Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian. Manusia masih
memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kehidupannya. Satu sama lain saling
membantu. Oleh karena itu, kita diperintah untuk berbuat baik antar sesama, selain
menjalin hubungan dengan Allah. Rasul pun telah menjelaskan mengenai aturan-aturan
ataupun etika dalam hidup bermasyarakat.Salah satunya aturan mengenai jual-beli.
Jual-beli merupakan salah satu kegiatan muamalah yang sering dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam masalah jual-beli ini, Rasulullah pun telah menjelaskan
mengenai etika berdagang, menunjukkan mengenai mana jual-beli yang diperbolehkan
dan mana jual-beli yang tidak diperbolehkan. Sehingga antara penjual ataupun pembeli
tidak ada yang dirugikan.Karena unsur yang terpenting dalam jual-beli adalah kerelaan
antara kedua belah pihak, yaitu salah satu pihak tidak ada yang rugi. Sehingga perlu kita
mengetahui bagaimana etika dalam jual-beli yang sebenarnya.
Aktivitas antarmanusia-termasuk aktivitas ekonomi-terjadi melalui apa yang
diistilahkan oleh ulama dengan mu’amalah (interaksi). Pesan utama Al-Qur’an dalam
‫ل بَ ْي َن ُك ْام أ َ ْم َوالَ ُك ْام ت َأ ْ ُكلُوا َو َ ا‬
mu’amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: ‫ل‬ ِ َ‫ِب ْالب‬
‫اط ِا‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan
interaksi keuangan di antara kamu secara bathil…” (QS Al-Baqarah [2]: 188).
Dari ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa dalam hal jual beli pun diatur oleh Allah
mulai dari hal kecil hingga hal yang besar seperti akad dalam jual beli, mendatangkan
saksi dalam bertransaksi dan haramnya memakan riba. Lalu seperti apakah penafsiran
ayat-ayat yang berbicara tentang jual beli? Dalam hal ini pemakalah akan membahas
penafsiran ayat-ayat tentang jual beli menurut para mufassir. Semoga bermanfaat.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah yang dimaksud dengan jual beli?

2. Bagaimana bunyi Ayat-ayat tentang Jual Beli? Serta bagaimana penafsirannya?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jual Beli

Dalam bahasa Arab, jual beli disebut dengan al-bai’, dari segi bahasa berarti
memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti (Abdul Aziz
Muhammad Azzam, 2010), atau menukar suatu barang dengan barang yang lain (barter).
Sedangkan menurut istilah, al-bai’ memiliki banyak pengertian sebagaimana dikemukakan
oleh para ulama:

Pertama: Imam Hanafi (Mazhab Hanafi); jual beli ialah pertukaran suatu harta dengan
harta yang lain menurut cara tertentu.

Kedua: Imam Syafi’i (Mazhaab Syafi’i); jual beli ialah pertukaran sesuatu harta benda
dengan harta benda yang lain, yang keduanya boleh di-tasharruf-kan (dikendalikan),
dengan ijab dan qabul menurut cara yang diizinkan oleh syari’at.

Ketiga: Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini; jual beli adalah; kontrak pertukaran harta
benda yang memberikan seseorang hak memiliki sesuatu benda atau manfaat untuk
selama-lamanya.

Keempat: Al-Qlayubi; akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada
kepemilikan terhadap satu benda atau manfaat untuk tempo waktu dan selamanya dan
bukan untuk bertaqarrub kepada Allah (bukan Hibah, Sadaqah, Hadiah, wakaf).

Defiinisi jual beli sebagaimana dikemukakan oleh para ulama di atas memberikan
suatu pengertian sekaligus penekanan bahwa istilah jual beli merupakan gabungan dari
kata al-bai’ (menjual) dan syira’ (membeli) – karena adanya keterlibatan aktif antara dua
belah pihak yang melakukan transaksi jual beli. Atau dengan kata lain, jual beli
merupakan aktifitas yang melibatkan dua belah pihak atau lebih untuk melakukan
pertukaran barang dengan cara tertentu, baik pertukaran barang dengan barang (barter)
maupun dengan alat tukar (uang).

Dalam definisi tersebut juga terkandung nilai, bahwa jual beli merupakan salah satu
proses al-taghayyur al-milkiyah (perubahan kepemilikan) dari pihak penjual kepada pihak
pebeli yang bersifat permanen. Oleh sebab itu, jual- beli yang syar’i adalah jual beli secara

2
lepas atau tidak diikat dengan syarat tertentu seperti menjual dalam waktu satu bulan, satu
tahun dan lainnya, atau menjual barang dengan syarat si pembeli harus menjual kembali
barang tersebut kepada pihak penjual pertama pada waktu yang sudah mereka tentukan.

B. Ayat-ayat tentang Jual Beli dan penafirannya


1. Ayat Al-Qur’an
ْ ‫اال َم ِس اذَلِكَ ابِاأَنَّ ُه ْم اقَالُوااإِنَّ َم‬
‫ااالبَ ْي ُعا‬ ْ َ‫امن‬ ِ ُ‫طان‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫طهُاال‬ ُ َّ‫اال ايَقُو ُمونَ اإِ َّل ا َك َماايَقُو ُم االَّذِيايَت َ َخب‬ ِ َ‫الَّذِينَ ايَأ ْ ُكلُون‬
َ َ‫االرب‬
َّ َ‫اوأَ ْم ُرهُ اإِل‬
‫ىاَّللاِا‬ َ ‫ف‬ َ َ‫سل‬ َ ‫ام ْن ا َربِ ِه افَا ْنت َ َهىافَلَهُا َماا‬ ِ ٌ ‫ظة‬
َ ‫االربَاافَ َم ْن ا َجا َءهُ ا َم ْو ِع‬
ِ ‫او َح َّر َم‬ ْ ُ‫اَّللا‬
َ ‫االبَ ْي َع‬ َّ ‫ااوأ َ َح َّل‬ ِ ‫ِمثْ ُل‬
َ َ‫االرب‬
275‫ا‬:‫اراهُ ْمافِي َهااخَا ِلد ُونَ ا–االبقرة‬ ِ َّ‫ص َحابُ االن‬ ْ َ ‫َو َم ْنا َعادَافَأُولَئِكَ اأ‬

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata
bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia
berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya
(terserah) kepada Allah. barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka,
kekal di dalamnya.”(Q.S Al-Baqarah:275)

Orang-orang yang
peringatan dari
ِ ‫ الَّذِينَيَأ ْ ُكلُون‬makan/ mengambil
‫َالربَا‬ ‫ظةٌ ِم ْن َر ِب ِها‬
َ ‫َم ْو ِع‬
Allah
Riba
‫ ليَقُو ُمونَا‬tidak dapat berdiri ‫ فَا ْنت َ َهى‬Lalu ia berhenti
melainkan seperti maka baginya
‫ِإ َّل َك َمايَقُو ُما‬ ُ‫فَلَ اه‬
berdirinya adalah
orang yang apa yang telah
َ ‫ش ْي‬
‫ط ُا‬
‫انا‬ ُ َّ‫الَّذِي َيت َ َخب‬
َّ ‫ط ُهال‬ َ ‫س َل‬
‫فا‬ َ ‫َماا‬
kemasukan syaitan berlalu
lantaran (tekanan) dan urusannya
‫ِمن َْال َمسا‬ ُ‫َوأ َ ْم ُر اه‬
penyakit gila adalah
Keadaan mereka
‫ذَ ِلكَا‬ ‫ ِإلَ َّا‬kepada Allah
ِ‫ىاَّللا‬
yang demikian itu
adalah disebabkan
‫ ِبأَنَّ ُه ْمقَالُوا‬mereka berkata ‫ َو َم ْنا‬barang siapa
(berpendapat)

3
sesungguhnya jual-
‫ِإنَّ َماا ْالبَ ْي ُعا‬ َ‫عا اد‬
َ ‫ ا‬yang kembali lagi
beli itu
maka mereka
ِ ‫ ِمثْل‬sama dengan riba
‫ُاالر َبا‬ ‫فَأُولَ ِئكَا‬
adalah
padahal Allah telah
‫ابا‬ ْ َ‫أ‬
ُ ‫ص َح‬
‫ ا َوأ َ َح ََّّلللَّ ُه ْالبَ ْي َاع‬menghalalkan jual- penghuni neraka
‫النَّ ِا‬
‫ار‬
beli
Mereka yang
dan mengharamkan ‫ُه ْمافِي َهاا‬
‫الربَاا‬
ِ ‫َو َح َّر َم‬ kekal di
riba ‫خَا ِلدُونَا‬
dalamnya
Barang siapa yang
ُ‫فَ َم ْن َجا َءاه‬
datang kepadanya

‫ البيع‬artinya penjualan antonim dari lafadz [‫]الشراءا‬, yang berarti pembelian. Begitu juga
Dalam kamus al-‘Ashri diartikan dengan penjualan, bentuk jamaknya (plural) adalah ‫بيوع‬.
Dalam terjemah al-Qur’an al-Karim yang diterbitkan oleh Mujamma al-Malik Fahd, kata al-
bai’ diartikan jual beli[4], begitu juga Quraish Shihab, sedangkan Hamka dalam tafsirnya
menterjemahkan kalimat al-bai’ dengan perdagangan, Dalam hal ini Hamka
menterjemahkannya dengan sinonim kata jual beli.

ِ ‫امثْ ُل‬
‫االربَا‬ ْ ‫( ِإنَّ َم‬sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba), menurut Wahbah dan
ِ ‫ااالبَ ْي ُع‬
ash-Shabuni adalah tasybih maqlub, lebih lanjut ash-Shabuni mengatakan ini merupakan
tingkatan tertinggi dari tasybih. Sai’d Hawa mengatakan “tidak dikatakan riba seperti jual
beli, sedangkan kalamnya berkaitan dengan riba bukan jual beli karena datang dengan jalan
mubalaghah. Yaitu, bahwa itikad mereka telah sampai pada halalnya riba, mereka
menjadikannya dasar dan aturan dalam jual beli sehingga mereka menyamakannya dengan
jual beli.

ْ ُ‫اَّللا‬
‫االبَ ْي َعا‬ َّ ‫( َوأَ َح َّل‬padahal Allah telah menghalalkan jual beli), Al-Qurtubi mengatakan ayat
ini menunjukkan keumuman al-Quran, alif dan lam (pada kalimat al-Bai’) adalah lil jinsi
bukan lil ‘ahdi, kemudian ditahsis oleh riba dan larangan lainnya seperti jual beli khomer dan
bangkai dan yang lainnya berdasarkan sunnah dan ijma ummat`

Al-Jashās mengatakan tidak ada perbedaan dikalangan ahli ilmu walaupun ayat ini
umum tapi yang dimaksud adalah khusus. Para Ahli ilmu sepakat bahwa banyak sekali jual

4
beli yang dilarang, seperti menjual yang belum ada atau yang tidak ada pada orang atau jual
beli yang mengandung unsur penipuan atau jual beli barang-barang yang diharamkan.

Menurut as-Sa’di, ayat ini adalah dasar halalnya semua transaksi usaha hingga ada dalil
yang melarangnya. Begitu juga Wahbah, beliau mengatakan bolehnya semua jual beli yang
tidak dilarang oleh syara’1

Sebagaimana yang dikatakan oleh para mufassir ayat ini adalah ayat yang bersifat
umum, kemudian ada ayat dan hadist yang mentahsis ayat tersebut diantaranya adalah
larangan tentang jual beli:

1) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar
barang yang masih ditawar orang lain.
Sebagaimana dalam hadist Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar:
‫علَى بَي ِْع أَ ِخي ِه‬ ُ ‫س َّل َم قَا َل ََل يَبِي ُع بَ ْع‬
َ ‫ض ُك ْم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬
Bahwa Rasulullah saw. bersabda “janganlah sebagian kalian melakukan jual beli di
atas jual beli sebagian yang lain”
2) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain, disini dikecualikan pelelangan.
Pelelangan boleh berdasarkan ijma dan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud,
tirmidzi, Ahmad dari sahabat Anas bin malik. Larangan itu hanya pada penawaran
saat jual beli sedangkan mujayadah (lelang) diluar jual beli.
3) Orang kota menjualkan barang orang dusun. Dalam arti menjadi calo. Dilarangnya hal
ini karena ketidaktahuan pedagang dusun akan harga sesungguhnya
Sebagaimana dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah saw. bersabda:
ِ ‫ََل َي ِب ْع ح‬
‫َاض ٌر ِل َباد‬
Janganlah orang kota menjual komoditi orang desa
4) Menjual Anjing
Sebagaimana dalam Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibn Masu’d:
‫ان ا ْلكَا ِهن‬ ِ ‫س َّل َم نَهَى ع َْن ث َ َم ِن ا ْل َك ْل‬
ِ ‫ب َو َمه ِْر ا ْلبَ ِغي ِ َو ُح ْل َو‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫أنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬
Bahwa Rasulullah melarang harga dari menjual anjing, upah melacur dan upah dukun.
5) Berjualan ketika adzan jum’at dikumandangkan.
Sebagaimana dalam firman Allah swt. dalam al-Quran Surat al-Jumua’h ayat 9.

1 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Keserasian al-Qur’an. hlm. 356-357

5
‫َّللا َوذَ ُروا ا ْلبَ ْي َع ذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
ِ َّ ‫س َع ْوا ِإ َلى ِذك ِْر‬ َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا ِإذَا نُود‬
ْ ‫ِي ِللص َََّل ِة ِم ْن يَ ْو ِم ا ْل ُج ُم َع ِة َفا‬
َ‫ت َ ْع َل ُمون‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada
hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingan Allah dan tinggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik jika kamu mengetahui.

Selain hal diatas masih banyak lagi jual beli yang tidak diperbolehkan oleh Islam,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi bahwa ada 56 jual beli yang tidak sah dan
dilarang oleh syara’

C. Etika Jual Beli

‫ااوإِذَاا‬ ُ ‫سااإِ َّل‬


َ ‫او ْسعَ َه‬ ً ‫فانَ ْف‬ ِ ‫او ْال ِميزَ انَ ابِ ْال ِقس‬
ُ ‫ْط َالانُكِاَل‬ ْ ُ‫اوأَ ْوف‬
َ ‫وااال َك ْي َل‬ ُ َ ‫سنُ ا َحتَّىايَ ْبلُغَاأ‬
َ ُ‫شدَّه‬ َ ‫َو َلات َ ْق َربُواا َمالَا ْاليَتِ ِيماإِ َّلابِالَّتِياه‬
َ ْ‫ِياأَح‬
)152‫ا‬:‫صا ُك ْما ِب ِهالَ َعلَّ ُك ْماتَذَ َّك ُرونَ ا(النعام‬ َ ‫ِاَّللاِاأ َ ْوفُوااذَ ِل ُك ْم‬
َّ ‫او‬ َ ُ‫قُ ْلت ُ ْمافَا ْع ِدل‬
َ َ‫وااولَ ْوا َكانَ اذَااقُ ْرب‬
َّ ‫ىاو ِب َع ْهد‬

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara terbaik, hingga dia
mencapai kedewasaannya. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan bil qist (dengan
adil). Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai kemampuannya.
Dan apabila kamu berucap, maka berlaku adillah, kendati pun dia adalah kerabatm(-mu),
dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kamu agar kamu
terus ingat.”
Ayat di atas mengandung beberpa larangan, diantaranya adalah larangan untuk
mengurangi takaran atau timbangan. Ini diisratkan oleh Allah dengan kata-kata
“Sempurnakanlah takaran dan timbangan bi al-qisth, yakni dengan adil, konsensus
keadailan adalah dengan penakaran dan pemimbangan yang pas dan sesuai tanpa
pengurangan. Konsekuensi logisnya, jika terdapat suatu kecurangan akan berakibat
kerugian dari penerima, pembeli, penukar, peminjam dan ataupun pemilik, pedagang,
penjual, hal ini kelura dari pembahsan shodaqoh yang diberikan oleh penjual, pemilik,
pedagang kepada pelangannya. Kesesuaian aturan tersebut menjadikan kedua belah pihak
tidak ada yang dirugikan.
Allah SWT dalam ayat tersebut menggunakan bentuk perintah sekaligus
mengandung unsur larangan penyelewengan dalam penakaran dan penimbangan (wa auful
kaila wal mizana bil qisth). Thahir ibn Asyur mengatakan bahwa hal tersebut memberikan
isyarat mereka dituntut untuk menyempurnakan timbangan dan takarannya. Sehingga

6
mereka tidak hanya berusaha untuk tidak mengurangi, tetapi perhatiaannya juga pada
penyempurnaannya.2
Kata ‫بِا ْل ِقسْط ا‬bukan hanya sebatas berlaku adil antara kedua pihak yang bertransaksi,
namun mengandung makna rasa senang di antara keduanya. Yang artinya timbangan atau
takaran harus menyenangkan kedua belah pihak. Jadi kaitannya dengan jual beli, kejujuran
antara penjual dan pembeli perlu dibangun dan diaplikasikan dalam praktik jual beli secara
khusus tanpa adanya tindak kecurangan3
‫اَّللاَا‬ َ ُ‫او َل ات َ ْقتُلُوااأَ ْنف‬
َّ ‫س ُك ْم ا ِإ َّن‬ َ ‫ام ْن ُك ْم‬ َ ‫ل ا ِإ َّل اأ َ ْن ات َ ُكونَ ا ِت َج‬
ٍ ‫ارة ًا َع ْن ات ََر‬
ِ ‫اض‬ ِ ‫واال ات َأ ْ ُكلُوااأ َ ْم َوالَ ُك ْم ا َب ْي َن ُك ْم ا ِب ْال َب‬
‫اط ِا‬ َ ُ‫َيااأ َ ُّي َهااالَّذِينَ اآ َمن‬
)30-29:‫ِيراا(النساء‬ َّ َ‫ااو َكانَ اذَلِكَ ا َعل‬
ً ‫ىاَّللاِايَس‬ َ ‫َار‬ً ‫ص ِلي ِهان‬ْ ُ‫فان‬ َ َ‫ظ ْل ًمااف‬
َ ‫س ْو‬ ُ ‫ااو‬
َ ً‫عد َْوان‬ ُ ‫ا َو َم ْنايَ ْفعَ ْلاذَلِكَ ا‬.‫ار ِحي ًما‬ َ ‫َكانَ ابِ ُك ْم‬
Penggunaan kata Bathil yang mengngandung makna larangan dalam memperoleh
harta merupakan sebagai sebab untuk dapat memperoleh makanan sebagai konsumsi
keseharian. Maka wujud dari korekasi kata la ta’kuluu dengan amwalakum ada pada
sebab-akibat yang terjadi, ketika terdapat harta dimungkinkan akan terjadi aktifitas
komsumsi –makan- karena secara umum kebutuhan primer masyarakat lebih dominan
“makan”, tanpa menghilangkan konsumsi “minum”. Kalau makan merupakan kebutuhan
primer yang disebebkan adanya harta terlarang dilihat dari cara perolehannya secara batil,
tentu lebih terlarang jika perolehan makanan sebagai konsumsi didapati dari cara yang
batil, seperti: mengutil mencuri -dalam bentuk yang bersifat bahan pangan- dan
sebangainya. Atapun barang kebutuhan yang menyangkut kebutuhan skunder atau tertier.
Kata ‫أَ ْم َوالَ ُك ْما‬amwalukum yang dimaksud adalah harta yang beredar dalam masyarakat.
Di mana dalam surat an-Nisa juga disebutkan term amwalukum yang menunjukan bahwa
harta yang beredar di masyarakat bertujuan untuk menghasilkan manfaat bagi masyarakat.
Semua pihak baik pembeli, penjual, penyewa maupun pemilik sewaan tentulah
mempunyai orientasi keuntungan yang inggin di dapati.
Dhomir kum yang disandarkan pada lafdz amwal menunjukan akan fungsi sosial,
dimana hal tersebut dapat mengundang jalinan kerja sama tanpa penyelewengan. Sebagai
anjuran bersyari’at dalam berbisnis hendaknya kedua belah pihak berada pada keadaan
atau tempat tanpa adanya ketimpangan –seimbangan-. Inilah yang diisyaratkan oleh ayat
di atas dengan kata ‫بينكما‬bainakum.

2 Dr. Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah,Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 189-190

7
Maka Allah menetapkan neraca dan memerintahkan untuk menegakkannya bil qisth,
bukan bil ‘adl. “Allah telah meninggikan langit dan dia meletakan neraca, dan tegakanlah
timbangan itu dengan qisth dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (QS. Ar-Rahman
:9) Menegakan neraca dengan qisth menjadikan kedua belah pihak tidak mengalami
kerugian, bahkan masing-masing memperoleh apa yang diharapkannya.
Sementara Thabathaba’I menangkap pesan lain dari kata bainakum. Menurutnya,
kata tersebut mengandung arti adanya gabungan harta diantara mereka. Dilarangnya
memakan harta di antara mereka, memberi petunjuk bahwa memakan harta orang lain
tanpa ijin bahkan secara batil, merupakan tindakan transaksi yang memicu hal negatif
lainnya sehingga mengantarkan pada kehancuran dan kebejatan seperti praktik riba,
perjudian, jual beli yang mengandung penipuan dan lain-lain4
Rasulallah juga menegaskan adanya larangan jual beli yang mengandung unsur
penipuan, bahkan orang yang melakukan tindakan tersebut tidak dianggap golongan
beliau. Sebagaimana beliau bersabda dalam sebuah hadits:
‫امناغشناافليسامنا‬:‫اقالارسولاهللااصلىاهللااعليهاوسلم‬:‫أناأبااقال‬
“Dari Abu al-Hamra, ia berkata: rasulallah Saw bersabda: Barangsiapa yang menipu kami,
‫ ا‬maka dia bukan (golongan) kami.”(HR. Ibnu Majah)
Ayat diatas (QS. An-Nisa) menekankan juga keharusan mengindahkan peraturan yang
ditetapkan dan tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh ayat diatas dengan al-bathil yakni
pelanggaran terhadap ketentuan aturan syari’at yang telah disepakati. Dalam konteks ini, nabi
bersabda, “Kaum muslim sesuai dengan (harus menepati) syarat-syarat yang mereka sepakati,
selama tidak menghalalkan yang haram/mengharamkan yang halal.
Selanjutnya ayat diatas menekankan juga keharusan adanya kerelaan kedua belah
pihak, atau yang diistilahkannya dengan ‘an taraadhim minkum. Sebagian ulama mengatakan
bahwa kerelaan adalah sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-
tandanya dapat diketahui. Ijab dan qabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat istiadat
sebagai serah terima, merupakan suatu bentuk yang digunakan sebagai hukum untuk
menunjukan indikator kerelaan.

4 Muhammad Sayid Thantawi, Tafsir‫ ا‬al-Washit, hal. 126.

8
C. Kewajiban Mendatangkan Saksi Dalam Segala Bentuk Transaksi

‫اربَّه َُاو َلا‬ َ َّ ‫ق‬


َ ‫اَّللا‬ ِ َّ ‫ُاو ْل َيت‬
َ ‫ض ُك ْما َب ْعضًاافَ ْلي َُؤدِاالَّاذِيااؤْ ت ُ ِمنَ اأ َ َمانَتَه‬
ُ ‫ضةٌافَإ ِ ْناأ َ ِمنَ ا َب ْع‬
َ ‫َانا َم ْقبُو‬
ٌ ‫اولَ ْمات َِجد ُوااكَا ِتبًاافَ ِره‬ َ ‫َو ِإ ْنا ُك ْنت ُ ْما َعلَىا‬
َ ‫سفَ ٍر‬
‫ش َهادَة ََاو َم ْنايَ ْكت ُ ْم َهاافَإِنَّهُاآثِ ٌماقَ ْلبُه َُاو َّا‬
﴾٢٨٣﴿‫َّللاُابِ َماات َ ْع َملُونَ ا َع ِلي ٌما‬ َّ ‫ت َ ْكت ُ ُموااال‬

“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu
menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya
kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah/1: 283)
Ayat ini menerangkan tentang muamalah (transaksi) yang dilakukan tidak secara
tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak ada juru tulis yang akan menuliskannya.
Dalam hal muamalah yang tidak tunai, yang dilakukan dalam perjalanan dan tidak
ada seorang juru tulis yang akan menuliskannya, maka hendaklah ada barang tanggungan
(agunan/jaminan) yang diserahkan kepada pihak yang berpiutang. Kecuali jika masing-
masing saling mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah, maka muamalah itu
boleh dilakukan tanpa menyerahkan barang jaminan

9
KESIMPULAN

Dari makalah diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

Jual beli merupakan aktifitas yang melibatkan dua belah pihak atau lebih untuk
melakukan pertukaran barang dengan cara tertentu, baik pertukaran barang dengan barang
(barter) maupun dengan alat tukar (uang).

Beberapa ayat dan hadist yang mentahsis ayat tersebut diantaranya adalah larangan
tentang jual beli:

a) Menjual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar
barang yang masih ditawar orang lain.
b) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain, disini dikecualikan pelelangan..
c) Orang kota menjualkan barang orang dusun. Dalam arti menjadi calo.
d) Menjual Anjing
e) Berjualan ketika adzan jum’at dikumandangkan.

Selain hal diatas masih banyak lagi jual beli yang tidak diperbolehkan oleh Islam,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn al-‘Arabi bahwa ada 56 jual beli yang tidak sah dan
dilarang oleh syara’

10
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mardani, Ayat-ayat dan Hadits Ekonomi Syariah,Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal.
189-190
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan dan Keserasian al-Qur’an. hlm. 356-357

Muhammad Sayid Thantawi, Tafsir‫ ا‬al-Washit, hal. 126.

11

Anda mungkin juga menyukai