Anda di halaman 1dari 15

Clinical Science Session

TUBO OVARIAN ABSCESS

Oleh:

Aristya Rahadiyan Budi 1840312410

Preseptor :

dr. Masrizak, Sp.OG(K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD AHMAD MOCHTAR

BUKITTINGGI

2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Abses tubo ovarium (tubo ovarian abscess, TOA) adalah kumpulan massa infeksi

di adneksa yang terbentuk sebagai sequele dari penyakit inflamasi pelvis (pelvic

inflammatory disease, PID). Umumnya, TOA memiliki presentasi berupa massa pada

adneksa, demam, peningkatan tingkat leukosit, nyeri pada bagian bawah abdomen, dan

dapat disertai dengan discharge vagina. Namun, presentasi dari penyakit ini dapat

bervariasi. Ruptur dari abses tersebut dapat menyebabkan menyebabkan kondisi yang

membahayakan pasien. Oleh karena itu, pengetahuan dan pemahaman tentang

manifestasi klinis dan tatalaksana dari penyakit ini mengingat komplikasi yang dapat

terjadi.

TOA umumnya terjadi pada wanita usia produktif dan biasanya terjadi

diakibatkan PID. Mikroorganisme penyebab TOA biasanya adalah mikroorganisme yang

menyebabkan penyakit menular seksual (sexually transmitted diseases, STD), sehingga

berhubungan seksual dengan pasangan yang memiliki riwayat penyakit STD dapat

dikategorikan sebagai salah satu resiko TOA. Selain itu, TOA juga dapat terjadi

diakibatkan oleh dampak operasi ginekologi, kanker genitalia, fertilisasi in vitro, dan

apendisitis perforata.

Penegakkan diagnosis dari TOA sering sulit dilakukan dikarenakan kemiripan

dari manifestasi klinis dengan penyakit inflamasi akibat etiologi yang lain. Oleh karena

itu, dibutuhkan ketelitian dalam anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang yang tepat agar dapat menegakakkan diagnosis secara pasti dan pemberian

tatalaksana yang adekuat pada penyakit ini.


1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan clinical science session ini antara lain sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian

obstetri dan ginekologi RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi, Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas

2. Menambah pengetahuan mengenai abses tuba ovarium.

1.3. Batasan Masalah

Penulisan clinical science session ini mencakup definisi, etiologi, epidemiologi

patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis dari abses tuba

ovarium.

1.4. Metode Penulisan

Penulisan clinical science session ini menggunakan metode tinajuan kepustakan

yang menunjuk berbagai literatur.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Abses tubo ovarium (tubo ovarian abscess, TOA) didefinisikan sebagai massa

inflamasi yang meliputi bagian tuba dan/atau ovarium dan dikarakteristikan oleh

keberadaan pus dalam massa tersebut. Penyebab paling umum terjadinya penyakit ini

adalah infeksi asendens atau infeksi traktus genitalia bagian atas dimana materi purulen

dapat menjalar melalui tuba dan secara langsung menuju ruang peritonium,

menyebabkan PID dan berprogresi menuju abses tuba ovarium. Proses infeksi dapat

meliputi organ sekitar seperti usus dan vesica urinaria.

Gambar 2.1 Organ reproduksi internal wanita

TOA memiliki tingkat morbiditas yang tinggi dan dapat mengancam jiwa

penderita. Apabila diikuti dengan sepsis berat, manifestasi yang terjadi diakibatkan oleh

rupturnya abses, angka mortalitas dapat mencapai 5 – 10%.


Diagnosis dari TOA dapat ditegakkan dengan peningkatan tanda inflamasi dan

penemuan radiologi yang menunjukkan keberadaan massa. Intervensi bedah dapat

diindikasikan pada kasus TOA, namun, jeda waktu yang optimal dan prosedur yang tepat

dalam penanganan kasus ini masih dijadikan perdebatan. Teknik pembedahan yang

dilakukan pada kasus TOA dapat mencakup laparoskopi, pembedahan terbuka (open

surgery), drainase abses, atau eksisi radikal. Komplikasi jangka panjang dari TOA yang

dapat muncul antara lain infertilitas, peningkatan resiko dari kehamilan ektopik, dan

nyeri pevis kronik.

2.2. Etiologi

Faktor resiko dari TOA mirip dengan faktor resiko dari PID, antara lain: wanita

usia reproduktif, riwayat pemasangan IUD, riwayat memiliki banyak pasangan seksual,

riwayat PID sebelumnya. Diagnosis diferensial dari TOA antara lain adalah, apendisitis,

inflammatory bowel disease, PID, torsi ovarium, kehamilan ektopik, ruptur kista

ovarium, pyelonefritis, dan cystisis.

Tabel 1. Mikroorganisme penyebab PID dan TOA.

Organisme Keterangan
Chlamydia trachomatis Transmisi seksual
Neisseria gonorrhoeae Transmisi seksual
Escherichia coli Enterobacteriaceae
Bacteroides Anaerobe
Peptococcus Anaerobe
Peptostreptococcus Anaerobe
Actinomyces Biasanya menandakan adanya IUD
Pelvic tuberculosis Jarang – dilaporkan bersamaan pada kasus HIV
Gardnerella vaginalis
Streptococccus agalactiae
Mycoplasma genitalium
Haemophilus influenzae
Streptococcus pyogenes
2.3. Epidemiologi

TOA umumnya ditemukan pada wanita dalam usia reproduksi dengan riwayat

infeksi traktus genitalia. Namun, TOA dapat juga terjadi tanpa adanya riwayat PID atau

aktivitas seksual dan terjadi dikarenakan komplikasi dari histerektomi. Pada tahun 2002,

badan pusat pengendalian dan pencegahan penyakit Amerika Serikat (Centers for

Disease Control and Prevention) menerapkan alur tatalaksana baru menyangkut evaluasi

dan tatalaksana dari penyakit menular seksual, yang berdampak pada turunnya prevalensi

dari TOA menjadi 2,3% dari awalnya 20%.

Perlu dicatat bahwa wanita dengan positif HIV memiliki waktu resolusi klinis

yang lebih lama dibandingkan kasus yang sama pada wanita normal, meningkatkan

resiko terbentuknya TOA

2.4. Patofisiologi

Umumnya, abses tubo ovarium disebabkan oleh komplikasi dari PID. Patogen

dari inflamasi pelvis akan menjalar naik ke endometrium lalu berlanjut menuju tuba

falopi dan berakhir dengan terbentuknya massa di rongga peritonial. TOA juga dapat

terjadi sebagai perlanjutan dari infeksi di organ sekitar, dengan apendiks sebagai

penyebab yang paling sering terjadi, dan dapat juga terjadi akibat penyebaran hematogen

dari nidus infeksi dari daerah yang jauh dari tuba dan/atau ovarium, ataupun

berdampingan dengan keganasan organ pelvis.

Bakteri dari traktus genitalia menjalar keatas membentuk massa inflamasi di tuba

falopi, ovarium, dan dapat juga pada organ sekitar pelvis. Abses pada TOA sering

bersifat polimikrobial dan umumnya didominasi oleh bakteri anaerobik, sesuai dengan
Tabel 1. Walaupun sering berkaitan dengan penyakit menular seksual, bakteri yang

paling sering ditemukan pada TOA antara lain adalah; Escherichia coli, Bacteriodes

fragilis, spesies Bacteriodes lainnya, Peptostreptococcus, Peptococcus, dan Streptococci

aerobic.

2.5. Manifestasi Klinis

Gejala klasik dari TOA adalah nyeri abdomen, temuan massa pada regio pelvis,

demam, dan leukositosis. Namun, penelitian Landers dan Sweet (1983), menemukan

bahwa 35% wanita dengan TOA afebris dan 23% memiliki nilai leukosit normal. Selain

itu, hanya 50% dari wanita dengan TOA memiliki presentasi klinis demam dan

menggigil, 28% dengan discharge vagina, 26% dengan keluhan mual, dan 21% dengan

perdarahan pervaginam.

2.6. Diagnosis

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh, terutama pemeriksaan pelvis, harus

dilakukan. Pemeriksaan spekulum dan bimannual dapat dilakukan untuk menilai

konsistensi, ukuran, dan mobilitas dari uterus dan kedua adneksa. Discharge mukopurulen

dan nyeri tekan adneksa. Pemeriksaan menyeluruh dari abdomen dapat menyingkirkan

SIRS. Pemeriksaan darah rutin dapat menunjukan leukositosis dengan shift to the left.

Kultur urin, serviks, dan darah dapat menunukan perkembangan bakterial. Hasil

pemeriksaan discharge vagina dapat menunjukkan clue cells. Pemeriksaan plano juga

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik.

Pemeriksaan penunjang :

a. Pemeriksaan laboratorium:

Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium kurang bermakna. Hitung

jenis sel darah putih bervariasi dari leukopeni sampai leukositosis. Hasil urinalisis

memperlihatkan adanya pyuria tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64
mm/h serta nilai akut C-reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah

diagnosa TOA.

b. USG

Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya progressi.

regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah modalitas pencitraan pilihan

pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA. USG menawarkan akurasi, siap

ketersediaan, biaya rendah dan kurangnya radiasi pengion. Namun, tetap memerlukan

keahlian teknis untuk mencapai potensi diagnostik yang akurat. Ini dapat dilakukan baik

transvaginal atau transabdominal: pencitraan yang transvaginal memberikan gambaran

lebih detail, dimana transduser berada di dalam dekat dengan daerah pemeriksaan,

sedangkan pencitraan pelvis yang transabdominal menawarkan keuntungan imaging

dalam satu tampilan organ besar seperti rahim. Habitus tubuh besar dan adanya loop dari

usus di pelvis dapat menimbulkan kesulitan dalam pencitraan dengan US

transabdominal.
Gambar 2.2 Tanda Cogwheel menandakan penebalah lipatan endosapingeal

Gambar 2.3 Kompleks tuba-ovarium


c. CT (computed tomography)

Computed tomography telah digunakan, sejak perkembagan dari US dan MRI,

peran terbatas dalam evaluasi radiologi dari PID. Penggunaan radiasi pengion yang

membatasi faktor lainnya, karena mayoritas pasien tersebut dalam usia reproduktif.

Kinerja CT dengan penggunaan media kontras oral dan intravena meningkatkan

metode dari akurasi diagnostik karena karakterisasi jaringan yang lebih baik.

Sejumlah kecil cairan dalam cul de sac bisa dideteksi oleh CT. Suatu abses Tubo-

ovarium mungkin tergambar sebagai massa peradangan dengan komponen padat dan

kistik, dengan peningkatan semua atau bagian dari komponen padat. Tampilan paling

sering dari Tubo-ovarium abcess adalah adanya cairan yang mengandung massa

dengan dinding tebal. Septations mungkin juga ada. Salah satu tanda yang lebih

spesifik dari abses Tubo-ovarium, yang tidak umum pada PID, adalah munculnya

gelembung gas pada massa. Limfadenopati biasanya ada di daerah paraaortic pada

tingkatan dari hila ginjal (limfatik ovarium dan limfatik salpingial sejajar dengan vena
gonad). Kadang-kadang ovarium dapat dideteksi dalam massa. Dalam kasus seperti

diagnosis abses Tubo-ovarium tidak sulit, jika tidak, massa yang mengalami inflamasi

bisa dibedakan dari proses peradangan yang timbul dari appendiks (abses

appendiceal) atau divertikula (Abses divertikular) atau bahkan keganasan kandung

kemih.

d. Kuldosentesis

Cairan kuldosentesis pada wanita dengan TOA yang tidak ruptur memperlihatkan

gambaran reaction fluid yang sama seperti di salpingitis akut. Apabila terjadi ruptur

TOA maka akan ditemukan cairan yang purulen.

Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan dapat

disertai adanya :

- Riwayat infeksi pelvis

- Adanya massa adnexa, biasanya lunak

- Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur

Diagnosis banding :

a. TOA utuh dan belum memberikan keluhan

- Kistoma ovari, tumor ovari

- KET

- Abses peri, apendikuler

- Mioma uteri

- Hidrosalping

b. TOA utuh dengan keluhan


- Perforasi apendik

- Perforasi divertikel/abses divertikel

- Perforasi ulkus peptikum

- Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal

- Kista ovari terinfeksi atau terpuntir

2.7. Tatalaksana

a. Curiga TOA utuh tanpa gejala


- Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan : doksiklin 2x /

100 mg / hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500 mg / hari, selama 1

minggu.

- Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau mungkin

membesar adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut dengan kemungkinan

untuk laparatomi

b. TOA utuh dengan gejala


- Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi ketat tanda vital

dan produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika perlu pasang infuse P2 -

Antibiotika massif (bila mungkin gol beta lactar) minimal 48-72 jam Gol

ampisilin 4 x 1-2 gram selama / hari, IV 5-7 hari dan gentamisin 5 mg / kg BB /

hari, IV/im terbagi dalam 2x1 hari selama 5-7 hari dan metronidazole 1 gr reksup

2x / hari atau kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari metronidazol

atau sefalosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan metronidazol 2 x1 gr selama

5-7 hari

- Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi

- Jika perlu dilanjutkan laparatomi atau pengangkatan seluruh organ genetalia

interna.
c. TOA yang pecah
TOA yang pecah merupakan kasus darurat: dilakukan laparotomi pasang drain

kultur nanah. Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan

metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu).

2.8. Komplikasi

a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari, infertilitas

b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal, abses subkronik, abses

paru/otak.

2.9. Prognosis

a. TOA yang utuh

Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan tatalaksana medika mentosa tidak ada

perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya lebih baik dikerjakan

laparatomi agar mencegah terjadinya ruptur abses. Kemampuan fertilitas dapat menurun

kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan apabila terapi pembedahan tidak dikerjakan

b. TOA yang pecah

Kemungkinan sepsis besar, oleh karenanya perlu penanganan dini dan tindakan

pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.

BAB 3

KESIMPULAN
Abses tuba-ovarium adalah komplikasi serius dari penyakit inflamasi pelvis. Pada

wanita yang dicurigai dengan PID, perlu dilakukan tatalaksana yang adekuat untuk

menyingkirkan kemungkinan terbentuknya TOA dan potensi komplikasi jangka panjang

seperti infertilitas. Wanita dengan TOA dapat terjadi sepsis berat dan harus dilakukan

resusitasi secepatnya secara efektif, meliputi pemeberian antibiotik dan monitoring secara

reguler.

Kesulitan diagnosis dari TOA muncul dikarenakan manifestasi dari TOA yang mirip

dengan gejala akut abdomen. Anamnesis yang tepat, pemeriksaan fisik abdomen dan pelvis,

dan pemeriksaan penunjang seperti USG, CT scan, dan pemeriksaan darah rutin dapat

membantu penegakkan diagnosis secara pasti.

Apabila tidak ditangani secara baik, dapat muncul komplikasi berupa sepsis akibat

rupturnya abses, reinfeksi, infertilitas, abses intraabdominal, sampai abses paru dan otak.

DAFTAR PUSTAKA
1. Chappell CA, Wiesenfeld HC. Pathogenesis, diagnosis, and management of

severe pelvic inflammatory disease and tuboovarian abscess. Clin Obstet Gynecol

2012; 55: 893– 903.

2. Chan Y, Parchment W, Skurnick JH, Goldsmith L, Apuzzio JJ. Epidemiology and

clinical outcome of patients hospitalized with pelvic inflammatory disease

complicated by tubo‐ovarian abscess. Infect Dis Obstet Gynecol 1995; 3: 135– 9.

3. Sordia‐Hernández LH, Serrano Castro LH, Sordia‐Piñeyro MO, Morales Martinez

A, Sepulveda Orozco MC, Guerrero‐Gonzalez G. Comparative study of the

clinical features of patients with a tubo‐ovarian abscess and patients with severe

pelvic inflammatory disease. Int J Gynaecol Obstet 2016; 132: 17– 9.

4. Timor‐Tritsch IE, Lerner JP, Monteagudo A, Murphy KE, Heller DS.

Transvaginal sonographic markers of tubal inflammatory disease. Ultrasound

Obstet Gynecol 1998; 12: 56– 66.

5. Price. Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta : EGC
6. Granberg S, Gjelland K, Ekerhovd E. The management of pelvic abscess. Best

Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2009; 23: 667– 78.

Anda mungkin juga menyukai