayaan daerah mencair secara
konvergen menuju satu kesatuan pranata kebudayaan demi tegak-
kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang berwilayah dari
Sabang sampai Merauke. Penataan struktur pemerintahan, sistem
pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara intensif
merupakan upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati diri
sebagai satu kesatuan bangsa.
3. Masa transisi budaya nasional - kebangsaan menuju budaya global -
mondial. Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai universal seperti
hak asasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan dilepaskan
dalam ikatan fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan ataupun

6
keagamaan, kini mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu
kesatuan sintesis yang lebih konkrit dalam tataran operasional.
4. Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis, namun tetap mentoleransi
adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-
modernism.
Implikasi globalisasi menunjukkan pula berkembangnya suatu
standarisasi yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang. Negara atau
pemerintahan di manapun, terlepas dari sistem ideologi atau sistem sosial
yang dimilikinya. Dipertanyakan apakah hak-hak asasi dihormati, apakah
demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap
warganya, bagaimana lingkungan hidup dikelola.
Nyatalah bahwa implikasi globalisasi menjadi semakin kompleks,
karena masyarakat hidup dengan standar ganda. Di satu pihak sementara
orang ingin mempertahankan nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan
untuk melayani perkembangan baru yang kemudian disebut sebagai lahirnya
budaya sandingan (sub-culture), sedang di lain pihak muncul tindakan-
tindakan yang bersifat melawan terhadap perubahan-perubahan yang
dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan dari mereka yang
merasa dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke tempat, dari waktu
ke waktu, yang disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).4

C. Beberapa Aspek Penting dalam Ilmu Pengetahuan


Melalui kajian historis tersebut yang pada hakekatnya pemahaman
tentang sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat
dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu
aspek fenomenal dan aspek struktural.
Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan mewujud /
memanifestasikan dalam bentuk masyarakat, proses, dan produk. Sebagai
masyarakat, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai suatu masyarakat

4
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2013, h. 112-120

7
atau kelompok elit yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi
kaedah-kaedah ilmiah yang menurut paradigma Merton disebutuniversalisme,
komunalisme, dan skepsisme yang teratur dan terarah. Sebagai proses, ilmu
pengetahuan menampakkan diri sebagai aktivitas atau kegiatan kelompok elit
tersebut dalam upayanya untuk menggali dan mengembangkan ilmu melalui
penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar, kongres. Sedangkan sebagai
produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai hasil kegiatan kelompok
elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma, temuan-temuan lain sebagaimana
disebarluaskan melalui karya-karya publikasi yang kemudian diwariskan
kepada masyarakat dunia.
Aspek struktural menunjukkan bahwa ilmupengetahuan di dalamnya
terdapat unsur- unsur sebagai berikut:
1. Sasaran yang dijadikan obyek untuk diketahui(Gegenstand);
2. Obyek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan dengan suatu cara
(metode) tertentu tanpa mengenal titik henti. Suatu paradoks bahwa ilmu
pengetahuan yang akan terus berkembang justru muncul permasalahan -
permasalahan baru yang mendorong untuk terus menerus
mempertanyakannya.
3. Ada alasan dan motivasi mengapa gegenstand itu terus- menerus
dipertanyakan.
4. Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian disusun dalam suatu
kesatuan sistem (Koento Wibisono, 1985).
Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini, mentalitas manusia Barat
mempercayai akan kemampuan rasio yang menjadikan mereka optimis, bahwa
segala sesuatu dapat diketahui, diramalkan, dan dikuasai. Melalui optimisme
ini, mereka selalu berpetualang untuk melakukan penelitian secara kreatif dan
inovatif.5
Sedangkan di dalam Islam, ada 6 aspek penting dalam pendidikan
yaitu:

5
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2013, h. 120-121

8
1. Aspek pendidikan ketuhanan, menjadi aspek pertama dan aspek dasar
pendidikan dalam Islam. Dengan mengenal Allah Swt. sebagai Tuhan dan
Pencipta, pribadi manusia dapat menyadari bahwa segala yang dipelajari
adalah ciptaan-Nya. Dengan bekal itu pula, dalam proses mempelajari
ilmu pengetahuan dan menguak fenoma alam, bukan kesombongan yang
muncul dalam diri, melainkan kesadaran akan kebesaran-Nya serta
kedekatan kita dengan-Nya.
2. Aspek pendidikan akhlak, termasuk dalam aspek penting pendidikan dalam
Islam. Kasus korupsi ataupun tindak kejahatan sosial yang terjadi
sekarang, Akhlak yang baik akan mencerminkan pribadi akan selalu
melakukan segala sesuatu dengan batas-batas yang sesuai ajaran Islam dan
jauh dari perbuatan yang merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan
tujuan pendidikan yang salah satunya membentuk hubungan yang
harmonis antara sesama. Tanpa akhlak, ilmu pengetahuan dan potensi diri
dapat digunakan untuk melakukan tindakan yang merugikan masyarakat.
3. Aspek pendidikan akal dan ilmu pengetahuan, menjadi aspek yang tidak
terpisahkan dalam dunia pendidikan. Dalam proses belajar mengajar,
pendidik maupun anak didik berkutat dalam diskusi untuk memahami ilmu
pengetahuan. Aspek ini berhubungan dengan kesuksesan di dunia profesi.
Dengan akal dan ilmu pengetahuan, potensi diri untuk berkembang dan
berprestasi dalam dunia profesi tertentu dapat dicapai.
4. Aspek pendidikan fisik, berhubungan dengan potensi jasmani. Dengan fisik
yang sehat, potensi diri untuk melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan
belajar mengajar dapat berjalan lancar. Adanya mata ajar olahraga, bahkan
kompetisi dalam bidang olahraga, menjadi salah satu media pemenuhan
aspek ini.
5. Aspek Pendidikan Kejiwaan, menjadi salah satu aspek yang harus dipenuhi
dalam pendidikan. Terdapat kata-kata bijak yang sangat familiar dan
menunjukkan pentingnya aspek pendidikan kejiwaan, yaitu, “Di dalam
tubuh yang kuat, terdapat jiwa yang sehat.” Tidak bisa dipungkiri bahwa

9
pikiran positif dan semangat muncul dari jiwa sehat yang dapat dipentuk
dalam proses belajar mengajar.
6. Aspek pendidikan keindahan, tidak hanya terbatas pada sesuatu yang enak
untuk dilihat, tetapi aspek ini juga menjadi salah satu aspek dalam
pendidikan. Jika sahabat Abi Ummi lihat dalam Alquran yang merupakan
sumber berbagai ilmu bagi umat manusia, keindahan dalam
penyampaiannya dapat kita temukan dalam rima ayat-ayat dalam berbagai
surat, seperti Al-Ikhlas, An-Nas, dan Al-Falaq. Keindahan dalam
berbahasa dan bertutur kata menjadi aspek yang selalu ditunjukkan dalam
penyampaian ilmu dari zaman Nabi Muhammad saw. hingga saat ini.6

D. Pilar-Pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan


Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya,
yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar tersebut
dinamakan pilar-pilar filosofis keilmuan. Berfungsi sebagai penyangga,
penguat, dan bersifat integratif serta prerequisite / saling mempersyaratkan.
Pengembangan ilmu selalu dihadapkan pada persoalan ontologi, epistemologi
dan aksiologi.
1. Pilar ontologi (ontology)
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan(eksistensi).
a. Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural
(monisme, dualisme, pluralisme)
b. Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari
sesuatu (mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme).
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi
penyusunan asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya
komunikasi interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan
masalah, kenyataan, batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antar
ilmu. Misalnya masalah krisis moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh

6
http://abiummi.com/6-aspek-penting-pendidikan-dalam-islam/ diakses pada: Senin 10
Oktober 2016 pukul: 22.53

10
ilmu ekonomi saja.Ontologi menyadarkan bahwa ada kenyataan lainyang
tidak mampu dijangkau oleh ilmu ekonomi, makaperlu bantuan ilmu lain
seperti politik, sosiologi.
2. Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu menyangkut problematika tentang sumber pengetahuan,
sumber kebenaran, cara memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran,
proses, sarana, dasar-dasar kebenaran, sistem, prosedur, danstrategi.
Pengalaman epistemologis dapat memberikan sumbangan bagi
kita:
a. sarana legitimasi bagi ilmu / menentukan keabsahan disiplin ilmu
tertentu;
b. memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu;
c. mengembangkan ketrampilan proses;
d. mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
3. Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika pertimbangan nilai (etis,
moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan atau pengembangan
ilmu. Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar dan arah
pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional
dan ilmuwan.7

E. Prinsip-Prinsip Berfikir Ilmiah


1. Obyektif : Cara memandang masalah apa adanya,terlepas dari faktor-
faktor subyektif (misalnya : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan,
otorita)..
2. Rasional : Menggunakan akal sehat yang dapatdipahami dan diterima
oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem
keyakinan dan otorita.

7
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2013, h. 123-124

11
3. Logis : Berpikir dengan menggunakan asas logika /runtut / konsisten,
implikatif. Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap
pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
4. Metodologis : Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas
dalam setiap berpikir dan bertindak (misalnya: induktif, dekutif, sintesis,
hermeneutik, intuitif).
5. Sistematis : Setiap cara berpikir dan bertindakmenggunakan tahapan
langkah prioritas yang jelas dansaling terkait satu sama lain. Memiliki
target dan arah tujuan yang jelas.8

F. Teori Kebenaran Pancasila


Dalam lingkup perbincangan kefilsafatan, sistem filsafat Pancasila harus
memenuhi tiga teori kebenaran, yakni teori kebenaran koherensi,
korespondensi, dan pragmatik. Sehingga sistem filsafat Pancasila menjadi
tangguh di hadapan sistem filsafat yang lain.
1. Teori koherensi
Bagi teori kebenaran ini, pernyataan dianggap benar jika pernyataan
bersifat konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Menurut Notonagoro (1975: 19), Pancasila dasar filsafat negara
merupakan satu kesatuan, tersusun atas berbagai bagian, tetapi bagian itu
tidak saling bertentangan. Semuanya menyusun hal yang baru dan utuh.
Setiap bagian Pancasila merupakan bagian yang mutlak, jika dihilangkan
satu bagian saja hilanglah halnya, sebaliknya terlepas dari halnya, bagian
tersebut dihilangkan kedudukan dan fungsinya. Selain itu, setiap sila
Pancasila di dalamnya mengandung sila yang lainnya. Terdapat hubungan
yang saling mengkualifikasi. Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
ketuhanan yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan
berkeadilan. Begitu seterusnya dengan sila yang lain pula. Hubungan satu
kesatuan dan saling mengkualifikasi ini terjadi karena tidak ada

8
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2013, h. 125

12
pertentangan sila yang satu dengan sila yang lainnya, hubungan sila
kesatu sampai sila kelima bersifat runtut. Inilah satu penerapan teoti
koherensi.Hubungan logis sebagai pengakuan atau cerminan teori
koherensi terlihat pada susunan Pancasila yang menurut Notonagoro
bersifat hirarkhis dan berbentuk piramidal (Suhadi, 1980: 14). Artinya,
kelima sila Pancasila itu menunjukkan satu rangkaian yang bertingkat,
sehingga tidak boleh dibolak-balik tata urutannya. Hal ini juga
menunjukkan rangkaian tingkat dalam luas dan isi sifatnya. Setiap sila
yang ada di belakangnya lebih sempit cakupannya tetapi lebih banyak isi
sifatnya.Selain itu, hubungan konsistensi ini terlihat pada Pancasila
sebagai aksioma kemudian diturunkan keempat pokok pikiran sebagai
teorema, dan selanjutnya diturunkan ke pasal UUD 1945. Dalam
penjabaran ini telah terbukti bahwa pasal-pasal UUD 1945 konsisten
dengan empat pokok pikiran, dan empat pokok pikiran konsisten dengan
Pancasila (Bakry, 1994: 47). Jelaslah bahwa sistem filsafat Pancasila
mengakui dan menerapkan teori kebenaran koherensi.
2. Teori korespondensi
Menurut teori korespondensi ini, satu pernyataan benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berhubungan dengan objek
yang dituju oleh pernyataan tersebut. Sistem filsafat Pancasila dinyatakan
sebagai jiwa bangsa Indonesia, berkepribadian bangsa Indonesia,
pandangan hidup bangsa dan pedoman hidup bangsa. Hal ini benar jika
sesuai dengan kenyataan sehari-hari (Bakry, 1994: 49). Hal ini tepat
pendapat Notonagoro (1975: 17), bahwa bangsa Indonesia ber-Pancasila
dalam tri-prakara, yakni Pancasila adat kebudayaan, religius, dan
kenegaraan. Kenyataan ini bisa dilihat dalam dinamika hidup sehari-hari
masyarakat dan bangsa Indonesia. Isi arti Pancasila yang abstrak umum
universal dapat menjadi sumber landasan pemecahan masalah kenyataan
hidup sehari-hari. Menurut Notonagoro, ada hubungan yang mutlak
antara Pancasila dengan bangsa Indonesia, yaitu hubungan sebab-akibat
(Soeprapto, 1994: 53). Segala sesuatu mulai dari kepribadian bangsa dan

13
kehidupan bermasyarakat harus sesuai dengan hakikat yang terdapat
dalam sebabnya. Maka kebenaran menurut sistem filsafat Pancasila,
bahwa kandungan pernyataan sila-sila Pancasila harus cocok, sesuai,
terjelma dalam keadaan senyatanya bermasyarakat dan bernegara. Sila-
sila dalam Pancasila berkesuaian atau koresponden dengan objek yang
dituju.
3. Teori pragmatik
Menurut teori ini, nilai kebenaran proposisi diukur dengan kriteria apakah
proposisi tersebut berfungsi dalam kehidupan praktis atau tidak. Teori ini
tercermin dalam Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Hal ini
memang menunjukkan bahwa sistem filsafat Pancasila berfungsi secara
praktis. Fakta sejarah telah membuktikan, baik sejak proses penetapan
Pancasila sebagai dasar negara maupun dalam menghadapi berbagai
pemberontakan, dengan jiwa Pancasila ini persatuan dan kesatuan tetap
terjaga (Bakry, 1994: 49). Para penganut Pancasila percaya akan
kebenaran Pancasila, karena Pancasila bersifat fungsional dalam
mempersatukan bangsa Indonesia. Jika dilihat dari segi historis, Pancasila
juga memiliki fungsi praktis. Hal ini karena Pancasila merupakan
jawaban atas pertanyaan esensial dalam sidang BPUPK dan PPKI; “Jika
negara kita merdeka, maka apa dasarnya?”, apa landasan yang mau
dipakai. Analisis empat kausalitas Aristoteles dari Notonagoro kiranya
membuktikan fungsi praktis ini. Salah satu relasi kausalitas tersebut
adalah kausa finalis. Kausa finalis Pancasila adalah sebagai dasar
kefilsafatan negara atau dasar negara Indonesia merdeka. Proposisi-
proposisi dalam sistem filsafat Pancasila terlihat kemanfaatannya sebagai
dasar negara Indonesia, bukan hanya proposisi yang koheren dan
koresponden dengan kenyataan saja. Pancasila sebagai asas persatuan dan
kesatuan, di dalam diri Pancasila juga mengandung persatuan dan
kesatuan. Jika di dalam diri Pancasila mengandung tiga teori kebenaran:
kohertensi, korespondensi, dan pragmatik; maka konsekuensinya menurut
Pancasila pernyataan atau proposisi benar jika runtut, konsisten, sesuai

14
dengan kenyataan dan sekaligus membawa kefaedahan. Ketiga teori
tersebut menurut Pancasila tidak dipertentangkan tetapi saling
melengkapi. Dalam hal saling melengkapi itu, mengikuti asas hirarkhis-
piramidal dan saling mengkualifikasi dalam Pancasila dengan urutan:
koherensi, korespondensi dan pragmatik.

G. Kebenaran Ilmu Berdasar Teori Kebenaran Pancasila


Manusia tidak pernah puas terhadap pengetahuan yang telah diperolehnya
dalam arti pengetahuan sehari-hari yang tidak membawa perubahan yang
besar. Dengan demikian manusia hanya merasa bahwa pengetahuan adalah sub
kelas dari kepercayaan yang benar dan selalu benar. Oleh karena itu manusia
ingin mencari kepuasan melalui pembahasan yang lebih mendalam terhadap
adanya gejala yang ajeg. Dalam hal ini manusia merasa bahwa ilmu adalah
sesuatu yang merupakan hasil usaha manusia untuk memperadab dirinya
(Mintaredja, 1983: 65). Dalam rangka memenuhi hasrat ingin tahunya,
manusia merasa bahwa dengan ilmu akan memperoleh kebenaran yang lebih
meyakinkan daripada kebenaran lewat pengetahuan biasa saja.
Kelebihan ilmu di antaranya terletak pada pengetahuan yang tersusun
secara logis dan sistematis serta telah teruji kebenarannya. Melalui beberapa
langkah dalam metode keilmuan, dari perumusan
masalah sampai penemuan teori ilmiah, ilmu berhasil menetapkan kebenaran
ilmiah. Pada dasarnya kebenaran dalam ilmu meliputi dua jenis teori
kebenaran, yaitu koherensi dan korespondensi. Teori koherensi tampak dalam
langkah metode ilmiah: dari penentuan masalah, penetapan kerangka masalah,
dan hipotesis. Teori korespondensi tampak dalam langkah metode ilmiah
selanjutnya, yakni: verifikasi hipotesis sampai pada teori ilmiah.
Namun atas dasar kelebihan ilmu seperti telah diuraikan di atas, masih
juga terdapat berbagai kekurangan ilmu. Kekurangan ini bersumber pada
asumsi landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa manusia mampu
memperoleh pengetahuan yang bertumpu pada persepsi, ingatan dan penalaran,
berpikir secara rasional dan empiris dengan teori koherensi dan korespondensi.

15
Persepsi yang mengandalkan panca indera jelas ada kelemahannya, karena
panca indera tidak sempurna. Demikian juga ingatan kurang dapat dipercaya,
begitu juga mengandalkan penalaran dari rasio semata juga jelas mempunyai
kelemahan untuk mencapai kebenaran (Suriasumantri, 1981: 17).
Penjelajahan ilmu untuk mencapai kebenaran hanya membatasi gejala
empiris. Tetapi sebenarnya aspek kehidupan secara keseluruhan bersifat
kompleks dan tidak semata-mata bersifat empiris. Menurut Jujun (1981: 18),
manusia perlu berpaling kepada metode dan teori lain. Bahkan dalam ruang
lingkup empiris ini pun masih banyak segi kehidupan yang belum terjangkau.
Dari kenyataan di atas, ternyata dalam penjelajahan manusia untuk
mencapai kebenaran secara ilmiah berada dalam tahap yang awal sekali. Maka
teori kebenaran Pancasila dalam sistem kefilsafatannya perlu ikut peran serta
dalam menggapai kebenaran ilmu. Bahwa kebenaran ilmu itu tidak hanya
gabungan teori koherensi dan korespondensi serta kesepakatan (konvensional)
dari para ahlinya saja. Tetapi masih ditambah, menurut Pancasila kebenaran
ilmu juga dikembalikan kepada manusianya, kefaedahannya bagi umat
manusia. Jadi, kebenaran ilmiah itu menurut teori kebenaran Pancasila:
koheren, di antara berbagai konsep yang runtut, konsisten, koresponden,
keseusian antara konsep dan dunia empiris, dan berfaedah bagi manusia.

Peranan Pancasila Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


di Indonesia
 Sebagai filtrasi
Pancasila berperan sebagai filtrasi masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi
dari negara lain yang tentunya mengandung budaya atau nilai asing, pancasila
memfilter dengan 5 silanya , sehingga indonesia mampu mempertahankan ciri
khas atau integritas bangsa tanpa ketinggalan zaman di era globalisasi. Meskipun
yang kita pakai seumpama adalah ilmu atau teknologi barat, teteapi hal tersebut
tidak mengubah nilai moral kita menjadi mirip seperti barat, kita harus menjaga
nilai dan karakter kita sebagai warga negara Indonesia. Sebagai contoh adalah
masuknya ilmu dan teknologi internet di Indonesia. Seperti yang kita tahu saat ini,

16
internet dapat diakses oleh siapapun, bahkan anak kecil pun dapat mengaksesnya
dengan mudah, Internet sendiri mengandung berbagai konten, baik konten positif
seperti pengetahuan, automotif, dsb selain itu internet mengandung konten negatif
yang tidak sedikit pula seperti pornografi. Di negara barat pornografi merupakan
budaya yang dilegalkan, sedangkan di Inonesia pornografi merupakan budaya
yang sangat berbahaya dan dapat merusak moral bangsa. Untuk itu disini
pancasila berfungsi sebagai penyaring budaya tersebut agar tidak masuk ataupun
menguranginya, peran pemerintah terutama kementerian komunikasi dan
informasi yang memblokir konten negatif seperti pornografi di internet.
 Sebagai tolak ukur
Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu bernilai
positif namun dapat juga bernilai negatif, oleh karena itu pancasila disini berperan
untuk mengukur baik buruknya perkembangan iptek tersebut.maksudnya dengan
memakai patokan baik dan buruk berupa pancasila, kita menjadi tahu iptek yang
mana yang baik atau buruk bagi bangsa Indonesia. Sebagai contoh penerapan
energi nuklir sebagai sumber tenaga dan keamanan Indonesia, jika dilihat sumber
tenaga nuklir mampu menjadi tenaga alternatif yang memiliki waktu durasi yang
sangat lama untuk habis dan bisa menjadi alat pertahanan militer yang mumpuni,
tapi jika dilihat dari sudut geografis Indonesia yang merupakan wilayah cincin
pegunungan api yang aktif (ring of fire) pengembangan tenaga nuklir tidak baik
untuk dijalankan karena wilayah Indonesia sering terjadi gempa dan letusan
gunung yang dapat membuat teknologi nuklir tersebut mengalamai malfungsi
seperti bocor,meledak, dsb yang bisa menyebabkan dampak yang sangat merusak
dan berpotensi memusnahkan peradaban. Dari itu dapat disimpulkan bahwasanya
pengembangan ilmu dan teknologi nuklir tidak baik bagi negara Indonesia.
 Sebagai Alat Kontrol
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak terkontrol akan
menimbulkan penyimpangan-penyimpangan yang tidak diinginkan. Dengan
adanya nilai-nilai pancasila dalam perkembangan iptek dapat mengkontrol dan
memberi arahan kemanakah akan berkembamg. Sebagai contoh adalah teknologi
industrialisasi pembuatan hormon insulin dari ekstraksi darah babi. Hal tersebut

17
sekilas terlihat sangat menguntungkan bagi industri kimia untuk dikembangkan
karena melihat permintaan yang sangat tinggi dan biaya produksi yang murah.
Tetapi hal tersebut akan menjadi masalah jika diterapkan di Indonesia karena
bertentangan dengan sila pertama pancasila. Teknologi tersebut dilarang masuk
disebabkan bisa mencederai perasaan terutama kaum muslim di Indonesia karena
babi merupakan binatang haram dalam ajaran islam.

18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Problematika keilmuan dapat segera diantisipasi dengan merumuskan
kerangka dasar nilai bagi pengembangan ilmu. Kerangka dasar nilai ini harus
menggambarkan suatu sistem filosofi kehidupan yang dijadikan prinsip
kehidupan masyarakat, yang sudah mengakar dan membudaya dalam
kehidupan masyarakat Indonesia, yaitu nilai-nilai Pancasila.
Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara bertahap menurut
dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman Yunani Kuno,
AbadPertengahan, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer.
Melalui kajian historis tersebut yang pada hakekatnya pemahaman
tentang sejarah kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat
dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dua aspek, yaitu
aspek fenomenal dan aspek struktural.
Kekuatan bangunan ilmu terletak pada sejumlah pilar-pilarnya,
yaitu pilar ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Prinsip-Prinsip Berfikir Ilmiah meliputi: Obyektif, Rasional, Logis,
Metodologis, dan Sistematis.
B. Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu
penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar
menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah
ini menjadi lebih baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

H.A.W. Widjaja, “Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Pancasila”, (Jakarta: PT.


Raja Grafindo Persada, 2002.
http://abiummi.com/6-aspek-penting-pendidikan-dalam-islam/ diakses pada:
Senin 10 Oktober 2016 pukul: 22.53
Kaelan, “Pendidikan Pancasila” Yogyakarta: Paradigma, 2003.
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, Direktorat Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2013.

20

Anda mungkin juga menyukai