Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MATA KULIAH GEOLOGI INDONESIA

Oleh :

TRI BAGAS SUTIAWAN


410016089

INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA


2019
Evolusi perbedaan tektonik pada pra tersier-tersier di pulau sumatra

Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu


lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia
bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara,
sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Salah satu hasil pertemuan
ketiga ini membentuk pulau Sumatra. Indonesia merupakan daerah pertemuan 3
lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific.
Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra,
Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di
sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai
suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga
lepas berupa gempa bumi. Pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia di
selatan Jawa hampir tegak lurus, berbeda dengan pertemuan lempeng di wilayah
Sumatera yang mempunyai subduksi miring dengan kecepatan 5-6 cm/tahun (Bock,
2000).

Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke
timur adalah sebagai berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang
landai, sesar Mentawai dan zona sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau
Sumatera, yang sering sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang membentang
sampai ke Selat Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau Jawa. Subsuksi ini mendesak
lempeng Eurasia dari bawah Samudera Hindia ke arah barat laut di Sumatera dan
frontal ke utara terhadap Pulau Jawa, dengan kecepatan pergerakan yang bervariasi.
Puluhan hingga ratusan tahun, dua lempeng itu saling menekan. Namun lempeng Indo-
Australia dari selatan bergerak lebih aktif. Pergerakannya yang hanya beberapa
millimeter hingga beberapa sentimeter per tahun ini memang tidak terasa oleh manusia.
Karena dorongan lempeng Indo-Australia terhadap bagian utara Sumatera
kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun, sedangkan yang di bagian selatannya
kecepatannya 6 cm per tahun.
Kerangka Tektonik Pulau Sumatra

Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan


jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat
Lempeng Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang
Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra.

Gambar Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra (Barber dkk,


2005).
Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada
masa Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk
Sumatra searah jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W
menjadi SE-NW dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga
mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan
rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar Sumatra menjadikan
kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan Sidi, 2000).
Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-
cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara,
Cekungan Sumatra Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar Diatas).

Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari


mikrokontinen di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber
dkk, 2005). Sekarang Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua
Eurasia pada arah N20°E dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun. Konfigurasi
cekungan pada daerah Sumatra berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi
yang menyebabkan non-volcanic fore-arc dan volcano-plutonik back-arc. Sumatra
dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan Sidi, 2000):

1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan
yang memisahkan dari lereng trench.

2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik


punggungan outer-arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-
arc Sumatra.

3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan


Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada
bagian bawah Bukit Barisan.

4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama
pada Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.
5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-
arc dan back-arc basin.

Struktur Utama Cekungan Sumatra Selatan

Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan


belakang busur karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-
nya. Cekungan ini berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi
antara Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng
Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, bagian
barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh
Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke
arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan


struktur maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga
arah struktur utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah
baratlaut-tenggara atau disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut
Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra
Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Sumatra. Struktur
geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola Jambi sangat jelas teramati di Sub-
Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-baratdaya di daerah ini
berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra Selatan. Struktur
lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan kembali sesar-
sesar normal tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi dengan
sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu
kuat.
Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang
(Pulunggono dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa
perlipatan yang berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi
Plio-Pleistosen. Struktur geologi berarah utara-selatan atau Pola Sunda juga terlihat di
Cekungan Sumatra Selatan. Pola Sunda yang pada awalnya dimanifestasikan dengan
sesar normal, pada periode tektonik Plio-Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar
mendatar yang sering kali memperlihatkan pola perlipatan di permukaan.

Gambar Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi


Timurlaut-baratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan Struktur
Inversi Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen (Ginger dan Fielding, 2005).
Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra

Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan


Cekungan Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah: Fase kompresi
yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan sesar
geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan
Lampung, Musi Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi
granit berumur Jurasik – Kapur.

Gambar Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model (Pulonggono
dkk, 1992).
Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar normal
dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau
terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian
awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat.

Gambar Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model
(Pulonggono dkk, 1992).

 Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen
menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan
bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi
Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Muara Enim.
Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian
Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi,
sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya,
terjadi pengangkatan dan perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang
mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi
aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.

Gambar Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid


Model (Pulonggono dkk, 1992).

Sistem Subduksi Sumatra

Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada
zaman Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di
mana aktivitas tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh
pembentukan letak samudera di Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro
Sunda dan Lempeng India-Australia terjadi pada sudut yang kurang tajam.
Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang
tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan pada zaman
Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut
Andaman. Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE
menghasilkan patahan berarah utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat
kompresi terbentuk tegasan yang berarah NNE-SSW yang menghasilkan sesar berarah
NE-SW, yang memotong sesar yang berarah utara-selatan.

Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau


depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias,
P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan
jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang
membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar
besar ini menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko
ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah
rawan gempa bumi dan tanah longsor.

Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus
terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng
Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia
bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra
dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang
lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan
menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian
timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih
berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sistem Sesar Sumatra

Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang


mengakibatkan kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman
menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik
(seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano),
rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar
aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera mulai dari Teluk
Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut Andaman
hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas
sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.

Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar
Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit
oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk
sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya
kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di sepanjang patahan tersebut
merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor, disebabkan oleh
adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh sendiri
merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben.

Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar
jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai
dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang
lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya
peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6
juta tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan
relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya
berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang
semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40
milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus
terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang
baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan
mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993
dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori “indentasi” pada
akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah
timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier
dkk, 1982).

Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,


punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses
yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension)
Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan
adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro
Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan struktur
sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras
dengan pola penunjaman.

Periode Tektonik Pulau Sumtera

Penjelasan mengenai periode tektonik wilayah sumatera terbagi menjadi 3


daerah berdasarkan letak cekungan yang ada di sumatera yaitu cekungan Bengkulu
yang menandakan forearc basin, cekungan Sumateratengah yaitu central basin dan
cekungan Sumatera Selatan yang merupakan backarc basin. Berikut adalah penjelasan
masing – masingperiode yang terjadi di masing – masing cekungan tersebut.
a. Cekungan Bengkulu (forearc basin)

Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia.


Cekungan forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore – arc
; arc = jalur volkanik). Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa
Pegunungan Barisan( dalam hal ini adalah volcanic arc -nya) mulai naik di sebelah
barat Sumatra pada Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah
bahwa sebelum Misoen Tengah berarti tidakada forearc basin Bengkulu sebab pada
saat itu arc -nya sendiri tidak ada.Sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan
Bengkulu masih merupakan bagian paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu
pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik,
Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan. Mulai saat
itulah,Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan CekunganSumatera Selatan
menjadi cekungan backarc (belakang busur).

Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan


Sumatera Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan
itu. Dapat diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama.
Keduanya mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu
ada Graben Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di
Cekungan SumateraSelatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang,
Lematang,dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada
cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh
berkembangnya terumbu –terumbu karbonat yang masif pada Miosen Atas yang
hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat (paraoperator yang
pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga).
Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak sedimen-
sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle
Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.Secara
tektonik, mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu
yaitu disebabkan Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan
Sumatera Selatan sedang terangkat.

b. Cekungan Sumatera Tengah (central basin)

Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatra Tengah merupakan hasil
sekurang-kurangnya 3 (tiga) fase tektonikutama yang terpisah, yaitu Orogenesa
Mesozoikum Tengah,Tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal, dan Orogenesa Plio-
Plistosen(De Coster, 1974).Heidrick dan Aulia (1993), membahas secara terperinci
tentang perkembangan tektonik di Cekungan Sumatra Tengah dengan membaginya
menjadi 3 (tiga) episode tektonik, F1 (fase 1)berlangsung pada Eosen-Oligosen, F2
(fase 2) berlangsung padaMiosen Awal-Miosen Tengah, dan F3 (fase 3) berlangsung
pada Miosen Tengah-Resen. Fase sebelum F1 disebut sebagai fase 0 (F0) yang
berlangsung pada Pra Tersier.1. Episode F0 (Pre-Tertiary)Batuan dasar Pra Tersier di
Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-lempeng benua dan samudera yang
berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar memberikan efek pada lapisan
sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan kemudian mengontrol arah tarikan
dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut sebagai
elemen struktur F0.

Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara -selatan
yang merupakan sesar geser (Transform/WrenchTectonic) berumur Karbon dan
mengalami reaktifisasi selama Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier. Tinggian-
tinggian yang terbentuk pada fase ini adalah Tinggian Mutiara, Kampar, Napuh, Kubu,
Pinang dan Ujung Pandang. Tinggian –tinggian tersebut menjadi batas yang penting
pada pengendapan sedimen selanjutnya.2. Episode F1 (26 – 50 Ma) Episode F1
berlangsung pada kala Eosen-Oligosendisebut juga Rift Phase.
Pada F1 terjadi deformasi akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti
oleh reaktifisasi struktur-struktur tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia
terhadap Lempeng Benua Asia pada 45 Ma terbentuklah suatu sistem rekahan
Transtensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand
dan ke Malaysia hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick & Aulia,1993).

Perekahan ini membentuk serangkaian Horst dan Graben di Cekungan Sumatra


Tengah. Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-
sedimen Kelompok Pematang. Pada akhir F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi
penurunan cekungan ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan
pembentukan daratan Peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa paleosol yang
diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed.3. Episode F2 (13 – 26 Ma) Episode F2
berlangsung pada kala Miosen Awal-Miosen Tengah. Pada kala Miosen Awal terjadi
fase amblesan (sagphase), diikuti oleh pembentukan Dextral Wrench Fault
secararegional dan pembentukan Transtensional Fracture Zone. Pada struktur tua yang
berarah utara-selatan terjadi Release,sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault,
Graben, dan Half Graben. Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara.
Pada episode F2, Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan sedimen-
sedimen dari Kelompok Sihapas diendapkan.4.

Episode F3 (13-Recent) Episode F3 berlangsung pada kala Miosen Tengah-


Resendisebut juga Barisan Compressional Phase. Pada episode F3 terjadi pembalikan
struktur akibat gaya kompresi menghasilkan reverse dan Thrust Fault di sepanjang jalur
Wrench Fault yang terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi bersamaan
dengan pembentukan Dextral Wrench Fault di sepanjang Bukit Barisan. Struktur yang
terbentuk umumnya berarah barat laut-tenggara. Pada episode F3 Cekungan Sumatra
Tengah mengalami regresi dan sedimen-sedimen Formasi Petani diendapkan, diikuti
pengendapan sedimen-sedimen Formasi Minas secara tidak selaras.
c. Cekungan Sumatera Selatan ( backarc basin)

Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan


merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat
adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia)
dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510
km2, dimana sebelah barat daya dibatasi olehsingkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di
sebelah timur oleh PaparanSunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh
Pegunungan Tiga puluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.

Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakantelah terjadi 3


episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera
Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan
Orogenesa Plio – Plistosen. Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik
danMesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan
diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan.

Menurut Pulunggono,1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini


membentuk sesar berarah barat laut-tenggara yang berupa sesar – sesar geser.Episode
kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak tensional
yang membentuk grabendan horst dengan arah umum utara – selatan. Dikombinasikan
dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan -batuan Pra – Tersier,
gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan
Formasi Pra – Talang Akar.

Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio –Plistosen yang menyebabkan
pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur
perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode
tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan
sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan.
Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang
mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar -sesar
yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan
sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio-
Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut-tenggara tetapi sesar yang
terbentuk berarah timur laut-barat daya dan barat laut- tenggara. Jenis sesar yang
terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut-tenggara
sebagai hasil orogenesa Plio-Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi
dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara serta
pola muda yang berarah barat laut-tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera.

Proses pembentukan sesar semangko pada kala tersier

Patahan Semangko adalah bentukan geologi yang membentang di Pulau


Sumatra dari utara ke selatan, dimulai dari Aceh hingga Teluk Semangka di Lampung.
Patahan inilah membentuk Pegunungan Barisan, suatu rangkaian dataran tinggi di sisi
barat pulau ini. Patahan Semangko berusia relatif muda dan paling mudah terlihat di
daerah Ngarai Sianok dan Lembah Anai di dekat Kota Bukittinggi. Patahan ini
merupakan patahan geser, seperti patahan San Andreas di California.

Terbentuknya Patahan Semangko bermula sejak jutaan tahun lampau saat


Lempeng (Samudra) Hindia-Australia menabrak secara menyerong bagian barat
Sumatra yang menjadi bagian dari Lempeng (Benua) Eurasia. Tabrakan menyerong ini
memicu munculnya 2 komponen gaya. Komponen pertama bersifat tegak lurus,
menyeret ujung Lempeng Hindia masuk ke bawah Lempeng Sumatra. Batas kedua
lempeng ini sampai kedalaman 40 kilometer umumnya mempunyai sifat regas dan di
beberapa tempat terekat erat. Suatu saat, tekanan yang terhimpun tidak sanggup lagi
ditahan sehingga menghasilkan gempa bumi yang berpusat di sekitar zona penunjaman
atau zona subduksi. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi sampai suatu saat
nanti kembali terjadi gempa bumi besar.
Gempa di zona inilah yang sering memicu terjadinya tsunami, sebagaimana
terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004. Adapun komponen kedua berupa gaya
horizontal yang sejajar arah palung dan menyeret bagian barat pulau ini ke arah barat
laut. Gaya inilah yang menciptakan retakan memanjang sejajar batas lempeng, yang
kemudian dikenal sebagai Patahan Besar Sumatra.

Geolog Katili dalam The Great Sumatran Fault (1967) menyebutkan, retakan
ini terbentuk pada periode Miosen Tengah atau sekitar 13 juta tahun lalu. Lempeng
Bumi di bagian barat Patahan Sumatra ini senantiasa bergerak ke arah barat laut dengan
kecepatan 10 milimeter per tahun sampai 30 mm per tahun relatif terhadap bagian di
timurnya. Sebagaimana di zona subduksi, bidang Patahan Sumatra ini sampai
kedalaman 10 kilometer-20 km terkunci erat sehingga terjadi akumulasi tekanan. Suatu
saat, tekanan yang terkumpul sudah demikian besar sehingga bidang kontak di zona
patahan tidak kuat lagi menahan dan kemudian pecah.

Batuan di kanan-kirinya melenting tiba-tiba dengan kuat sehingga terjadilah


gempa bumi besar. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali merekat dan terkunci
lagi dan mengumpulkan tekanan elastik sampai suatu hari nanti terjadi gempa bumi
besar lagi. Pusat gempa di Patahan Sumatra pada umumnya dangkal dan dekat dengan
permukiman. Dampak energi yang dilepas dirasakan sangat keras dan biasanya sangat
merusak. Apalagi gempa bumi di zona patahan selalu disertai gerakan horizontal yang
menyebabkan retaknya tanah yang akan merobohkan bangunan di atasnya.

Topografi di sepanjang zona patahan yang dikepung Bukit Barisan juga bisa
memicu tanah longsor. Adapun lapisan tanah yang dilapisi abu vulkanik semakin
memperkuat efek guncangan gempa. Beberapa tempat di Patahan Semangko
merupakan pula zona lemah yang ditembus magma dari dalam bumi. Getaran gempa
bumi bisa menyebabkan air permukaan bersentuhan dengan magma. Karena itu, pada
saat gempa bumi, kerap terjadi letupan uap (letupan freatik) yang dapat diikuti
munculnya gas beracun, sebagaimana terjadi di Suoh, Lampung, pada 1933.
Patahan Sesar Semangko

Jalur Sundaland pada Pra-Tersier

Sundaland (van Bemmelen, 1949 ; Hutchison, 1973,1989) adalah inti dari kerak
benua Asia Tenggara. Secara fisiografis, Sundaland meliputi Paparan Sunda (Sunda
Shelf) berserta daratan lain seperti Semenanjung Malaya, Pulau Jawa, Kalimantan,
Sulawesi bagian barat dan Serawak (Gambar 1). Pada bagian barat dan selatan dibatasi
oleh palung Sunda dan Jawa. Dibagian timur laut dibatasi oleh Red River Shear
Zone, sedangkan dibagian barat laut dibatasi oleh Blok Burma sepanjang suture pada
periode cretaceous dan zona ofiolit (Hutchison, 1975). Adapun batas pada bagian timur
sering menjadi perdebatan. Sebagian pakar menarik batasnya mulai dari Barat Jawa,
menuju timur laut hingga Kalimantan lalu menerus ke Laut Cina Selatan. Namun,
sekarang kita telah mengetahui bahwa batas timur sundaland ialah dimulai dari Timur
Jawa menuju Barat Sulawesi bahkan mencakup Flores dan Sumba (Hall, 2014)
Sampai saat ini, ada beberapa konsep tektonik perkembangan Daratan Sunda.
Konsep pertama dimana mengatakan bahwa Perkembanan tektonik Daratan Sunda
sebagai produk daripada pertemuan dan penyusupan lempeng yang berlangsung secara
bertahap sejak Perm sampai sekarang, antara lempng Hindia-Australia, Eurasia dan
Pasifik. Katili (1974) menjelaskan sejarah perkembangan tektonik dari Indonesia
berdasarkan model tektonik lempeng, dengan cara mengenali kembali lokasi-lokasi
dari jalur-jalur subduksi dan daerah-daerah yang mempunyai kegiatan magma kalk-
alkalin.

Sebagian besar Sundaland baru-baru saja terbentuk selama periode glasial


terakhir dari sekitar 110.000 sampai 12.000 tahun yang lalu. Saat permukaan laut
menurun 30-40 meter atau lebih, jembatan darat menghubungkan pulau-pulau
Kalimantan, Jawa, dan Sumatra ke Semenanjung Malaya dan daratan Asia. Karena
permukaan laut baru lebih rendah 30 meter (atau lebih) sepanjang 800.000 tahun
terakhir, keadaan Kalimantan, Jawa, dan Sumatra sebagai sebuah pulau merupakan
keadaan yang relatif jarang pada masa Pleistosen. Sebaliknya, permukaan laut lebih
tinggi pada Pliosen akhir, dan wilayah Sundaland lebih kecil daripada yang diamati
saat ini.
Lokasi Sundaland dan tektonik yang berkembang saat ini (Modifikasi dari davies 1984
dalam Sudarmono dkk. , 1997)

Anda mungkin juga menyukai