Anda di halaman 1dari 27

Review

Menangani beberapa efek samping yang berkaitan dengan


penanganan yang umum digunakan untuk depresi bipolar

David E. Kemp

ABSTRAK

Latar Belakang: Terapi-terapi farmakologis yang paling umum digunakan untuk

depresi bipolar adalah penstabil mood, antipsikotik atipikal (tak-biasa), dan

antidepresan. Makalah ini akan mereviu beberapa efek samping umum yang

berkaitan dengan obat-obatan ini dan akan memberikan beberapa rekomendasi untuk

penanganan efek samping medikasi di dalam praktek klinis.

Metode: Reviu naratif didasarkan pada pencarian literatur Medline dan pedoman-

pedoman penanganan berbasis-bukti untuk obat-obatan (senyawa-senyawa) yang

telah mendapatkan izin/persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan

Amerika Serikat (US FDA) dan/ atau obat-obatan yang umum digunakan di dalam

penanganan depresi bipolar.

Hasil: Beberapa efek samping dari farmakoterapi depresi bipolar adalah umum, dan

hal ini pun dapat beragam tergantung pada obat yang digunakan. Peningkatan berat

badan, disregulasi metabolik, sedasi/ mengantuk, dan akatisia merupakan beberapa

diantara efek-efek samping yang paling umum. Efek-efek samping ini (khususnya

peningkatan berat badan dan sedasi/ mengantuk) diketahui secara negatif dapat

mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien penderita gangguan bipolar terhadap

penanganan. Lebih jauh lagi, komorbiditas endokrin dan metabolik, peningkatan

berat badan, dan obesitas dapat lah menurunkan kemungkinan respon klinis yang

1
positif terhadap terapi-terapi farmakologis. Para dokter dapat mempertimbangkan

penggantian obat bagi para pasien penderita depresi bipolar dengan tingkat

propensitas yang lebih rendah untuk sedasi dan beberapa efek samping metabolik.

Perubahan gaya hidup (contohnya perubahan makanan dan pola makan serta

olahraga) adalah satu komponen yang penting di dalam penanganan peningkatan

berat badan/ obesitas, dislipidemia, hipertensi, dan hiperglikemia; selain itu, berbagai

obat-obatan sudah tersedia sebagai opsi terapeutik bagi para pasien yang strategi

penanganan non-farmakologisnya tidaklah cukup. Penggunaan medikasi penyerta

diketahui juga dapat menurunkan tingkat sedasi dan mengantuk akibat penanganan.

Kekurangan-keterbatasan: Pemilihan penelitian-penelitian yang relevan dari

pencarian literatur pun utama nya bergantung pada keahlian peneliti di bidang

pengkajian depresi bipolar dan juga pemahaman akan masalah-masalah terkait.

Kesimpulan: Penanganan depresi bipolar yang berhasil diketahui jauh melampaui

penanganan gejala-gejala mood, yang diantaranya adalah pemonitoran efek-efek

samping dan penanganan gangguan-gangguan medis terkait.

Kata kunci: Gangguan bipolar, Depresi, Farmakoterapi, Efek samping

1. Pendahuluan

Sebagaimana yang direviu oleh Shefali Miller, MD dkk pada artikel tambahan ini,

diketahui terdapat bukti yang substansial yang menunjukkan bahwa gangguan

bipolar, khususnya selama fase yang lebih depresif pervasif, adalah memiliki

hubungan dengan tingkat disabilitas yang signifikan (Kupka dkk, 2007; Sanchez-

Moreno dkk, 2009). Gangguan fungsional ini kemudian ditambah oleh sejumlah

2
komorbiditas-komorbiditas medis yang substansial yang terlihat pada para pasien

penderita gangguan bipolar (Kemp dkk, 2013). Secara khusus, diketahui bahwa

terdapat satu hubungan antara gangguan bipolar dengan kelainan-kelainan metabolik

tertentu, yang diantaranya mencakup obesitas, dislipidemia, dan resistensi insulin

(Kemp dan Fan, 2012).

Gejala-gejala yang saling berkaitan ini – yaitu obesitas pada perut, peningkatan kadar

trigliserid, penurunan kadar kolesterol lipoprotein densitas-tinggi, hipertensi, dan

hiperglikemia – secara kolektif dikenal sebagai sindrom metabolik, dan hal ini pun

memiliki hubungan dengan peningkatan resiko akan perkembangan penyakit

kardiovaskular dan diabetes tipe 2 (Grundy dkk, 2004). Peningkatan tingkat

prevalensi sindrom metabolik dan obesitas pada para pasien penderita gangguan

bipolar diketahui dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan pada populasi

umum, dan menurut teori, hal ini melibatkan faktor-faktor gaya hidup (contohnya:

pola makan yang buruk, jarang berolahraga, merokok), kurang nya sumber daya

penanganan kesehatan yang tepat, proses neurobiologis, dan efek samping dari

penanganan yang umum digunakan (Calkin dkk, 2013; Correll dkk, 2010; Ford dkk,

2002; McIntyre dkk, 2012; Salvi dkk, 2008; Sicras dkk, 2008; Vancampfort dkk,

2013; Vuksan-Cusa dkk, 2010).

Dua dari tiga penanganan yang saat ini diperbolehkan digunakan untuk menangani

depresi bipolar (olanzapine [yang dikombinasikan dengan fluoxetine, OFC] dan

quetiapine) merupakan beberapa diantara antipsikotik atipikal yang diketahui dapat

secara signifikan menyebabkan peningkatan berat badan dan disregulasi metabolik,

selain itu, obat-obatan ini bertanggungjawab atas masalah-masalah tolerabilitas,

3
seperti sedasi/ mengantuk (Frye, 2011). Lurasidone, yang merupakan antipsikotik

atipikal terbaru (antipsikotik ketiga) telah diperbolehkan untuk digunakan di dalam

penanganan depresi bipolar, dan obat ini diketahui memiliki tingkat propensitas yang

lebih rendah untuk menyebabkan peningkatan berat badan dan efek-efek samping

metabolik dibandingkan dengan dua obat generasi sebelumnya; namun demikian,

akathisia diketahui umum muncul sebagai efek samping dari penggunaan lurasidone

(tablet oral Latuda® [lurasidone hidroklorida], 2013; Kane dkk, 2009). Tingkat

keamanan yang harus diperhatikan juga memiliki hubungan dengan penstabil mood

tradisional/ konvensional, yang diantaranya mencakup toksisitas yang berkaitan

dengan penggunaan lithium, kelainan-kelainan reproduksi yang berkaitan dengan

valproate, dan ruam akibat penggunaan lamotrigine (jarang terjadi, namun akan

menjadi hal yang serius jika efek samping ini muncul) (Frye, 2011).

Jumlah yang terbatas akan penanganan yang sudah diperbolehkan dilakukan, profil

keamanan dan tolerabilitas obat-obatan yang tersedia, dan komorbiditas-

komorbiditas medis serta profil faktor-faktor resiko yang unik bagi masing-masing

pasien, semuanya diketahui dapat membuat penanganan depresi bipolar dapat

menjadi satu tugas yang sulit/ menantang. Tujuan dari artikel ini adalah untuk

memberikan satu kilasan tentang tolerabilitas dan masalah-masalah keamanan yang

memiliki hubungan dengan medikasi depresi bipolar, artikel ini juga ditujukan untuk

membahas tentang strategi-strategi penanganan yang efektif. Dengan meningkatkan

tingkat familiaritas akan tolerabilitas dan profil-profil keamanan obat-obatan ini, para

dokter akan dapat mampu untuk secara lebih efisien mengidentifikasi regimen-

regimen penanganan yang paling tepat bagi masing-masing pasien, para dokter juga

akan mampu memberikan strategi penanganan proaktif untuk membantu

4
meningkatkan tingkat kepatuhan pasien terhadap penanganan dan juga meningkatkan

kualitas outcome penanganan. Selain itu, para dokter diharapkan akan mampu

mengurangi potensi komorbiditas dan komplikasi medis jangka panjang yang serius.

2. Metode

Pedoman-pedoman penanganan berbasis-bukti untuk gangguan bipolar pun telah di-

reviu untuk mengidentifikasi obat-obatan yang sudah disetujui oleh US FDA dan/

atau sudah secara umum digunakan untuk penanganan depresi bipolar. Pencarian di

database PubMed kemudian dilakukan untuk mendapatkan penelitian-penelitian

klinis dan artikel-artikel lain yang mengkaji tentang penggunaan obat-obatan tersebut

di dalam penanganan para pasien penderita depresi bipolar. Selain itu, informasi

peresepan untuk obat-obatan tersebut pun dikonsultasikan, dan penelitian-penelitian

akan obat-obatan tersebut yang sedang dilakukan juga diidentifikasi dengan

menggunakan ClinicalTrials.gov.

3. Antipsikotik atipikal

Obat-obatan antipsikotik pun dikembangkan untuk penanganan skizofrenia, dan saat

ini obat-obatan tersebut tersedia secara luas untuk penanganan gangguan mood yang

mencakup gangguan bipolar dan depresi yang resisten terhadap penanganan. Hampir

dari 10 antipsikotik atipikal awalnya diindikasikan untuk penanganan skizofrenia,

dan obat-obatan ini terbukti manjur di dalam penanganan episode manik dan

campuran yang berkaitan dengan gangguan bipolar, dan 3 diantaranya (terapi tunggal

quetiapine, OFC, dan terapi tunggal lurasidone atau obat pelengkap penstabil mood)

5
sudah diperbolehkan untuk digunakan di dalam penanganan episode-episode depresi

yang berkaitan dengan gangguan bipolar (tablet oral Latuda® [lurasidone

hidroklorida], 2013; tablet Seroquel® [quetiapine fumarate], 2013; kapsul oral

Symbyax® [olanzapine dan fluoxetine hidroklorida], 2012; Yatham dkk, 2013).

Beberapa area kajian umum dari seluruh antipsikotik atipikal diantaranya adalah

potensi efek samping yang berupa peningkatan berat badan dan disregulasi

metabolik, sedasi, dan gejala-gejala ekstrapiramidal (Henderson, 2007; Henderson

dkk, 2006; McIntyre dan Konarski, 2005; Newcomer, 2007).

3.1. Quetiapine

Quetiapine pada dosis harian 300 mg atau 600 mg telah secara konsisten

menunjukkan efikasi (kemanjuran) untuk penanganan episode-episode akut depresi

bipolar (Calabrese dkk, 2005; MvElroy dkk, 2010; Suppeset dkk, 2010; Thase dkk,

2006; Young dkk, 2010). Sedasi/ mengantuk diketahui dapat dialami oleh sekitar

50% pasien yang dilibatkan di dalam penelitian-penelitian jangka pendek yang

mengkaji tentang depresi bipolar (Calabrese dkk, 2005; McElroy dkk, 2010; Suppes

dkk, 2010; Thase dkk, 2006; Young dkk, 2010), dan efek samping tersebut seringkali

menyebabkan pasien menghentikan penggunaan obat-obatan tersebut secara

prematur (Calabrese dkk, 2005; Suppes dkk, 2010; Thase dkk, 2006).

Quetiapine juga diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan berat badan

(walaupun, memang tingkat efek samping tersebut lebih rendah dari yang

ditimbulkan oleh OFC) pada para pasien penderita depresi bipolar. Rerata perubahan

berat badan adalah 1-2 kg selama penanganan jangka pendek dan 0-1 kg selama

6
penanganan jangka panjang (Calabrese dkk, 2005; McElroy dkk, 2010; Suppes dkk,

2010; Thase dkk, 2006; Young dkk, 2010; Young dkk, 2012). Peningkatan berat

badan yang secara klinis signifikan (≥7% dari berat badan pada baseline) diketahui

dialami oleh 4-11% pasien penderita depresi bipolar yang ditangani dengan

quetiapine, sedangkan 1-4% dari para pasien akan mengalami hal ini ketika mereka

diberikan plasebo (Tabel 1) (Calabrese dkk, 2005; McElroy dkk, 2010; Suppes dkk,

2010; Thase dkk, 2006; Young dkk, 2010; Young dkk, 2012).

Namun demikian, perubahan rerata dalam hal tingkat lipid dan glukosa selama

penanganan dengan quetiapine secara umum dapat dikatakan rendah dan sama

dengan pada kelompok pasien yang mendapatkan plasebo (Calabrese dkk, 2005;

McElroy dkk, 2010; Suppes dkk, 2010; Thase dkk, 2006; Young dkk, 2010; Young

dkk, 2012). Pada beberapa penelitian jangka pendek, proporsi pasien yang

mengalami perubahan yang secara klinis relevan dalam hal parameter-parameter

metabolik diketahui secara umum adalah sama dengan mereka yang mendapatkan

quetiapine dan plasebo; selama penanganan jangka panjang, perubahan secara klinis

yang relevan diketahui lebih sering terjadi pada mereka yang diberikan quetiapine

(khususnya pada dosis 600 mg/hari) (Tabel 1).

3.2. Kombinasi olanzapine-fluoxetine

Menurut penelitian jangka pendek dan jangka panjang, OFC diketahui memiliki

efikasi/kemanjuran jika digunakan di dalam penanganan depresi bipolar, namun

demikian, obat ini memiliki hubungan dengan peningkatan berat badan dan

disregulasi metabolisme yang signifikan (Tabel 1) (Brown dkk, 2009; Brown dkk,

7
2006; Corya dkk, 2006; Tohen dkk, 2003b). Proporsi pasien yang secara klinis

mengalami peningkatan berat badan yang signifikan (≥7%) selama penanganan

jangka pendek (6-8 minggu) dengan OFC untuk depresi bipolar akut adalah 19-23%,

hal ini berbeda dengan para pasien yang mendapatkan plasebo dan lamotrigine,

dimana tingkat proporsi pasien nya yang mengalami peningkatan berat badan

masing-masing hanya lah 0,3% dan 0% (Brown dkk, 2006; Tohen dkk, 2003b). Pada

penelitian yang dilakukan selama 6 bulan, tingkat penambahan berat badan para

pasien yang ditangani dengan OFC adalah 33,8% vs. 2,1% pada para pasien yang

mendapatkan lamotrigine (p<0,001) (Brown dkk, 2009).

Selain peningkatan berat badan yang secara klinis signifikan, OFC juga diketahui

memiliki hubungan dengan peningkatan kadar kolesterol total, trigliserid, dan kadar

glukosa (Brown dkk, 2009; Brown dkk, 2006; Tohen dkk, 2003b).

OFC juga diketahui memiliki hubungan dengan sedasi/ mengantuk yang dipicu

karena penanganan, dimana 19-21% dari seluruh pasien yang diberikan OFC akan

mengalaminya, sedangkan para pasien yang mendapatkan plasebo dan lamotrigine,

masing-masing sebanyak 12,5% dan 8-9% saja yang berpotensi mengalami sedasi/

mengantuk (Brown dkk, 2009; Brown dkk, 2006; Tohen dkk, 2003b).

Diketahui, 7,3% dari seluruh pasien penderita depresi bipolar yang diberikan OFC

dapat mengalami hipotensi ortostik dan 4,9% dari mereka akan mengalami

peningkatan tekanan darah (ketika diukur dengan posisi pasien berbaring),

sedangkan hanya 1,4% dan 0,6% (p<0,01) dari seluruh pasien yang diberikan terapi

tunggal olanzapine akan mengalami masing-masing hipotensi ortostaik dan

peningkatan tekanan darah sistolik (ketika diukur dengan posisi pasien berbaring).

8
Untuk para pasien yang diberikan plasebo, 1,4% nya akan mengalami hipotensi

ortostik dan 1,7% nya akan mengalami peningkatan tekanan darah sistolik (ketika

diukur dengan posisi pasien berbaring) (p=0,008 dan p=0,10) selama 8 minggu

penanganan (Tohen dkk, 2003b).

3.3. Lurasidone

Lurasidone saat ini sudah disetujui oleh FDA untuk digunakan di dalam penanganan

depresi bipolar I akut sebagai terapi-tunggal (Loebel dkk, 2014a) dan sebagai terapi

penyerta (yang ditambahkan dengan lithium atau valproate) (Loebel dkk, 2014b).

Menurut dua penelitian yang dilakukan selama 6 minggu (dengan menggunakan

plasebo sebagai kendali), diketahui bahwa tingkat efikasi dari lurasidone untuk

depresi bipolar I akut pun dapat dicapai dengan dosis harian 20-120 mg/hari. Data

tentang efek samping juga tersedia pada penelitian-penelitian ini, selain itu, data juga

didapat dari satu penelitian yang mengkaji tentang penanganan tambahan bagi para

pasien depresi bipolar yang tidak dapat merespon penanganan lithium atau valproate

saja (Lurasidone HCI – penelitian fase 3 selama 6 minggu – dimana partisipan nya

adalah para pasien penderita depresi bipolar I [PREVAIL3], NCT01284517, 2012).

Efek-efek samping yang paling umum terobservasi pada para pasien penderita

depresi bipolar I akut (yang diberikan lurasidone) adalah mual (14%, akathisia (9-

11%), gejala-gejala ekstrapiramidal (7-14%), dan mengantuk (11%) (tablet Latuda®

[lurasidone hidroklorida], 2013). Beberapa efek samping ini adalah lebih umum

muncul pada dosis terapi tunggal lurasidone yang lebih tinggi (80-120 mg/hari)

dibandingkan dengan pada dosis yang lebih rendah (20-60 mg/hari): mual, 17% vs

10%; akatisia, 11% vs 8%; gejala-gejala ekstrapiramidal, 9% vs 5%; dan mengantuk,

9
14% vs 7% (2013). Secara keseluruhan, tingkat insiden mengantuk/ sedasi akibat

penggunaan lurasidone adalah sama dengan yang terobservasi di dalam penggunaan

antipsikotik-antipsikotik atipikal sedasi-rendah lainnya (aripiprazole dan ziprasidone)

(Kane dan Sharif, 2008). Menurut beberapa penelitian yang mengkaji tentang depresi

bipolar, lurasidone diketahui menunjukkan tingkat propensitas yang rendah untuk

peningkatan berat badan, namun perubahan-perubahan dalam hal kadar lipid dan

glukosa tidaklah signifikan (2013).

4. Penstabil mood

Efek-efek samping yang penting yang memiliki hubungan dengan penstabil mood

sangat lah beragam, tergantung obat apa yang digunakan. Lamotrigine diketahui

tidaklah memiliki hubungan dengan efek sedasi yang signifikan; malahan, obat

tersebut diketahui memiliki profil pengaktivasi (Ketter dkk, 2003). Sedasi/

mengantuk diketahui terjadi pada satu proporsi yang substansial pada para pasien

yang ditangani dengan valproate (Bowden dkk, 2000; Ghaemi dkk, 2007), dan

lithium diketahui dapat menyebabkan sedasi/ mengantuk dan gangguan kognitif

(Calabrese dkk, 2003; Suppes dkk, 2008).

Terapi lithium jangka pendek tidaklah secara umum dapat menyebabkan peningkatan

berat badan yang substansial (Young dkk, 2010); namun, lithium diketahui memiliki

hubungan dengan peningkatan rerata berat badan setingkat 1-4 kg selama 1 tahun

penanganan pemeliharaan gangguan bipolar (McIntyre dkk, 2011; Sachs dkk, 2006),

dan tingkat rerata peningkatan berat badan yang paling tinggi (6 kg) diketahui terjadi

pada para pasien yang memang sudah mengalami obesitas (Bowden dkk, 2006).

10
Valproate diketahui memiliki hubungan dengan peningkatan berat badan pada para

pasien penderita epilepsi (Fagiolini dan Chengappa, 2007), dan peningkatan berat

badan yang signifikan juga terobservasi pada penelitian-penelitian pemeliharaan

akan gangguan bipolar (Bowden dkk, 2000; Tohen dkk, 2003a). Satu penelitian

jangka panjang menemukan bahwa: pada para pasien penderita gangguan bipolar

yang ditangani dengan valproate, diketahui bahwa peningkatan berat badan akan

lebih mungkin terjadi pada kadar serum di atas 125 mcg/mL (Bowden dkk, 2000).

Lamotrigine umumnya hanya sedikit menyebabkan peningkatan berat badan pada

para pasien yang menderita depresi bipolar akut (Bowden dkk, 2006; Calabrese dkk,

2003; Calabrese dkk, 1999; Suppes dkk, 2008).

Penggunaan valproate pada para pasien penderita gangguan bipolar diketahui

memiliki hubungan dengan perkembangan sindrom ovarium polikistik (PCOS),

kelainan reproduksi-endokrin yang umumnya dicirikan dengan resistensi insulin

(Joffe dkk, 2006a; Joffe dkk, 2006b).

Karena jendela terapeutik nya yang sempit, potensi efek toksik dari lithium haruslah

dipertimbangkan (Severus dkk, 2008). Beberapa efek samping yang harus

diwaspadai adalah yang melibatkan sistem syaraf pusat, ginjal, dan tiroid (Calabrese

dan Woyshville, 1995; Olivera dkk, 2010). Menurut satu meta analisis terbaru,

lithium diketahui memiliki hubungan dengan penurunan tingkat filtrasi glomerular (-

6,2 mL/menit); penurunan setingkat 15% pada kemampuan pengkonsentrasian kemih

maksimum; hipotiroidisme (nisbah jangkaan 5,8 [interval kepercayaan 95% 2,0-

16,7]); dan peningkatan hormon penstimulasi tiroid (+4,0 iU/mL), hormon paratiroid

(+7,3 pg/mL), dan kalsium darah (+0,09 mmol/L) (McKnight dkk, 2012). Namun

11
demikian, resiko akan gagal ginjal yang terobservasi dapat dikatakan relatif kecil

(0,5%).

Label produk untuk lamotrigine mencakup peringatan tentang kemunculan

meningitis aseptik dan ruam yang serius dan dapat mengancam jiwa pasien (tablet

Lamictal® [lamotrigine], 2011). Ruam yang disebabkan karena penggunaan

lamotrigine pun dievaluasi di dalam satu analisis yang melibatkan 12 penelitian

klinis yang dilakukan pada para pasien penderita gangguan mood; diketahui bahwa

8,3% dari seluruh pasien yang mendapatkan lamotrigine pun mengalami ruam ringan

versus 6,4% dari seluruh para pasien yang mendapatkan plasebo (Calabrese dkk,

2002). Pada reviu kali ini, terdapat satu kasus akan ruam yang serius/ parah (pada

seorang pasien yang mendapatkan plasebo) dan 1 kasus sindrom Stevens-Johnsons

non-serius (Calabrese dkk, 2002). Pengawasan pasca-pemasaran dari tahun 1995-

2009 pun mengidentifikasi 40 kasus meningitis pada para pasien yang mendapatkan

lamotrigine, dimana 15 diantaranya menunjukkan efek samping yang berulang

(Simms dkk, 2012).

Penstabil mood diketahui memiliki efek teratogenik yang signifikan. Hubungan yang

cukup mengkhawatirkan antara penanganan dengan lithium maternal selama

kehamilan dan anomali Ebstein (prolaps bawaan katup trikuspid ke dalam ventrikel

kanan) pun pernah terjadi di tahun 1970-an, hal ini didasarkan pada data dari

registry/ catatan kasus-kasus yang diserahkan secara sukerela; namun demikian,

penelitian-penelitian epidemiologis berikutnya hanya menemukan tingkat resiko

yang lebih rendah (Cohen dkk, 1994). Satu reviu literatur yang meliputi penelitian-

penelitian prospektif dan retrospektif pun dilakukan untuk menilai pengaruh

12
valproate pada kehamilan, dan reviu ini menyimpulkan bahwa efek teratogenik

mayor dapat terjadi pada 10% dari seluruh bayi yang lahir dari para pasien penderita

epilepsi yang menggunakan valproate, dan tingkat ini adalah 3 kali lipat lebih tinggi

daripada bayi yang lahir dari ibu yang tidak ditangani dengan valproate (Ornoy,

2009). Kelainan-kelainan bawaan yang memiliki hubungan dengan valproate

diantaranya adalah cacat jantung; bibir dan langit-langit sumbing; dan kelainan yang

mempengaruhi saluran kemih, limba (lengan dan atau tungkai kaki), dan otak, yang

mencakup usak/ cacat saluran neural (Ornoy, 2009). Data dari catatan kehamilan

Amerika Utara mengindikasikan adanya peningkatan resiko bibir/ langit-langit

sumbing yang signifikan pada para bayi yang terpapar lamotrigine selama trisemester

pertama di dalam rahim (Holmes dkk, 2008). Dengan hal ini, profil akan efek

samping diatas telah membuat para dokter berhati-hati ketika mempertimbangkan

penggunaan valproate pada para wanita di usia reproduksi.

Sebagai suatu kelas, antikonvulsan diketahui dapat meningkatkan resiko pemikiran-

pemikiran atau perilaku-perilaku yang berkaitan dengan bunuh diri. Walaupun para

pasien dan anggota keluarga harus diberi informasi tentang potensi bunuh diri dan

kemunculan depresi (atau pemikiran-pemikiran yang tidak umum) selama

penanganan dengan antikonvulsan, adalah penting untuk tidak terlalu membesar-

besarkan tingkat resiko, karena penolakan penggunaan obat atau penghentian

penanganan secara prematur juga dapat berbahaya bagi pasien (Fountoulakis dkk,

2012).

13
5. Antidepresan

Beberapa efek samping yang memiliki hubungan penggunaan antidepresan pun

beragam, tergantung pada kelas antidepresan. Flouxetine yang dikombinasikan

dengan olanzapine sudahlah diizinkan oleh FDA untuk digunakan di dalam

penanganan depresi bipolar I akut. Semua penggunaan antidepresan lain untuk

depresi bipolar belum lah diizinkan oleh FDA. Beberapa pedoman penanganan pun

merekomendasikan untuk tidak menggunakan terapi-tunggal antidepresan pada kasus

depresi bipolar (Yatham dkk, 2013). Lebih jauh lagi, satu laporan gugus tugas

Himpunan/ Masyarakat Gangguan Bipolar Internasional pun merekomendasikan

penghindaran penggunaan terapi-tunggal antidepresan di dalam penanganan depresi

bipolar I dan depresi bipolar II dengan dua gejala manik inti penyerta atau lebih

(Pacchiarottin dkk, 2013). Oleh karena itu, data yang banyak tentang efek-efek

samping dari penggunaan antidepresan pada para pasien penderita gangguan bipolar

pun dapat terganggu/ tersamarkan oleh penggunaan obat-obatan antipiskotik atipikal

dan/ atau penstabil mood. Di bawah ini, kecuali jika dinyatakan berbeda, efek-efek

samping dari penggunaan antidepresan hanya mengacu pada terapi tunggal pada para

pasien penderita gangguan depresi mayor unipolar.

5.1. Penghambat penyerapan kembali serotonin selektif, penghambat penyerapan

kembali norepinefrin, dan serotonin.

Selama terapi fase akut, berbagai penghambat penyerapan kembali serotonin selektif

(SSRIs/ selective serotonin reuptake inhibitors) dan serotonin serta penghambat

penyerapan kembali norepinefrin (SNRIs/ selective norepinephrine reuptake

14
inhibitors) secara umum tidaklah menyebabkan peningkatan berat badan yang

signifikan akibat penanganan (Hasnain dkk, 2012; Serretti dan Mandelli, 2010).

Namun demikian, paroxetine SSRI diketahui memiliki hubungan dengan

peningkatan berat badan yang signifikan selama penanganan pemeliharaan jangka

panjang (Hasnain dkk, 2012; Serretti dan Mandelli, 2010).

Disfungsi seksual secara luas diketahui dapat diakibatkan oleh penggunaan SSRI;

tingkat prevalensi kondisi ini diketahui adalah sama antara SSRIs dan SNRI

venlafaxine, namun lebih rendah pada penggunaan SNRI duloxetine (Papakostas,

2008). Antidepresan-antidepresan yang aktif pada sistem noradrenergik (yaitu

SNRIs) diketahui memiliki hubungan yang signifikan dengan lebih tingginya tekanan

darah dan laju denyut jantung dibandingkan dengan yang terobservasi pada

penggunaan antidepresan-antidepresan serotonergik selektif (Bielski dkk, 2004;

Goldstein dkk, 2002; Sir dkk, 2005).

5.2. Beberapa antidepresan lain

Mirtazapine merupakan satu antidepresan mekanisme-campuran yang memiliki

hubungan yang signifikan dengan peningkatan berat badan selama terapi jangka

pendek dan terapi pemeliharaan (Serretti dan Mandelli, 2010), dan juga memiliki

hubungan dengan tingginya tingkat resiko mengantuk dan lelah pada para pasien

yang mendapatkan nya (Papakostas, 2008). Disfungsi seksual pasien yang diberikan

mirtazapine diketahui dapat terjadi dengan tingkat frekuensi yang lebih jarang

dibandingkan dengan para pasien yang diberikan SSRIs (Bet dkk, 2013; Watanabe

dkk, 2010).

15
Bupropion, yaitu satu penghambat penyerapan-kembali norepinefrin (Thase dkk,

2005) diketahui dapat menurunkan berat badan selama terapi akut dan pemeliharaan

(Serretti dan Mandelli, 2010), dan obat ini memiliki propensitas yang minim untuk

sedasi/ mengantuk (Thase dkk, 2005), dan juga memiliki hubungan dengan

rendahnya tingkat resiko disfungsi seksual (Papakostas, 2008; Serretti dan Chiesa,

2009). Efek sinergistik pada penurunan berat badan pun terobservasi pada para

pasien yang mengalami obesitas ketika bupropion dikombinasikan dengan naltrexone

(Apovian dkk, 2013; Greenway dkk, 2009; Greenway dkk, 2010). Kondisi sawan

diketahui dapat menjadi satu efek samping yang dikhawatirkan dari penggunaan

bupropion, namun hal ini jaranglah terjadi pada penggunaan obat tersebut dalam

dosis yang direkomendasikan (0,1% dari seluruh pasien yang mendapatkan formulasi

lepas-lama dan 0,4% dari seluruh pasien yang mendapatkan formulasi lepas-cepat)

(Fava dkk, 2005).

6. Menangani efek-efek samping farmakoterapi untuk depresi bipolar

Penanganan depresi bipolar yang aman dan efektif akanlah membutuhkan kolaborasi

antara para petugas kesehatan medis dan para pasien itu sendiri, yang diantaranya

mencakup pembahasan rutin akan fungsi terapeutik obat, efek-efek samping nya, dan

pengambilan keputusan akan perubahan di dalam regimen terapeutik. Pemonitoran

efek samping merupakan satu komponen penanganan terapeutik yang penting.

Beberapa pedoman yang dianjurkan untuk pemonitoran pasien penderita depresi

bipolar dalam hal penggunaan medikasi secara spesifik pun ditunjukkan pada Tabel

2.

16
6.1. Masalah berat badan dan metabolik

Mengingat akan prevalensi dan dampak yang buruk dari peningkatan berat badan dan

disregulasi metabolik, penanganan haruslah juga mencakup hal-hal di luar

penanganan gejala-gejala mood, dimana outcome-outcome lain seperti contohnya

pemonitoran dan pengendalian dislipidemia dan hiperglikemia serta perubahan gaya

hidup menjadi lebih sehat (penurunan berat badan, penghentian kebiasaan merokok,

dan penanganan stres) juga harus dilakukan (Birkenaes dkk, 2007; Birkenaes dkk,

2006; Brietzke dkk, 2011).

Bagi para pasien yang mengalami peningkatan berat badan akibat penanganan,

perubahan regimen penanganan dapat lah dipertimbangkan untuk dilakukan

(McIntyre dkk, 2012). Dibandingkan dengan valproate atau lithium, lamotrigine

merupakan satu opsi penstabil mood yang tidak terlalu menyebabkan peningkatan

berat badan (Fagiolini dan Chengappa, 2007). Bagi para pasien yang diberikan

quetiapine atau OFC, lurasidone dapat menjadi satu antipsikotik alternatif yang tidak

terlalu menyebabkan peningkatan berat badan dan gangguan metabolik. Ziprasidone

merupakan antipsikotik atipikal lain yang memiliki tingkat propensitas rendah untuk

peningkatan berat badan (Kemp dkk, 2012b); namun demikian, obat ini tidak terlalu

memiliki efikasi yang baik di dalam penanganan depresi bipolar akut (Lombardo

dkk, 2012; Sachs dkk, 2011). Seperti ziprasidone, aripiprazole telah diperbolehkan

untuk digunakan di dalam penanganan akut episode manik atau campuran yang

berkaitan dengan gangguan bipolar I dan untuk terapi pemeliharaan (tablet Abilify®

[aripiprazole], 2012; kapsul Geodon® [ziprasidone HCl], 2012), namun terdapat dua

penelitian yang menemukan bahwa obat ini tidak terlalu memiliki efikasi yang baik

17
(Thase dkk, 2008). Namun, walaupun aripiprazole memiliki profil metabolik yang

secara umum baik (Kemp dkk, 2010), obat ini diketahui memiliki hubungan dengan

peningkatan berat badan yang signifikan pada beberapa pasien penderita gangguan

bipolar (Keck Jr dkk, 2007; Keck Jr dkk, 2006).

Perubahan perilaku dan gaya hidup, yang melibatkan upaya olahraga rutin dan

perubahan pola makan merupakan komponen-komponen yang penting di dalam

penanganan (McElroy dan Keck Jr, 2012; McIntyre dkk, 2012). Pada satu penelitian

yang melibatkan para pasien yang mengalami gangguan kejiwaan dan juga berat

badan berlebih, regimen penurunan berat badan melalui perubahan perilaku pun

menghasilkan penurunan yang lebih signifikan akan rerata berat badan selama 18

bulan dibandingkan dengan yang terobservasi di kelompok kendali (Daumit dkk,

2013).

Tabel 3 meringkas penanganan-penanganan farmakologis yang tersedia untuk

obesitas yang juga dibutuhkan bagi para pasien yang terus mengalami peningkatan

berat badan atau yang tidak mengalami penurunan berat badan setelah

mengimplementasikan perubahan gaya hidup (contohnya: perubahan pola makan dan

olahraga) dan/ atau mereka yang telah melakukan perubahan regimen penanganan

(Tsigos dkk, 2008). Farmakoterapi (yang dikombinasikan dengan perubahan gaya

hidup) adalah direkomendasikan bagi para pasien yang memiliki berat badan

berlebih dan memiliki komorbiditas komplikatif yang berkaitan dengan berat badan

(contohnya dislipidemia, hipertensi, diabetes) atau mengalami obesitas, dengan atau

tanpa keberadaan kondisi medis komorbid (Tsigos dkk, 2008).

18
Metformin merupakan farmakoterapi yang paling sering diteliti bagi para pasien

yang mengalami peningkatan berat badan selama penanganan dengan antipsikotik-

antipsikotik atipikal, dan menurut satu meta analisis, obat ini diketahui dapat

menurunkan berat badan sebanyak 3 kg selama 12-16 minggu follow up (Ehret dkk,

2010). Dengan demikian, metformin adalah obat yang direkomendasikan sebagai

opsi penanganan lini kedua setelah intervensi perilaku (McIntyre dkk, 2012).

Orlistat, yaitu obat yang sudah mendapatkan persetujuan dari FDA untuk penurunan

berat badan (kapsul oral Xenical® [orlistat], 2012), diketahui telah terbukti dapat

menurunkan berat badan pada para pasien yang mengalami peningkatan berat badan

akibat penggunaan olanzapine dan clozapine (Tchoukhine dkk, 2011), dan juga telah

direkomendasikan sebagai opsi lini kedua untuk digunakan pada para pasien yang

menderita gangguan bipolar (McIntyre dkk, 2012). Selain menurunkan berat badan

dan disfungsi metabolik (akibat penggunaan antipsikotik) (Narula dkk, 2010),

topiramate juga lebih dapat menurunkan berat badan ketika digunakan bersamaan

dengan penstabil mood pada para pasien penderita gangguan bipolar (Chengappa

dkk, 2006; McIntyre dkk, 2002). Namun demikian, efek-efek samping dari

penggunaan topiramate terhadap fungsi kognitif juga dapat membatasi kegunaannya

(Goldberg dan Chengappa, 2009). Lorcaserin, yang merupakan agonis reseptor

sertonin 5-HT2c selektif baru, baru-baru ini telah diizinkan oleh FDA untuk

digunakan di dalam penanganan obesitas, namun demikian, obat ini belumlah

dievaluasi pada para pasien psikiatrik (Fidler dkk, 2011; Goldenberg, 2012).

Penggunaan psikostimulan yang bijak dapat lah memberikan pengendalian yang

tepat akan perilaku makan dan penurunan berat badan. Kombinasi phentermine (satu

19
amina simpatomimetik) dan topiramate saat ini sudah diperbolehkan oleh FDA untuk

digunakan di dalam penanganan berat badan berlebih kronis pada para pasien dewasa

yang memiliki indeks masa tubuh (BMI) awal ≥30 kg/m2, atau BMI ≥27 kg/m2

dengan minimal satu komorbid yang terkait dengan berat badan (contohnya

hipertensi, dislipidemia, diabetes tipe 2) (kapsul oral Qsymia® [phentermine dan

topiramate lepas-lama] CIV, 2013). Selain itu, psikostimulan lisdexamfetamine

dimesylate diketahui dapat menurunkan episode nafsu makan berlebih pada para

pasien (Jancin, 2013).

Pada para pasien yang mengalami hiperglikemia pra-diabetes, perubahan pola makan

dan kebiasaan berolahraga dapat lah mencegah atau menunda progresi diabetes

(Asosiasi Diabetes Amerika, 2004). Penelitian-penelitian yang mengkaji tentang

obat-obatan antihiperglikemik bagi para pasien penderita gangguan bipolar tidaklah

banyak jumlahnya; dengan demikian, rekomendasi-rekomendasi penanganan dapat

diambil dari pedoman-pedoman umum (Asosiasi Diabetes Amerika, 2012; Calkin

dkk, 2013). Penanganan-penanganan farmakologis mencakup metformin untuk

diabetes tipe 2 yang lebih ringan dan insulin bagi mereka yang menderita diabetes

tipe 2 para atau diabetes tipe 1, sebagaimana yang direkomendasikan oleh Asosiasi

Diabetes Amerika (2012). Beberapa terapi non-insulin lain untuk diabetes tipe 2

ditunjukkan pada Tabel 4. Bukti yang ada menunjukkan bahwa pemberikan

pioglitazone agonis gama reseptor yang teraktivasi oleh peroxisome proliferator

diketahui dapat menurunkan gejala depresi dan juga memulihkan resistensi insulin

(Kemp dkk, 2012a; Kemp dkk, 2014).

20
Karena perubahan pada homeostasis lipid diketahui memiliki kaitan dengan

peningkatan berat badan, perubahan gaya hidup pun direkomendasikan sebagai terapi

lini pertama bagi para pasien yang mengalami dislipidemia selama penanganan

depresi bipolar (McIntyre dkk, 2012). Bagi para pasien yang tidak merespon opsi

penanganan lini pertama, penanganan-penanganan farmakologis untuk dislipidemia,

seperti contohnya statin, niacin, resin, dan fibrate, dapatlah digunakan (Departemen

Urusan Veteran dan Departemen Pertahanan, 2006; McIntyre dkk, 2012).

6.2. Sedasi/ mengantuk

Untuk sebagian pasien yang tidak mengalami toleransi terhadap pengaruh sedasi dari

penggunaan obat, sedasi/ mengantuk dapat lah memberikan dampak negatif terhadap

kualitas hidup, yang dimana hal ini dapat berkontribusi terhadap peningkatan berat

badan dan disfungsi kognitif, serta juga dapat memperburuk fungsi sosial dan

okupasional/ pekerjaan (Kane dan Sharif, 2008). Untuk menangani kondisi sedasi/

mengantuk akibat penanganan, para dokter dapat mempertimbangkan untuk merubah

obat dengan obat yang tidak terlalu menyebabkan kantuk, jika memang

memungkinkan. Beberapa obat antipsikotik yang tidak terlalu menyebabkan kantuk,

diantaranya adalah aripiprazole, lurasidone, atau ziprasidone (2013; Kane dan Sharif,

2008; McIntyre dan Konarski, 2005). Lamotrigine dianggap lebih dapat menurunkan

propensitas untuk sedasi/ mengantuk jika dibandingkan dengan valproate, dan

lamotrigine juga dianggap memiliki profil kognitif yang lebih aman dibandingkan

dengan lithium atau valproate (Malhi dkk, 2012). Namun demikian, penggunaan

obat-obatan penstabil mood yang dapat menyebabkan kantuk dapat lah diperlukan

untuk menjaga pengendalian gejala yang cukup. Perubahan jadwal pendosisan obat

21
(yang dapat menyebabkan kantuk) dari pagi ke malam hari juga dapat mengurangi

dampak mengantuk dan sedasi terhadap fungsi harian (aktivitas di siang hari)

(Miller, 2004; Muench dan Hamer, 2010).

Penggunaan obat penyerta juga dapat menjadi sarana lain dari penurunan resiko

mengantuk dan juga hipersomnolensi yang umum terobservasi pada kasus depresi

bipolar. Stimulan-stimulan (contohnya methylphenidate, amphetamine) dapat lah

menjadi pilihan lain (Carlson dkk, 2004; Dell’Osso dan Ketter, 2013). Alternatif nya,

penghambat penyerapan-kembali dopamin, yaitu modafinil dan armodafinil (yang

sudah diizinkan oleh FDA di dalam penanganan mengantuk parah yang berkaitan

dengan kondisi apnea tidur obstruktif, narkolepsi, atau gangguan sift kerja (tablet

Nuvigil® [armodafnil] [C-IV], 2013; tablet Provigil® [modafinil] [C-IV], 2010),

dapat lah meredakan sedasi/ mengantuk dan juga memiliki efek antidepresan pada

para pasien penderita depresi bipolar (Calabrese dkk, 2010; Frye dkk, 2007). Ketika

menggunakan stimulan-stimulan ini atau intervensi yang bersifat sebagai stimulan,

maka kehati-hatian adalah hal yang diperlukan untuk menghindari destabilisasi

mood.

6.3. Masalah-masalah kardiovaskular

Diet kombinasi DASH (Pendekatan Dietari Untuk Menghentikan Hipertensi/ Dietary

Approaches to Stop Hypertension), yang melibatkan peningkatan konsumsi buah-

buahan, sayuran, dan produk-produk susu dan turunannya yang rendah lemak, serta

penurunan konsumsi lemak jenuh dan kolesterol, diketahui dapat secara signifikan

menurunkan tekanan darah (Appel, 2009; Svetkey dkk, 1999). Beberapa upaya

22
perubahan gaya hidup lainnya yang dapat menurunkan tekanan darah diantaranya

adalah penurunan berat badan, penurunan tingkat asupan garam, dan penurunan

tingkat konsumsi alkohol (Appel, 2009). Beberapa opsi penanganan farmakologis

untuk hipertensi pun ditampilkan pada Tabel 4 (Appel, 2009; Chengappa dkk, 2006;

Departeman Urusan Veteran dan Departemen Pertahanan, 2006; Fidler dkk, 2011;

Goldenberg, 2012; Gradman dkk, 2011; McIntyre dkk, 2012; McIntyre dkk, 2002).

6.4. Beberapa efek samping lain

Walaupun tingkat gejala-gejala ekstrapiramidal adalah lebih rendah pada

penggunaan antipsikotik atipikal jika dibandingkan dengan obat-obatan antipsikotik

konvensional, namun para pasien penderita gangguan bipolar tampaknya dapat

menjadi lebih rentan terhadap kemunculan akathisia dan gejala-gejala

ekstrapiramidal lainnya dibandingkan dengan para pasien penderita skizofrenia (Gao

dkk, 2008). Akatisia merupakan bentuk gejala ekstrapiramidal yang paling umum,

dan kondisi ini pun dapat diredakan dengan penggunaan beta blocker, seperti

contohnya propranolol atau benzodiazepine. Obat-obatan antikholinergik umumnya

akan digunakan sebagai penanganan lini pertama ketika pasien mengalami

kemunculan fitur-fitur Parkinsonian atau distonia.

Pencegahan kemunculan efek toksik dari lithium adalah tergantung pada

pemonitoran obat terapeutik, sehingga dokter akan mengetahui tentang apakah kadar

lithium berada di bawah batas efek toksik atau tidak, atau apakah efek tersebut dapat

memberikan efek penanganan yang positif atau tidak (yaitu 0,4-1,2 mmol/L)

(Severus dkk, 2008). Untuk mencegah perkembangan kelainan-kelainan bawaan

23
yang berkaitan dengan penggunaan valproate, para wanita haruslah menggunakan

bentuk kontrasepsi yang dapat diandalkan, mengkonsumsi suplemen folat harian

untuk mengurangi resiko usak saluran neural, dan harus menghentikan penanganan

jika mereka memang berencana untuk mendapatkan kehamilan (Ornoy, 2009).

Walaupun kontraseptif hormonal dapat juga memitigasi resiko sindrom ovarium

polikstik dengan valproate, efek yang beragam terhadap mood juga dapat

mengindikasikan bahwa kehati-hatian adalah hal yang dibutuhkan ketika diberikan

kepada para wanita penderita gangguan bipolar.

Resiko akan kemunculan dan perkembangan ruam (akibat penggunaan lamotrigine)

dapat lah dikurangi dengan mengikuti jadwal titrasi yang tepat. Calabrese dkk (2002)

pun merekomendasikan dosis 25 mg/hari sebagai dosis awal lamotrigine selama 2

minggu pertama penanganan, kemudian dosis ini dapat ditingkatkan menjadi 50 mg/

hari selama minggu ke-3 dan ke-4, kemudian diikuti dengan peningkatan setiap

minggu nya menjadi 50-100 mg/hari ketika diperlukan sampai tingkat efikasi dapat

dicapai (Calabrese dkk, 2002). Ruam yang muncul dalam 5 hari pertama di awal

penanganan tampaknya tidaklah disebabkan karena penggunaan obat, sedangkan

ruam yang muncul setelah hari ke-5 sangat lah mungkin disebabkan karena

penggunaan lamotrigine (Calabrese dkk, 2002). Ruam yang disebabkan karena

penggunaan lamotrigine dapat lah menghasilkan outcome yang buruk, karena rasa

gatal yang muncul akan menyebar dan memberikan sensasi nyeri; dimana

penyebaran ini akan melibatkan area leher dan tubuh bagian atas, yang mencakup

mata dan mulut; dan hal ini dapat disertai dengan gejala-gejala lain, seperti

contohnya mata dan mulut, dan akan menyebabkan gejala-gejala lain seperti demam

atau faringitis (Calabrese dkk, 2002). Para pasien yang mengalami ruam akibat

24
lamotrigine haruslah menghentikan penanganan dan dimonitor untuk diketahui

apakah hal yang dialami pasien melibatkan sistem ginjal, liver, dan hematologis

ataukah tidak. Para pasien ini umumnya tidak akan diberikan lagi lamotrigine;

namun demikian, para pasien yang kondisi ruamnya tidak parah dapat lah kembali

diberikan lamotrigine, jika memang dibutuhkan secara klinis (yaitu: jika potensi

resiko ruam tidaklah lebih tinggi dibandingkan dengan resiko pemburukan klinis)

(Lorberg dkk, 2009).

7. Kekurangan/ keterbatasan

Pemilihan penelitian-penelitian yang relevan dari pencarian literatur sangat lah

ditentukan oleh keahlian para peneliti di bidang penanganan depresi bipolar dan

pengetahuan tentang masalah-masalah yang sedang dikaji. Penelitian-penelitian

klinis terkendali acak dapat lah memiliki keterbatasan di dalam pendeteksian

pemburukan kondisi klinis yang jarang terjadi atau yang kemunculan nya lambat.

8. Kesimpulan

Beberapa efek samping yang memiliki hubungan dengan penanganan-penanganan

depresi bipolar (yang umum digunakan) adalah beragam tergantung kelas obat, obat

tertentu yang digunakan, dan karakteristik-karakteristik tiap pasien. Pemonitoran

pasien penderita gangguan bipolar haruslah menyertakan tindakan asssessment rutin

yang berlaku bagi seluruh pasien dan evaluasi obat-spesifik yang didasarkan pada

obat yang diresepkan. Satu upaya kolaborasi dari para penyedia layanan medis dan

para pasien adalah hal yang penting untuk pencapaian penanganan depresi bipolar

25
yang efektif, yang diantaranya mencakup pembahasan rutin tentang efek samping

dan efek terapeutik, dan juga tentang pengambilan keputusan dalam hal perubahan-

perubahan regimen terapeutik untuk mencapai keseimbangan yang optimal antara

efikasi dan tolerabilitas. Penghindaran obat-obatan tertentu pada para pasien dengan

kerentanan tertentu (contohnya obat-obatan yang dapat menyebabkan peningkatan

berat badan pada para pasien yang memang sudah mengalami kelebihan berat badan

atau obesitas) diketahui dapat lah menghindari kemunculan beberapa efek samping.

Pemonitoran klinis dan laboratorium dapat lah memungkinkan dilakukan nya

pendeteksian efek samping secara dini dan penanganan nya. Penanganan yang tepat

untuk kemunculan efek samping, seperti contohnya peningkatan berat badan,

disregulasi metabolik, dan/ atau sedasi, dapatlah membutuhkan penggunaan terapi-

terapi farmakologis penyerta (selain strategi-strategi penanganan perilaku).

Pemaksimalan tingkat keamanan medikasi dan tolerabilitas akan lah meningkatkan

tingkat kepatuhan pasien terhadap penanganan dan juga dapat meningkatkan kualitas

outcome klinis, baik untuk kasus depresi bipolar ataupun untuk kesehatan medis

umum.

Pengungkapan

NUVIGIL (armodafinil) tidaklah diindikasikan untuk penanganan depresi mayor

yang berkaitan dengan gangguan bipolar I. Teva melakukan tiga penelitian Fase III.

Berdasarkan pada evaluasi toalitas hasil dari ketiga penelitian, Teva telah

menghentikan pengembangan dan produksi obat tersebut untuk penanganan depresi

mayor yang berkaitan dengan gangguan bipolar I.

26
Konflik kepentingan

Dr. Kemp telah berperan sebagai konsultan bagi Corcept Therapeutics, Janssen

Pharmaceuticals, Inc., dan Teva Pharmaceuticals: beliau juga menjadi dewan

penasehat keilmuan untuk Bristol-Myers Squibb; dan juga sebagai juru bicara

AstraZeneca, Takeda, Lundbeck, Sunovion, dan Pfizer Inc. Beliau telah

mendapatkan pendanaan dari Cleveland Foundation, Yayasan penanganan Alternatif

Gangguan Bipolar, Yayasan Penelitian Otak & Perilaku (yang sebelumnya dikenal

sebagai NARSAD), dan juga dari Lembaga Kesehatan Nasional.

Dukungan pendanaan

Pendanaan untuk editorial teknis dan dukungan penulisan karya ilmiah medis pun

didapatkan dari Teva Pharmaceuticals, North Wales, PA. Publikasi artikel ini

didukung oleh dana pendidikan medis independen dari Sunovion Pharmaceuticals,

Marlborough, MA.

27

Anda mungkin juga menyukai