1. Pengertian Riba
Secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur,tambahan), seperti
terdapat dalam ayat berikut ini
ْ ﻧ َبﺘٝ َ ت َوأ
)٥( َِت ِمن ُك ِل زَ ْوجِ بَﻬِﻴبِح ْ فَٳ ذَآ أ َﻧﺰَ ْلنا َﻋَلَﻴْﻬَا ا ْل َما ٓ َء ٱ ْﮬﺘَ َّز
ْ ت َو َر َب
“kemudian apabila telah kami turunkan air atasnya, hiduplah bumi itu dan
subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah
“(Q.S. al-Hajj:5)1
)٩٢( أَن تَ ُكونَ أ ُ َّمةٌ ﮬِﻲَأَرﻰَ ِمن أ ُ َّم ٍة
“Disebabkan adanya suatu ummat (islam) yang bertambah banyak jumlahnya
dari ummat yang lain”. (Q.S. al-Nahl:92)2
1
al-Qur’an, 22:5
2
Ibid., 16:92
3
Yazid, Muhammad, Ekonomi Islam (Surabaya:IMTIYAZ,2017) ha.l 75
a. Berdasarkan Al-Qur’an
Proses keharaman riba tidak langsung satu kali, tetapi berlangsung secara
bertahap, terkait dengan kondisi dan kesiapan masyarakat dalam menerima
suatu perintah. Hal ini dikarenakan agar tidak mengagetkan mereka yang telah
biasa melakukan perbuatan riba yang sudah menjadi kebiasaan sehingga
mendarah daging yang melekat dalam perekonomian jahiliyah. Ayat yang
diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang pada akhirnya ditetapkan
permanen dan tuntas melalui empat tahap.
Tahap pertama adalah surat ar-Rum:39, ayat yang menerangkan tentang
asumsi manusia menganggap harta riba akan menambah hartanya, padahal di
sisi Allah SWT asumsi itu tdak benar, karena hartanya tidak bertambah
dikarenakan riba. Pada ayat ini tidaklah menyatakan larangan dan belum
mengharamkanya.
Surat ar-Rum ayat 39, artinya :
4
al-Qur’an, 30:39
اط ِل ۚ َوأ َ ْﻋﺘَدْﻧَا ِل ْلكَافِ ِرينَ ِم ْن ُﻬ ْم َﻋذَابًا أ َ ِلﻴ ًما
ِ َاس بِ ْالب
ِ َّالربَا َوقَدْ ﻧُ ُﻬوا َﻋ ْنهُ َوأ َ ْك ِل ِﻬ ْم أ َ ْم َوا َل الن
ِ َوأَ ْخ ِذ ِﮬ ُم
)١٦١(
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahl sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dank arena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir
di antara mereka itu siksa yang pedih”. (an-Nisa :161)5
Tahap ketiga, dalam surah Ali-Imran ayat 130-131 yang isinya tentang
pelarangan riba secara tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamkannya
dalam berbagai bentuknya, tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang
melakukan riba telah melakukan kriminalitas. Dalam ayat ini jika ditemukan
melakukan tindakan kriminalitas, maka akan diperangi oleh Allah SWT dan
Rasulnya.
) فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ْفعَلُوا فَأْذَﻧُوا٢٧٨( َالربَا إِ ْن ُك ْنﺘ ُ ْم ُمؤْ ِمنِﻴن َّ يَا أَيُّ َﻬا الَّذِينَ آ َمنُوا اتَّقُوا
َ َّللاَ َوذَ ُروا َما بَ ِق
ِ َﻲ ِمن
ْ ُ وس أ َ ْم َوا ِل ُك ْم ََل ت َْظ ِل ُمونَ َو ََل ت
)٢٧٩( َظلَ ُمون ُ سو ِل ِه ۖ َوإِ ْن ت ُ ْبﺘ ُ ْم فَلَ ُك ْم ُر ُء َّ َب ِمن
ُ َّللاِ َو َر ٍ بِ َح ْر
5
Al-Qur’an, 2:161
6
Ibid., 3:130-132
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketauhilah, bahwa Allah dn Rasul-Nya akan memerangimu.dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”(Al-Baqarah:278-2797)
7
al-Qur’an, 2:278-279
8
Veithzal, Andi Bchari, Islamic Economics (Jakarta:PT Bumi Aksara,2009)hal.270
3) Dalam menunaikan haji yang terakhir, Rasulullah bersabda yang
maksudnya:
“Segala bentuk riba adalah diharamkan, sesungguhnya modal
yang kamu memiliki adalah untukmu, kamu tidak akan dianiaya
dn tidak akan menganiaya. Allah telah menurunkan perintah-Nya
bahwa riba diharamkan sama sekali. Saya bermula dengan
(junlah) bunga ( yang dipinjamkan kepada banyak orang)ndari
Abbas yang membatalkan semuanya. “ selanjutnya beliau atas
nama pamannya”Abbas, telah membatalkan seluruh total bunga
terhadap pinjaman modal dari peminjam.”
Dari hadis Rasullallah SAW, juga dengan tegas melarang praktik
riba. Riba dalam suatu pinjaman tidak hanya ada apabila pemberi
pinjaman menekankan pengembalian uang yang dipinjamkan dengan
jumlah yang lebih besar juga keuntungan lain yang diperoleh dari
pinjaman tersebut9.
3. Macam-macam Riba
Riba dilihat dari asal transaksinya dapat dikelompokkan menjadi dua
jenis yaitu riba yang berasal dari transaksi utang piutang dan jual beli.
a. Riba dari Utang Piutang
Riba ini bisa terjadi diakibatkan adanya transaksi utang piutang
antara kedua belah pihak. Riba yang berasal dari utang piutang
dibagi menjadi dua jenis yaitu:
1) Riba Qardh
Adalah suatu tambahan atau kelebihan yang telah
disyaratkan dalam perjanjian antar pihak pemberi dan
peminjam. Dalam perjanjian disebutkan bahwa pihak
9
Ismail, Perbankan Syariah (Jakarta:Kencana,2011) hal.21
pemberi pinjaman meminta tambahan sejumlah tertentu
kepada pihak peminjam pada saat peminjam akan
mengembalikan pinjamannya.
2) Riba Jahiliyah
Merupakan riba yang timbul sebab adanya
keterlambatan pembayaran dari sipeminjam sesuai dengan
waktu pengembalian yang telah diperjanjikan. Dalam hal
ini si peminjam akan dikenakan pembayararan dengan
jumlah tertentu karena tidak mampu membayar sesuai
dengan waktu yang disepakati dan tambahan tersebut
dinamakan riba.
b. Riba dari Transaksi Jual dan Beli
Riba juga bisa disebabkan dari transaksi pertukaran barang atau
jual beli. Riba ini dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu:
1) Riba Fadhl
Yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan
kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang
dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi,
dua pihak melakukan transaksi pertukaran barang
sejenis, namun satu pihak akan memberikan barang
ini dengan jumlah,kadar, atau takaran yang lebih
tinggi. Maka, kelebihan dari transaksi tersebut
dinamakan riba.
2) Riba Nasi’ah
Merupakan pertukaran antar jenis barang ribawi
yang satu dengan yang lainnya. Pihak satu akan
mendapatkan barang yang jumlahya lebih besar
disebabkan adanya perbedaan waktu dalam
penyerahan barang tersebut.
HAK TERHADAP HARTA
Kata hak berasal dari bahasa arab “ha>q” yang memiliki beberapa makna.
Diantaranya, hak bermakna “ketetapan” atau kepastian. Sedangkan secara istilah,
pengertian hak adalah himpunan kaidah dan nash-nash syari’at yang harus dipatuhi
untuk membuat pergaulan manusia yang berkaitan dengan perorangan ataupun
berkaitan dengan harta benda10.
Harta (al-amwal) adalah, secara ekonomi merupakan barang yang dapat dimiliki,
dikuasai, diusahakan dapat dialihkan baik benda berwujud, maupun tidak berwujud,
baik benda yang terdaftar maupun tidak terdaftar, baik benda yang bergerak
ataupun tidak bergerak dan barang yang mempunyai nilai ekonomis11.
Harta secara ekonomi islam itu semata-mata milik Allah, manusia hanya sebagai
turunan saja atau pemilik majazi, hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an
yakni Al-Maidah 5:17
1. Wujud (‘aniyah)
Ialah bahwa harta itu ada wujudnya dalam kenyataan
10
Abdul Latief, “Kajian Fiqih Muamalah”, dalam http://asaku09.blogspot.in/2010/12/hak-atas-harta
(29 Maret 2018, pkl 20:15)
11
Nawawi, Ismail, Isu-Isu Ekonomi Islam (Jakarta:VIV Press Jakarta,2013).47
12
Al-Qur’an, 5:17
2. Kebiasaan dalam masyarakat (‘urf)
Ialah segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau
sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecuali
menginginkan manfaatnya
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa harta merupakan materi yang
berwujud yang disenangi manusia dan bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan dan
sebagai alat pemuas kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Dalam pengertian ini
yang dimaksud adalah harta yang bersifat ekonomi sebagai alat pemuas untuk
kebutuhan manusia.
Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta. Walaupun begitu islam
memberikan batasan tertentu supaya kebebasan itu tidak merugikan kepentingan
orang lain ataupun masyarakat umum. Prinsip utama dalam islam adalah
memberikan kepada individu hak-hak mendasar dengan suatu cara yang tidak
merusak keseimbangan dalam distribusi kekayaan. Pada satu sisi, islam
memberikan kepada individu hak kepemilikan perorangan dan hak untuk
menikmati kekayaanya.
Di sisi lain, islam mengikat hak-hak tersebut dengan ikatan moral dan
perundang-undangan suapaya kekayaan tidak menumpuk pada satu kelompok saja,
tapi beredar pada semua orang, sehingga masing-masing mendapatkan bagian yang
adil dan pantas. Misalnya kewajiban mengeluarkan zakat terhadap orang-orang
kaya yang diberikan kepada orang-orang tidak mampu. Berdasarkan prinsip ini
sistem ekonomi Islam berbeda dengan prinsip sistem ekonomi kapitalis yang
memberikan kebebasan secara mutlak kepada individu untuk memiliki dan
memanfaatkan kekayaannya dan sistem ekonomi sosialis yang menafikan hak
kepemilikan individu13.
13
Rozalinda, Ekonomi Islam (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada,2014).24