Anda di halaman 1dari 20

Judul

Hubungan Kualitas Tidur Dan Kadar Gula Darah Sewaktu Dengan


Kejadian Prediabetes Pada Siswa SMAN 4 Palangka Raya.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19


tahun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014,
remaja adalah penduduk dalam usia 10-18 tahun dan menurut Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja
adalah 10-24 tahun dan belum menikah. Jumlah kelompok usia 10-19 tahun
di Indonesia menurut Sensus Penduduk 2010 sebanyak 43,5 juta atau sekitar
18% dari jumlah penduduk. Di dunia diperkirakan kelompok remaja
berjumlah 1,2 milyar atau 18% dari jumlah penduduk dunia(Kemenkes RI,
2015).
Seiring dengan kemajuan teknologi di dunia kesehatan, telah terjadi
pola pergeseran penyakit di dunia. Salah satunya adalah penyakit yang
diakibatkan pola hidup yaitu Diabetes mellitus (DM), DM tipe II selalu
didahului oleh kejadian Prediabetes(Mihardjantia, L., Delima, Alwi, Q.,
Ghani, L., Nainggolan, O., 2014).
Berdasarkan penelusuran kepustakaan belum ada data pasti tentang
jumlah Pradiabetes. Istilah prediabetes diperkenalkan pertama kali pada
tahun 2002 oleh Departement of Health and Human Service (DHHS) dan
the American Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilah
menggambarkan keadaan prediabetes adalah TGT dan GPT. Setiap
tahunnya 4-9% orang dengan prediabetes menjadi Diabetes. Adapun hal
yang mendasari seseorang dikatakan prediabetes atau tergolong prediabetes
yaitu apabila kadar gula darah puasa <126 mg/dl dan gula darah 2 jam
setelah makan 140-<200 mg/dL (Mihardjantia, L., Delima, Alwi, Q., Ghani,
L., Nainggolan, O., 2014).
Diagnosis gangguan tidur pada remaja sulit ditegakkan, karena
keluhan gangguan tidur seringkali tidak disampaikan oleh remaja, selain itu
usia remaja pola tidur tidak lagi menjadi pusat perhatian orang tua. Oleh
karena itu gangguan tidur pada remaja seringkali tidak terdiagnosis dan
akhirnya tidak diobati dengan baik (Haryono et al., 2009).
Kurang tidur bekrepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik dan
psikis. Dari segi fisik, kurang tidur akan menyebabkan muka pucat, mata
sembab, badan lemas, dan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah
terserang penyakit. Sedangkan dari segi psikis, kurang tidur akan
menyebabkan timbulnya perubahan suasana kejiwaan, sehingga penderita
akan menjadi lesu, lamban menghadapi rangsangan dan sulit berkonsentrasi
(Endang, 2007).
Di dalam penelitiannya, Javaheri et al. (2008) menyatakan bahwa data
mengenai hubungan antara peningkatan tekanan darah karena kualitas tidur
yang buruk pada orang dewasa sudah banyak, kualitas tidur adalah salah
satu faktor yang sangat penting dalam mempertahankan kesehatan selain life
style, efisiensi tidur yang rendah diketahui dapat berisiko terhadap
terjadinya hipertensi, optimalisasi jam tidur dapat membantu untuk
mencegah terjadinya hipertensi. Memantau kualitas dan kuantitas tidur
sebagai upaya meningkatkan kesehatan masyarakat sangat penting
dilakukan.
Data WHO menunjukkan bahwa angka kejadian penyakit tidak
menular pada tahun 2004 yang mencapai 48,30% sedikit lebih besar dari
angka kejadian penyakit menular, yaitu sebesar 47,50%. Bahkan penyakit
tidak menular menjadi penyebab kematian nomor satu di dunia
(63,50%)(Garnita et al., 2012).
Sebagai bagian dari agenda untuk Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan 2030, negara anggota telah menetapkan target untuk
mengurangi angka kematian akibat penyakit tidak menular (termasuk
diabetes), menjadi sepertiganya, agar dapat mencapai Universal Health
Coverage (UHC) dan menyediakan akses terhadap obat-obatan esensial
yang terjangkau pada tahun 2030. Secara global, diperkirakan 422 juta
orang dewasa hidup dengan diabetes pada tahun 2014, dibandingkan dengan
108 juta pada tahun 1980. Prevalensi diabetes di dunia (dengan usia yang
distandarisasi) telah meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 1980,
meningkat dari 4,7% menjadi 8,5% pada populasi orang dewasa. Hal ini
mencerminkan peningkatan faktor risiko terkait seperti kelebihan berat
badan atau obesitas. Selama beberapa dekade terakhir, prevalensi diabetes
meningkat lebih cepat di negara berpenghasilan rendah dan menengah
daripada di negara berpenghasilan tinggi. Diabetes menyebabkan 1,5 juta
kematian pada tahun 2012. Gula darah yang lebih tinggi dari batas
maksimum mengakibatkan tambahan 2,2 juta kematian, dengan
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan lainnya. Empat puluh tiga
persen (43%) dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum usia 70 tahun.
Persentase kematian yang disebabkan oleh diabetes yang terjadi sebelum
usia 70 tahun lebih tinggi di negaranegara berpenghasilan rendah dan
menengah daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi. (WHO Global
Report, 2016).
Kejadian DM selalu didahului oleh kejadian pradiabetes, berdasarkan
laporan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 oleh departemen
kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM berdasarkan diagnosis
dokter dan gejala meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, untuk usia
≥15 Tahun prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua dan Kalimantan
Barat sebesar 0,8%, dan terbesar di propinsi DI Yogyakarta sebesar 2,6%.
Sedangkan prevalensi diabetes melitus di Provinsi Jambi sebesar
1,1%(RISKESDAS, 2013).
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995-2001 dan
Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa penyakit tidak menular seperti stroke,
hipertensi, diabetes melitus, tumor, dan penyakit jantung merupakan
penyebab kematian utama di Indonesia. Pada tahun 2007, sebesar 59,5%
penyebab kematian di Indonesia merupakan penyakit tidak menular. Selain
itu, persentase kematian akibat penyakit tidak menular juga meningkat dari
tahun ke tahun, yaitu 41,7% pada tahun 1995, 49,9% pada tahun 2001, dan
59,5% pada tahun 2007. Jika dibandingkan dengan tahun 2013, prevalensi
DM berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur ≥ 15 tahun hasil
Riskesdas 2018 meningkat menjadi 2%. Prevalensi DM berdasarkan
diagnosis dokter dan usia ≥ 15 tahun yang terendah terdapat di Provinsi
NTT, yaitu sebesar 0,9%, sedangkan prevalensi DM tertinggi di Provinsi
DKI Jakarta sebesar 3,4%. Prevalensi DM semua umur di Indonesia pada
Riskesdas 2018 sedikit lebih rendah dibandingkan prevalensi DM pada usia
≥15 tahun, yaitu sebesar 1,5%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi DM
tertinggi semua umur berdasarkan diagnosis dokter juga masih di DKI
Jakarta dan terendah di NTT (Kemenkes RI, 2019).
Seiring meningkatnya kesejahteraan rakyat dan bertambahnya jumlah
penduduk usia produktif sebagai buah dari bonus demografi, jumlah orang
dewasa gemuk dipastikan terus naik. Mereka terdiri dari orang yang baru
kelebihan berat badan dibandingkan berat badan standar sesuai tinggi tubuh
dan yang sudah masuk kategori obesitas. Lebih dari 40 juta orang dewasa di
Indonesia yang obesitas atau kegemukan. Hal itu setara jumlah penduduk
Jawa Barat, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar, tetapi semuanya
berisiko menderita berbagai penyakit degeneratif, mulai dari diabetes,
serangan jantung, stroke, hingga kanker. Jumlah Penduduk ≥ 15 Tahun yang
berkunjung ke puskesmas pada tahun 2016 sebanyak 279.811 orang. Data
tersebut berasal dari enam kabupaten kota yaitu Kabupaten Kotawaringin
Timur, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas, Barito Selatan dan Kota
Palangka Raya, jadi masih belum menggambarkan jumlah kunjungan ke
puskesmas yang sebenarnya. Dari jumlah kunjungan tersebut yang
melakukan pemeriksaan obesitas sebanyak 3.640 orang (1.30%), dengan
jumlah penderita obesitas sebanyak 2.996 orang (82.31%)(DINKES
KALTENG, 2016).
Observasi awal yang dilakukan oleh penulis pada ... Oktober 2019,
penulis mendapatkan bahwa terdapat .... siswa SMA 4 Palangka Raya yang
mengalami berat badan lebih, memiliki keturunan diabetes yang menjadi
risiko tinggi mengalami DM Tipe 2 atau Prediabetes. Peneliti juga
menemukan terdapat gangguan pemenuhan kualitas tidur pada siswa kelas
... SMAN 4 Palangka Raya.
Berdasarkan permasalahan diatas peneliti tertarik melakukan
penelitian tentang Hubungan Kualitas Tidur Dan Kadar Gula Darah
Sewaktu Dengan Kejadian Prediabetes Pada Siswa SMAN 4 Palangka
Raya..

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas masih terdapat remaja yang
mengalami Resiko Diabetes Tipe II atau Prediabetes di SMA Negeri 4
Palangka Raya dan belum diketahuinya berat badan, pola tidur, serta kadar
gula darah sewaktu siswa yang mengalami kegemukan di SMA Negeri 4
Palangka Raya. Itulah yang menjadi dasar peneliti untuk melihat Hubungan
Kualitas Tidur Dan Kadar Gula Darah Sewaktu Dengan Kejadian
Prediabetes Pada Siswa SMAN 4 Palangka Raya..

C. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
meningkatkan pengetahuan siswa tentang bagaimana menjaga
kesehatan mereka dalam mencegah tanda-tanda Prediabetes.
2. Bagi Peneliti :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan ilmu-
ilmu yang didapat selama menempuh pendidikan dan menjadi
pertimbangan untuk menjadi acuan dasar penelitian bagi peneliti lain.
3. Bagi Institusi Sekolah :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan informasi
bagi sekolah mengenai status kesehatan pada siswa, sehingga pihak
sekolah dapat memberikan edukasi pada siswa di SMA Negeri 4
Palangka Raya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa bukan
hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-
perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam
pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan fisik itu (Sarwono,
2016). Masa remaja merupakan jalan panjang yang menjembatani periode
kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10 tahun dan
berakhir di usia 18 tahun. Adolescent atau remaja merupakan masa transisi
dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi
baik perubahan hormonal, pisik, psikologis maupun sosial. Perubahan fisik
yang sangat menonjol adalah perkembangan tanda-tanda seks sekunder,
terjadinya pacu tumbuh, serta perubahan perilaku dan hubungan sosial
dengan lingkungannya. Perubahan-perubahan tersebut apat mengakibatkan
kelainan maupun penyakit tertentu bila tidak diperhatikan dengan seksama
(Arisman, 2010).
1. Perubahan Psikologis pada Remaja
Perubahan fisik yang cepat dan terjadi secara berkelanjutan pada
remaja menyebabkan para remaja sadar dan lebih sensitif terhadap
bentuk tubuhnya dan mencoba membandingkan dengan teman-teman
sebaya. Perubahan psikososial pada remajadibagi dalam tiga tahap
yaitu:
a. Periode pertama disebut remaja awal atau early adolescent,
terjadi pada usia 12-14 tahun. Pada masa ini anak-anak terpapar
pada perubahan komposisi tubuh disertai awal pertumbuhan
seks sekunder. Pada fase ini mereka hanya tertarik pada keadaan
sekarang, bukan masa depan .
b. Periode selanjutnya adalah middle adolescent terjadi antara usia
15-17 tahun. Pada periode ini mulai tertarik akan intelektualitas
dan karir. Sudah mulai mempunyai konsep role model dan mulai
konsisten terhadap cita-cita.
c. Periode akhir disebut late adolescent yang dimulai pada umur 18
tahun ditandai dengan tercapainya maturitas fisik secara
sempurna. Pada fase ini remaja lebih memperhatikan masa
depan.
2. Prinsip Gizi untuk Remaja
Pada masa remaja kudapan berkontribusi 30% atau lebih dari total
asupan kalori setiap hari. Remaja pemilihan kudapan yang sehat.
Remaja adalah masa transisi yang harus dipertanggungjawabkan,
anak-anak, dewasa, dewasa, masa pertumbuhan, mental, dan
emosional, yang sangat cepat. Menurut WHO batas usia remaja
adalah antara umur 10-19 tahun. Makanan merupakan salah satu
kebutuhan manusia yang utama bagi setiap orang. Makanan yang
mengandung zat gizi yang diperlukan untuk tubuh dan berkembang.
Dengan mengkonsumsi makanan yang cukup dan teratur, remaja akan
tumbuh sehat sehingga akan mencapai prestasi yang gemilang,
kebugaran, dan sumber daya manusia yang berkualitas. Remaja putri
yang terpelihara kadar gizinya akan terpelihara kesehatan
reproduksinya. Jika kondisi sehat ini terus berlanjut sampai kondisi
memasuki waktu hamil maka akan mendapatkan anak yang sehat dan
cerdas.
3. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Gizi Remaja
a. Status individu
Biasanya wanita remaja atau wanita remaja yang telah menikah
akan kesulitan dalam memilih bahan makanan atau jenis
makanan yang akan dihidangkan. Kadang dalam menyusun
hidangan makanan lebih memperhatikan orang lain dari pada
dirinya, seperti keluarga dan anak jika ia telah menikah atau
orang yang dia sayang lainnya. Wanita yang telah berumah
tangga biasanya lebih memilih mengonsumsi makanan yang
tidak dihabiskan oleh keluarga karena ia merasa sayang apabila
terbuang.
b. Status ekonomi
Wanita dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi tentunya akan
berbeda gizinya dengan orang dari tingkat ekonomi rendah.
c. Anatomi tubuh individu
Ukuran pelvis individu berhubungan erat dengan tinggi badan
seseorang. Selain hal-hal diatas banyak taktor yang
mempengaruhi antara lain kemampuan keluarga untuk membeli
makanan atau pengetahuan tentang gizi. Banyak wanita
terutama wanita karier atau wanita yang banyak berhubungan
dengan publik cenderung lebih mengkonsumsi makanan diet
tanpa lemak atau hanya konsumsi buah-buahan daripada
makanan sehat.
4. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan
keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik
yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian
dibandingkan dengan baku yang telah tersedia (Arisman, 2010). Pada
dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung
dan tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi anthropometri,
biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian secara tidak langsung meliputi
survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi
(Supariasa, 2016).
Penilaian dengan cara antropometri yaitu mengukur ukuran tubuh
manusia. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sebagai indikator status
gizi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa parameter, yaitu
ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan,
tinggi baadan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada,
lingkar pinggul dan tebal lemak bawah (Supariasa, 2016). Dalam
penelitian ini menggunakan dua parameter, yaitu:
a. Berat badan, berat badan merupakan ukuran antropometri yang
terpenting dan paling sering digunakan. Berat badan
menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral
pada tulang. Berat badan merupakan pilihan utama karena
merupakan parameter yang paling baik, mudah terlihat
perubahan dalam waktu singkat karena perubahan-perubahan
konsumsi makanan dan kesehatan, menggambarkan status gizi
saat ini, serta ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi
oleh keterampilan pengukur.
b. Tinggi badan, merupakan parameter yang penting bagi keadaan
yang telah lalu dan sekarang, jika umur tidak diketahui secara
tepat. Selain itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang
penting, karena dengan menggabungkan berat badan dan tinggi
badan, faktor umur dapat dikesampingkan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak, diketahui bahwa penilaian status gizi
remaja didasarkan pada Indeks IMT/U. IMT (Indeks Massa Tubuh)
merupakan hasil dari pembagian antara berat badan dengan tinggi
badan yang dikuadratkan, seperti pada rumus berikut:

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)


𝐈𝐌𝐓 =
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑚)𝑥 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛(𝑚)
Klasifikasi nilai ambang batas Indeks Masa Tubuh untuk remaja usia
5-18 tahun adalah :
5. Obesitas
Obesitas atau biasa orang menyebutnya sebagai kelebihan berat badan
secara medis diartikan sebagai kelebihan lemak yang ada di dalam
tubuh. Seseorang yang obesitas akan meningkatkan risiko penyakit
lain misalnya diabetes dan tekanan darah tinggi (hipertensi). Para
dokter biasanya menggunakan BMI (body mass index) yang
didasarkan pada berat badan serta tinggi badan dalam penentuan
apakah anda mengalami obesitas atau tidak(Hasdianah 2014, dalam
Afriyeni, 2018).
Overweight dan obesitas adalah suatu kondisi kronik yang sangat
eerat hubungannya dengan peningkatan risiko sejumlah penyakit
degeneratif. Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas
kebutuhan fisik dan skeletal sebagai akibat akumulasi lemak
berlebihan dalam tubuh. Obesitas tidak hanya berdampak terhadap
kesehatan fisik tapi juga berdampak terhadap kesehatan mental.
Dampak psikologis yang ditimbulkan seperti individu merasa malu,
tidak percaya diri dan merasa orang lain jijik terhadapnya. Hal
tersebut dapat menyebabkan perubahan konsep diri (Hasdianah 2014,
Afriyeni, 2018).
Obesitas yang timbul pada masa anak dan remaja akan menimbulkan
masalah kesehatan dikemudian hari, akan tetapi juga membawa
masalah kesehatan dikemudian hari, akan tetapi juga membawa
masalah terhadap kehidupan sosial dan emosi yang cukup berarti bagi
remaja. Kebutuhan energi dan zat-zat gizi remaja lebih besar jika
dibandingkan dengan kebutuhan dewasa. Hal ini disebabkan karena
remaja lebih banyak beraktivitas dan masa remaja merupakan masa
pertumbuhan yang sangat pesat serta kebiasaan remaja yang suka
ngemil dan makan-makanan jajanan diluar bersama teman-teman
sebaya yang berlemak tinggi yang dapat meningkatkan resiko
kegemukan dan karies gigi (Sartika 2012 dalam, Thesa Ananda Prima,
Hafni Andayani, 2018).

B. Konsep Aktifitas Fisik


Aktivitas fisik merupakan salah satu penyebab yang mempengaruhi
keadaan gizi seseorang, aktivitas fisik yang ringan dapat menyebabkan
status gizi seseorang menjadi obesitas, overweight atau menjadi
underweight. Biasanya aktivitas fisik yang ringan akan menyebabkan status
gizinya menjadi obesitas atau overweight hal ini dikarenakan banyaknya
energi yang tertumpuk di dalam tubuh dikarenakan tidak adanya
pembakaran kalori ditubuh karena aktivitasnya yang tidak seberapa(Serly
2015, dalam Afriyeni, 2018).
Menurut Riskesdas (2013), aktivitas fisik secara teratur bermanfaat
untuk mengatur berat badan serta menguatkan sistem jantung dan pembuluh
darah. Aktivitas fisik terbagi atas tiga, yaitu aktivitas fisik berat, aktivitas
fisik sedang dan aktivitas fisik ringan. Aktivitas fisik berat adalah kegiatan
yang secara terus menerus melakukan kegiatan fisik minimal 10 menit
sampai meningkatnya denyut nadi dan napas lebih cepat dari biasanya
(misalnya menimba air, mendaki gunung, lari cepat, menebang pohon, dll)
selama minimal tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas
besar sama dari 1500 MET minute. Aktivitas fisik sedang apabila
melakukan aktivitas fisik sedang( menyapu, mengepel, dll) minimal lima
hari atau lebih dengan total lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu
minggu. Selain dari dua kondisi tersebut termasuk dalam aktivitas ringan.
Menurut FAO/WHO/UNU (2001), besarnya aktivitas fisik seseorang
yang tidak sedang hamil dan menyusui dalam 24 jam dinyatakan dalam
physical Activity Level (PAL). Jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis
aktivitas per satu satuan waktu Physical Activity Ratio (PAR) akan berbeda
antara satu aktivitas dengan aktivitas lainnya.

PAL = (PAR x alokasi waktu tiap aktivitas)


24 jam

Perhitungan faktorial dari total pengeluaran energi populasi berdasarkan


energi populasi berdasarkan jenis kegiatan dikelompokan atas tiga, yaitu
aktivitas ringan, aktivitas sedang dan aktivitas berat. Dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:

Tabel 2.2 Perhitungan Faktorial dari Total Pengeluaran Energi


Populasi
Jenis Kegiatan Durasi (jam) PAR PAL
Aktivitas ringan
Tidur 8 1 8,0
Perawatan pribadi (berpakaian,mandi) 1 2,3 2,3
Makan 1 1,5 1,5
Memasak 1 2,1 2,1
Duduk (pekerjaan di kantor) 8 1,5 12,0
Pekerjaan rumah tangga 1 2,8 2,8
Mengemudi 1 2,0 2,0
Jalan santai 1 3,2 3,2
Kegiatan santai (nonton TV, berbicara) 2 1,4 2,8
Total 24 36,7
Aktivitas sedang
Tidur 8 1 8,0
Perawatan pribadi (berpakaian,mandi) 1 2,3 2,3
Makan 1 1,5 1,5
Berdiri, membawa beban ringan 8 2,2 17,8
Berangkat/pulang kerja naik bus 1 1,2 1,2
Jalan santai 1 3,2 3,2
Senam dengan intensitas rendah 1 4,2 4,2
Kegiatan santai (nonton TV,berbicara) 3 1,4 4,2
Total 24 42,2
Aktivitas berat
Tidur 8 1 8,0
Perawatan pribadi (berpakaian, mandi) 1 2,3 2,3
Makan 1 1,4 1,4
Masak 1 2,1 2,1
Bertani 6 4,1 24,6
Mengumpulkan air/kayu 1 4,4 4,4
Pekerjaan rumah tangga (menyapu, 1 2,3 2,3
mencuci)
Jalan santai 1 3,2 3,2
Kegiatan santai ringan 2 1,4 5,6
Total 24 53,9
Sumber: FAO, 2001

Intensitas aktivitas fisik diklasifikasikan menjadi tiga kategori


yaitu ringan, sedang dan berat yang di kelompokan berdasarskan nilai
Physical Activity Level (PAL). Berikut ini tabel aktivitas fisik
berdasarkan nilai Physical Activity Level (PAL).
(Miko and Pratiwi, 2017)

C. Konsep Pola Makan


Pedoman pola makan sehat untuk masyarakat secara umum yang
sering digunakan adalah pedoman empat sehat lima sempurna, makanan
triguna, dan pedoman yang paling akhir diperkenalkan adalah 10 pesan
dasar gizi seimbang. Pengertian makanan triguna adalah bahwa makanan
atau diet sehari-hari harus mengandung karbohidrat dan lemak sebagai zat
tenaga, protein sebagai zat pembangun, vitamin dan mineral sebagai zat
pengatur (Adriani, 2014).
Menurut Zuhdy (2015) yang mengutip pendapat Irianto, tumpeng gizi
seimbang (TGS) menggambarkan empat prinsip gizi seimbang yaitu
beragam makanan sesuai kebutuhan, kebersihan makanan, aktivitas fisik dan
pemantauan berat badan ideal. TGS terdiri dari beberapa potongan tumpeng,
satu potong besar, dua potong sedang, dua potong kecil dan di puncak
terdapat potongan kecil. Luas potongan TGS menunjukan porsi yang harus
dikonsumsi per hari oleh setiap orang. TGS dialasi oleh air putih, karena air
putih merupakan bagian terbesar dan zat gizi esensial untuk hidup sehat dan
aktif.
Survei tentang asupan gizi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa
remaja cenderung mendapat asupan vitamin A, tiamin, besi, dan kalsium
lebih sedikit dari yang dianjurkan. Umumnya mereka banyak mengonsumsi
junk food sehingga asupan lemak, gula, garam (Na), dan protein lebih besar
daripada yang diperlukan. Remaja mempunyai kebiasaan makan di antara
waktu makan, berupa jajanan baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Pilihan jenis makanan yang mereka lakukan lebih penting daripada tempat
atau waktu makan. Makanan mereka umumnya kaya energi yang berasal
dari karbohidrat dan lemak sehingga orang tua dianjurkan untuk me-
nekankan pentingnya mengkonsumsi sayuran dan buah segar serta makanan
sumber serat lainnya(Proverawati, Atikah. Wati, 2010).
1. Perilaku Makan Khas Pada Remaja
Pada umumnya remaja lebih suka makan makanan jajanan yang
kurang bergizi seperti goreng-gorengan, coklat, permen, dan es.
Sehingga makanan yang beraneka ragam tidak dikonsumsi. Remaja
sering makan diluar rumah bersama teman-taman, sehingga waktu
makan tidak teratur, akibatnya mengganggu sistem pencernaan
(gangguan maag atau nyeri lambung). Selain itu, remaja sering tidak
makan pagi karena tergesa-gesa beraktifitas sehingga mengalami lapar
dan lemas, kemampuan menangkap pelajaran menurun, semangat
belajar menurun, keluar keringat dingin, kesadaran menurun sampai
pingsan.
Remaja putri sering menghindari beberapa jenis bahan makanan
seperti telur dan susu. Susu dianggap dihubungkan dengan minuman
anak-anak kegemukan. Akibatnya akan kekurangan protein hewani,
sehingga tidak dapat tumbuh atau mencapai atau optimal. Kadang
standar langsing tidak jelas tinggi secara untuk remaja. Banyak remaja
putri menganggap dirinya kelebihan berat badan atau mudah manjadi
gemuk sehingga sering diet dengan cara yang kurang benar seperti
membatasi atau mengurangi frekuensi makan dan jumlah makan,
memuntahkan makanan yang sering dimakan, sehingga lama-lama
tidak ada nafsu makan yang sangat membahayakan bagi remaja.
2. Kebiasaan Makan Remaja
Orang tua mempunyai peranan penting dalam membentuk kebiasaan
makan anak-anak, khususnya sewaktu masih berusia balita. Pada
waktu anak menginjak usia remaja, kebiasaan makan di samping itu
dipengaruhi oleh lingkungan, sebaya, kehidupan sosial, dan teman
kegiatan yang dilakukannya di luar rumah.
3. Makan tidak Teratur
Waktu-makan yang dilewatkan dan makan di luar rumah meningkat
dari awal hingga akhir masa remaja. Hal ini merefleksikan
peningkatan kebutuhan untuk tidak tergantung pada keluarga dan
peningkatan penggunaan waktu di luar rumah. Makan malam
merupakan waktu makan yang paling teratur dilakukan dalam sehari.
Remaja dan dewasa muda lebih sering mengabaikan dan melewatkan
makan pagi, dibandingkan dengan kelompok usia lain. Pada umumnya
remaja perempuan lebih banyak tidak makan pagi dibandingkan ja
laki-laki, karena ingin langsing dan sering berusaha untuk berdiet.
Banyak remaja perempuan beranggapan bahwa mereka dapat
mengontrol berat badan dengan mengabaikan makan pagi atau makan
siang. Oleh sebab itu remaja yang berdiet perlu diberi penjelasan
bahwa hal tersebut justru bisa berakibat sebaliknya. Bila tidak makan
pagi, maka pada pertengahan siang atau siang mereka akan merasa
sangat lapar, sehingga makan lebih banyak dibandingkan bila mereka
makan pagi.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Makan
Saat seseorang memasuki masa remaja, hal-hal yang berpengaruh
terhadap kebiasaan makan sangat banyak; pembentukan kebiasaan
tersebut sangat kompleks. Meningkatnya kemandirian, meningkatnya
partisipasi dalam kehidupan sosial, dan padatnya jadwal aktivitas pada
umumnya berdampak terhadap apa yang dimakan remaja. Mereka
mulai membeli dan menyiapkan lebih banyak makanan untuk dirinya,
serta sering makan cepat-cepat dan makan di luar rumah.
a. Iklan
Walaupun dasar kebiasaan makan remaja diperoleh dari
keluarga, namun pengaruh perilaku makan di luar rumah cukup
besar. Saat ini banyak sekali iklan makanan ditayangkan berupa
makanan kaya gula, karbohidrat, dan lemak di televisi. Hal ini
berpengaruh besar terhadap pilihan makan remaja.
b. Kemudahan Memperoleh Makanan-Siap-Santap
Kemudahan memperoleh makanan-siap-santap (fast food) juga
mempengaruhi kebiasaan makan remaja. Makanan-siap-santap
mudah diper oleh di mana-mana, terutama di kota-kota besar
seperti di pusat-pusat belanja, pasar swalayan, dan sekolah.
Contoh dari makanan-siap-santap adalah ayam goreng (fried
chicken), burger, dan pizza. Pada umum nya makanan ini kaya
energi, lemak, karbohidrat, dan garam, tetapi kurang dalam
vitamin A, vitamin C, riboflavin, asam dan serat. folat, kalsium,
dan serat.
Selama terjadi pertumbuhan puncak, remaja hendaknya sering
makan dan dalam jumlah banyak. Namun, jumlah dan frekuensi
makan hendaknya dikurangi bila pertumbuhan melambat.
Kebiasaan makan yang salah dan dalam jumlah banyak selama
usia remaja pada akhirnya dapat menyebabkan penyakit-
penyakit degeneratif atau penyakit-penyakit yang melemahkan.
Melalui pendidikan kesehatan di sekolah, remaja dapat
mengetahui apa yang perlu dimakan dan apa yang harus
dihindari, serta kapan hendaknya makan.

D. Konsep Jarak Tempat Tinggal


1. Tinjauan tentang jarak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) jarak adalah ruang
sela (panjang atau jauh) antara dua benda. Jarak adalah ukuran jauh
dekatnya antara tempat yang satu dengan tempat yang lain dan diukur
dengan satuan meter (Jannah, 2012). Jarak berkaitan dengan lokasi
atau wilayah yang menjadi pusat pemenuhan kebutuhan manusia,
seperti yang dikemukakan oleh Suharyono dan Amien (2013) yaitu:

“Jarak berkaitan erat dengan arti lokasi dan upaya pemenuhan


kebutuhan atau keperluan pokok kehidupan (air, tanah subur, pusat
pelayanan), pengangkutan barang dan penumpang. Oleh karena itu
jarak tidak hanya dinyatakan dengan ukuran jarak lurus di udara
yang mudah diukur pada peta (dengan memperhatikan skala peta),
tetapi dapat pula dinyatakan sebagai jarak tempuh baik yang
dikaitkan dengan waktu perjalanan yang diperlukan maupun satuan
biaya angkutan”.

Dari beberapa definisi jarak di atas penulis menyimpulkan bahwa


jarak adalah ruang sela antara tempat yang satu dengan tempat yang
lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pokok manusia (air, tanah
subur, pusat pelayanan) yang diukur dengan satuan meter. Maryamah
(2003) membagi jarak menjadi tiga kriteria yaitu jarak 100-400 meter
termasuk dekat, jarak 401-800 meter termasuk sedang, jarak 801-1000
meter termasuk jauh. Dalam penelitian ini peneliti hanya
menggunakan dua kriteria jarak yaitu jarak dekat dan jarak jauh.
Dengan kriteria jarak dekat yaitu ≤ 4 km dan jarak jauh yaitu > 4
km(Kholifah, 2017).
2. Tinjauan tentang Tempat Tinggal
Akbar (2008) tempat tinggal adalah keberadaan seseorang bernaung
atau tinggal di sebuah rumah seperti rumah orang tua, sewa atau
menumpang pada rumah orang lain. Rumah adalah salah satu
persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Rumah atau tempat
tinggal, dari zaman ke zaman mengalami perkembangan. Pada zaman
purba manusia bertempat tinggal di gua-gua, kemudian berkembang
dengan mendirikan rumah di hutan-hutan dan di bawah pohon.
Sampai pada abad modern ini manusia sudah membangun rumah
bertingkat dan diperlengkapi dengan peralatan yang serba modern
(Sulistyowati, 2010).
Tempat tinggal dalam penelitian ini adalah rumah yang ditempati
seseorang sehari-hari. Jarak tempat tinggal dapat menjadi faktor
pendorong, karena jauh dekatnya jarak dapat mempengaruhi
seseorang dalam melakukan aktivitas. Semakin jauh jarak yang
ditempuh seseorang dari tempat tinggal ke Pusat Kuliner maka
semakin banyak waktu dan tenaga yang dikeluarkan. Karenanya
semakin jauh jarak tempat tinggal dengan Pusat Kuliner maka akan
semakin menurunkan motivasi seseorang untuk berkunjung ke Pusat
Kuliner (Kholifah, 2017).
Jarak tempat tinggal dalam penelitian ini adalah jauh dekatnya jarak
yang ditempuh seseorang dari tempat tinggalnya menuju ke Pusat
Kuliner.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyeni, D. (2018) Gambaran Pengetahuan , Pola Makan dan Aktivitas Fisik
Siswa yang Mengalami Kegemukan di SMA Negeri 1 Bukittinggi Tahun 2018.
Arisman (2010) Gizi Dalam Daur Kehidupan. Edisi Kedu. Jakarta: EGC Buku
Kedokteran.
Garnita, D. et al. (2012) ‘Faktor risiko..., Dita Garnita, FKM UI, 2012’.
KALTENG, D. (2016) Profil Kesehatan 2016 Provinsi Kalimantan Tengah.
Palangka Raya.
Kemenkes RI (2015) ‘Sexual Health Reproductiv; Situasi kesehatan Reproduksi
remaja’, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, pp. 1–8.
Kemenkes RI (2019) ‘InfoDATIN Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018’,
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Badan
Litbangkes, pp. 1–8. Available at:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/hari-diabetes-
sedunia-2018.pdf.
Kholifah, S. (2017) Hubungan jarak tempat tinggl dan Tingkat Pendidikan
terhadao Tingkat kunjungan Masyarakat ke Puskesmas Gadingrejo.
Mihardjantia, L., Delima, Alwi, Q., Ghani, L., Nainggolan, O., R. (2014) ‘Follow
– Up of Impaired Glucose Tolerance Basic Health Survey 2007 in Jakarta in
2009.’, Bul. Penelit. Sist. Kesehat. 17, pp. 233–239.
Miko, A. and Pratiwi, M. (2017) ‘Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik
dengan Kejadian Obesitas Mahasiswa Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh’,
AcTion: Aceh Nutrition Journal, 2(1), p. 1. doi: 10.30867/action.v2i1.29.
Proverawati, Atikah. Wati, E. K. (2010) Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi
RISKESDAS (2013) ‘RISET KESEHATAN DASAR’, pp. 1–268.
Supariasa (2016) ‘Penilaian Status Gizi’.
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Thesa Ananda Prima, Hafni Andayani, M. N. A. (2018) ‘HUBUNGAN
KONSUMSI JUNK FOOD DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP OBESITAS
REMAJA DI BANDA ACEH’, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Biomedis,
4(1), pp. 20–27. Available at: http://www.jim.unsyiah.ac.id/FKB/.
DAFTAR PUSTAKA

Endang, Achandi L. 2007. Gizi dan kesehatan Masyarakat. Departemen kesehatan


dan Gizi Universitas Indoesia. Jakarta: Grafindo Persada.
Garnita, D. et al. (2012) ‘Faktor risiko..., Dita Garnita, FKM UI, 2012’.
Haryono, A., et al. 2009. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 12-15
Tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Universitas Indonesia.
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/1 1-3-1.pdf. Diakses pada tanggal 17 Oktober
2019.
Javaheri S., Isser A. S., Rosen C.L., Redline S., 2008. Sleep Quality and Elevated
Blood Pressure in Adolescents. NIH Public Access. 118 (10) : 1034-1040.
KALTENG, D. (2016) Profil Kesehatan 2016 Provinsi Kalimantan Tengah.
Palangka Raya.
Kemenkes RI (2015) ‘Sexual Health Reproductiv; Situasi kesehatan Reproduksi
remaja’, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, pp. 1–8.
Kemenkes RI (2019) ‘InfoDATIN Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018’, Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Badan Litbangkes, pp. 1–
8. Available at:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/hari-
RISKESDAS (2013) ‘RISET KESEHATAN DASAR’, hal. 1–268.

Anda mungkin juga menyukai