BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas masih terdapat remaja yang
mengalami Resiko Diabetes Tipe II atau Prediabetes di SMA Negeri 4
Palangka Raya dan belum diketahui pola makan dan gaya hidup yang sering
nongkrong di caffe sehingga risiko mengalami obesitas di SMA Negeri 4
Palangka Raya. Itulah yang menjadi dasar peneliti untuk melihat Hubungan
Pola Makan Terhadap Gaya Hidup Nongkrong di Caffe Dengan Kejadian
Prediabetes Pada Siswa SMAN 4 Palangka Raya.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
meningkatkan pengetahuan siswa tentang bagaimana menjaga
kesehatan mereka dalam mencegah tanda-tanda Prediabetes.
2. Bagi Peneliti :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan ilmu-
ilmu yang didapat selama menempuh pendidikan dan menjadi
pertimbangan untuk menjadi acuan dasar penelitian bagi peneliti lain.
3. Bagi Institusi Sekolah :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan informasi
bagi sekolah mengenai status kesehatan pada siswa, sehingga pihak
sekolah dapat memberikan edukasi pada siswa di SMA Negeri 4
Palangka Raya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Remaja
Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa bukan
hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-
perubahan fisik yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam
pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-perubahan fisik itu (Sarwono,
2016). Masa remaja merupakan jalan panjang yang menjembatani periode
kehidupan anak dan dewasa, yang berawal pada usia 9-10 tahun dan
berakhir di usia 18 tahun. Adolescent atau remaja merupakan masa transisi
dari anak-anak menjadi dewasa. Pada periode ini berbagai perubahan terjadi
baik perubahan hormonal, pisik, psikologis maupun sosial. Perubahan fisik
yang sangat menonjol adalah perkembangan tanda-tanda seks sekunder,
terjadinya pacu tumbuh, serta perubahan perilaku dan hubungan sosial
dengan lingkungannya. Perubahan-perubahan tersebut apat mengakibatkan
kelainan maupun penyakit tertentu bila tidak diperhatikan dengan seksama
(Arisman, 2010).
1. Perubahan Psikologis pada Remaja
Perubahan fisik yang cepat dan terjadi secara berkelanjutan pada
remaja menyebabkan para remaja sadar dan lebih sensitif terhadap
bentuk tubuhnya dan mencoba membandingkan dengan teman-teman
sebaya. Perubahan psikososial pada remajadibagi dalam tiga tahap
yaitu:
a. Periode pertama disebut remaja awal atau early adolescent,
terjadi pada usia 12-14 tahun. Pada masa ini anak-anak terpapar
pada perubahan komposisi tubuh disertai awal pertumbuhan
seks sekunder. Pada fase ini mereka hanya tertarik pada keadaan
sekarang, bukan masa depan .
b. Periode selanjutnya adalah middle adolescent terjadi antara usia
15-17 tahun. Pada periode ini mulai tertarik akan intelektualitas
dan karir. Sudah mulai mempunyai konsep role model dan mulai
konsisten terhadap cita-cita.
c. Periode akhir disebut late adolescent yang dimulai pada umur 18
tahun ditandai dengan tercapainya maturitas fisik secara
sempurna. Pada fase ini remaja lebih memperhatikan masa
depan.
2. Prinsip Gizi untuk Remaja
Pada masa remaja kudapan berkontribusi 30% atau lebih dari total
asupan kalori setiap hari. Remaja pemilihan kudapan yang sehat.
Remaja adalah masa transisi yang harus dipertanggungjawabkan,
anak-anak, dewasa, dewasa, masa pertumbuhan, mental, dan
emosional, yang sangat cepat. Menurut WHO batas usia remaja
adalah antara umur 10-19 tahun. Makanan merupakan salah satu
kebutuhan manusia yang utama bagi setiap orang. Makanan yang
mengandung zat gizi yang diperlukan untuk tubuh dan berkembang.
Dengan mengkonsumsi makanan yang cukup dan teratur, remaja akan
tumbuh sehat sehingga akan mencapai prestasi yang gemilang,
kebugaran, dan sumber daya manusia yang berkualitas. Remaja putri
yang terpelihara kadar gizinya akan terpelihara kesehatan
reproduksinya. Jika kondisi sehat ini terus berlanjut sampai kondisi
memasuki waktu hamil maka akan mendapatkan anak yang sehat dan
cerdas.
3. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Gizi Remaja
a. Status individu
Biasanya wanita remaja atau wanita remaja yang telah menikah
akan kesulitan dalam memilih bahan makanan atau jenis
makanan yang akan dihidangkan. Kadang dalam menyusun
hidangan makanan lebih memperhatikan orang lain dari pada
dirinya, seperti keluarga dan anak jika ia telah menikah atau
orang yang dia sayang lainnya. Wanita yang telah berumah
tangga biasanya lebih memilih mengonsumsi makanan yang
tidak dihabiskan oleh keluarga karena ia merasa sayang apabila
terbuang.
b. Status ekonomi
Wanita dengan tingkat ekonomi yang lebih tinggi tentunya akan
berbeda gizinya dengan orang dari tingkat ekonomi rendah.
c. Anatomi tubuh individu
Ukuran pelvis individu berhubungan erat dengan tinggi badan
seseorang. Selain hal-hal diatas banyak taktor yang
mempengaruhi antara lain kemampuan keluarga untuk membeli
makanan atau pengetahuan tentang gizi. Banyak wanita
terutama wanita karier atau wanita yang banyak berhubungan
dengan publik cenderung lebih mengkonsumsi makanan diet
tanpa lemak atau hanya konsumsi buah-buahan daripada
makanan sehat.
4. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan
keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik
yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian
dibandingkan dengan baku yang telah tersedia (Arisman, 2010). Pada
dasarnya penilaian status gizi dapat dibagi dua yaitu secara langsung
dan tidak langsung. Penilaian secara langsung meliputi anthropometri,
biokimia, klinis dan biofisik. Penilaian secara tidak langsung meliputi
survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi
(Supariasa, 2016).
Penilaian dengan cara antropometri yaitu mengukur ukuran tubuh
manusia. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sebagai indikator status
gizi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa parameter, yaitu
ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat badan,
tinggi baadan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada,
lingkar pinggul dan tebal lemak bawah (Supariasa, 2016). Dalam
penelitian ini menggunakan dua parameter, yaitu:
a. Berat badan, berat badan merupakan ukuran antropometri yang
terpenting dan paling sering digunakan. Berat badan
menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral
pada tulang. Berat badan merupakan pilihan utama karena
merupakan parameter yang paling baik, mudah terlihat
perubahan dalam waktu singkat karena perubahan-perubahan
konsumsi makanan dan kesehatan, menggambarkan status gizi
saat ini, serta ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi
oleh keterampilan pengukur.
b. Tinggi badan, merupakan parameter yang penting bagi keadaan
yang telah lalu dan sekarang, jika umur tidak diketahui secara
tepat. Selain itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang
penting, karena dengan menggabungkan berat badan dan tinggi
badan, faktor umur dapat dikesampingkan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri
Penilaian Status Gizi Anak, diketahui bahwa penilaian status gizi
remaja didasarkan pada Indeks IMT/U. IMT (Indeks Massa Tubuh)
merupakan hasil dari pembagian antara berat badan dengan tinggi
badan yang dikuadratkan, seperti pada rumus berikut:
D. Konsep Prediabetes
1. Pengertian Prediabetes
Prediabetes adalah kondisi saat kadar gula darah di dalam tubuh
seseorang lebih dari normal, tetapi tidak cukup tinggi untuk
dikategorikan sebagai diabetes melitus tipe 2. Kondisi prediabetes ini
jika dibiarkan akan mengalami progresivitas dan berkembang menjadi
diabetes melitus tipe 2.
Prediabetes merupakan pencetus Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2).
Penanda prediabetes yaitu kadar glukosa darah puasa 100-125 mg/dl
dan atau kadar glukosa darah 2 jam post prandial 140-199
mg/dl.Dalam jangka waktu 3-5 tahun, 25% prediabetes dapat
berkembang menjadi DMT2, 50% tetap dalam kondisi prediabetes,
dan 25% kembali pada kondisi glukosa darah normal (Singh et al.,
2012). Prediabetes merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular.
Selain itu, umumnya prediabetes memiliki faktor risiko kardiovaskular
lain seperti obesitas, hipertensi, dan dislipidemia (Chiasson&Bernard,
2011). Studi yang dilakukan oleh AusDiab, Framingham, Diabetes
REduction Assessment with ramipril and rosiglitazone Medication
(DREAM), dan Study to Prevent Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus(STOP-NIDDM) menemukan bahwa risiko terjadinya
kardiovaskular dua kali lebih tinggipada prediabetes dibanding
individu dengan glukosa darah normal(Soewondo&Pramono, 2011).
2. Faktor Risiko Prediabetes
Faktor risiko terjadinya prediabetes sama dengan faktor risiko DM
tipe 2. Faktor risiko tersebut dapat dibagi menjadi faktor risiko yang
dapat diubah (obesitas, aktivitas fisik, nutrisi) dan yang tidak dapat
diubah (genetik, usia, diabetes gestasional).
a. Faktor genetik
Memiliki riwayat keluarga dengan diabetes melitus tipe 2. Gen
yang berhubungan dengan risiko terjadinya DM, sampai saat ini
belim bisa diidentifikasi secara pasti. Adanya perbedaan yang
nyata kejadian DM antara grup etnik yang berbeda meskipun
hidup di lingkungan yang sama menunjukan adanya kontribusi
gen yang bermakna dalam terjadinya DM.
b. Usia
Prevalensi DM meningkat sesuai dengan pertambahannya usia.
Dalam dekade terakhir ini, usia terjadinya DM semakin muda.
c. Pola diet yang buruk, seperti terlalu banyak mengonsumsi
daging merah, makanan yang diproses, dan minuman dengan
pemanis buatan.
d. Diabetes Gestasional
Pada diabetes gestasional, toleransi glukosa biasanya kembali
normal setelah melahirkan akan tetapi wanita tersebut memiliki
risiko untuk menderita DM di kemudian hari.
e. Lingkar pinggang yang berlebihan (laki-laki >90 sentimeter ;
wanita >80 sentimer).
f. Berat badan yang berlebihan (obesitas)
Obesitas merupakan faktor risiko yang paling penting. Beberapa
studi jangka panjang menunjukan bahwa obesitas merupakan
prediktor yang kuat untuk timbulnya DM tipe 2. Lebih lanjut,
intervensi yang bertujuan mengurangi obesitas juga mengurangi
insidensi DM tipe 2. Beberapa studi jangka panjang juga
menunjukkan bahwa ukuran lingkar pingang atau rasio
pinggang-pinggul (waist too hip ration) yang mencerminkan
keadaan lemak visceral (abdominal), merupakan indikator yang
lebih baik dibandingkan indeks massa tubuh sebagai faktor
risiko prediabetes. Data tersebut memastikan bahwa distribusi
lemak lebih penting dibandingkan dengan jumlah total lemak.
g. Aktivitas Fisik
Pola hidup santai yang tidak berolahraga atau berkurangnya
intensitas aktivitas fisik memberikan konstribusi yang besar
terhadap peningkatan obesitas. Berbagai studi menunjukan
bahwa kurangnya aktivitas fisik merupakan prediktor bebas
terjadinya DM tipe 2 pada pria maupun wanita.
h. Nutrisi
Kalori total yang tinggi, diit rendah serat, beban glikemik yang
tinggi dan rasio poly unsaturated fatty acid (PUFA) dibanding
lemak jenuh yang rendah, merupakan faktor risiko terjadinya
DM.
3. Penyebab Prediabetes
Hingga kini penyebab dari prediabetes masih belum diketahui. Meski
begitu, riwayat penyakit di keluarga dan genetik memegang peran
penting dalam munculnya kondisi ini. Pola hidup santai yang jarang
berolahraga, penumpukkan lemak terutama di bagian perut memiliki
peranan yang cukup penting.
Pengidap tidak dapat memproses asupan glukosa dengan normal.
Sebagai akibatnya, glukosa yang masuk tidak dapat diproses untuk
masuk ke dalam otot dan jaringan lain melainkan terakumulasi di
dalam darah. Akumulasi glukosa yang terjadi di dalam darah dapat
disebabkan oleh pankreas yang tidak berfungsi dengan baik dalam
memproduksi insulin yang bekerja sebagai transporter glukosa menuju
jaringan lain.
4. Gejala Prediabetes
Pada umumnya, pengidap prediabetes tidak memiliki gejala. Namun,
gejala sederhana dari diabetes harus diwaspadai supaya tidak
berkembang menjadi diabetes tipe 2. Gejala klasik dari diabetes tipe 2
adalah:
a. Selalu kehausan.
b. Selalu lapar.
c. Peningkatan frekuensi berkemih.
d. Mudah merasa lelah.
e. Gangguan penglihatan berupa pandangan kabur.
5. Diagnosis Prediabetes
Diagnosis prediabetes ditegakkan berdasarkan hasil pengecekkan
kadar gula dalam darah.
a. Kadar gula darah puasa: 100-126 mg/dL.
b. Toleransi glukosa oral: 140-199 mg/dL.
c. Tes HbA1C: 5.7 - 6.4 persen.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyeni, D. (2018) Gambaran Pengetahuan , Pola Makan dan Aktivitas Fisik
Siswa yang Mengalami Kegemukan di SMA Negeri 1 Bukittinggi Tahun 2018.
Arisman (2010) Gizi Dalam Daur Kehidupan. Edisi Kedu. Jakarta: EGC Buku
Kedokteran.
Garnita, D. et al. (2012) ‘Faktor risiko..., Dita Garnita, FKM UI, 2012’.
KALTENG, D. (2016) Profil Kesehatan 2016 Provinsi Kalimantan Tengah.
Palangka Raya.
Kemenkes RI (2015) ‘Sexual Health Reproductiv; Situasi kesehatan Reproduksi
remaja’, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, pp. 1–8.
Kemenkes RI (2019) ‘InfoDATIN Hari Diabetes Sedunia Tahun 2018’,
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Badan
Litbangkes, pp. 1–8. Available at:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/hari-diabetes-
sedunia-2018.pdf.
Kholifah, S. (2017) Hubungan jarak tempat tinggl dan Tingkat Pendidikan
terhadao Tingkat kunjungan Masyarakat ke Puskesmas Gadingrejo.
Mihardjantia, L., Delima, Alwi, Q., Ghani, L., Nainggolan, O., R. (2014) ‘Follow
– Up of Impaired Glucose Tolerance Basic Health Survey 2007 in Jakarta in
2009.’, Bul. Penelit. Sist. Kesehat. 17, pp. 233–239.
Miko, A. and Pratiwi, M. (2017) ‘Hubungan Pola Makan dan Aktivitas Fisik
dengan Kejadian Obesitas Mahasiswa Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh’,
AcTion: Aceh Nutrition Journal, 2(1), p. 1. doi: 10.30867/action.v2i1.29.
Proverawati, Atikah. Wati, E. K. (2010) Ilmu Gizi untuk Keperawatan dan Gizi
Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
RISKESDAS (2013) ‘RISET KESEHATAN DASAR’, pp. 1–268.
Supariasa (2016) ‘Penilaian Status Gizi’.
Thesa Ananda Prima, Hafni Andayani, M. N. A. (2018) ‘HUBUNGAN
KONSUMSI JUNK FOOD DAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP OBESITAS
REMAJA DI BANDA ACEH’, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Biomedis,
4(1), pp. 20–27. Available at: http://www.jim.unsyiah.ac.id/FKB/.