Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes pada tahun 1846.1
Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan
ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk memberikan
efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan tidak sadar
(unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon
autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai.2
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga komponen
penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.3

Terlepas dari cara penggunaanya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”,yaitu efek
hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi
kalau terjadi juga penekanan reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan
oleh eter.1,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi Umum


2.1.1 Definisi

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai


hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.3 Anestesi umum merupakan kondisi yang
dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan
obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon
rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap
rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya
kesadaran (unconsciousness).4 Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran , Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri,
Muscle relaxant: relaksasi otot rangka.

2.1.2 Trias Anesthesia

Terlepas dari cara penggunaanya, suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek
hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Sesungguhnya istilah anestesi hanya
digunakan untuk substansi yang bisa digunakan untuk mendapatkan ketiga efek
anestesi (trias anestesi) tanpa penambahan obat lain.
Overton adalah yang pertama kali mengangkat masalah keamanan dari agen-
agen anestesi yang digunakan, dan mengusulkan konsep anestesi modern dengan
mengunakan lebih dari satu agen. Hal ini cukup beralasan karena dapat
mengeliminasi sebagian dari efek samping yang muncul. Kemudian Overton
menyarankan penggunaan dua agen narkosis untuk mencapai efek yang diinginkan.
Pertama satu agen narkosis diberikan setengah dari dosis, kemudian diikuti dengan
satu agen anestesi yang berbeda dengan setengah dosis juga. Konsep ini digunakan
hingga sekarang dan menurunkan mortalirtas akibat dari prosedur anestesi. Dengan

2
munculnya konsep ini, maka munculnya istilah “Balanced Anesthesia” untuk
menggambarkan keseimbangan dari kombinasi obat anestesi. 5

Gambar 2. Balanced Anesthesia 7

2.1.3 Indikasi dan Kontraindikasi Anastesi Umum

Indikasi anestesi umum diantaranya:8


a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak (pasien tidak kooperatif)
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum.

Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum yaitu


gangguan kardiovaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol (diastolik
>110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis. Sedangkan kontraindikasi

3
mutlak anestesi umum adalah dekompresi kordis derajat III -IV, AV blok derajat II-
total (tidak ada gelombang P). 1
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki
beberapa tujuan, diantaranya: 1
a) Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
b) Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
c) Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
d) Kehilangan kesadaran
e) Relaksasi otot skeletal

2.1.4 Kelebihan Dan Kekurangan Anestesi Umum

Kelebihan:
a. Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b. Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
c. Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang
adekuat
d. Dapat digunakan pada pasien yang sensitive terhadap agen anestetik lokal
e. Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
f. Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau
lebih lama
g. Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible.2

Kerugian:
a. Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
b. Membutuhkan beberapa persiapan preoperative
c. Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif
d. Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit tenggorokan,
sakit kepala, menggigil dan lamanya perbaikan psikomotorik.2

2.1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum


1. Faktor Respirasi

4
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai
tekanan parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang dihirup tekanan
parsielnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat anestesi dalam alveoli
dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam
alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan
sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsiel di
dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi bila pemberian obat anestesi
dihentikan). Makin tinggi perbedaan tekanan parsiel makin cepat terjadinya
difusi. Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli
dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan
ventilasi alveoler meningkat atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya
pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi. 1

2. Faktor Sirkulasi

Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke


jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin sedikit
obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang
menurun. 1
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila
kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang
berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien
rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah,
akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu
anestesi diakhiri. 1
3. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

5
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah: ligament dan tendon. 1
4. Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk
mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah
konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang
dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra
maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat
anestesi tersebut. 1

2.1.7 Stadium Anestesi Umum3,4,8


Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama
berupa analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi
teratur, stadium 3 dan stadium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
Stadium I :Stadium I (St. Analgesia/ St. Disorientasi) dimulai dari saat
pemberian zat anestesi sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien
masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa
sakit).Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.Stadium ini berakhir dengan
ditandai oleh hilangnya reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut
bisa kita raba bulu mata).
Stadium II : Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium
I dan ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan refleks
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.

6
Stadium III : Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan.Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat digerakkannya
kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah.
– Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks
cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan
belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai
menurun).4
– Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.4
– Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan
peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot
semakin menurun).4
– Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat
menurun).4
Stadium IV : Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan
2.1.8 Induksi Anestesi Umum

1. Premedikasi

Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk premedikasi adalah :


 Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh
anestesi inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anestesia. Atropine

7
0,4-0,6 mg IM dapat mencegah hipersekresi ini 10-15 menit setelah
penyuntikan. Efek ini berlangsung selama ± 90 menit. Dosis obat ini
tidaklah cukup untuk mencegah perubahan kardiovaskular akibat
rangsangan parasimpatis, berupa hipotensi dan bradikardia, yang
disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian berulang
suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan dosis IV 1,5-2 mg pada
dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada anak.8
 Obat golongan analgetik narkotik
Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan
pasien, mengurangi nyeri. Teknik anestesi berimbang dapat membuat
dampak buruk morfin yaitu memperpanjang waktu pemulihan dan depresi
kardiovaskular, dapat diatasi, dan mual, muntah serta nyeri paska bedah
dapat dikurangi. Morfin 8-10 mg yang diberikan IM biasanya sudah cukup
untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/kg IV sudah cukup
untuk menimbulkan analgesia. Dalam dosis berimbang dengan N2O
diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB, sedangkan apabila digunakan
anestetik inhalasi lainnya dianjurkan dosis tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB. 8
Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai
dengan urutan kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali), remifentanil (300
kali), fentanil (100 kali), alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan meperidin
(0,1 kali). Pemilihan penggunaan analgesik opioid didasarkan pada lama
kerja karena semuanya dapat memberikan efek analgesia dan efek samping
sama. Berdasarkan lama kerjanya, analgesik opioid dibedakan atas opioid
dengan lama kerja singkat misalnya remifentanil (10 menit), dan opioid
lama kerja sedang misalnya sulfentanil (15 menit), alfentanil (20 menit) dan
fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-6 mcg/kgBB atau 1-3
mcg/kgBB pada anak. 8
 Barbiturat
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan
untuk sedasi dan untuk mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini
dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg dan 1
mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan. Keuntungan dari pemakaian barbiturate

8
adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek depresannya yang
lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual
dan muntah.8
 Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan dibandingkan
opioid dan berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut tidak menambah
depresi napas akibat opioid. Opioid menyebabkan tidur, amnesia retrograde
fam dapat mengurangi rasa cemas. Penggunaan benzodiazepine untuk
premedikasi berbeda dosis dengan induksi, diazepam oral 0,2-0,5 mg/kgBB,
midazolam intramuscular 0,07-0,15 mg/kgBB serta lorazepam oral 0,05
mg/kgBB. 8
 Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual dan
muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan, misalnya
droperidol yang biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas sedasinya pun
lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan bila menggunakan
morfin saja. Golongan fenotiazin seperti klorpromazin atau prometazin juga
dapat mengurangi muntah, tetapi penggunaannya dibatasi oleh adanya efek
hipotensi intraoperatif dan takikardi . 8
1. Induksi

Obat-obat induksi intravena:


a. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum tiopental digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). Tiopental hanya boleh digunakan
untuk intravena yaitu dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. 9
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi
atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.9

9
b. Propofol (diprivan, recofol)
Propofol dikemas ke dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu yang bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Suntikan intravena seringkali menyebabkan nyeri, sehingga beberapa
detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis
bolus propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kg, sedangkan untuk dosis
rumatannya adalah anesthesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya
diperbolehkan menggunakan dekstrosa 5%. Propofol tidak dianjurkan
untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. 9
c. Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia bahkan dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur serta mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis ketamin untuk bolus adalah
1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam
cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (
1 ml = 100 mg). 9
d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Anestesi opioid ini sendiri digunakan fentanil dosis 20-
50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 9
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-
obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan
untuk ketiga trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik maupun relaksasi
otot.yang lengkap.
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup 2
komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias anestesi.12

10
Kelebihan TIVA adalah: 12
1. TIVA dapat dikombonasikan atau terpisah dan dapat dititrasi
dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan

Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai berikut1

1. TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum


2. TIVA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi
pembedahan singkat
3. TIVA ebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat
4. TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional
5. TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat
ransangan sistem saraf pusat (SSP).

Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan : 12

1. Suntukan tunggal, untuk operasi singkat


2. Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan
3. TIVA diteteskan lewat infuse.

Mengenai jenis induksi serta agen anestesi rumatan yang diberikan


telah dijelaskan sebelumnya.

2. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.8

3. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.

11
Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairanan
astetik lain seperti halotan.10
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
meninggikan kadar gula darah. 10
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan. 10
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi
dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak
digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah
jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan
banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. 8,10
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. 8,10
f) Sevofluran (ultane)

12
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.8,10
4. Induksi perektal
Obat induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam. Midazolam
memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit akut, miastenia
gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan depresi tanda- tanda
vital, bayi prematur. Efek samping dapat menyebabkan kejadian- kejadian
kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda- tanda vital. 8
5. Pelumpuh otot non-depolarisasi Tracurium 20 mg (Antracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. 10
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi
selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit. 10
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot: 10
1) Cegukan (hiccup)
2) Dinding perut kaku
3) Ada tahanan pada inflasi paru

3. Rumatan
i. Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena dan inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias
anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup. 1
ii. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12

13
mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena
menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O dan
O2.1

2.1.8 Langkah – Langkah Anestesi Umum


1. Evaluasi Pra Anestesia
Evaluasi praanestesia adalah langkah awal dari tindakan anestesia
yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan
atau pasca bedah.
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.11
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan
beberapa hari sebelum operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari
menjelang operasi, selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari
menjelang pasien dikirim ke kamar operasi dan evaluasi terakhir dilakukan
di kamar persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) untuk menentukan status
fisik ASA. 11
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di
ruang persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang
tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi
tentang penyakit yang diderita kurang akurat. 11

Tatalaksana Evaluasi
1. Anamnesis

14
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang lain
(keluarganya/pengantarnya), meliputi: 11
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
c. Anamnesis umum, meliputi:
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang
menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita,
yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi anestesia
2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang
mungkin berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotik
golongan aminoglikosid, digitalis, diuretika, transquilizer, obat
penghambat enzim mono-amin oksidase dan bronkodilator
3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien
mengalami komplikasi anestesia
4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman keras
(alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan narkotik)
5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain

2. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan adalah: 11
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, vital sign,
berat dan tinggi badan untuk menilai status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier

15
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya11
a. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan
sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit,
masa perdarahan dan masa pembekuan
2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
b. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi besar
dan pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan
indikasi tegas. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati,
fungsi ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan
faal hemostasis lengkap, sesuai dengan indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya
sesuai indikasi
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur di
atas usia 35 tahun.

4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital11


a. Konsultasi
1) Konsultasi dilakukan dengan Lab/staf medik fungsional yang
terkait, apabila dijumpai gangguan fungsi organ, baik yang
bersifat kronis maupun yang akut yang dapat mengganggu
kelancaran anestesia dan pembedahan atau kemungkinan
gangguan fungsi tersebut dapat diperberat oleh anestesia dan
pembedahan. Dalam keadaan demikian, tanggapan dan saran
terapi dari konsulen terkait sangat diperlukan

16
2) Konsultasi dapat dilakukan berencana atau darurat
b. Koreksi terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah. Apabila
dianggap perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan fungsi
organ yang dijumpai dan rencana operasi dapat ditunda menunggu
perbaikan atau pemulihan fungsi organ yang bermasalah

5. Menentukan prognosis pasien perioperatif


Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas maka
dapat disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society
of Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia
menjadi 5 kelas: 11
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang
ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat
yang secara langsung mengancam kehidupannya
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik
berat yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi
ataupun tidak dalam 24 jam pasien akan meninggal
ASA 6 : pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya
yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan
sebagai organ donor bagi yang membutuhkan
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan
tanda E (emergency) di belakang angka, misalnya ASA 1 E. 11

2. Persiapan Praanestesia
Langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesia
untuk mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien agar pasien

17
siap dan optimal untuk menjalani prosedur anestesia dan diagnostik atau
pembedahan yang akan direncanakan. 12
1. Persiapan pasien:
a. Persiapan psikis
Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya
agar mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien dan
keluarganya bisa tenang.
b. Persiapan fisik
Diinformasikan agar pasien melakukan:
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok,
minuman keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu
sebelum anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi
pertama kali di poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat
bibir
4) Puasa.
c. Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau orang
tua atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan penyulit yang
tidak diinginkannya
d. Membuat surat persetujuan tindakan medik
e. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian khusus
kamar operasi

2. Premedikasi
Adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam
rangka pelaksanaan anestesia, dengan tujuan:
1) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan
rasa cemas, memberi ketenangan, membuat amnesia, bebas nyeri
dan mencegah mual/muntah
2) Memudahkan dan memperlancar induksi

18
3) Mengurangi dosis anestesia
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
5) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar

3. Pemasangan infus12
1) Tujuan:
a) Mengganti defisit cairan selama puasa
b) Koreksi defisit cairan prabedah
c) Fasilitasi vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan
selama operasi
d) Memberikan cairan pemeliharaan
e) Koreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi
f) Koreksi cairan akibat terapi lain
g) Fasilitas transfusi darah

4. Persiapan di kamar operasi :12


a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi: alat bantu napas, laringoskop, pipa jalan napas,
alat isap, defibrilator dan lain-lain
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi: adrenalin, atropin, aminofilin, natrium
bikarbonat
f. Tiang infus, plester dan lain-lain
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”
i. Kartu catatan medik anesthesia

3. Pemberian Anestesi
1. Induksi Anestesi

19
Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan
secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anestesi
disiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga jika terjadi
keadaan gawat darurat dapat diatasi lebih cepat dan lebih baik.1 Setelah
pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan
pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. 1

2. Tatalaksana jalan nafas13


Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
1. Hidung : Menuju nasofaring
2. Mulut : Menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan
palatum molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring
menuju esophagus dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea.
Laring terdiri dari tulang rawan tiroid, krikoid, epiglotis dan sepasang
aritenoid, kornikulata dan kuneiform.
 Manuver triple jalan napas
Terdiri dari:
1. Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital.
2. Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3. Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas,
sehingga gas atau udara lancar masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
 Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil, maka dapat dipasang jalan napas mulut-
faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung
(naso-pharyngeal airway).
 Sungkup muka

20
Mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke jalan
napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan
untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas
masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
 Sungkup laring (Laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembang-kempiskan seperti balon pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat
berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga
supaya tetap paten. Dikenal 2 macam sungkup laring:
1. Sungkup laring standar dengan satu pipa napas
2. Sungkup laring dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya
pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus
 Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari
bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
 Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya
kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar
dikenal dua macam laringoskop:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa
2. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal


dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +

21
4 - - -

Gambar 5. Klasifikasi struktur faring (mallampati)


3. Teknik Anestesi Umum1
a. Teknik anestesi dengan sungkup/ nasal kanul
Indikasi:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka rongga
perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.
Kontra indikasi
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup

22
Macam Face mask :

Gambar 4. Macam face mask 1

Tabel 7. Macam face mask 1

Urutan tindakan:
1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa pra-
induksi).
2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu

23
3. Persiapan obat
4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu
ditahan atau sedikit ditarik ke belakang (posisi kepala ekstensi)
agar jalan napas bebas dan pernapasan lancar. Pengikat sungkup
muka ditempatkan di bawah kepala.
6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong kedua
pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan kiri
kita. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu kedua ibu jari
dan telunjuk yang memegang sungkup muka dan dengan jari-jari
yang lain menarik rahang ke atas. Tangan kanan kita bila bebas
dapat memegang balon pernapasan dari alat anestesi untuk
membantu pernapasan pasien (menekan balon sedikit bila pasien
melakukan inspirasi).
7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk
memperdalam anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka sampai
1 % dan sedikit demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 % tergantung
reaksi tubuh penderita.
8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola mata
menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak
banyak berubah.
9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa
orofaring
10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan
beberapa menit sebelum operasi selesai
11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%
beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.

24
b. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT
Pengertian :
Intubasi Trakhea adalah tindakan memasukkan pipa trakhea kedalam
trakhea melalui rima glotis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakhea antara pita suara dan bifurkasio trakhea (Latief,
2007). Tindakan intubasi trakhea merupakan salah satu teknik anestesi
umum inhalasi, yaitu memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang
berupa gas atau cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi.

Ukuran ETT :
Pipa endotrakheal. terbuat dari karet atau plastik. Untuk operasi
tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak
bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi (non kinking). Untuk
mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal
mempunyai balon (cuff) pada ujung distalnya. Pipa tanpa balon biasanya
digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah
daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan
balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa
biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 –
9,0 mm dan perempuan 7,5 – 8,5 mm (Latief, 2007).
Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 – 23 cm. Pada anak-
anak dipakai rumus :

Indikasi Intubasi trakea :


Indikasi intubasi trakhea sangat bervariasi dan umumnya digolongkan
sebagai berikut :
a. Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun

25
Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan nafas dan lain-lain.
b.Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
c. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallampati dibagi menjadi 4 gradasi

Kontraindikasi Intubasi trakea :


Terdapat beberapa kondisi yang diperkirakan akan mengalami kesulitan pada
saat dilakukan intubasi, antara lain:
a. Tumor : Higroma kistik, hemangioma, hematom
b. Infeksi : Abces mandibula, peritonsiler abces, epiglotitis
c. Kelainan kongenital : Piere Robin Syndrome, Syndrom Collin
teacher, atresi laring, Syndrom Goldenhar, disostosis kraniofasial
d. Benda asing
e. Trauma : Fraktur laring, fraktur maxila/ mandibula, trauma tulang
leher
f. Obesitas
g. Extensi leher yang tidask maksimal : Artritis rematik, spondilosis
arkilosing, halo traction
h. Variasi anatomi : Mikrognatia, prognatisme, lidah besar, leher
pendek, gigi moncong.

Untuk persiapan intubasi diperlukan ‘STATICS’:10


S : ScopeStetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun
(blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu
harus cukup terang.

26
T : Tube Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon
(cuffed).
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini
untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction  penyedot lender, ludah

Teknik Intubasi
1. Mesin siap pakai
2. Cuci tangan
3. Memakai sarung tangan steril
4. Periksa balon pipa/ cuff ETT
5. Pasang macintosh blade yang sesuai
6. Anjurkan klien berdoa, karena intubasi/ induksi akan dimulai
7. Beri oksigen 100% dengan masker/ ambu bag 4 liter/ menit
8. Masukkan obat-obat sedasi dan relaksan
9. Lakukan bagging sesuai irama pernafasan
10. Buka mulut dengan teknik cross finger dengan tangan kanan
11. Masukkan laringoskop dengan tangan kiri sampai terlihat epiglotis,
dorong blade sampai pangkal epiglotis
12. Berikan anestesi daerah laring dengan xylocain spray 10%
13. Masukkan ETT yang sebelumnya sudah diberi jelly dengan tangan
kanan

27
14. Sambungkan dengan bag/ sirkuit anestesi, berikan oksigen dengan
nafas kontrol 8-10 kali/ menit dengan tidal volume 8-10 ml/kgBB
15. Kunci cuff ETT dengan udara ± 4-8 cc, sampai kebocoran tidak
terdengar
16. Cek suara nafas/ auskultasi pada seluruh lapangan paru kiri kanan
17. Pasang OPA/NPA sesuai ukuran
18. Lakukan fiksasi ETT dengan plester
19. Lakukan pengisapan lendir bila terdapat banyak lendir
20. Bereskan dan rapikan kembali peralatan
21. Lepaskan sarung tangan, cuci tangan.

c. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT terkendali


Teknik anestesi maupun intubasi sama dengan teknik yang dijabarkan
di penggunaan ETT.
 Sesudah pengaruh suksinil kolin mulai habis, kemudian diberikan
obat pelumpuh otot jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0.1-
0.2 mg/kgBB.
 Napas lalu dikendalikan dengan menggunakan respirator ataupun
secara manual. Apabila menggunakan respirator, maka setiap
inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10 – 14 kali
per menit. Jika nafas dikendalikan secara manual maka harus
diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang simetris. Kemudian
konsentrasi halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan
dipertahankan dengan 0.5-1 %.
 Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis jika pasien
sudah terlihat ada usaha untuk mulai bernafas sendiri.
 Halotan dapat dihentikan jika lapisan fasi kulit sudah terjahit. N2O
dihentikan apabila lapisan kulit mulai dijahit.
 Ekstubasi dapat dilakukan apabila nafas spontan telah normal
kembali. O2 diberikan secara terus-menerus selama 2-3 menit
untuk mencegah terjadinya hipoksia difusi.

28
 Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah, dapat
diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum di
ekstubasi yang terdiri dari kombinasi obat atropine 2 ampul (2 x
0,25 mg) dengan prostigmin 2 ampul (2 x 0,5 mg). Kombinasi obat
ini akan menghilangkan sisa efek obat pelumpuh otot.

Komplikasi intubasi13
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
2.1.9 Monitoring Perianestesi
1. Monitoring Standar
Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesia adalah
monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop dan
tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi.11
a. Monitoring Kardiovaskular11
a) Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena
gangguan sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi

29
makin menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat
dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis, brakialis, femoralis atau
karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama dan kekuatan
nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan menempelkan
stetoskop di dada atau dengan kateter khusus melalui sofagus.
b) Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis
dengan manse tang harus tepat ukurannya. Tekanan sistolik-diastolik
diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan tekanan arteri
rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara langsung dengan
monitor tekanan darah elektronik atau dengan menghitung yaitu 1/3
(tekanan sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau tekanan diastolik + 1/3
(tekanan sistolik – tekanan diastolik).
c) Banyaknya perdarahan

b. Monitoring Respirasi
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung gerakan
dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan napas kendali dan
gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk oksigenasi warna mukosa
bibir, kuku pada ujung jari dan darah pada luka bedah apakah pucat,
kebiruan atau merah muda.

c. Monitoring Suhu Badan


Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran
suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi mudah sekali
kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan konduksi, dengan
konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis, pulih anastesia lambat
dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi persistent fetal.
d. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih
normal minimal 0.5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti buli-buli.

30
e. Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah cukup
baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot sudah
kembali normal.
f. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien dalam
keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan
memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma
pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
2. Monitoring Khusus
Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau
bedah khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi telungkup atau posisi
duduk, bedah dengan teknik hipotensi atau hipotermi dan bedah pada pasien
keadaan umum kurang baik yang disertai oleh kelainan sistemis. Oksimeter
denyut, infrared CO2 dan analisa zat anestetik dapat memberitahukan kita
adanya gangguan dini, tetapi alat ini ada yang menggolongkan monitoring
tambahan ada yang memasukkan dalam monitoring standar. Ketiga alat ini
walaupun sangat bermanfaat, tetapi sering diganggu oleh kauter listrik,
intervensi cahaya dan sering alarm walaupun pasien dalam keadaan klinis
baik.
2.1.9 Tatalaksana Pasca Bedah
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik
dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan
dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan
suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain. 11
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu
dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama 4 jam
berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali. Pemeriksaan suhu
juga dilakukan. 11

31
Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum harus
mendapat oksigen 30 – 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin terjadi.
Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru
sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah abdomen atas atau daerah
dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi
penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-benar diperhatikan pada
pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis atau dengan riwayat retensi
CO2 sebelumnya. 11
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi. 11
1. Gangguan Pernapasan 11
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak
ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering
mengalami: lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat
terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah sekret
atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah
menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan memasang jalan
napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak
berhasil menolong pasang sungkup laring.
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu
O2 100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid
(oradekson) dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh
otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiper-karbi,
hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2<90).
Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi).
Pernapasan lambat sering akibat opioid terlalu banyak dan dangkal sering akibat
pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena opioid, dapat diberikan
nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostikmin-atropin.
Hipoventilasi yang berlanjut menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang
dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.

32
2. Gangguan Kardiovaskular 11
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa
trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena
hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama
menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau
pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu
dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0.5 - 1.0 µg/kg/menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun disebabkan
pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang
kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk
mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia
dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya.
Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-
alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.

3. Gelisah 11
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis, hipotensi,
kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah
disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang
midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.
4. Mual-Muntah 11
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia adalah :
a. Dehydrobenzoperidol 0.05-0.1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
b. Metoklopramid 0.1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
c. Ondansetron 0.05-0.1 mg/kgBB i.v
d. Cyclizine 25-50 mg.
5. Menggigil 11

33
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus
dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin 10-20
mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion warmer,
lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.

2.1.10 Nilai Pulih dari Anestesi 1,11


Adapun pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan terus diobservasi
dengan cara menilai Aldrette’s score, dan Steward’s score nya.
Tabel 9. Aldrete Score 10
Kriteria Skala Nilai
Skorsing
1. Aktivitas Motorik
- Mampu menggerakkan ekstremitas dengan perintah 2
- Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan 1
perintah
- Tidak mampu menggerakkkan semua ekstremitas 0
2. Respirasi
- Napas adekuat dan dapat batuk 2
Score ≥ 8
- Napas kurang adekuat/ hipoventilasi/ usaha 1
Boleh Pindah
bernapas Ruangan
- Apneu 0

3. Sirkulasi
- TD berbeda ± 20% dari semula preanesthesi 2
- TD berbeda ± 20% - 50% dari semula preanesthesi 1
- TD berbeda ± 50% dari semula preanesthesi 0
4. Kesadaran
- Sadar penuh 2
- Bangun jika dipanggil 1
- Tidak ada respon / belum sadar 0
5. Warna kulit
- Kemerahan 2
- Pucat 1
- Sianosis 0
Total

34
Kriteria Pulih Sadar dari Anesthesi Umum pada Anak
(STEWARD SCORE)
Tabel 10. Steward Score 11
Kriteria Skala Nilai
Skorsing
1. Kesadaran
- Bangun 2 Score ≥ 5
- Ada respon terhadap rangsang 1 Boleh Pindah
- Tidak ada respon 0 Ruangan

2. Respirasi
- Batuk / menangis 2
- Berusaha bernapas 1
- Perlu bantuan bernapas 0
3. Aktivitas motorik
- Gerakan bertujuan 2
- Gerakan tanpa tujuan 1
- Tidak bergerak 0
Total

2.2 APENDISITIS
2.2.1 Definisi
Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira
10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal. Apendisitis
adalah peradangan dari apendiks dan merupakan penyebab abdomen akut yang
paling sering. 16
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang
merupakan penyebab nyeri abdomen akut tersering.18,19 Apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen dan paling umum untuk bedah abdomen darurat.19

2.2.2 Epidemiologi
250,000-280,000 kasus baru dalam setahun didokumentasikan di
Amerika Serikat, dengan angka kematian 0,0002% dan morbiditas 3% ketika
diagnosis dan pengobatan tepat dan cepat.20 Insiden keseluruhan kondisi ini

35
adalah sekitar 11 kasus per 10.000 penduduk per tahun.15 Apendisitis dapat
mengenai semua usia, tetapi yang paling umum pada usia 10 sampai 20 tahun.17
Perforasi appendiks lebih sering terjadi pada anak-anak, khususnya anak-anak
muda dibandingkan pada orang dewasa. Laki-laki lebih sering terkena usus
buntu dibandingkan perempuan dengan rasio 1: 1 sampai 3: 1.16

2.2.3 Anatomi
Apendiks merupakan organ yang memiliki panjang 5-10cm (2-4 inci)
yang berpangkal di caecum pada kuadran kanan bawah. Meskipun dasar usus
buntu adalah sekum, namun ujung dapat terletak di panggul, retrocecal atau
ekstraperitoneal. Posisi anatomi usus buntu menentukan gejala ketika usus
buntu saat terjadi peradangan. apendiks mendapat aliran darah dari arteri
apendikularis yang merupakan cabang langsung dari arteri ileocolica.
Apendiks dipersarafi saraf parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior, saraf sensoris dari nervus torakalis X.
Pertama serabut saraf visceral yang berhubungan dengan usus buntu meradang,
lalu ke wilayah periumbilikalis melalui dermatom T10. Serat sensorik somatik
dari lapisan peritoneal yang terlibat dalam proses inflamasi, nyeri sering akan
bergeser ke kanan perut bagian bawah dan nyeri berpusat di lokasi
peradangan.21

Gambar 3. Anatomi dan posisi apendiks20

Apendik dilapisi oleh epitel kolon yang khas yaitu epitel kolumner
dengan sel goblet. Submukosa mengandung folikel limfoid yang sangat sedikit

36
saat lahir. Jumlah ini secara bertahap meningkatkan ke puncak sekitar 200
folikel pada usia 10-20 tahun dan kemudian menurun. Apendiks dapat
bertindak sebagai reservoir untuk flora usus yang dapat membantu dalam
pemulihan dari infeksi usus.17 Namun, fungsi ini tidak penting bagi kehidupan
dan menghilangkan apendiks dapat ditoleransi dengan baik.19,21

2.2.4 Etiologi
Penyebab apendisitis adalah obstruksi. Pada anak-anak, obstruksi
dikarenakan hiperplasia limfoid dari folikel submukosa. Penyebab hiperplasia
ini kontroversial, tetapi disebutkan kemungkinan akibat dehidrasi dan infeksi
virus. Penyebab umum lainnya dari obstruksi usus buntu adalah fekalith.
Penyebab yang jarang termasuk benda asing, infeksi parasit (misalnya
nematoda) dan striktur inflamasi. Meskipun radang usus buntu sangat umum,
banyak yang tidak mengerti tentang etiologi atau patofisiologi proses penyakit
ini.21

2.2.5 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan
pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat
dalam makanan yang rendah. Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih
dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke
submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan
eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke
beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding
abdomen, menyebabkan peritonitis lokal. Apendisitis akut merupakan infeksi
bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen
apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping
hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah

37
serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional
apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya
ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.22
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga
peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal
akan terjadi.22

2.2.6 Manifestasi Klinis


Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa sakit di tengah perut yang
sifatnya hilang timbul.23 Dalam beberapa jam, rasa sakit berjalan ke sisi kanan
bawah, tempat terletaknya usus buntu yang menjadi konstan dan parah.21
Penekanan daerah ini, batuk atau berjalan dapat membuat rasa sakit lebih
buruk.23 Rasa sakit dari persarafan visceral dari midgut dan nyeri lokal
disebabkan keterlibatan peritoneum parietal setelah proses inflamasi.16
Diagnosis apendisitis sulit pada anak-anak karena gejala klasik yang sering
tidak hadir. Gejala umum lain yang sering muncul biasanya kehilangan nafsu
makan, mual dan kadang mengalami diare.19 Pasien dengan apendisitis akut
biasanya memiliki demam ringan. Perforasi harus dicurigai bila suhu melebihi
38,3◦C. Radang selaput perut biasanya berkembang dari perforasi ke rongga
perut.16
Gejala khas yang hadir hanya pada 50-70% dari pasien. Gejala-gejala
klasik dikelompokkan ke dalam tabel evaluasi klinis (skala alvarado). Gejala
atipikal muncul di antara 20-30% pasien. Gejala ini muncul karena varian
dalam posisi anatomis apendiks cecal dan karena perbedaan persepsi dan
deskripsi nyeri oleh pasien.20

38
Tabel 1. Skala Alvarado16,20
Deskripsi Skor
Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut 1
kanan bawah
Mual – muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam >37,5◦C 1
Laboraturium Leukositosis (>10.000/mm3) 2
Deviasi ke arah kiri (Netrofil >75%) 1
Total 10
Keterangan skor:
1 – 4 = sangat mungkin bukan apendisitis akut
5 – 7= sangat mungkin apendisitis akut
8 8 – 10 = pasti apendisitis akut

Gejala berdasarkan posisi apendiks:


- Retrocaecal / retrocolic (75%) – nyeri pinggang kanan, kaku otot, fleksi hip
dan eksaserbasi dari nyeri pada ekstensi hip (psoas sign).
- Subcaecal dan panggul (20%) – nyeri suprapubik dan frekuensi kencing
meningkat. Diare akibat iritasi rektum. Nyeri perut kurang, tapi dubur atau
nyeri vagina di sebelah kanan. Hematuria dan leukosit ditemukan pada
analisis urine.
- Sebelum dan sesudah ileum (5%) – tanda dan gejala kurang. Muntah lebih
menonjol dan diare dapat terjadi akibat iritasi ileum distal.

2.2.7 Diagnosis
Anamnesis akurat dan pemeriksaan fisik penting untuk mencegah
operasi yang tidak perlu dan menghindari komplikasi. Skor alvarado awalnya
digambarkan pada tahun 1986, adalah sistem penilaian yang paling banyak

39
dilaporkan untuk usus buntu akut. Namun, skor ini tidak cukup akurat untuk
mendiagnosa atau mengecualikan apendisitis.16
a. Anamnesis
Pasien yang datang ke instalasi gawat darurat dengan
apendisitis akut mengeluhkan sakit perut sebagai keluhan utama. Nyeri
yang konstan pada periumbilikalis atau epigastrium secara tiba-tiba
dan dapat memburuk dalam waktu beberapa jam. Mual, muntah dan
anoreksia terjadi lebih dari 50% kasus. Setelah itu, nyeri melokalisasi
di kuadran kanan bawah dekat titik Mc Burney. Kegagalan untuk
mengenali presentasi lainnya apendisitis akut akan menyebabkan
keterlambatan dalam diagnosis dan peningkatan morbiditas pasien.16,23

Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses radang


aktif ditandai dengan: 19
1. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih
tinggi,

2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas


terdapat tanda-tanda peritonitis;

3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis


terdapat pergeseran ke kiri.

Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti massa yang nyeri


di regio iliaka kanan dan demam, mengarahkan diagnosis pada massa
atau abses apendikuler. Diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik
maupun penunjang. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan
dibanding laki-laki. Hal ini terjadi karena perempuan, terutama yang
masih muda, sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis akut.
Keluhan dapat berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis atau penyakit. Untuk menurunkan angka
kesalahan diagnosis yang meragukan dilanjutkan dengan observasi
penderita di rumah sakit, dengan pengamatan setiap 1-2 jam

b. Pemeriksaan Fisik

40
Pasien sering memerah, lidah kering dan terkait faetor oris.
Demam >38◦C diserai takikardi. Pemeriksaan abdomen didapat nyeri
lokal dan kekakuan otot setelah nyeri terlokalisir di fossa iliaka kanan.
Adanya nyeri lepas, gerakan dan batuk memperburuk rasa sakit pada
fossa iliaca kanan.16,23 Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok.
Auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada
illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis
perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan
diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak
terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur
(Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12. Status lokalis
abdomen kuadran kanan bawah:16,23,24
a. Nyeri tekan (+) Mc.Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri
tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc.Burney dan ini
merupakan tanda kunci diagnosis.
b. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound
tenderness (nyeri tekan lepas) adalah nyeri yang hebat di
abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan
setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di
titik Mc. Burney.
c. Defens muskuler (+) karena rangsangan m. Rektus abdominis.
Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
d. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah
apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah,
hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan
karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
e. Blumberg sign (+) adalah nyeri pada daerah yang diberi
penekanan.
f. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

41
Gambar 2. Sign apendisitis16 (A.Blumberg sign; B. Rovsing
sign; C.Psoas sign; D.Obturator sign)
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Leukositosis dengan pergeseran kiri. Neutrofilia lebih besar
dari 75% akan terjadi pada sebagian besar kasus. Pengukuran C-
reactive protein (CRP) adalah yang paling mungkin meningkat pada
usus buntu jika gejala yang hadir selama lebih dari 12 jam.Kombinasi
dari CRP, leukosit tinggi atau neutrophilia lebih besar dari 75%
meningkatkan kepekaan terhadap 97% - 100% untuk diagnosis
apendisitis akut.Urinalisis tidak normal di 19% - 40% dari pasien
dengan apendisitis akut. Kelainan termasuk piuria, bakteriuria dan
hematuria.16

Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu


(Appendicogram) dapat membantu melihat terjadinya sumbatan atau
adanya kotoran (skibala) didalam lumen usus buntu. Pemeriksaan
USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu dalam

42
menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya
di daerah rongga panggul. Dikatakan apendisitis bila diameter >6mm.

A B

C D
Gambar 3. USG (A.apendiks normal; B.apendisitis akut diameter 13mm; C.
apendisitis akut karena fekalit; D.perforasi apendisitis)14

A B

Gambar 4. CT Scan (A.apendiks 14mm; B.apendisitis akut)14

2.2.8 Tatalaksana
1. Resusitasi cairan
Pasien dengan radang usus buntu biasanya membutuhkan bolus cairan
sebelum operasi untuk menangkal dehidrasi.Berikan bolus 20ml/kgBB jika

43
diperlukan. Namun, pasien ini perlu terus resusitasi cairan sesuai dengan status
cairan dan keparahan apendisitis..23
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan sebagai profilaksis pada usus buntu. Antibiotik
harus dihentikan setelah operasi pada pasien tanpa perforasi. Pada pasien
dengan dugaan apendisitis yang tidak menjalani operasi, terapi antibiotik harus
diberikan selama 3 hari sampai gejala klinis dan tanda-tanda infeksi hilang.
Daftar antibiotik yang dapat digunakan untuk usus buntu antara lain : 24
a. Ampisilin-sulbaktam 200 mg/kg/hari IV / IM, bagi tiap 6 jam.
b. Piperacillin-Tazobactam 200-300 mg/kg/hari IV, bagi tiap 6-8 jam.
c. Tikarsilin-klavulanat 200-300 mg/kg/hari IV bagi tiap 4-6 jam, atau
3. Apendektomi
Operasi adalah satu-satunya pengobatan untuk radang usus buntu. Ada
dua teknik: laparotomi atau laparoskopi (buat luka kecil dan menggunakan
kamera untuk melihat ke dalam).Mencakup Mc Burney insisi. Dilakukan
diseksi melalui oblique eksterna, oblique interna dan transversal untuk
membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke
peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan
dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan,
beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum
dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup.24

Gambar 5. Laparoskopi apendektomi dan apendisitis

44
2.2.9 Komplikasi
Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis dapat mengalami
perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum. Komplikasi
yang paling sering terjadi adalah perforasi, baik perforasi bebas maupun pada
bagian apendiks yang telah mengalami walling off sehingga berupa masa yang
terdiri dari kumpulan mesoapendik, apendik, sekum dan lengkung usus yang
disebut sebagai masa apendikuler.

2.2.10 Prognosis
Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara
umum angka kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih
berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi
tindakan Angka morbiditas terjadi pada 1,2% penderita apendisitis akut dan
6,4% pada penderita apendisitis perforasi.24

45
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : An. Hanifah Hannun


Umur : 9 tahun 5 bulan 29 hari
Berat badan : 15 kg
Tinggi badan : 122 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Dusun Uwai, Muara Uwai , Bangkinang
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 14 Mei 2019
No. RM : 132353
Tanggal Pemeriksaan : 14 Mei 2019 pukul 06:20 WIB

Anamnesis
Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah 3 hari yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke RSUD Bangkinang dengan Nyeri perut kanan bawah 3
hari yang lalu, awalnya nyeri hilang timbul di kanan bawah. Pasien juga
muntah-muntah sebanyak 2 kali. 3 hari yang lalu pasien demam dan sudah
minum Paracetamol dan ranitidin, namun panas turun hanya ± 1-2 jam
kemudian naik kembali, batuk dan pilek disangkal, nafsu makan menurun,
nyeri telan disangkal, mimisan (-), gusi berdarah (-), BAK lancar, BAB sedikit.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Tidak ada riwayat asma, penyakit paru dan jantung, maupun riawayat operasi
sebelumnya. Pasien juga tidak memiliki penyakit hipertensi maupun diabetes.
Riwayat penyakit keluarga :

46
Pada keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Tidak terdapat
riwayat penyakit keluarga yang berhubungan.
Riwayat Pengobatan :
Pasien minum Paracetamol dan ranitidin, namun panas turun hanya ± 1-2
jam kemudian naik kembali
Kebiasaan :
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat, merokok (-),
riwayat meminum alkohol (-)

I. Pemeriksaan Fisik Diagnostik


A. Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tinggi badan : 122 cm
Berat badan : 15 kg

B. Status Generalisata
1) Pemeriksaan kepala
Kepala : Normosefali
Mata : konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik.
Hidung : tidak ada polip, perdarahan, maupun deviasi septum.
Mulut : Sianosis (-), pucat (-), bibir kering (-) Uvula berada di
tengah. Dinding posterior faring dan palatum molle
terlihat (Mallampati grade I) Tonsil T1-T1, Tidak ada
kripta dan detritus.
Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, tidak terdapat struma, sikatrik.
2) Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : dinding dada simetris,tidak ditemukan retraksi pada
dinding dada
Perkusi : ditemukan bunyi sonor pada kedua lapangan paru
Palpasi : vokal fremitus kanan kiri simetris.

47
Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar ronkhi maupun
wheezing pada kedua lapang paru.
3) Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Tidak ditemukan perubahan warna kulit, tidak
ditemukan jaringan parut, tumor (-).
auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Terdapat timpani pada seluruh lapangan abdomen
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+) McBurney
(+)
4) Ekstremitas : Akral hangat, odem (-), ptekie (-)
II. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah lengkap :
Hb : 11,2 g/dl
Leukosit : 25.500 mm3
Hematokrit : 33,0 %
Trombosit : 352.000 mm3
Pemeriksaan ginjal
Creatinin :-
Ureum :-
Hemostatik
Masa pembekuan (CT) : 7 30 menit
Masa perdarahan (BT) : 4 30 menit
Diabetes
glukosa darah (stick) : 75 mg/dl

III. DIAGNOSIS KLINIS


Diagnosis preoperasi : Appendisitis akut
Diagnosis post operasi : Post Operasi Laparotomi

IV. STATUS ANASTESI


ASA II (Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik
karena penyakit bedah maupun penyakit lain).

48
V. TINDAKAN
Dilakukan :Laparotomi
Tanggal :14 Mei 2019

VI. LAPORAN ANESTESI


A. Preoperatif
- Informed concent
- Puasa
Pengosongan lambung, penting untuk mencegah aspirasi isi lambung
karena regurgitasi. Untuk dewasa dipuasakan 6-8 jam sebelum operasi
- Pemasangan IV line
Sudah terpasang jalur intravena menggunakan IV catheter ukuran 18
atau menyesuaikan keadaan pasien dimana dipilih ukuran yang paling
maksimal bisa dipasang.
Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran compos mentis
Tanda vital:
TD : 108/78 mmHg
RR : 20 x/menit
Nadi : 110 x/menit
Suhu : 37,50C
ASA : II

B. Penatalaksanaan Anestesi
 Tanggal operasi : 14 Mei 2019
 Mulai operasi : 15.10 WIB
 Selesai operasi : 16.40 WIB
 Lama operasi : 1 jam 30 menit
 Diagnosa pra bedah: Appendisitis akut
 Jenis operasi : Laparotomi

49
 Ahli bedah : dr. Agus, Sp.B
 Ahli Anastesi : dr. Lasmaria Flora, Sp.An. M.kes
 Teknik anastesi : General anestesi, Endotracheal Tube (ETT)
 Premedikasi :
o Atropin 0,12 mg IV
o Ondansetron 4 mg IV
 Medikasi Intra Operatif:
o N2O 1 liter inhalasi dengan O2 3L/menit
o Sevoflurance 2vol%
o Propofol 30 mg
o Fentanyl 30 mcg
o Rocuronium Bromide 9 mg
o Midazolam 2 mg
 Medikasi Post Operatif:
o Tramadol drip 100 mg dalam futrolit 20 tpm
 Teknik anestesi:
1. Pasien diposisikan terlentang.
2. Persiapan praoperasi (monitor, alat tensi, Saturasi, obat-
obatan)
3. Pasien diberikan bolus ondansentron 4 mg, atropin 0,12 mg,
propofol 30 mg, fentanyl 30 mcg, midazolam 2 mg, dan
rocuronium bromide 9 mg.
4. Anestesi umum dengan induksi propofol dan midazolam.Setelah pasien
tertidur, untuk menguasai jalan nafas pasien, dilakukan intubasi
meggunakan ETT nomor 5,0. Setelah terintubasi pasien diberikan
maintanance berupa N2O, sevoflurance dengan O2 3L/menit dan di
pasang oro-pharyngeal airway (OPA) untuk mencegah lidah jatuh
kebelakang dan dengan menggunakan manuver head tilt -chin liftt, dan
setelah proses operasi selesai pasien diberi tramadol drip 100 mg dalam
futrolit dengan kecepatan 20 tetes permenit.
5. Pasien kemudian di observasi selama 1 jam di ruang observasi.

50
 Jumlah cairan yang masuk :
Kristaloid = 600 cc
 Pemantauan selama anestesi :
o Mulai anestesi : 15.10 WIB
o Mulai operasi : 15.15 WIB
o Selesai operasi :16.40 WIB
 Tekanan darah, saturasi O2, dan nadi selama anestesi:
Waktu Tekanan darah Saturasi O2 (%) Nadi
15.10 108/73 100 110
15.25 97/50 100 110
15.40 110/83 100 125
15.55 110/80 100 130
16.10 120/70 100 142
16.25 107/58 100 142
16.40 110/70 100 150

- Post Operatif
Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan kemudian dibawa kembali ke
ruang Ali

• Observasi tanda vital:


Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
TD : 110/70
Nadi : 150x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,8 0C

51
Penilaian pemulihan kesadaran

Kriteria Skala Nilai


Skorsing
4. Kesadaran
- Bangun 2 2
- Ada respon terhadap rangsang 1
- Tidak ada respon 0
Score ≥ 5
5. Respirasi Boleh Pindah
- Batuk / menangis 2 2 Ruangan
- Berusaha bernapas 1
- Perlu bantuan bernapas 0
6. Aktivitas motoric
- Gerakan bertujuan 2
- Gerakan tanpa tujuan 1 1
- Tidak bergerak 0
Total 5

2.3 PROGNOSA
Dubia ad bonam

52
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Pre Operatif


Pasien yang akan dilakukan tindakan operasi berupa laparotomi dilakukan visite
pasien, dengan temuan keadaan umum tampak baik dan tanda-tanda vital normal.
Persiapan yang dilakukan meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien,
dan persiapan obat anestesi yang diperlukan. Penilaian dan persiapan pasien
diantaranya meliputi :
- Informasi penyakit
- Anamnesis/alloanamnesis kejadian penyakit
- Riwayat alergi, riwayat sesak napas dan asma, ada/tidaknya memakai gigi
palsu dan riwayat operasi sebelumnya.
- Riwayat keluarga (penyakit dan komplikasi anestesia).
- Makan minum terakhir (mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi
atau muntah pada saat anestesi)
- Persiapan operasi yang tidak kalah penting yaitu informed consent, suatu
persetujuan medis untuk mendapatkan ijin dari pasien sendiri dan keluarga
pasien untuk melakukan tindakan anestesi dan operasi, sebelumnya pasien
dan keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai risiko yang mungkin
terjadi selama operasi dan post operasi. Setelah dilakukan pemeriksaan
pada pasien, maka pasien termasuk dalam klasifikasi ASA II.
Tujuan dilakukannya beberapa komponen diatas untuk mengurangi angka
kesakitan saat dioperasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan
kuaalitas pelayanan kesehatan, mencegah terjadinya hal-hal yang dapat
mempersulit tindakan.

4.2 Intra Operatif


Jenis anastesi yang diberikan pada pasien ini dengan menggunakan anastesi
inhalasi sungkup muka yaitu anastesi yang menggunakan kombinasi obat berupa gas
melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi yang
dicapai adalah hipnotik, analgesik, dan relaksasi otot ringan.

53
Pasien diposisikan tidur terlentang dan dipasang endotracheal tube dan oro-
pharyngeal airway (OPA) dengan mempertahankan jalan napas head tilt -chin lift-jaw
thrust, anastesi inhalasi menggunakan kombinasi Sevoflurance dengan N20 dan O2
3L/menit.
• Pasien sudah tidak makan dan minum ± 10 jam, maka kebutuhan cairan pada
pasien dengan BB = 15 kg:
• Pemeliharaan cairan per jam:
(4 X 10) + (2 X 5) + (1 X 0) = 50 mL/jam
• Pengganti defisit cairan puasa:
10 X 50 mL = 500 mL
• Kebutuhan kehilangan cairan saat pembedahan:
4 X 15 = 60 mL
• Jumlah terapi cairan:
50 + 500 + 60 = 610 ml atau + 1,2 kolf Ringer Laktat (kristaloid)

3.3 Post Operatif


Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang observasi. Pasien berbaring
dengan posisi terlentang karena efek obat anestesi masih ada dan tungkai tetap lurus
untuk menghindari edema. Diberikan analgetik tramadol 100 mg dalam futrolit
dengan kecepatan 20 tetes permenit. Observasi post operasi dilakukan selama 1 jam,
dan dilakukan pemantauan vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan)
setiap 15 menit. Oksigen tetap diberikan 2-3 liter/menit. Setelah keadaan umum
stabil, maka pasien dibawa ke ruangan rawat bedah untuk dilakukan tindakan
perawatan lanjutan.

54
BAB V

SIMPULAN

Pasien berusia 9 tahun dengan berat 15 kg dan tinggi 122 cm dilakukan tindakan
pembedahan dengan diagnosis pra operasi apendisitis akut dan diagnosis post
operasinya adalah Post Operasi laparotomi pada tanggal 15 mei 2019 , memulai
anestesi pada pukul 15.10, mulai operasi 15.15 dan selesai operasi 16.40 dengan lama
durasi anastesi selama 1 jam 30 menit.
Pasien diposisikan tidur terlentang dan dipasang endotracheal tube dan Oro-
Pharyngeal Airway (OPA) dengan mempertahankan jalan napas head tilt -chin lift-jaw
thrust, anestesi inhalasi menggunakan kombinasi Sevoflurance (induksi 3,5 v%L.
Rumatan 2V%) dengan N2O 1 liter dan O2 3L/menit.
Observasi post operasi dilakukan selama 1 jam, dan dilakukan pemantauan vital
sign (tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate) setiap 15 menit. Oksigen tetap
diberikan 2-3 liter/menit. Setelah pasien sadar dan kondisi stabil maka pasien dibawa
ke ruangan perawatan bedah untuk dilakukan tindakan perawatan lanjutan.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Ed.2.Cet.V.Jakarta:Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2010.
2. Crowder, M. S. et al. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam
Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). 2014. USA :
Lipincott Williams and Wilkins.
3. Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With Student
Consult. USA : Elsevier Health Sciences. 2012. Hlm. 75.
4. Dobson MB. editor: Dharma A.Penuntun Praktis Anestesi.Jakarta: EGC.2011
5. Urban, WB and Bleckwenn, M. Concepts and correlations relevant to general
anaesthesia. British Journal Of Anaesthesia. 2002. Vol. 89 (1). Page 3-16.
6. Dachlan, R.,dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. 2002. Bagian Anestesiologi
dan Terapi FK UI. Jakarta
7. https://www.slideshare.net/AnestesiUnhas/the-role-of-fentanyl-on-balance-
analgesia
8. Zunilda DS dan Elysabeth. Anestetik Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi,
Edisi 5, Sulistia et al. (editor). 2011. Jakarta: FKUI. Hlm. 122-137.
9. Mahadevan dan Shannon, 2005).
10. Butterworth John F et al. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
Edisi 5. 2013. USA: Mc. Graw Hill. Hlm. 153-220; 1261-1271.
11. American Society of Anesthesiologists (ASA). Continuum of Depth of
Sedation Definition of General Anesthesia and Levels of Sedation/Analgesia.
2011. ASA Web site. Tersedia di
http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards /20.pdf. Diakses
pada tanggal 13 Mei 2017.
12. Mangku dan Tjokorda, 2010)
13. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC 2010.
14. Dobson, Michel B. 2012. Penuntun praktis Anestesi. Prinsip terapi cairan dan
elektrolit. Jakarta : EGC

56
15. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Ed.2.
Cet.V. Jakarta : Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2010. ini
16. Guyton AC dan Hell JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11. Jakarta
: EGC
17. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy
Pharmacology). Jakarta:Bagian Farmakologi FKUI.2006.ini
18. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2014
19. Sjamsuhidayat R, W De Jong. Buku ajar ilmu bedah, edisi 3. Jakarta : EGC
2010
20. Sudoyo W. A., Setiyohadi.B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Ed.5. Internal Publishing: Jakarta
21. Asdie Ahmad H. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. edisi 13
volume 4. Jakarta: EGC ; 2000
22. Snell R.S. 2007. Appendix. In: Clinical Anatomy by Regions. 8th ed. Wolters
Kluwer: Lippincott Williams & Wilkins
23. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Ikatan Dokter Spesialis Anestesi Dan
Reanimasi. Semarang 2002
24. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1.Jakarta:EGC.2009

57

Anda mungkin juga menyukai