Anda di halaman 1dari 11

BAB III

GEOGRAFIdanGEOLOGI REGIONAL

3.1 GEOGRAFI

3.1.1 PendudukdanSosialBudaya.

Berdasarkan data KPH Sarolangun tahun 2014, jumlah penduduk di daerah penelitian

sebanyak 4.622 jiwa (2.471 laki-laki dan 2151 perempuan) dengan jumlah 962 kepala keluarga

(KK).

Tabel 3.1. Jumlah penduduk daerah penelitian tahun 2014.

Jumlah Penduduk
Desa Jumlah KK
Total Jiwa Laki-Laki Perempuan
Berkun 1.602 954 648 208
Mersip 1.035 533 502 260
Meribung 1.114 556 558 272
Napal Melintang 871 428 443 222

Sumber : KPH Sarolangun.

Penduduk di daerah penelitian yaitu desa Berkun, Mersip, Meribung dan Napal

Melintang terdiri dari bermacam - macam suku, selain suku asli setempat juga terdapat suku

Jawa, Sumsel dan aceh yang umumnya sudah berbaur menjadi satu dalam kelompok masyarakat

di pedesaan. Masyarakat di daerah penelitian secara mayoritas memeluk agama islam dan bahasa

yang digunakan adalah bahasa melayu (Sarolangun) Jambi.

Penduduk setempat umumnya bekerja tidak menetap, pekerjaan yang terkadang

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari diantaranya perswahan, perladangan,

pedagang, perkebunan karet, tukang dan mengambil hasil hutan (non kayu dan sejenisnya).
Pekerjaan penduduk lain berupa mendulang emas dan pegawai negeri/swasta. Fasilitas umum

seperti sarana peribadahan, puskesmas dan sekolah juga dapat dijumpai di daerah penelitian.

3.1.2. IklimdanCurahHujan.

Secara umum daerah kabupaten Sarolangun, kecamatan Limun, desa Berkun, Mersip,

Meribung dan Napal Melintang beriklim tropis dengan temperatur udara berkisar anatara 23-32
0
C, kelembaban udara 78%-91% dan lama penyinaran matahari 27,7%-38,4%.

Berikutcurahhujan rata-rata KabupatenSarolangundaritahun 2001-2010 :

Tabel 3.2. Data curah hujan kabupaten Sarolangun tahun 2001-2010.

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2001 383 275 290 394 231 204 35 137 94 203 342 271
2002 366 181 433 258 486 134 83 143 101 31 245 291
2003 162 240 229 379 307 65 216 235 165 139 373 479
2004 257 138 470 185 100 36 233 84 300 256 436 369
2005 123 181 350 350 304 109 141 162 282 334 524 417
2006 186 239 187 109 69 81 174 57 114 29 132 120
2007 384 100 283 339 139 177 198 169 83 380 174 413
2008 369 178 137 307 112 70 75 136 134 373 272 242
2000 157 190 179 246 116 79 51 152 232 204 255 466
2010 347 334 294 263 149 36 84 209 130 121 366 161
Rata-
273,4 205,6 285,2 283 202,1 104,1 129 148,4 163,5 207 311,9 322,9
Rata

Sumber : https://namasayasurung.wordpress.com/2013/12/05/statistik-curah-hujan/

Dari rata-rata curah hujan di atas, daerah penelitian mengalami musim kemarau pada

bulan Juni hingga Agustus dan musim hujan pada September hingga Mei, dimana musim

kemarau didefinisikan jika dalam satu bulan curah hujan kurang dari 150 mm dan musim hujan

jika lebih atau sama dengan 150 mm.


Curah hujan rata-rata kab. Sarolangun 2001-2010

350

300

250

200

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Gambar 3.1.Grafik curah hujan rata-rata di kabupaten Sarolangun tahun 2001-2010.


Sumber : https://namasayasurung.wordpress.com/2013/12/05/statistik-curah-
hujan/

3.1.3. Vegetasi (Flora) & Fauna.

Secara umum vegetasi di daerah penelitian terdiri dari perkebunan karet, jenis karet lokal

dan untuk kategori tanaman muda (ladang) yaitu padi jenis padi lokal. Sebagian kecil hutan yang

ditumbuhi berbagai macam tumbuhan hutan dan dari beberapa hutan tersebut terdapat juga hutan

adat yang dilindungi oleh masyarakat di desa daerah penelitian.

Jenis fauna yang dijumpai berupa hewan ternak seperti Kerbau, kambing, ayam dan

hewan liar seperti ular, biawak, babi hutan, kera serta berbagai jenis burung dan ikan air tawar

yang cukup banyak di Sungai.Hampir di setiap desa memiliki sungai yang masuk dalam rimbo

larangan, sungai yang masuk dalam kategori rimbo larangan tersebut setiap orang tidak

diperbolehkan untuk memancing atau mengambil ikan yang hidup di sungai tersebut, jika

seseorang mengambil ikan yang hidup di sungai tersebut dengan cara memancing ataupun
sebagainya, maka orang tersebut akan dikenakan denda serta sangsi sesuai dengan peraturan UU

yang terdapat di desa tersebut.

3.2. GEOLOGI REGIONAL

3.2.1. Fisiografi

Pulau Sumatera dibagi menjadi 6 (enam) zona fisiografi, yaitu (gambar 3.2) :

1. Zona Jajaran Barisan

2. Zona Semangko

3. Zona Tiga Puluh

4. Zona Kepulauan Busur Luar

5. Zona Paparan Sunda

6. Zona Dataran Rendah dan Berbukit

Berdasarkan posisi geografisnya, daerah penyelidikaan termasuk kedalam Zona Dataran

Rendah dan Berbukit. Zona ini dicirikan oleh perbukitan homoklin dengan elevasi antara 40-80

m diatas permukaan laut dan tersebar luas di pantai timur Pulau Sumatera.(Gambar 3.2).

Daerah penyelidikan termasuk kedalam Cekungan Sumatera Selatan, merupakan

cekungan belakang busur berumur tersier yang terbentuk akibat adanya interaksi antara Paparan

Sunda (sebagai bagian lempeng kontinen Asia) dan Lempeng Samudera Hindia. Cekungan ini

menempati daerah seluas 330 x 510 km2 secara geografis terletak di Sumatera Bagian Selatan

yang menempati posisi arah relatif baratlaut-tenggara (Koesoemadinata, 1976).


LokasiPenelitian

Gambar 3.2 Peta Zona Fisiografi Pulau Sumatera


Sumber :PusatSurveiGeologi, Bandung 2010
3.2.2. Stratigrafi

Peta geologi regional di daerah penyelidikan dan sekitarnya telah disusun oleh N.

Suwarna , Suharsono, S. Gafoer, TC Amin, Kusnama dan B. Hermanto(1992) seperti tercantum

pada Gambar 3.3.

Secara umum sedimentasi di Cekungan Sumatera Selatan merupakan suatu daur lengkap

yang terdiri dari daur regresi dan transgresi (Jackson, 1961, op cit Koesoemadinata, 1976). Fase-

fase tersebut adalah :

1. Fase Transgresi : ditandai dengan pengendapan Telisa secara tidak selaras diatas batuan

dasar berumur Pra-Tersier. Penurunan dasar cekungan lebih cepat dibandingkan dengan

proses sedimentasi, sehingga terbentuk urutan fasies non marin, transissi, laut dangkal,

dan laut dalam (Pulunggono, 1969).

2. Fase Regresi : Ditandai dengan pengendapan kelompok Palembang, Pada fase ini

pengendapan lebih cepat daripada penurunan dasar cekungan sehingga terbentuuk urutan

yang berbalikan dengan fase transgresi, yaitu fasies laut dangkal, transisi dan non marin.

Stratigrafi regional di Cekungan Sumatera Selatan menurut para peneliti terdahulu dibagi

atas beberapa formasi dan satuan batuan dari tua sampai muda, sebagai berikut :

 Formasi Asai; terdiri dari batupasir malih, filit, batusabak, batulanau terkersikkan grewake,

sispan batugamping, setempat batupasir kuarsa, argilit, sekis, genes, kuarsit, batutnduk.

 Anggota Mersip Formasi Peneta; Terdiri dari batugamping muda-tua kristalin.

 Formasi Peneta; Terdiri dari batusabak, serpih, batuanau dan batupasir, sisipan

batugamping, mengandung fosil clodocoropsis mirabilis.


Gambar 3.3 Sebagian Peta Geologi Regional Lembar Sarolangun (N. Suwarna ,Suharsono, S.
Gafoer, TC Amin, Kusnama dan B. Hermanto1992. Pusat Survey Geologi)

3.2.3. Sedimentasi Batugamping

Batugamping atau Batuan karbonat adalah batuan yang tersusun dari mineral-mineral

garam karbonat yang terbentuk secara kimiawi dalam bentuk larutan, dimana organisme perairan

turut serta dalam pembentukan batuan karbonat (Sedimentary carbonate by Jhonwaren,

University Brunei Darusalam).

Komponen pembentuk batuan karbonat terdiri dari :

1. Butiran karbonat (allocherms) :

- butiran skeletal : fragmen bagian yang keras dari organisme yang kalkareous dan

cangkang yang tidak pecah seperti moluska, echinaoid, ostrakodadan foraminifera.

- ooid :berbentuk speroidal, butiran ukuran pasir terdiri dari korteks (kulitluar) aragonite

atau kalsit yang dibentuk oleh akresi kimia disekitar inti partikel.

- pellets :berbentuk speroidal atau ellipsoid, berukuran pasir, terdiri dari mikrit, tidak

punya struktur dalam.


- litoklas :fragmen batuan karbonat.

- intraklas :fragmen batuan karbonat yang terbentuk lebih awal (berasal dari cekungan

yang sama).

- ektraklas :fragmen batuan karbonat dari umur yang berbeda atau berasal dari cekungan

yang berbeda.

2. Matrik lumpur karbonat (mikrit) : agregat (kumpulan) kalsit mikrogranular.

3. Semen spar : kalsit granular yang terkristalisasi dalam ruang kosong dalam endapan karbonat

atau batugamping, terutama antar butiran dan dalam rongga fosil.

Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) :Berdasarkan tekstur deposisi

batugamping, meliputi ukuran butir dan susunan butir (sortasi), hal yang perlu diperhatikan :

a. Derajat perubahan tekstur pengendapan.

b. Komponen asli terikat atau tidak terikat selama proses deposisi.

c. Tingkat kelimpahan antara butiran (grain) dan lumpur karbonat.

Berdasarkan tekstur :dari butiran vs matrik,maka batugamping terbagi menjadi :

- Mudstone : lumpur karbonat >>> butiran, butiran < 10 %

- Wackestone : lumpur karbonat > butiran (grain mud support), butiran > 10 %.

- Packstone : butiran > lumpur karbonat (mud grain support)

- Grainstone : butiran >>> lumpur karbonat (grainsupport)

- Bounstone : terdiri dari kerangka

- Crystalline karbonat : terdiri dari kristal, tekstur pengendapan tidak diketahui (gambar 3.4).
Gambar 3.4.Klasifikasi batugamping menurut Dunham (1962)

Batuan karbonat terbentuk baik secara klastik (melalui pengendapan mekanis) atau proses

konsentrasi kimia dari garam-garam karbonat yang berasal dari binatang-binatang laut termasuk

plangkton foraminifera atau moluska yang akan membentuk terumbu (reef) melalui proses

diagenesis (sementasi, mikritisasi (olehorganik), kompaksi, neomorfisme (proses penggantian

mineral ygsejenis (polimorf).

Batuan karbonat dapat terbentuk di lingkungan laut dangkal sampai litoral-neritik dalam

kondisi arus tenang, misalnya lingkungan lagoon, dimana oksigen cukup kaya sehingga

pertumbuhan binatang laut cukup baik. Model fasies pengendapan batuan karbonat dapat dilihat

pada gambar 3.5.


Gambar 3.5. Model Fasies Karbonat (sumber : Buku Lapangan ITB, Sistem Pengendapan
Karbonat)

3.2.3 StrukturGeologi

Secara regional, daerah penelitian dipengaruhi oleh system penunjaman antara Lempeng

Eurasia yang relative diam dan Lempeng India-Australia yang relative bergerak ke Utara-

Timurlaut. Efek penunjaman lempeng tersebut dipengaruhi oleh keadaan batuan, morfologi,

tektonik, dan struktur geologi daerah penyelidikan dan sekitarnya yang berada di Cekungan

Sumatera Selatan (Gambar3.6). Menurut De Coster (1974), Cekungan Sumatra Selatan telah

mengalami tiga kali orogenesa, yakni pada zaman Mesozoikum Tengah, KapurAkhir – Tersier

Awal, dan Plio-Plistosen.

Setelah orogenesa terakhir (Plio-Plistosen) dihasilkan kondisi struktur geologi regional

seperti terlihat pada saat ini, yaitu :

 Zona Sesar Semangko, merupakan hasil tumbukan antara Lempeng Samudera Hindia

dan Pulau Sumatera. Akibat dari tumbukan ini menimbulkan gerakrotasi (right lateral) di

antara keduanya.

 Perlipatan dengan arah utama baratlaut – tenggara yang terbentuk dari hasil efek gaya

kopel (pilinan) sesar Semangko.


 Sesar-sesar yang berasosiasi dengan perlipatan dan sesar-sesar Pra-Tersier yang

mengalami peremajaan (gambar 3.6).

Gambar 3.6.Penunjaman Lempeng yang mempengaruhi keadaan geologi di


daerah penyelidikan

Shell (1978) telah mengelompokkan lipatan-lipatan sebagai akibat orogenesa

plio_pleistosen di Cekungan Sumatera Selatan menjadi 3 buah antiklinorium, yaitu

Antiklinorium Muara Enim, Antiklinorium Pendopo dan Antiklinorium Palembang.

Anda mungkin juga menyukai