Anda di halaman 1dari 79

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/324138276

Optimalisasi Penduduk Usia Produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Book · April 2018

CITATIONS READS

0 1,352

1 author:

Wilson Rajagukguk
Universitas Kristen Indonesia
37 PUBLICATIONS   6 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Universitas Kristen Indonesia View project

This Book is Funding by BKKBN Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Wilson Rajagukguk on 01 April 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


1
OPTIMALISASI PENDUDUK USIA PRODUKTIF
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

2
KATA PENGANTAR

Transisi demografis, penurunan tingkat kelahiran dan kematian dari tingkat yang tinggi ke
tingkat yang rendah, bervariasi antarprovinsi di Indonesia. Tingkat kelahiran dan kematian
cenderung sudah mencapai tingkat yang rendah di provinsi-provinsi dimana pembangunan
lebih maju dan program keluarga berencana nasional terlebih dahulu diimplementasikan,
seperti di DKI Jakarta, D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur. Di provinsi-provinsi dimana
pembangunan lebih tertinggal dan program keluarga berencana nasional dilaksanakan
kemudian, tingkat kelahiran dan kematian relatif lebih tinggi, termasuk di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Dengan tingkat kelahiran yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat kelahiran di provinsi-provinsi lain di Indonesia, jendela kesempatan demografis
untuk menuai bonus demografis berupa percepatan pencapaian pembangunan, yang
disebabkan oleh penurunan persentase penduduk usia muda (0-14 tahun), masih akan
berlangsung hingga tahun 2035 di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pengelolaan yang cerdas dan tepat terhadap penduduk usia produktif yang jumlahnya
sedang meningkat merupakan salah satu faktor kunci pemanfaatan jendela kesempatan
demografis untuk menuai bonus demografis yang lebih besar di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Oleh karena itu, dalam tulisan ini dikaji tentang situasi dan permasalahan
kependudukan, keluarga berencana dan ketenagakerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Hasil kajian berupa identifikasi strategi dan kebijakan pengelolaan kependudukan, keluarga
berencana dan penduduk usia produktif untuk menuai bonus demografis di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.

Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Direktorat Pemaduan Kebijakan


Pengendalian Penduduk, Kedeputian Pengendalian Penduduk, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional, yang telah memberikan dukungan dana untuk pelaksanaan
kajian ini.

Terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Unit Penerbitan Universitas


Kristen Indonesia (UKI Press) yang mendapatka ISBN dan menerbitkan buku ini.

Penulis,
Omas Bulan Samosir Ph.D dan Wilson Rajagukguk

3
DAFTAR SINGKATAN

AKB Angka Kematian Bayi

Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BLK Balai Latihan Kerja

BPS Badan Pusat Statistik

DI Daerah Istimewa

DKI Daerah Khusus Ibukota

INDODAPOER Indonesia Database for Policy and Economic Research

IPM Indeks Pembangunan Manusia

IUD Intrauterine device (spiral KB)

KB Keluarga Berencana

MA Madrasah Aliyah

MI Madrasah Ibtidaiyah

MTs Madrasah Tsanawiyah

PUS Pasangan usia subur

Repelita Rencana Pembangunan Lima Tahun

R2 Koefisien determinasi

RJK Rasio Jenis Kelamin

RKU Rasio Ketergantungan Umur

SAKERNAS Survei Angkatan Kerja Nasional

S2 Strata 2 (Magister)

S3 Strata 3 (Doktor)

SD Sekolah Dasar

SDKI Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

SLTA Sekolah Lanjutan Tingkat Atas

SLTP Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

SM Sekolah Menengah

4
SMP Sekolah Menengah Pertama

SMA Sekola Menengah Atas

SP Sensus Penduduk

SUPAS Survei Penduduk Antar Sensus

TFR Total Fertility Rate (Angka Fertilitas Total)

TPAK Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

TPT Tingkat Pengangguran Terbuka

UN United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa)

5
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i
DAFTAR SINGKATAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang 1
1.2. Tujuan Penulisan 4
1.3. Organisasi Penulisan 5

BAB 2 SITUASI DAN PERMASALAHAN KEPENDUDUKAN


DAN KELUARGA BERENCANA DI PROVINSI
NUSA TENGGARA TIMUR 6
2.1. Dinamika Kependudukan dan Pembangunan 6
2.2. Situasi Keluaran Pembangunan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 7
2.3. Situasi Proses dan Keluaran Demografis di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 11
2.4. Situasi Keluarga Berencana di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 25
2.5. Permasalahan Kependudukan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 28
2.6. Permasalahan Keluarga Berencana di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 29

BAB 3 SITUASI DAN PERMASALAHAN KETENAGAKERJAAN


DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 30
3.1. Partisipasi Angkatan Kerja di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 30
3.2. Lapangan Pekerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur 42
3.3. Status Pekerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur 47
3.4. Jam Kerja dan Upah Pekerja di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 53

6
3.5. Investasi dan Kesempatan Kerja di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 55
3.6. Permasalahan ketenagakerjaan di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 57

BAB 4 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KEPENDUDUKAN


DAN KELUARGA BERENCANA DAN PENDUDUK USIA
PRODUKTIF DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 58
4.1. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kependudukan
dan Keluarga Berencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur 58
4.2. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Penduduk Usia
Produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur 58

BAB 5 PENUTUP 62
DAFTAR PUSTAKA 63

7
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Angka Kelahiran Kasar dan Angka Kematian Kasar:


Indonesia 1950-2100 2
Gambar 2.1 Penduduk berumur lima tahun ke atas menurut
pendidikan tertinggi yang ditamatkan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2010 8
Gambar 2.2 Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto
atas dasar harga konstan: Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia 2001-2013 (persen) 10
Gambar 2.3 Persentase penduduk miskin menurut provinsi:
Indonesia Maret 2016 11
Gambar 2.4 Angka Fertilitas Total: Nusa Tenggara Timur 1971-2010
(anak per perempuan) 12
Gambar 2.5 Angka Kematian Bayi: Nusa Tenggara Timur 1971-2010
(kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup) 13
Gambar 2.6 Migrasi risen neto: Nusa Tenggara Timur 1980-2015 15
Gambar 2.7 Jumlah penduduk: Nusa Tenggara Timur 1971-2010 16
Gambar 2.8 Angka pertumbuhan penduduk: Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia 1971-2010 (persen per tahun) 17
Gambar 2.9 Distribusi umur penduduk usia 0-14 tahun, 15-64 tahun,
dan 65 tahun ke atas: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 1971-2010 18
Gambar 2.10 Piramida Penduduk: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 1971-2010 19
Gambar 2.11 Rasio Ketergantungan Umur: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 1971-2010 (penduduk usia tidak produktif
per 100 penduduk usia produktif) 21
Gambar 2.12 Rasio jenis kelamin: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 1971-2010 (laki-laki per 100 perempuan) 22
Gambar 2.13 Persentase penduduk perkotaan: Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia 1971-2010 22
Gambar 2.14 Distribusi persentase penduduk menurut
kabupaten/kotamadya: Nusa Tenggara Timur 1971 23

8
Gambar 2.15 Distribusi persentase penduduk menurut
kabupaten/kota: Nusa Tenggara Timur 2010 24
Gambar 2.16 Kepadatan penduduk: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 1971-2010 25
Gambar 2.17 Angka prevalensi kontrasepsi: Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia 1991-2012 27
Gambar 2.18 Distribusi persentase pemakai kontrasepsi menurut
metode kontrasepsi: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 2012 27
Gambar 2.19 Kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2012 28
Gambar 3.1 Distribusi persentase angkatan kerja menurut umur:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016 31
Gambar 3.2 Distribusi persentase angkatan kerja menurut
jenis kelamin dan tempat tinggal: Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia 2016 31
Gambar 3.3 Distribusi persentase angkatan kerja menurut pendidikan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016 32
Gambar 3.4 Distribusi persentase pengangguran terbuka menurut
umur: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016 33
Gambar 3.5 Distribusi persentase pengangguran terbuka menurut
jenis kelamin, tempat tinggal dan pendidikan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016 34
Gambar 3.6 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja: Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia 1997-2016 35
Gambar 3.7 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut
kabupaten/kota: Nusa Tenggara Timur 2015 36
Gambar 3.8 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut
kelompok umur: Nusa Tenggara Timur 2010 37
Gambar 3.9 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut jenis kelamin
dan tempat tinggal: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 2016 38
Gambar 3.10 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut pendidikan:
Nusa Tenggara Timur 2010 38
Gambar 3.11 Tingkat Pengangguran Terbuka: Nusa Tenggara Timur
dan Indonesia 1997-2016 39

9
Gambar 3.12 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut
kabupaten/kota: Nusa Tenggara Timur 2015 40
Gambar 3.13 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut kelompok umur:
Nusa Tenggara Timur 2016 41
Gambar 3.14 Tingkat Pengangguran Terbuka menurut jenis kelamin,
tempat tinggal, dan pendidikan:
Nusa Tenggara Timur 2016 42
Gambar 3.15 Distribusi persentase penduduk bekerja menurut
lapangan pekerjaan utama:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016 43
Gambar 3.16 Distribusi persentase lapangan pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut kabupaten/kota:
Nusa Tenggara Timur 2015 44
Gambar 3.17 Distribusi persentase lapangan pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut kelompok umur:
Nusa Tenggara Timur 2010 45
Gambar 3.18 Distribusi persentase lapangan pekerjaan penduduk
bekerja menurut jenis kelamin dan tempat tinggal:
Nusa Tenggara Timur 2016 46
Gambar 3.19 Distribusi persentase lapangan pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut pendidikan:
Nusa Tenggara Timur 2010 47
Gambar 3.20 Distribusi persentase penduduk bekerja menurut
status pekerjaan utama: Nusa Tenggara Timur dan
Indonesia 2016 48
Gambar 3.21 Distribusi persentase status pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut kabupaten/kota:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2010 49
Gambar 3.22 Distribusi persentase status pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut kelompok umur:
Nusa Tenggara Timur 2010 50
Gambar 3.23 Distribusi persentase status pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut jenis kelamin dan
tempat tinggal: Nusa Tenggara Timur 2016 51

10
Gambar 3.24 Distribusi persentase status pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut pendidikan:
Nusa Tenggara Timur 2010 52
Gambar 3.25 Distribusi persentase status pekerjaan utama
penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan utama:
Nusa Tenggara Timur 2010 52
Gambar 3.25 Jam kerja rata-rata seminggu yang lalu pekerja
menurut jenis kelamin, tempat tinggal dan pendidikan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016 53
Gambar 3.26 Upah/gaji/pendapatan bersih (rupiah) rata-rata
sebulan pekerja menurut jenis kelamin,
tempat tinggal dan pendidikan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016 55
Gambar 3.27 Investasi dan Kesempatan Kerja:
Nusa Tenggara Timur 2001-2013 56

11
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam empat dekade terakhir, Indonesia mengalami transisi demografis dari tingkat
kelahiran dan kematian tinggi ke tingkat kelahiran dan kematian rendah. Angka
kelahiran total turun lebih dari separuh, dari 5,6 anak per perempuan menurut
hasil Sensus Penduduk 1971 menjadi 2,4 anak per perempuan menurut hasil
Sensus Penduduk 2010. Sementara itu, angka kematian bayi turun secara nyata
dari 145 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup menjadi 26 kematian bayi per
1.000 kelahiran hidup pada periode yang sama. Transisi demografis ini telah
mengakibatkan perubahan dalam struktur umur penduduk Indonesia, berupa
peningkatan persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) relatif terhadap
penduduk usia tidak produktif muda (0-14 tahun) dan penduduk usia tidak
produktif tua (65 tahun ke atas).

Perkiraan angka kelahiran kasar dan angka kematian pada periode 1950-2100 oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN 2015) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami

12
tahap 1 transisi demografis setelah perang kemerdekaan selesai (Gambar 1.1).
Tingkat kelahiran tinggi dan angka kelahiran kasar meningkat dari 43 kelahiran per
1.000 penduduk pada periode 1950-1955 menjadi 45 kelahiran pada periode 1955-
1960. Tahap 2 transisi demografis di Indonesia terjadi pada periode 1960-1985
ketika tingkat kematian turun lebih cepat daripada tingkat kelahiran. Pada periode
ini jumlah penduduk usia 0-14 tahun meningkat sehingga tanggungan penduduk
usia tidak produktif muda meningkat.

Indonesia mengalami tahap 3 transisi demografis sejak tahun 1985 ketika tingkat
kelahiran turun dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada tingkat kematian.
Tahap 3 transisi demografis di Indonesia diperkirakan akan berlangsung hingga
periode 2025-2030 ketika angka fertilitas total sudah mencapai tingkat kelahiran
tingkat penggantian penduduk (2,1 anak per perempuan). Pada tahap ini persentase
penduduk usia tidak produktif muda menurun sehingga tanggungan penduduk usia
tidak produktif muda menurun, sementara jumlah penduduk usia tidak produktif
tua secara perlahan meningkat sehingga tanggungan penduduk usia tidak produktif
tua secara perlahan juga meningkat. Indonesia diperkirakan akan mengalami tahap
4 transisi demografis sejak periode 2030-2035 ketika tingkat kelahiran dan
kematian sama-sama sudah rendah. Sejak periode 2030-2035 persentase penduduk
usia tidak produktif muda dan persentase penduduk usia produktif diperkirakan
akan terus menurun, sementara jumlah penduduk usia tidak produktif tua terus
meningkat sehingga tanggungan penduduk usia tidak produktif tua akan terus
meningkat.

Gambar 1.1
Angka Kelahiran Kasar dan Angka Kematian Kasar: Indonesia 1950-2100

13
50 43 45 44 41
45 38
40 35
32
35 27
30 24
22 22 21 21
25 19 17
20 16 15 15 14
13 13 12 12 12 12
15 21 19 12 12 12 1212
10 17
14 12 11 11 11 1111
5 11 9 10 10 11 11 11 12 12
0 8 8 7 7 7 7 7 7 8 8 9
1970-1975

2055-2060
1950-1955
1955-1960
1960-1965
1965-1970

1975-1980
1980-1985
1985-1990
1990-1995
1995-2000
2000-2005
2005-2010
2010-2015
2015-2020
2020-2025
2025-2030
2030-2035
2035-2040
2040-2045
2045-2050
2050-2055

2060-2065
2065-2070
2070-2075
2075-2080
2080-2085
2085-2090
2090-2095
2095-2100
Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
Angka Kelahiran Kasar Angka Kematian Kasar

Sumber: UN (2015) (diolah).

Transisi demografis telah, sedang, dan akan memberi peluang untuk menikmati
bonus demografis berupa akselerasi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan,
khususnya akselerasi pertumbuhan ekonomi, melalui pemanfaatan jendela
kesempatan demografis peningkatan persentase penduduk usia produktif dengan
kebijakan-kebijakan strategis yang mendukung, khususnya kebijakan peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan kesempatan kerja yang layak, produktif dan
remuneratif. Periode tahap 2 dan 3 transisi demografis merupakan jendela
kesempatan demografis untuk menuai bonus demografis tahap 1. Jadi, bonus
demografis tahap 1 terbatas karena persentase penduduk usia produktif suatu saat
akan berkurang yang mengakibatkan rasio ketergantungan umur (rasio antara
jumlah penduduk usia tidak produktif muda dan tua dengan jumlah penduduk usia
produktif) meningkat. Sementara itu, periode tahap 4 transisi demografis
merupakan jendela kesempatan demografis untuk menuai bonus demografis tahap
2. Bonus demografis tahap 2 tidak terbatas karena disumbang oleh penduduk usia
tidak produktif tua yang akan meningkat terus jumlahnya, jika penduduk usia tidak
produktif tua sehat, produktif dan memiliki investasi.

Hasil studi oleh Maliki (2014) menunjukkan bahwa, berdasarkan pola konsumsi dan
produksi, bonus demografis tahap 1 memberi kontribusi kurang dari satu persen
terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sementara bonus demografis tahap 2
memberi kontribusi sekitar 1,8%. Selanjutnya, hasil studi pada tingkat
kabupaten/kota di Indonesia menemukan bahwa kenaikan angka pertumbuhan

14
jumlah angkatan kerja sebesar satu persen mengakibatkan kenaikan dalam angka
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,46%, sementara kenaikan angka pertumbuhan
rasio ketergantungan umur sebesar satu persen mengakibatkan penurunan dalam
angka pertumbuhan ekonomi sebesar 0,31% (Rajagukguk dkk 2015). Selain itu,
angka pertumbuhan jumlah angkatan kerja memiliki pengaruh yang sangat kuat
terhadap angka pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengindikasikan peran penting
transisi demografis melalui peningkatan penduduk usia produktif terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Akan tetapi, transisi demografis bervariasi antarprovinsi di Indonesia. Di provinsi-


provinsi dimana pembangunan lebih maju dan program keluarga berencana (KB)
nasional terlebih dahulu diimplementasikan, tingkat kelahiran dan kematian
cenderung sudah mencapai tingkat yang rendah, seperti di DKI Jakarta, D.I.
Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur. Sementara itu, tingkat kelahiran dan kematian
cenderung lebih tinggi di provinsi-provinsi dimana pembangunan lebih tertinggal
dan program KB nasional diimplementasikan kemudian, seperti di Provinsi Maluku
dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Akibatnya, jendela kesempatan demografis
untuk menuai bonus demografis bervariasi antarprovinsi. DI Yogyakarta merupakan
provinsi pertama di Indonesia yang pada tahun 2020 akan mengakhiri jendela
kesempatan demografis untuk menuai bonus demografis tahap 1. Sementara itu,
dengan tingkat kelahiran yang relatif masih tinggi, jendela kesempatan demografis
untuk menuai bonus demografis tahap 1 masih akan berlangsung hingga tahun
2035 di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Apakah jendela kesempatan demografis untuk menuai bonus demografis tahap 1 di


Provinsi Nusa Tenggara Timur sudah dimanfaatkan? Hasil studi oleh Rajagukguk
dkk (2015) menunjukkan bahwa jendela kesempatan demografis untuk menuai
bonus demografis belum dimanfaatkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Perencanaan pembangunan belum didasarkan pada situasi struktur umur
penduduk dimana persentase penduduk usia produktif sedang meningkat.
Meskipun demikian, Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini sedang menikmati
bonus demografis berupa pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat serta
peningkatan dalam pencapaian pembangunan. Pada periode 2010-2014 Provinsi
Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan angka pertumbuhan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) paling tinggi di Indonesia. Hal ini mengindikasikan
bahwa jika jendela kesempatan demografis untuk menuai bonus demografis tahap

15
1 dimanfaatkan maka pencapaian pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
akan lebih baik lagi.

Pemanfaatan jendela kesempatan demografis untuk menuai bonus demografis dapat


dilakukan dengan mengelola kondisi kependudukan dan keluarga berencana
mengingat laju pertumbuhan penduduk dan tingkat kelahiran relatif tinggi di
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, penduduk usia produktif yang jumlahnya
sedang meningkat juga harus dikelola agar mereka memiliki kemampuan yang
diperlukan untuk menuai bonus demografis yang lebih besar di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Oleh karena itu, kajian situasi dan permasalahan kependudukan,
keluarga berencana dan ketenagakerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu
dilakukan untuk mengidentifikasi strategi dan kebijakan pengelolaan
kependudukan, keluarga berencana dan penduduk usia produktif untuk menuai
bonus demografis di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.2. Tujuan Penulisan

Secara umum tujuan kajian adalah untuk menganalisis optimalisasi penduduk usia
produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Secara khusus tujuan kajian adalah sebagai berikut.


a. Menganalisis situasi dan permasalahan kependudukan dan keluarga berencana
di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
b. Mempelajari situasi dan permasalahan ketenagakerjaan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.
c. Mengidentifikasi kebijakan dan strategi dalam pengelolaan kependudukan dan
keluarga berencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
d. Mengidentifikasi kebijakan dan strategi dalam pengelolaan penduduk usia
produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.3. Organisasi Penulisan

Laporan penulisan kajian ini terdiri dari lima bab. Pada Bab 1 disajikan latar
belakang dan tujuan penulisan. Situasi dan permasalahan kependudukan dan

16
keluarga berencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur dibahas pada Bab 2. Pada Bab
3 dijelaskan situasi dan permasalahan ketenagakerjaan di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Strategi dan kebijakan dalam pengelolaan kependudukan dan keluarga
berencana dan penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur dibahas
pada Bab 4. Kajian ini diakhiri dengan Penutup yang disajikan pada Bab 5.

17
BAB 2
SITUASI DAN PERMASALAHAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA
BERENCANA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

2.1. Dinamika Kependudukan dan Pembangunan

Dinamika kependudukan memiliki hubungan yang timbal balik dengan


pembangunan (UN 1995, Hayes 1995). Artinya, dinamika kependudukan
menentukan pencapaian pembangunan dan merupakan hasil dari pembangunan.
Negara-negara dengan laju pertumbuhan penduduk yang rendah cenderung
memiliki pencapaian pembangunan yang lebih baik. Negara-negara dengan
pencapaian pembangunan yang lebih baik cenderung memiliki laju pertumbuhan
penduduk yang rendah. Sebagai contoh, secara global Norwegia dan Swiss masing-
masing menduduki peringkat pertama dan ketiga dalam pencapaian pembangunan
manusia. Angka pertumbuhan penduduk hanya sekitar satu persen di kedua negara
ini.

Dinamika kependudukan meliputi proses demografis (demographic process) dan


keluaran demografis (demographic outcome). Proses demografis terdiri dari
kelahiran, kematian, dan migrasi. Keluaran demografis mencakup jumlah dan
pertumbuhan penduduk, struktur umur dan jenis kelamin penduduk, serta
persebaran penduduk. Proses demografis menentukan keluaran demografis. Jika
tingkat kelahiran di suatu wilayah tinggi maka laju pertumbuhan penduduk di
wilayah tersebut tinggi.

Dinamika kependudukan mempengaruhi pembangunan melalui keluaran


demografis. Keluaran demografis akan menentukan proses pembangunan, yang
antara lain mencakup tabungan/investasi, pemanfaatan lahan dan tenaga kerja,
konsumsi barang dan jasa, pengeluaran publik, serta perdagangan internasional
dan keuangan. Sebagai contoh, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat
mengakibatkan tingkat tabungan dan investasi rendah, tekanan penduduk
terhadap lahan besar, dan peningkatan angkatan kerja yang pesat. Hal ini
selanjutnya dapat mengakibatkan produktivitas lahan dan tenaga kerja serta upah
tenaga kerja rendah, yang kemudian dapat menyebabkan keunggulan komparatif

18
suatu wilayah rendah dan impor bahan baku dan perlengkapan produksi yang
penting tinggi.

Pembangunan mempengaruhi dinamika kependudukan melalui keluaran


pembangunan. Keluaran pembangunan meliputi tingkat dan jenis output barang
dan jasa, tingkat upah dan jumlah pekerja, tingkat pendidikan, status kesehatan
dan gizi, kualitas perumahan dan sanitasi serta kualitas lingkungan. Selanjutnya,
keluaran pembangunan akan menentukan proses demografis. Akses terhadap
pendidikan yang rendah, khususnya bagi perempuan, merupakan kontributor
utama tingkat kelahiran yang tinggi. Akses terhadap layanan kesehatan yang
rendah telah menyebabkan tingkat kematian tinggi di beberapa wilayah. Tingkat
upah yang rendah di suatu wilayah telah mengakibatkan migrasi ke luar ke wilayah
utama pembangunan.

2.2. Situasi Keluaran Pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang tertinggal dalam
pembangunan. Dalam hal pendidikan, penduduk usia lima tahun ke atas di Provinsi
Nusa Tenggara Timur 1,9 kali lebih cenderung untuk tamatan sekolah dasar (SD)
atau kurang dan 0,5 kali kurang cenderung untuk berpendidikan menengah ke atas
dibandingkan penduduk usia lima tahun ke atas di Indonesia secara keseluruhan
(Gambar 2.1). Dalam hal partisipasi pendidikan, pada tahun 2015, secara nasional
Angka Partisipasi Murni di Provinsi Nusa Tenggara Timur nomor tujuh paling
rendah untuk pendidikan SD, nomor tiga paling rendah untuk pendidikan sekolah
menengah pertama, dan nomor empat paling rendah untuk pendidikan sekolah
menengah atas.

Dalam hal kesehatan, derajat kesehatan dan akses penduduk terhadap pelayanan
kesehatan di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih rendah daripada derajat kesehatan
dan akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan nasional. Hasil Riset Kesehatan
Dasar 2013 (Kementerian Kesehatan 2013) menunjukkan bahwa secara nasional
prevalensi kurang gizi pada anak usia bawah lima tahun paling tinggi di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (lebih dari 50%). Prevalensi kurang gizi pada penduduk usia
5-12 tahun, 13-15 tahun, 16-18 tahun, dan usia 18 tahun ke atas juga termasuk
yang paling tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, cakupan imunisasi

19
dasar lengkap pada anak usia 12-23 bulan di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih
rendah daripada cakupan imunisasi dasar lengkap pada anak usia 12-23 bulan
nasional. Selanjutnya, secara nasional prevalensi risiko kurang energi kronis pada
perempuan usia 15-49 tahun paling tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lebih
lanjut, pengetahuan tentang keberadaan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit
pemerintah, rumah sakit swasta, bidan praktek dan rumah bersalin, serta pos
pelayanan terpadu, termasuk yang paling rendah di di Provinsi Nusa Tenggara
Timur.

Gambar 2.1
Penduduk berumur lima tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang
ditamatkan: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2010

16,9

Indonesia 9,2 19,3 30,5 18,8

5,2

11,1

Nusa Tenggara Timur 15,3 27,0 31,1 11,9

3,6

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Tidak/Belum Pernah Sekolah Tidak/Belum Tamat SD


SD/MI/Sederajat SLTP/MTs/Sederajat
SMA/SMK Perguruan Tinggi

Sumber: sp2010.bps.go.id (diolah).

Dalam hal kualitas lingkungan, pada tahun 2014, di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
sekitar 28% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap sumber air minum bersih
(air kemasan, air isi ulang, leding, sumur/bor pompa, sumur terlindung, dan mata
air terlindung). Secara nasional angka ini sebesar 13%, paling rendah di DKI Jakarta
(0,1%) dan paling tinggi di Kalimantan Barat (62,2%). Artinya, rumah tangga di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 2,5 kali kurang cenderung untuk memiliki akses
terhadap sumber air minum bersih daripada rumah tangga Indonesia secara
keseluruhan.

20
Dalam hal penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, 62,5% dari rumah
tangga di Indonesia menggunakan listrik atau gas/elpiji sebagai bahan bakar utama
untuk memasak. Angka ini paling rendah di Maluku Utara (0,5%) dan paling tinggi
di DKI Jakarta (87,7%). Hanya 1,4% dari rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan sebagai bahan
bakar utama untuk memasak. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga di
Provinsi Nusa Tenggara Timur hampir 122 kali kurang cenderung untuk
menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan sebagai bahan bakar utama
untuk memasak dibandingkan rumah tangga Indonesia secara keseluruhan.

Dalam hal sanitasi, pada tahun 2014, di Provinsi Nusa Tenggara Timur, sekitar 87%
rumah tangga akses tidak memiliki akses terhadap sanitasi layak. Secara nasional
angka ini sebesar 39%, paling rendah di DKI Jakarta (13%) dan paling tinggi di Nusa
Tenggara Timur (87%). Artinya, rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur
hampir 11 kali kurang cenderung untuk memiliki akses terhadap sanitasi layak
daripada rumah tangga Indonesia secara keseluruhan.

Dalam hal kualitas perumahan, pada tahun 2014, 8,1% dari rumah tangga di
Indonesia memiliki jenis lantai terluas rumah berupa tanah. Angka ini paling rendah
di Kalimantan Timur (0,4) dan paling tinggi di Nusa Tenggara Timur (36%). Hal ini
berarti rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih dari enam kali lebih
cenderung untuk memiliki rumah dengan jenis lantai terluas tanah daripada rumah
tangga di Indonesia secara keseluruhan.

Dalam hal akses terhadap sumber energi, pada tahun 2014, hanya tiga persen dari
rumah tangga di Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap sumber penerangan
listrik. Angka ini paling rendah di DKI Jakarta (nol persen) dan paling tinggi di Papua
(53%). Rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap sumber penerangan listrik
sebesar 26% di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Artinya, rumah tangga di Provinsi
Nusa Tenggara Timur lebih dari 11 kali kurang cenderung untuk memiliki akses
terhadap sumber penerangan listrik daripada rumah tangga Indonesia secara
keseluruhan.

Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur berfluktuasi selama periode


2001-2013 dengan kecenderungan yang meningkat (Gambar 2.2). Laju
pertumbuhan produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan di Provinsi

21
Nusa Tenggara Timur meningkat dari 4,8% pada tahun 2001 menjadi 5,6% pada
tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih tinggi
daripada pertumbuhan ekonomi nasional pada periode 2001-2004 dan lebih rendah
daripada pertumbuhan ekonomi nasional pada periode 2005-2013, dengan
perbedaan yang semakin mengecil pada tahun 2013. Hal ini berarti Provinsi Nusa
Tenggara Timur sedang mengejar pertumbuhan ekonomi nasional yang berpotensi
untuk menciptakan bonus demografi.

Gambar 2.2
Laju pertumbuhan produk domestik regional bruto atas dasar harga konstan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2001-2013 (persen)

7,00
6,14 6,35 6,28
5,90
6,00 5,67 5,74
5,34 5,37 5,19
4,93
4,59 4,77
5,00 5,62 5,41 5,56
5,08 5,15 5,25
4,78 4,55 4,84
4,00
4,34 4,26 4,29
3,00 3,46
3,29
2,00

1,00

0,00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi paling miskin ketiga di


Indonesia, setelah Papua dan Papua Barat (Gambar 2.3). Pada tahun 2016, secara
nasional 11% dari penduduk Indonesia miskin. Angka ini paling rendah di DKI
Jakarta (4%) dan paling tinggi di Papua (28%). Penduduk miskin di Provinsi Nusa
Tenggara Timur sebesar 22% pada tahun 2014. Artinya, penduduk di Provinsi Nusa
Tenggara Timur 2,3 kali lebih cenderung untuk miskin daripada penduduk
Indonesia secara keseluruhan.

22
Gambar 2.3
Persentase penduduk miskin menurut provinsi: Indonesia Maret 2016

30,0 28,5

25,0 22,2
20,0

15,0
10,9
10,0
3,8
5,0

0,0
Kepulauan Bangka…

Papua
Banten

Lampung

Gorontalo
Maluku
Sulawesi Selatan

Bengkulu
Bali

Kepulauan Riau

Maluku Utara

Sumatera Utara
Riau
Kalimantan Selatan

Sumatera Barat

Sulwesi Utara

Jawa Barat
DKI Jakarta

Kalimantan Timur

Sulawesi Barat
Jawa Timur

Jawa Tengah
Kalimantan Utara

Jambi

Sulawesi Tengah

Papua Barat

Indonesia
Kalimantan Barat

DI Yogyakarta

Nusa Tenggara Barat


Sumatera Selatan

Aceh

Nusa Tenggara Timur


Kalimantan Tengah

Sulawesi Tenggara

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Dengan situasi pembangunan yang tertinggal, Provinsi Nusa Tenggara Timur


menempati urutan yang ke-32 dari 34 provinsi di Indonesia dalam hal pencapaian
pembangunan manusia. Pada tahun 2015, indeks pembangunan manusia (IPM)
nasional sebesar 69,6, terendah di Papua (57,3) dan tertinggi di DKI Jakarta (78,9).
IPM Nusa Tenggara Timur sebesar 62,7 pada tahun 2015. Pencapaian pembangunan
manusia yang relatif rendah ini turut berdampak pada proses demografis, kelahiran,
kematian, dan migrasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2.3. Situasi Proses dan Keluaran Demografis di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Tingkat kelahiran relatif tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, paling tinggi di
Indonesia, dan secara konsisten lebih tinggi dari tingkat kelahiran nasional. Hasil
Sensus Penduduk (SP) 1971 menunjukkan bahwa angka fertilitas total (total fertility
rate/TFR) Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 5,96 anak per perempuan, 0,35
anak per perempuan lebih tinggi daripada TFR nasional (Gambar 2.4). Selanjutnya,
laju penurunan tingkat kelahiran di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih lambat dari
laju penurunan tingkat kelahiran nasional. Selama periode 1971-2010, TFR Provinsi

23
Nusa Tenggara Timur turun sebesar 36% menjadi 3,82 anak per perempuan,
sementara TFR nasional turun sebesar 57% menjadi 2,41.

Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami kemandekan penurunan fertilitas (stalling


fertility) pada periode 2000-2010 dimana TFR naik dari 3,46 anak per perempuan
menurut SP 2000 menjadi 3,82 anak per perempuan menurut SP 2010.
Kemandekan penurunan fertilitas ini dapat disebabkan karena penduduk
perempuan Timor-Leste yang datang ke Provinsi Nusa Tenggara Timur membawa
perilaku fertilitas tinggi mereka yang menyebabkan fertilitas meningkat di Provinsi
Nusa Tenggara Timur.

Gambar 2.4
Angka Fertilitas Total: Nusa Tenggara Timur 1971-2010 (anak per perempuan)

7,0
5,96
6,0 5,54

5,0 5,61 4,61

4,68 3,82
4,0 3,46

3,0 3,33

2,0 2,41
2,27

1,0

0,0
SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Relatif tingginya dan lambatnya penurunan tingkat kelahiran di Provinsi Nusa


Tenggara Timur dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara budaya, keluarga-
keluarga di Provinsi Nusa Tenggara Timur memilih mempunyai anak banyak,
terutama di daerah perdesaan, karena anak dipandang mempunyai nilai ekonomi
bagi rumah tangga. Anak dipandang oleh orang tua mereka dan anggota keluarga
lain sebagai suatu aset yang berharga dan sebagai suatu sumber keamanan. Selain

24
itu, orang tua akan bergantung pada anak untuk jaminan hari tua mereka karena
sumber daya yang terbatas, ketidakamanan pangan, dan derajat moneterisasi
ekonomi yang rendah. Selanjutnya, preferensi anak banyak berarti lebih banyak
anggota keluarga berbagi pekerjaan rumah tangga, seperti mengambil air atau kayu
bakar bahkan pada usia yang muda.

Tingkat kematian juga relatif tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, menduduki
urutan kedelapan paling tinggi, dan secara konsisten lebih tinggi daripada tingkat
kematian nasional. Hasil SP 1971 menunjukkan bahwa angka kematian bayi (AKB)
di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 154 kematian bayi per 1.000 kelahiran
hidup, lebih tinggi sembilan kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup daripada AKB
nasional (Gambar 2.5). Selanjutnya, laju penurunan tingkat kematian di Provinsi
Nusa Tenggara Timur lebih lambat dari laju penurunan tingkat kematian nasional.
Selama periode 1971-2010, AKB Provinsi Nusa Tenggara Timur turun sebesar 75%
menjadi 39 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, sementara AKB nasional turun
sebesar 82% menjadi 26. Hal ini mengindikasikan bahwa bayi di Provinsi Nusa
Tenggara Timur 1,5 kali lebih cenderung untuk mengalami kematian bayi daripada
bayi Indonesia secara keseluruhan.

Gambar 2.5
Angka Kematian Bayi: Nusa Tenggara Timur 1971-2010
(kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup)

180
154
160
140 128
145
120
100 109
77
80
57
60 71
39
40
47
20
26
0
SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

25
Tingkat kematian yang relatif tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat
disebabkan oleh cakupan pelayanan kesehatan maternal yang relatif rendah di
provinsi ini. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012
menunjukkan bahwa sebagian besar persalinan (59%) di Provinsi Nusa Tenggara
Timur terjadi bukan di suatu fasilitas kesehatan. Cakupan persalinan di suatu
fasilitas kesehatan secara nasional adalah 63%, paling rendah di Maluku Utara
(21%) dan paling tinggi di Bali (98%). Selain itu, cakupan persalinan oleh tenaga
kesehatan terlatih kualifikasi tertinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sekitar 57%.
Angka ini sebesar 83% secara nasional, paling rendah di Papua (40%) dan paling
tinggi di DKI Jakarta (98,7%). Selanjutnya, cakupan pelayanan bayi baru lahir
(postnatal care) sekitar 37% di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Angka ini sebesar 48%
secara nasional, paling rendah di Papua (11%) dan paling tinggi di DI Yogyakarta
(90%). Artinya, cakupan persalinan di suatu fasilitas kesehatan, persalinan oleh
tenaga kesehatan terlatih, dan pelayanan bayi baru lahir di Provinsi Nusa Tenggara
Timur masing-masing 2,5 kali, 3,7 kali dan 1,6 kali lebih rendah daripada cakupan
persalinan di suatu fasilitas kesehatan, persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih,
dan pelayanan bayi baru lahir di Indonesia secara keseluruhan.

Letak geografis yang sulit serta terbatasnya sarana pembangunan telah membuat
Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi provinsi bukan tujuan utama migrasi di
Indonesia. Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 menunjukkan bahwa
hanya empat persen dari penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur yang tempat
lahirnya bukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (migran seumur hidup) (BPS 2015).
Angka ini secara nasional sebesar 11,8%, paling rendah di Jawa Timur (2,5%) dan
paling tinggi di Kepulauan Riau (47,7%). Sebagian besar migran seumur hidup di
Provinsi Nusa Tenggara Timur lahir di luar negeri (40,9%), diikuti dengan di Jawa
Timur (14,7%), Sulawesi Selatan (10,4%), dan Jawa Tengah (6,9%). Migran seumur
hidup yang berasal dari luar negeri kemungkinan adalah mereka yang lahir di
Timor-Leste.

Hasil SUPAS 2015 juga menunjukkan bahwa hanya 1,2% dari penduduk Provinsi
Nusa Tenggara Timur yang tempat tinggalnya lima tahun yang lalu bukan di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (migran risen). Angka ini secara nasional sebesar 2,5%, paling
rendah di Jawa Timur (0,7%) dan paling tinggi di Kepulauan Riau (14,2%). Sebagian
besar migran risen di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2005 bertempat

26
tinggal di Bali (11,5%), diikuti dengan di Sulawesi Selatan (10%), Jawa Timur (9,4%),
dan Kalimantan Timur (8,3%).

Selama periode 1980-2015 Provinsi Nusa Tenggara Timur cenderung mengalami


migrasi risen neto negatif (penduduk yang meninggalkan Provinsi Nusa Tenggara
Timur lebih banyak daripada penduduk yang datang ke Provinsi Nusa Tenggara
Timur), kecuali pada tahun 2000, 2005, dan 2015 (Gambar 2.6). Migrasi risen neto
negatif ini dapat disebabkan karena penduduk mencari sarana pendidikan dan
kesempatan kerja di luar Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, migrasi
risen neto positif (penduduk yang datang ke Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih
banyak daripada penduduk yang meninggalkan Provinsi Nusa Tenggara Timur) pada
tahun 2000 dan 2005 dapat disebabkan karena besarnya arus penduduk Timor-
Leste yang datang ke Indonesia untuk menjadi warga negara Indonesia setelah
Timor-Leste memperoleh kemerdekaannya.

Gambar 2.6
Migrasi risen neto: Nusa Tenggara Timur 1980-2015

20.000
14.921
15.000

10.000

5.000 3.148
8
0
1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015
-5.000
(4.548)
-10.000 (8.737)
(10.507)
-15.000

-20.000 (18.513) (18.145)

-25.000

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Proses demografis mempengaruhi keluaran demografis di Provinsi Nusa Tenggara


Timur. Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur meningkat dari 2,3 juta

27
jiwa pada tahun 1971 menjadi 4,7 juta jiwa pada tahun 2010 (Gambar 2.7). Laju
pertumbuhan penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur turun dari 2,31% per tahun
pada periode 1971-1980 menjadi 1,64% per tahun pada periode 1990-2000 dan
kemudian meningkat menjadi 2,07% per tahun pada periode 2000-2010 (Gambar
2.8). Peningkatan pertumbuhan penduduk ini dapat disebabkan karena
peningkatan fertilitas dan migrasi masuk penduduk Timor-Leste pada periode 2000-
2010.

Gambar 2.7
Jumlah penduduk: Nusa Tenggara Timur 1971-2010

5.000.000 4.683.827
4.500.000

4.000.000 3.808.477

3.500.000 3.267.919

3.000.000 2.736.988
2.500.000 2.295.279

2.000.000

1.500.000

1.000.000

500.000

0
SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Berdasarkan laju pertumbuhan penduduk pada periode 1971-1980 waktu


penggandaan penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 36 tahun dan
meningkat menjadi 43 tahun berdasarkan laju pertumbuhan penduduk pada
periode 1990-2000 dan kemudian menurun menjadi 34 tahun berdasarkan laju
pertumbuhan penduduk pada periode 2000-2010. Jika Provinsi Nusa Tenggara
Timur tidak mengalami migrasi masuk penduduk dari Timor-Leste pada periode
2000-2010, terdapat kemungkinan tingkat kelahiran dan laju pertumbuhan
penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur menurun. Jika tidak ada migrasi masuk
penduduk dari Timor-Leste dan laju pertumbuhan penduduk Provinsi Nusa

28
Tenggara Timur menurun menjadi 1,55% pada periode 2000-2010, maka penduduk
Provinsi Nusa Tenggara Timur akan berjumlah sekitar 4,4 juta jiwa pada tahun
2010. Jadi, migran Timor-Leste yang memasuki Provinsi Nusa Tenggara Timur yang
masih bertahan hidup pada tahun 2010 diperkirakan antara 200 ribu dan 300 ribu
jiwa.

Gambar 2.8
Angka pertumbuhan penduduk: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia
1971-2010 (persen per tahun)

2,50 2,31
2,07
1,95 1,98
2,00
1,64
1,79 1,49
1,50
1,49

1,00

0,50

0,00
1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2010

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Struktur umur penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur muda hingga tahun 1990
dimana penduduk usia muda (0-14 tahun) lebih dari 40% dan antara muda dan tua
(intermediate) pada tahun 2000 dan 2010 dimana penduduk usia muda sudah
kurang dari 40% (Gambar 2.9). Persentase penduduk usia muda Provinsi Nusa
Tenggara Timur menurun menjadi 37,1% pada tahun 2000 dan meningkat menjadi
37,3% pada tahun 2010. Sementara itu, penduduk usia produktif (15-64 tahun)
meningkat dari 53,7% pada tahun 1971 menjadi 58,7% pada tahun 2000 dan
menurun menjadi 57,7% pada tahun 2010 dan penduduk usia lanjut (65 tahun ke
atas) meningkat secara perlahan dari 3,2% pada tahun 1971 menjadi 5,0% pada
tahun 2010. Peningkatan persentase penduduk usia muda dapat disebabkan

29
karena adanya peningkatan fertilitas dan karena migrasi masuk penduduk usia
muda dari Timor-Leste. Penurunan persentase penduduk usia produktif dapat
disebabkan karena migrasi neto negatif penduduk usia produktif.

Gambar 2.9
Distribusi umur penduduk usia 0-14 tahun, 15-64 tahun, dan 65 tahun ke
atas: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 1971-2010

100% 3,2 2,5 3,7 3,3 3,9 3,8 4,2 4,7 5,0 5,0
90%
80%
70% 53,7 53,5 54,8 55,8 55,8 59,6 58,7 57,7
60% 64,6 66,1
50%
40%
30%
20% 43,1 44,0 41,5 40,9 40,3 36,6 37,1 37,3
10% 30,7 28,9
0%
Indonesia

Indonesia

Indonesia

Indonesia

Indonesia
Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Timur


SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

0-14 15-64 65+

Sumber: BPS (1974a, 1974b, 1983a, 1983b, 19921, 1992b, 2001a dan 2001b);
www.bps.go.id (diolah).

Proses demografis yang terjadi selama periode 1971-2010, khususnya migrasi neto
negatif penduduk usia produktif dan migrasi masuk penduduk Timor-Leste,
mengakibatkan piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur tetap ekspansif
(dasar piramida paling lebar) hingga tahun 2010 (Gambar 2.10). Sementara itu,
piramida penduduk Indonesia sudah mulai konstriktif (lebar dasar piramida
berkurang) sejak tahun 1990 karena tingkat kelahiran dan kematian yang terus
turun. Hasil proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 (Bappenas dkk 2013)
menunjukkan bahwa piramida penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur akan tetap
ekspansif hingga tahun 2035 karena tingkat fertilitas dan mortalitas yang relatif
masih tinggi dan migrasi neto negatif.

30
Gambar 2.10
Piramida Penduduk: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 1971-2010
Nusa Tenggara Timur Indonesia

75+ 75+
70-74 70-74
65-69 65-69
60-64 60-64
55-59 55-59
50-54 50-54
45-49 45-49
40-44 40-44
35-39 35-39
30-34 30-34
25-29 25-29
20-24 20-24
15-19 15-19
10-14 10-14
5-9 5-9
0-4 0-4
400000 200000 0 200000 400000 15000 10000 5000 0 5000 10000 15000

1971 1971

75+ 75+
70-74 70-74
65-69 65-69
60-64 60-64
55-59 55-59
50-54 50-54
45-49 45-49
40-44 40-44
35-39 35-39
30-34 30-34
25-29 25-29
20-24 20-24
15-19 15-19
10-14 10-14
5-9 5-9
0-4 0-4
400000 200000 0 200000 400000 15000 10000 5000 0 5000 10000 15000

1980 1980

75+ 75+
70-74 70-74
65-69 65-69
60-64 60-64
55-59 55-59
50-54 50-54
45-49 45-49
40-44 40-44
35-39 35-39
30-34 30-34
25-29 25-29
20-24 20-24
15-19 15-19
10-14 10-14
5-9 5-9
0-4 0-4
400000 200000 0 200000 400000 15000 10000 5000 0 5000 10000 15000
1990 1990

31
75+ 75+
70-74 70-74
65-69 65-69
60-64 60-64
55-59 55-59
50-54 50-54
45-49 45-49
40-44 40-44
35-39 35-39
30-34 30-34
25-29 25-29
20-24 20-24
15-19 15-19
10-14 10-14
5-9 5-9
0-4 0-4
400000 200000 0 200000 400000 15000 10000 5000 0 5000 10000 15000

2000 2000

75+ 75+
70-74 70-74
65-69 65-69
60-64 60-64
55-59 55-59
50-54 50-54
45-49 45-49
40-44 40-44
35-39 35-39
30-34 30-34
25-29 25-29
20-24 20-24
15-19 15-19
10-14 10-14
5-9 5-9
0-4 0-4
400000 200000 0 200000 400000 15000 10000 5000 0 5000 10000 15000

2010 2010
Sumber: BPS (1974a, 1974b, 1983a, 1983b, 19921, 1992b, 2001a dan 2001b);
www.bps.go.id (diolah).

Berdasarkan struktur umur penduduk maka rasio ketergantungan umur (RKU)


Provinsi Nusa Tenggara Timur turun dari 86,3 pada tahun 1971 menjadi 70,3 pada
tahun 2000 dan kemudian meningkat menjadi 73,2 pada tahun 2010 (Gambar
2.11). RKU Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih rendah daripada RKU Indonesia
pada tahun 1971. Akan tetapi, sejak tahun 1980, RKU Provinsi Nusa Tenggara
Timur lebih tinggi daripada RKU Indonesia, dengan perbedaan yang semakin
meningkat, 3,5 poin pada tahun 1980 dan 21,9 poin pada tahun 2010.

Pada masa lalu penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh penduduk
laki-laki. Pada tahun 1971 terdapat 102 penduduk laki-laki per 100 penduduk
perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 2.11). Sementara itu, secara
nasional terdapat lebih banyak penduduk perempuan daripada penduduk laki-laki
(97 laki-laki per 100 perempuan), yang dapat disebabkan karena banyak laki-laki
yang meninggal pada saat perang kemerdekaan. Akan tetapi, rasio jenis kelamin

32
(RJK) Provinsi Nusa Tenggara Timur kemudian menurun, yang dapat disebabkan
karena migrasi keluar penduduk laki-laki, menjadi 98,7 pada tahun 2010.
Sementara itu, RJK Indonesia terus meningkat menjadi 101,4 pada tahun 2010,
yang dapat mengindikasikan perbaikan derajat kesehatan laki-laki di Indonesia.

Gambar 2.11
Rasio Ketergantungan Umur: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 1971-2010
(penduduk usia tidak produktif per 100 penduduk usia produktif)

100,0
86,8
90,0 82,6
79,2
80,0 86,3 73,2
70,3
70,0 79,1

60,0 67,8
50,0 54,7
51,3
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0
SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (1974a, 1974b, 1983a, 1983b, 19921, 1992b, 2001a dan 2001b);
www.bps.go.id (diolah).

Pada tahun 1971 hanya enam dari 100 penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur
yang tinggal di wilayah perkotaan, sementara angka ini sekitar 17% untuk Indonesia
(Gambar 2.13). Kemajuan pembangunan telah mengakibatkan peningkatan wilayah
perkotaan dan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan melalui pertumbuhan
alamiah penduduk perkotaan, migrasi penduduk dari perdesaan ke perkotaan, dan
reklasifikasi wilayah perdesaan menjadi wilayah perkotaan. Pada tahun 2010,
penduduk perkotaan meningkat menjadi 24% di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan
49,8% di Indonesia. Secara absolut, jumlah penduduk perkotaan Provinsi Nusa
Tenggara Timur meningkat tujuh kali lebih banyak, sementara penduduk perkotaan
Indonesia meningkat 5,8 kali lebih banyak.

33
Gambar 2.12
Rasio jenis kelamin: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 1971-2010
(laki-laki per 100 perempuan)

103,0
102,0
102,0

101,0
101,4
99,4
100,0 99,6
100,5
98,7
99,0

98,0 98,8 98,8


98,3
97,0
97,2
96,0

95,0

94,0
SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (1974a, 1974b, 1983a, 1983b, 19921, 1992b, 2001a dan 2001b);
www.bps.go.id (diolah).
Gambar 2.13
Persentase penduduk perkotaan: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia
1971-2010

60,0
49,8
50,0
41,6
40,0
30,9
30,0
22,4
20,0 17,3
24,0
18,3
10,0 12,9
8,1
6,0
0,0
SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (1974a, 1974b, 1983a, 1983b, 19921, 1992b, 2001a dan 2001b);
www.bps.go.id (diolah).

34
Secara administratif, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami perubahan yang
signifikan selama periode 1971-2010. Jika pada tahun 1971 hanya ada 12
kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka pada tahun 2010 ada 20
kabupaten dan satu kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Seperti dapat dilihat
pada Gambar 2.14, pada tahun 1971, penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur
paling sedikit di Kabupaten Sumba Timur (4,5%) dan paling banyak di Kabupaten
Manggarai (14%). Posisi Pulau Sumba yang secara geografis sulit dijangkau mungkin
telah menyebabkan penduduk paling sedikit di Kabupaten Sumba Timur yang
terletak di Pulau Sumba. Sementara itu, Kabupaten Manggarai yang terletak di
Pulau Flores mungkin merupakan salah satu kabupaten yang relatif paling maju di
Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 1971 sehingga penduduk paling banyak
di Kabupaten Manggarai.

Gambar 2.14
Distribusi persentase penduduk menurut kabupaten/kotamadya:
Nusa Tenggara Timur 1971

Manggarai; 14,0
Sumba Sumba Timur;
Barat; 4,5
8,2
Ngada; 6,3

Kupang; 13,7
Ende; 7,8
Timor
Tengah
Selatan;
Sikka; 8,3 10,5

Belu;
6,7 Timor Tengah
Flores Timur; Utara; 5,1
10,0
Alor; 5,0

Sumber: BPS (1974a) (diolah).

Pada tahun 2010, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.15, penduduk Provinsi Nusa
Tenggara Timur paling sedikit di Kabupaten Sumba Tengah (1,3%) dan paling
banyak di Kabupaten Timor Tengah Selatan (9,4%). Seperti halnya Kabupaten

35
Sumba Timur, posisi Pulau Sumba yang secara geografis sulit dijangkau mungkin
telah menyebabkan penduduk paling sedikit di Kabupaten Sumba Tengah yang
terletak di Pulau Sumba. Paling banyaknya penduduk di Kabupaten Timor Tengah
Selatan dapat disebabkan karena pemekaran kabupaten Manggarai yang
penduduknya paling banyak pada tahun 2000, menjadi Kabupaten Manggarai,
Kabupaten Manggarai Timur, dan Kabupaten Manggarai Barat.

Gambar 2.15
Distribusi persentase penduduk menurut kabupaten/kota:
Nusa Tenggara Timur 2010
Kota Kupang; 7,2 Sumba Barat; 2,4
Sumba Timur; 4,9
Sabu Raijua; 1,6
Kupang; 6,5
Manggarai Timur;
5,4
Nagekeo; 2,8
Timor Tengah
Sumba Barat Daya; Selatan; 9,4
6,1
Sumba Tengah; 1,3
Timor Tengah Utara;
Manggarai Barat; 4,9
4,7 Belu; 7,5
Rote Ndao; 2,6

Manggarai; 6,2
Alor; 4,1
Ngada; 3,0
Lembata; 2,5
Ende; 5,6 Sikka; 6,4 Flores Timur; 5,0

Sumber: sp2010.bps.go.id (diolah).

Proses demografis telah mengakibatkan penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur


lebih padat lebih dari dua kali lipat dari 62 penduduk per km 2 pada tahun 1971
menjadi 124 penduduk per km2 pada tahun 2010 (Gambar 2.16). Provinsi Nusa
Tenggara Timur merupakan provinsi ke-15 paling padat di Indonesia, namun secara
konsisten kepadatan penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih rendah
daripada kepadatan penduduk Indonesia. Kepadatan penduduk bervariasi secara
nyata antarkabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2010
penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur paling jarang di Kabupaten Sumba Timur
(33 penduduk per km2) dan paling padat di ibu kota provinsi, Kota Kupang (12.843
penduduk per km2).

36
Gambar 2.16
Kepadatan penduduk: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 1971-2010

140,0
124
120,0
106
95
100,0
78 97
80,0
62 83
60,0 69
58
40,0 48

20,0

0,0
SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (1974a, 1974b, 1983a, 1983b, 19921, 1992b, 2001a dan 2001b);
www.bps.go.id (diolah).

2.4. Situasi Keluarga Berencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Program keluarga berencana (KB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur baru dimulai
pada masa Orde Baru pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III (1979-
1984). Jumlah penduduk yang relatif sedikit, kurang dari dua persen dari penduduk
Indonesia, merupakan salah satu alasan program KB baru dilaksanakan pada
Repelita III di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Provinsi Nusa Tenggara Timur
dikelompokkan dalam wilayah Luar Jawa dan Bali II dalam hal implementasi
program KB nasional, bersama 10 provinsi lainnya (Riau, Jambi, Bengkulu, Timor
Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Maluku, dan Irian Jaya). Program KB nasional dilaksanakan pertama kali
pada Repelita I (1969-1974) di enam provinsi di Jawa dan Bali (DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali). Pada Repelita II (1974-
1979) program KB nasional diperluas ke 10 provinsi di wilayah Luar Jawa dan Bali
I (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan
Sulawesi Selatan).

37
Pencapaian program KB nasional relatif lambat di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam hal pengetahuan keluarga berencana, hasil SDKI 2012 (BPS dkk 2013)
menunjukkan bahwa persentase perempuan usia 15-49 tahun yang mengetahui
paling sedikit satu alat/cara KB di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih rendah
daripada persentase perempuan usia 15-49 tahun yang mengetahui paling sedikit
satu alat/cara KB nasional (94,7% versus 8%). Selanjutnya, persentase perempuan
kawin usia 15-49 tahun yang tidak terpapar terhadap pesan KB melalui media
massa (radio, televisi, koran/majalah, poster, atau pamflet) lebih tinggi di Provinsi
Nusa Tenggara Timur daripada di Indonesia (50,3% versus 45,8%).

Dalam hal pemakaian kontrasepsi, hasil SDKI 1991 – SDKI 2012 menunjukkan
bahwa pemakaian kontrasepsi di kalangan perempuan kawin usia 15-49 tahun
berfluktuasi dan cenderung meningkat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar
2.17). Pada tahun 1991, 39% dari perempuan kawin usia 15-49 tahun di Provinsi
Nusa Tenggara Timur ber-KB. Angka ini meningkat menjadi 48% pada tahun 2012.
Akan tetapi, pemakaian kontrasepsi di kalangan perempuan kawin usia 15-49
tahun lebih rendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur daripada di Indonesia. Pada
tahun 1991 pasangan usia subur (PUS) di Provinsi Nusa Tenggara Timur 1,5 kali
kurang cenderung ber-KB daripada PUS Indonesia secara keseluruhan. Angka ini
meningkat menjadi 1,8 kali pada tahun 2012. Artinya, kesenjangan ber-KB di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dan di Indonesia semakin besar.

Seperti halnya di Indonesia secara keseluruhan, hasil SDKI 2012 menunjukkan


bahwa sebagian besar perempuan kawin usia 15-49 tahun di Provinsi Nusa
Tenggara Timur menggunakan metode KB jangka pendek, terutama suntik KB
(41,7%), diikuti dengan suatu cara tradisional (20%), terutama pantang berkala dan
sanggama terputus (Gambar 2.18). Akan tetapi, perempuan kawin usia 15-49 tahun
di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih cenderung memakai metode KB jangka
panjang daripada perempuan Indonesia secara keseluruhan: 1,9 kali lebih
cenderung disterilisasi KB, 1,5 kali lebih cenderung menggunakan IUD, dan 1,8 kali
lebih cenderung menggunakan susuk KB.

38
Gambar 2.17
Angka prevalensi kontrasepsi: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 1991-2012

70
60,3 61,4 61,9
57,4
60 54,7
49,7
50
47,9
40
42,1
39,2 37,3 39,3
30 34,8

20

10

0
SDKI 1991 SDKI 1994 SDKI 1997 SDKI SDKI 2007 SDKI 2012
2002/03

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS dkk (1992, 1995, 1998, 2003, 2008, dan 2013) (diolah).

Gambar 2.18
Distribusi persentase pemakai kontrasepsi menurut metode kontrasepsi:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2012

0,3 2,9

Indonesia 5,2 22,0 6,3 51,5 6,5

5,3

0,2 1,0

Nusa Tenggara Timur 9,4 9,2 9,2 41,7 20,0

9,4

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Sterilisasi wanita Sterilisasi pria Pil IUD


Suntik KB Susuk KB Kondom Tradisional

Sumber: BPS dkk (2013) (diolah).

39
Hasil SDKI 2012 juga menunjukkan bahwa kebutuhan KB yang tidak terpenuhi di
kalangan perempuan kawin usia 15-49 tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur
tinggi, lebih tinggi daripada kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi di Indonesia
(Gambar 2.19), dan nomor lima paling tinggi di Indonesia setelah di Papua, Papua
Barat, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Perempuan kawin usia 15-49 tahun di
Provinsi Nusa Tenggara Timur dua kali kurang cenderung untuk terpenuhi
kebutuhan ber-KB untuk penjarangan kelahirannya, 1,3 kali kurang cenderung
untuk terpenuhi kebutuhan ber-KB untuk pembatasan kelahirannya, dan 1,6 kali
kurang cenderung untuk terpenuhi kebutuhan ber-KBnya daripada perempuan
kawin usia 15-49 tahun secara keseluruhan.

Gambar 2.19
Kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2012

20
17,5
18
16
14
11,4
12
10 8,6 8,9
8 6,9
6 4,5
4
2
0
Kebutuhan ber-KB yang tidak Kebutuhan ber-KB yang tidak Kebutuhan ber-KB yang tidak
terpenuhi untuk penjarangan terpenuhi untuk pembatasan terpenuhi
kelahiran kelahiran

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS dkk (2013) (diolah).

2.5. Permasalahan Kependudukan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya maka permasalahan kependudukan


di Provinsi Nusa Tenggara Timur dapat dikelompokkan menjadi permasalahan
keluaran pembangunan, permasalahan proses demografis, dan permasalahan
keluaran demografis. Dalam hal keluaran pembangunan, permasalahan yang

40
dihadapi oleh penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah akses terhadap
pendidikan, kesehatan, lingkungan yang sehat, sanitasi layak, sumber air minum
bersih dan sumber energi yang rendah, bahkan dalam kasus tertentu jauh lebih
rendah, dibandingkan penduduk Indonesia secara keluruhan, serta tingkat
kemiskinan yang tinggi, yang telah menyebabkan rendahnya pencapaian
pembangunan manusia di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dalam hal proses demografis, permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi Nusa
Tenggara Timur adalah tingkat kelahiran dan kematian yang relatif tinggi, migrasi
neto negatif penduduk usia produktif serta migrasi masuk penduduk dari luar
negeri. Dalam hal keluaran demografis, permasalahan yang dihadapi oleh Provinsi
Nusa Tenggara Timur adalah pertumbuhan penduduk tinggi, rasio ketergantungan
umur tinggi, lebih banyak penduduk perempuan, peningkatan penduduk
perkotaan, dan persebaran penduduk yang tidak merata.

2.6. Permasalahan Keluarga Berencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Permasalahan Keluarga Berencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah


prevalensi kontrasepsi relatif rendah, dominasi pemakaian metode KB jangka
pendek, dan tingginya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi. Kantor Perwakilan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Nusa Tenggara
Timur juga melaporkan adanya masalah komplikasi berat dan kegagalan
kontrasepsi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

41
BAB 3
SITUASI DAN PERMASALAHAN KETENAGAKERJAAN
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

3.1. Partisipasi Angkatan Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Hasil Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 menunjukkan bahwa penduduk


Provinsi Nusa Tenggara Timur berjumlah 5.203,5 ribu jiwa pada tahun 2016
(Bappenas dkk 2013). Dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2016
penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) di Provinsi Nusa Tenggara Timur
diperkirakan sebesar 3.366.980 jiwa pada Februari 2016 (BPS 2016a). Penduduk
usia kerja ini terdiri dari 72,6% atau 2.445.323 angkatan kerja (bekerja, pernah
bekerja, dan tidak pernah bekerja) dan 27,4% atau 921.657 bukan angkatan kerja
(sekolah, mengurus rumah tangga dan lainnya). Dari angkatan kerja ini, 96,4% atau
2.357.624 bekerja dan 3,6% atau 87.699 pengangguran terbuka (23.574 pernah
bekerja dan 64.125 tidak pernah bekerja).

Struktur umur angkatan kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih muda dan
lebih tua daripada struktur umur angkatan kerja Indonesia secara keseluruhan.
Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan bahwa angkatan kerja berusia muda (15-24
tahun) dan berusia 60 tahun ke atas masing-masing 18,9% dan 9,8% di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, sementara angka ini masing-masing 16,4% dan 8,7% untuk
Indonesia (Gambar 3.1). Akibatnya, rasio antara jumlah angkatan kerja usia 15-24
tahun dan 60 tahun ke atas dengan jumlah angkatan kerja usia 25-64 tahun lebih
tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dibandingkan dengan di Indonesia secara
keseluruhan (40,3 versus 33,5). Struktur umur angkatan kerja ini dapat
berimplikasi pada produktivitas angkatan kerja yang lebih rendah di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.

Hasil SAKERNAS 2016 juga menunjukkan bahwa angkatan kerja di Provinsi Nusa
Tenggara Timur sebagian besar adalah laki-laki (54,7%) dan tinggal di perdesaan
(79%) (Gambar 3.2). Angka ini masing-masing 61,2% dan 47,1% untuk Indonesia.
Dominasi angkatan kerja perdesaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan
suatu potensi pertumbuhan ekonomi jika produktivitas sektor-sektor perekonomian
perdesaan dioptimalkan.

42
Gambar 3.1
Distribusi persentase angkatan kerja menurut umur:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

14
12,8
12,4 12,2 12,4
11,7 11,9 11,8
12 11,6 11,5
10,9 10,7
10,2
9,8
10
8,9 8,7
8,3
8
6,9
6,6
6,1
6
4,8

0
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60+

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Gambar 3.2
Distribusi persentase angkatan kerja menurut jenis kelamin dan tempat
tinggal: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

90,0

79,0
80,0

70,0
61,2
60,0 54,7
52,9

50,0 47,1
45,3

38,8
40,0

30,0
21,0
20,0

10,0

0,0
Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

43
Angkatan kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih cenderung berpendidikan
rendah dibandingkan dengan angkatan kerja di Indonesia secara keseluruhan
(Gambar 3.3). Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan bahwa angkatan kerja di
Provinsi Nusa Tenggara Timur 1,9 kali lebih cenderung untuk berpendidikan rendah
(sekolah dasar/SD atau lebih rendah), 1,8 kali kurang cenderung untuk
berpendidikan menengah (sekolah menengah pertama/SMP atau sekolah menengah
atas/SMA) dan 1,2 kali kurang cenderung untuk berpendidikan tinggi (diploma dan
universitas) dibandingkan dengan angkatan kerja Indonesia secara keseluruhan.

Gambar 3.3
Distribusi persentase angkatan kerja menurut pendidikan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

3,4 12,7 26,4 17,9 17,4 10,7 8,8

Indonesia

2,7

5,3 19,5 33,5 12,4 13,5 6,2 7,3

Nusa Tenggara Timur

2,3

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Tidak/Belum Pernah Sekolah Tidak/Belum Tamat SD


SD/MI/Sederajat SLTP/MTs/Sederajat
SLTA/MA/Sederajat SM Kejuruan
Diploma I/II/III Universitas

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Pengangguran terbuka di Provinsi Nusa Tenggara Timur dicirikan oleh pencari kerja
muda, laki-laki dan perdesaan (Gambar 3.4). Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan
bahwa sebagian besar pencari kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur berusia 20-24
tahun (49%), diikuti dengan pencari kerja berusia 25-29 tahun (21%), dan pencari
kerja berusia 15-19 tahun (16%). Pengangguran terbuka di Provinsi Nusa Tenggara

44
Timur 2,7 kali lebih cenderung untuk berusia 15-29 tahun daripada pengangguran
terbuka Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, sebagian besar pencari kerja di
Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah laki-laki (51,3%) dan tinggal di perdesaan
(54,1%) (Gambar 3.5).

Gambar 3.4
Distribusi persentase pengangguran terbuka menurut umur:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

60

49,2
50

40
35,2

30
21,3
20 17,9 17,7
16,2 16,1

10 7,4
5,3 4,4 5,7 3,6

0
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40+

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Selanjutnya, lebih dari separuh (53%) pencari kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur
berpendidikan menengah, 27% berpendidikan tinggi dan 20% berpendidikan rendah
(Gambar 3.5). Pencari kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur 1,5 kali kurang
cenderung untuk berpendidikan rendah, 1,3 kali kurang cenderung untuk
berpendidikan menengah dan 2,4 kali lebih cenderung untuk berpendidikan tinggi
dibandingkan dengan pencari kerja di Indonesia secara keseluruhan. Hal ini
mengindikasikan kebutuhan yang tinggi terhadap kesempatan kerja bagi angkatan
kerja berpendidikan menengah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selain itu, hal ini
juga menunjukkan adanya penawaran angkatan kerja berpendidikan tinggi yang
secara nyata lebih tinggi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dibandingkan dengan di
Indonesia secara keseluruhan.

45
Gambar 3.5
Distribusi persentase pengangguran terbuka menurut jenis kelamin, tempat
tinggal dan pendidikan: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

70,0
62,9 62,8
59,9
60,0
54,1 52,9
51,3
48,7
50,0 45,9

40,0 37,1 37,2

30,0 26,6 27,1

20,0
20,0
13,4

10,0

0,0
Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan Rendah Menengah Tinggi

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Hasil SAKERNAS 1997-2016 menunjukkan bahwa partisipasi angkatan kerja di


Provinsi Nusa Tenggara Timur berfluktuasi dengan kecenderungan menurun
(Gambar 3.6). Selain itu, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) di Provinsi Nusa
Tenggara Timur secara konsisten lebih tinggi daripada TPAK Indonesia secara
keseluruhan. Fluktuasi dalam partisipasi angkatan kerja di Provinsi Nusa Tenggara
Timur dapat disebabkan karena adanya pengaruh musim (musim hujan pada bulan
November sampai dengan bulan Maret dan musim kemarau pada bulan April sampai
dengan bulan Oktober) dimana penduduk usia kerja lebih cenderung terjun ke
dalam pasar kerja pada bulan Februari daripada pada bulan Agustus. Sementara
itu, kecenderungan partisipasi angkatan kerja yang menurun di Provinsi Nusa
Tenggara Timur dapat disebabkan karena adanya kecenderungan peningkatan
penduduk usia kerja yang menjadi bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus
rumah tangga dan lainnya). Selanjutnya, lebih tingginya partisipasi angkatan kerja
di Provinsi Nusa Tenggara Timur daripada di Indonesia secara keseluruhan dapat
disebabkan karena sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Nusa Tenggara
Timur bekerja di sektor pertanian yang cenderung lebih mudah untuk dimasuki.

46
Gambar 3.6
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia
1997-2016
85,0
79,5
78,5
80,0 76,9 77,4 77,2
75,8 76,3 75,8 75,8
75,5 75,4
74,1 74,4 74,3 74,7 74,4 74,3 74,0
73,9 73,4 73,3
75,0 72,8 73,0 72,6
72,1
71,2
70,0
68,6 68,9 69,3
70,0 68,1

70,0 69,6 69,5


68,6 69,1 69,2
67,867,967,568,0 67,667,267,867,7 68,1
65,0 67,267,8 66,866,766,266,667,067,367,2
67,8
66,366,9 66,8 66,8 66,6
65,8

60,0

55,0

50,0

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Partisipasi angkatan kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi menurut


kabupaten/kota. Hasil SAKERNAS 2015 menunjukkan bahwa partisipasi angkatan
kerja bervariasi antara 54% di Kota Kupang dan 74,6% di Kabupaten Flores Timur
(Gambar 3.7). Hal ini dapat disebabkan karena kesempatan kerja yang tersedia di
Kota Kupang didominasi oleh sektor jasa yang memerlukan kualifikasi angkatan
kerja yang lebih tinggi sehingga lebih sulit untuk dimasuki. Sementara itu, di
Kabupaten Flores Timur dan kabupaten-kabupaten lainnya, kesempatan kerja
didominasi oleh sektor pertanian yang cenderung lebih mudah untuk dimasuki.

Menurut kelompok umur, hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa hanya
37% dari penduduk usia kerja 15-19 tahun yang berpartisipasi dalam pasar kerja
(Gambar 3.8). TPAK meningkat seiring dengan meningkatnya umur, mencapai
puncaknya pada kelompok umur 45-49 tahun (90,5%) dan kemudian menurun pada
kelompok umur yang lebih tua menjadi 57,9% pada kelompok umur 65 tahun ke
atas. Paling rendahnya TPAK pada kelompok umur 15-19 dapat disebabkan karena
sebagian besar penduduk pada kelompok umur ini masih menempuh pendidikan.
Sementara itu, TPAK yang lebih rendah pada kelompok umur 65 tahun ke atas dapat

47
disebabkan karena penduduk usia kerja sudah memasuki masa pensiun atau sudah
tidak mampu lagi untuk bekerja.

Gambar 3.7
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut kabupaten/kota:
Nusa Tenggara Timur 2015

80,0 74,4 74,6 73,7 74,3


71,8 70,8 71,4 72,3
70,3 70,0 71,3 69,8 70,5 70,8
68,9 69,7 69,3
67,4 68,2 68,7
70,0 65,3
63,4

60,0 54,0

50,0

40,0

30,0

20,0

10,0

0,0

Sumber: ntt.bps.go.id (diolah).

Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan bahwa di Provinsi Nusa Tenggara Timur,


penduduk usia kerja laki-laki 2,4 kali lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam
angkatan kerja daripada penduduk usia kerja perempuan (Gambar 3.9). Akan tetapi,
penduduk usia kerja laki-laki di Provinsi Nusa Tenggara Timur 1,2 kali kurang
cenderung untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja daripada penduduk usia
kerja laki-laki Indonesia secara keseluruhan. Sementara itu, dibandingkan dengan
penduduk usia kerja perempuan Indonesia secara keseluruhan, penduduk usia
kerja perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Timur 1,6 kali lebih cenderung untuk
berpartisipasi dalam angkatan kerja. Menurut tempat tinggal, di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, penduduk usia kerja perdesaan 1,5 kali lebih cenderung untuk
berpartisipasi dalam angkatan kerja daripada penduduk usia kerja perkotaan.
Selain itu, dibandingkan dengan penduduk usia kerja perdesaan Indonesia secara

48
keseluruhan, penduduk usia kerja perdesaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur 1,2
kali lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja.

Gambar 3.8
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut kelompok umur:
Nusa Tenggara Timur 2010

100,0
88,7 89,6 90,3 90,5 89,5
90,0 85,8 86,2
80,0
80,0
72,2
70,0
57,9
60,0

50,0
37,0
40,0

30,0

20,0

10,0

0,0
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65+

Sumber: sp.2010.bps.go.id (diolah).

Peningkatan partisipasi angkatan kerja berpendidikan menengah merupakan suatu


tantangan penting dalam rangka optimalisasi penduduk usia produktif di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Hasil SP 2010 menunjukkan bahwa TPAK paling rendah
untuk penduduk usia kerja berpendidikan SMP, diikuti dengan untuk penduduk
usia kerja berpendidikan SMA (Gambar 3.10). Penduduk usia kerja berpendidikan
rendah (SD atau lebih rendah) 2,4 kali lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam
angkatan kerja daripada penduduk usia kerja berpendidikan menengah (SMP atau
SMA). Sementara itu, penduduk usia kerja berpendidikan tinggi (diploma atau
universitas) 5,6 kali lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam angkatan kerja
daripada penduduk usia kerja berpendidikan menengah.

49
Gambar 3.9
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut jenis kelamin dan tempat tinggal:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

90,0 83,5
81,2
80,0 74,6
70,3
70,0 64,4 66,0 66,2

60,0
52,7
50,0

40,0

30,0

20,0

10,0

0,0
Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Gambar 3.10
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja menurut pendidikan:
Nusa Tenggara Timur 2010

100,0 93,4 92,9


91,0
88,8
90,0 82,3
81,2
78,4 78,4
80,0 76,4
68,7
70,0
58,1
60,0
50,0
40,0
30,0
20,0
10,0
0,0

Sumber: sp2010.bps.go.id (diolah).

50
Hasil SAKERNAS 1997-2016 juga menunjukkan bahwa pengangguran terbuka di
Provinsi Nusa Tenggara Timur berfluktuasi dengan kecenderungan menurun
(Gambar 3.11). Selain itu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Provinsi Nusa
Tenggara Timur secara konsisten lebih rendah daripada TPT Indonesia secara
keseluruhan. Lebih rendahnya pengangguran terbuka di Provinsi Nusa Tenggara
Timur daripada di Indonesia secara keseluruhan dapat disebabkan karena sebagian
besar penduduk bekerja di sektor pertanian dan sektor informal yang cenderung
lebih mudah untuk dimasuki.

Gambar 3.11
Tingkat Pengangguran Terbuka: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia
1997-2016

12,0 11,2
10,3 10,410,3
9,7 9,9 9,8
10,0 9,1 9,1
8,5 8,4
8,1 8,1 7,9
7,4 7,1 7,5
8,0 7,0
6,4 6,1 6,4 6,1 6,2
5,9 6,2 5,7 5,9 5,8
5,5 5,5
6,0
4,7
5,5
4,0 4,8 5,0
4,3 4,3 4,0 4,5 4,0 3,7 3,7 3,7 4,0
3,6 3,8 3,6
3,5 3,3 3,2 3,3 3,1
2,0 2,9 3,1 3,0
2,8 2,8
2,4 2,6 2,5 2,5
2,1 2,0
0,0

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: www.bps.go.id (diolah).

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengangguran terbuka bervariasi secara nyata


menurut kabupaten/kota (Gambar 3.12). Hasil SAKERNAS 2015 menunjukkan
bahwa TPT paling rendah di Kabupaten Sikka (0,7%) dan paling tinggi di Kota
Kupang (14,2%). Lebih rendahnya TPT di Kabupaten Sikka dan di kabupaten lainnya
dapat disebabkan karena sebagian besar dari penduduk bekerja bekerja di sektor
pertanian yang cenderung lebih mudah dimasuki karena tidak memerlukan
kualifikasi tenaga kerja yang tinggi. Sementara itu, TPT paling tinggi di Kota Kupang

51
dapat disebabkan karena perekonomian didominasi oleh sektor nonpertanian yang
memerlukan kualifikasi tenaga kerja tertentu sehingga cenderung lebih sulit untuk
dimasuki.

Gambar 3.12
Tingkat Pengangguran Terbuka menurut kabupaten/kota:
Nusa Tenggara Timur 2015

16,0
14,2
14,0
12,0
10,0
7,8
8,0
6,0 5,4
4,2 4,0 4,1
3,1 3,5 3,6 3,1 3,9 3,4 3,8 3,8
4,0 2,4 2,4 2,9
1,8 1,9 2,0 2,2
2,0 1,3
0,7
0,0

Sumber: ntt.bps.go.id (diolah).

Seperti halnya di Indonesia, TPT lebih tinggi pada angkatan kerja muda usia 15-29
tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 3.13). Akan tetapi, angkatan kerja
muda usia 15-29 tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur kurang cenderung untuk
menganggur daripada angkatan kerja muda usia 15-29 tahun Indonesia secara
keseluruhan. Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan bahwa di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, TPT paling tinggi pada angkatan kerja usia 20-24 tahun (13,8%),
diikuti dengan angkatan kerja usia 15-19 tahun (9,4%) dan angkatan kerja usia 20-
24 tahun (6,5%). Optimalisasi penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara
Timur memerlukan upaya peningkatan kesempatan kerja yang dapat menyerap
angkatan kerja usia muda.

52
Gambar 3.13
Tingkat Pengangguran Terbuka menurut kelompok umur:
Nusa Tenggara Timur 2016

25,0

20,5
20,0
16,8

15,0
13,8

10,0 7,9
9,4

6,5
5,0 3,3
2,5 2,1 2,5
1,7 1,7 1,6
1,6 1,4
0,0 0,4 0,5 0,1 - 0,4
15-19 20-24 25-29 30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, pengangguran terbuka sedikit lebih tinggi pada
perempuan daripada pada laki-laki, jauh lebih tinggi di perkotaan daripada di
perdesaan, dan paling tinggi pada angkatan kerja berpendidikan tinggi (Gambar
3.14). TPT perkotaan dan TPT pendidikan tinggi Provinsi Nusa Tenggara Timur
bahkan lebih tinggi daripada TPT perkotaan dan TPT pendidikan tinggi Indonesia.
Angkatan kerja perkotaan dan pendidikan tinggi Provinsi Nusa Tenggara Timur
masing-masing 1,2 dan 1,6 kali lebih cenderung untuk menganggur daripada
angkatan kerja perkotaan dan pendidikan tinggi Indonesia.

Provinsi Nusa Tenggara Timur sangat memerlukan angkatan kerja perkotaan dan
berpendidikan untuk pembangunan daerah yang saat ini sedang mengalami
perkembangan yang signifikan. Oleh karena itu, optimalisasi penduduk usia
produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur harus diupayakan melalui peningkatan
kesempatan kerja yang dapat menyerap angkatan kerja perkotaan dan pendidikan
tinggi, khususnya kesempatan kerja sektor nonpertanian. Hal ini harus dilakukan
agar sumber daya manusia yang potensial memilih untuk berpartisipasi dalam
pembangunan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

53
Gambar 3.14
Tingkat Pengangguran Terbuka menurut jenis kelamin, tempat tinggal, dan
pendidikan: Nusa Tenggara Timur 2016

12,0

10,1
10,0

7,8
8,0 7,2
6,5 6,5
5,7 5,9
6,0 5,3
4,3
3,8
4,0 3,4 3,4
2,5
2,0 1,2

0,0
Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan Rendah Sedang Tinggi

Nusa Tenggara Timur Indonesia

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

3.2. Lapangan Pekerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, penduduk bekerja di Provinsi Nusa Tenggara


Timur dicirikan oleh penduduk bekerja sektor pertanian. Hasil SAKERNAS 2016
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk yang bekerja di Provinsi Nusa
Tenggara Timur bekerja di sektor pertanian (59,4%), diikuti dengan di sektor jasa
(34,7%) (Gambar 3.15). Hanya 5,8% penduduk yang bekerja di Provinsi Nusa
Tenggara Timur bekerja di sektor industri. Selain itu, penduduk bekerja di Provinsi
Nusa Tenggara Timur 3,2 kali lebih cenderung untuk bekerja di lapangan pertanian
daripada penduduk bekerja di Indonesia secara keseluruhan.

Pembangunan dalam jangka panjang memerlukan sektor pertanian, khususnya


untuk keamanan pangan. Akan tetapi, produktivitas sektor pertanian terhadap
perekonomian relatif rendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada periode 2012-
2015, sumbangan sektor pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur cenderung
menurun, dari 30,1% pada tahun 2012 menjadi 29,7% pada tahun 2015
(ntt.bps.go.id). Hal ini mengindikasikan pergeseran struktur perekonomian dari

54
perekonomian tradisional ke perekonomian modern sedang berlangsung di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Oleh karena itu, optimalisasi penduduk usia produktif di
Provinsi Nusa Tenggara Timur memerlukan peningkatan produktivitas sektor
pertanian agar memberikan hasil yang lebih besar bagi pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan penduduk di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Gambar 3.15
Distribusi persentase penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan utama:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

31,7 14,7 53,5

Indonesia

59,4 5,8 34,7

Nusa Tengara Timur

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Pertanian Industri Jasa

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur, distribusi penduduk bekerja menurut lapangan


pekerjaan bervariasi menurut kabupaten/kota (Tabel 3.16). Hasil SAKERNAS 2015
menunjukkan bahwa persentase penduduk bekerja sektor pertanian paling rendah
di Kota Kupang (3,6%) dan paling tinggi di Kabupaten Manggarai Timur (84,2%).
Sementara itu, persentase penduduk bekerja sektor industri bervariasi antara 3,4%
di Kabupaten Manggarai Timur dan 20,4% di Kabupaten Sabu Raijua, yang dikenal
dengan industri garamnya. Selanjutnya, persentase penduduk bekerja sektor jasa
paling rendah di Kabupaten Sumba Barat Daya (11,9%) dan paling tinggi di Kota
Kupang (84,5%). Optimalisasi penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara

55
Timur harus memperhitungkan distribusi lapangan pekerjaan menurut
kabupaten/kota.

Gambar 3.16
Distribusi persentase lapangan pekerjaan utama penduduk bekerja menurut
kabupaten/kota: Nusa Tenggara Timur 2015

Nusa Tenggara Timur

Kota Kupang
Malaka
Sabu Raijua
Manggarai Timur
Nagekeo
Sumba Barat Daya
Sumba Tengah
Manggarai Barat
Rote Ndao
Manggarai
Ngada
Ende
Sikka
Flores Timur
Lembata
Alor
Belu
Timor Tengah Utara
Timor Tengah Selatan
Kupang
Sumba Timur
Sumba Barat
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Pertanian Industri Jasa

Sumber: ntt.bps.go.id (diolah).

Distribusi penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan di Provinsi Nusa


Tenggara Timur juga bervariasi menurut kelompok umur (Gambar 3.17). Hasil SP
2010 menunjukkan bahwa persentase penduduk bekerja sektor pertanian paling
rendah pada kelompok umur 25-29 tahun (59,4%) dan paling tinggi pada kelompok
umur 65 tahun ke atas (88,5%). Sementara itu, persentase penduduk bekerja sektor
industri bervariasi antara 5,44% pada kelompok umur 25-29 tahun dan 6,32% pada
kelompok umur 50-54 tahun. Selanjutnya, persentase penduduk bekerja sektor jasa
paling rendah pada kelompok umur 65 tahun ke atas (5,6%) dan paling tinggi pada
kelompok umur 25-29 tahun (34,4%). Optimalisasi penduduk usia produktif di
Provinsi Nusa Tenggara Timur harus memperhitungkan distribusi lapangan
pekerjaan menurut kelompok umur.

56
Gambar 3.17
Distribusi persentase lapangan pekerjaan utama penduduk bekerja menurut
kelompok umur: Nusa Tenggara Timur 2010
68,5 5,8 25,1
Nusa Tenggara Timur

88,5 5,6 5,6


65+
85,5 6,0 8,1
60-64
78,3 6,3 14,9
55-59
71,9 6,3 21,4
50-54
68,4 6,1 24,9
45-49
65,7 5,9 27,8
40-44
66,5 5,9 26,9
35-39
63,0 5,8 30,4
30-34
59,4 5,4 34,4
25-29
61,0 5,6 32,6
20-24
73,5 5,7 19,8
15-19

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Pertanian Industri Jasa Lainnya

Sumber: sp.2010.bps.go.id (diolah).

Menurut jenis kelamin, penduduk bekerja laki-laki dan penduduk bekerja


perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki kecenderungan yang sama
untuk bekerja di sektor pertanian (Gambar 3.18). Akan tetapi, penduduk bekerja
laki-laki 1,3 kali lebih cenderung untuk bekerja di sektor jasa daripada penduduk
bekerja perempuan. Sementara itu, penduduk bekerja perempuan 3,4 kali lebih
cenderung untuk bekerja di sektor industri daripada penduduk bekerja laki-laki.
Menurut tempat tinggal, penduduk bekerja perkotaan 11,7 kali lebih cenderung
untuk bekerja di sektor jasa daripada penduduk bekerja perdesaan, sementara
penduduk bekerja perdesaan 12,7 kali cenderung untuk bekerja di sektor pertanian
daripada penduduk bekerja perkotaan. Distribusi lapangan pekerjaan menurut jenis
kelamin dan wilayah merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam rangka
optimalisasi penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

57
Gambar 3.18
Distribusi persentase lapangan pekerjaan penduduk bekerja menurut jenis
kelamin dan tempat tinggal: Nusa Tenggara Timur 2016

100%
90% 24,1
31,5
80% 38,0
5,5
70%
8,8
60% 2,7 78,7

50%
40%
70,4
30% 59,2 59,7
20% 5,5
10% 15,8
0%
Laki-laki Perempuan Perkotaan Perdesaan

Pertanian Industri Jasa

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Penduduk bekerja dengan pendidikan rendah lebih cenderung mengisi lapangan


pekerjaan pertanian, sementara penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi lebih
cenderung mengisi lapangan pekerjaan jasa. Hasil SP 2010 menunjukkan bahwa di
Provinsi Nusa Tenggara Timur, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin kecil
persentase penduduk bekerja sektor pertanian dan semakin besar persentase
penduduk bekerja sektor jasa. Mengingat sektor jasa merupakan penyumbang
utama perekonomian di Provinsi Nusa Tenggara Timur maka optimalisasi penduduk
usia produktif melalui peningkatan pendidikan merupakan salah satu strategi
paling penting agar penduduk usia produktif dapat mengakses kesempatan kerja di
sektor jasa yang lebih cenderung memerlukan kualifikasi tertentu untuk dimasuki.
Perkembangan perekonomian Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini
mengindikasikan adanya kebutuhan penduduk bekerja berkualifikasi, khususnya
di Kota Kupang.

58
Gambar 3.19
Distribusi persentase lapangan pekerjaan utama penduduk bekerja menurut
pendidikan: Nusa Tenggara Timur 2010

S2/S3

Diploma IV/Universitas

Diploma III

Diploma I/II

SM Kejuruan

SLTA/MA/Sederajat

SLTP/MTs/Sederajat

SD/MI/Sederajat

Tidak/Belum Tamat SD

Tidak/Belum Pernah Sekolah

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Pertanian Industri Jasa Lainnya

Sumber: sp.2010.bps.go.id (diolah).

3.3. Status Pekerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Sebagian besar penduduk yang bekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur berstatus
informal (Gambar 3.20). Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan bahwa 78,4%
penduduk bekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur berstatus informal (berusaha
sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas di pertanian, pekerja
bebas di nonpertanian, dan pekerja keluarga/tidak dibayar). Selain itu, penduduk
bekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur lebih dari 13 kali lebih cenderung untuk
berstatus informal daripada penduduk bekerja di Indonesia secara keseluruhan.
Secara khusus, penduduk bekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur 2,7 kali lebih
cenderung untuk berstatus pekerja keluarga/tidak dibayar dan 2,5 kali kurang
cenderung untuk berstatus buruh/karyawan/pegawai dibandingkan penduduk
bekerja Indonesia secara keseluruhan. Perbaikan status pekerjaan dari penduduk
bekerja merupakan agenda penting lainnya dalam rangka optimalisasi penduduk
usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

59
Gambar 3.20
Distribusi persentase penduduk bekerja menurut status pekerjaan utama:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

16,9 17,4 3,3 38,4 4,3 5,8 13,8

Indonesia

14,2 29,9 1,3 20,2 1,8 29,9

Nusa Tengara Timur

2,6

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak tetap


Berusaha dibantu buruh tetap Buruh/karyawan/pegawai
Pekerja bebas di pertanian Pekerja bebas di nonpertanian
Pekerja keluarga/tak dibayar

Sumber: BPS (2016a).

Penduduk bekerja di 20 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur


didominasi oleh penduduk bekerja sektor formal, paling tinggi di Kabupaten
Manggarai Timur (93,5%) (Gambar 3.21). Hanya di Kota Kupang penduduk bekerja
didominasi penduduk bekerja sektor formal (berusaha dibantu buruh tetap dan
buruh/karyawan/pegawai) (63,1%). Pekerja keluarga/tidak dibayar mendominasi
penduduk bekerja di 20 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dari yang
paling rendah 30,5% di Kabupaten Rote Ndao sampai yang paling tinggi 51,8% di
Kabupaten Manggarai Timur.

Menurut kelompok umur, hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa pola
persentase penduduk bekerja sektor formal di Provinsi Nusa Tenggara Timur
berbentuk huruf U terbalik: meningkat seiring dengan meningkatnya umur,
mencapai puncak pada kelompok umur 25-29 tahun (22,6%), dan kemudian
menurun dan mencapai tingkat paling rendah pada kelompok umur 65 tahun ke
atas, hanya 2,3% (Gambar 3.22). Selain itu, penduduk bekerja usia 15-19 tahun
dan 20-24 tahun merupakan penduduk bekerja yang paling rentan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur: 68,7% penduduk bekerja usia 15-19 tahun dan 50,1% penduduk
bekerja usia 20-24 tahun di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah penduduk bekerja

60
keluarga/tidak dibayar. Peningkatan status bekerja penduduk usia produktif paling
muda (15-24 tahun) juga merupakan salah satu agenda penting untuk optimalisasi
penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur karena masa bekerja
mereka yang masih panjang, sekitar 40 – 49 tahun lagi jika akan bekerja hingga
usia 64 tahun.

Gambar 3.21
Distribusi persentase status pekerjaan utama penduduk bekerja menurut
kabupaten/kota: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2010

Kota Kupang
Sabu Raijua
Manggarai Timur
Nagekeo
Sumba Barat Daya
Sumba Tengah
Manggarai Barat
Rote Ndao
Manggarai
Ngada
Ende
Sikka
Flores Timur
Lembata
Alor
Belu
Timor Tengah Utara
Timor Tengah Selatan
Kupang
Sumba Timur
Sumba Barat
0% 20% 40% 60% 80% 100%

Berusaha sendiri
Berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar
Berusaha dibantu buruh tetap atau buruh dibayar
Buruh atau karyawan atau pegawai
Pekerja bebas
Pekerja keluarga atau tidak dibayar

Sumber: sp.2010.bps.go.id (diolah).

Penduduk bekerja perempuan dan penduduk bekerja perdesaan di Provinsi Nusa


Tenggara Timur memiliki kesempatan yang lebih rendah untuk bekerja di sektor
formal dibandingkan, masing-masing, penduduk bekerja laki-laki dan penduduk
bekerja perkotaan (Gambar 3.23). Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan bahwa
penduduk bekerja perempuan dan penduduk bekerja perdesaan masing-masing 1,4
kali dan 5,8 kali kurang cenderung untuk bekerja di sektor formal dibandingkan,

61
masing-masing, penduduk bekerja laki-laki dan penduduk bekerja perkotaan.
Selain itu, penduduk bekerja perempuan dan penduduk bekerja di perdesaan
didominasi oleh pekerja keluarga/tidak dibayar, masing-masing 46,5% dan 34%.
Penduduk bekerja perempuan 4,5 kali lebih cenderung untuk berstatus pekerja
keluarga/tidak dibayar dibandingkan dengan penduduk bekerja laki-laki,
sementara penduduk bekerja perdesaan 3,3 kali lebih cenderung untuk berstatus
pekerja keluarga/tidak dibayar dibandingkan dengan penduduk bekerja perkotaan.
Peningkatan status bekerja penduduk bekerja perempuan dan penduduk bekerja
perdesaan merupakan suatu strategi yang penting dalam rangka optimalisasi
penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Gambar 3.22
Distribusi persentase status pekerjaan utama penduduk bekerja menurut
kelompok umur: Nusa Tenggara Timur 2010

65+ 28,9
60-64 32,0
55-59 29,8
50-54 29,8
45-49 30,1
40-44 30,3
35-39 33,5
30-34 35,7
25-29 39,9
20-24 50,1
15-19 68,7
0% 20% 40% 60% 80% 100%
Berusaha sendiri
Berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar
Berusaha dibantu buruh tetap atau buruh dibayar
Buruh atau karyawan atau pegawai
Pekerja bebas
Pekerja keluarga atau tidak dibayar

Sumber: sp.2010.bps.go.id (diolah).

Pendidikan merupakan modal utama untuk mengakses kesempatan kerja sektor


formal. Hasil SP 2010 menunjukkan bahwa¸ di Provinsi Nusa Tenggara Timur,
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi persentase penduduk bekerja
sektor formal. Hanya 4,5% penduduk bekerja berpendidikan rendah yang bekerja di
sektor formal, sementara angka ini 31,7% untuk penduduk bekerja berpendidikan

62
menengah dan 86,7% untuk penduduk bekerja berpendidikan tinggi (Gambar 3.24).
Artinya, penduduk bekerja berpendidikan rendah dan penduduk bekerja
berpendidikan menengah masing-masing 139 kali dan 14 kali kurang cenderung
untuk bekerja di sektor formal. Selain itu, sebagian besar penduduk bekerja
berpendidikan rendah dan SMP adalah pekerja keluarga/tidak dibayar. Peningkatan
status bekerja penduduk bekerja berpendidikan rendah merupakan upaya yang
penting agar penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur optimal.

Gambar 3.23
Distribusi persentase status pekerjaan utama penduduk bekerja menurut jenis
kelamin dan tempat tinggal: Nusa Tenggara Timur 2016

1,4
Perdesaan 13,5 33,5 0,7 13,8 34,0
3,1 0,7
Perkotaan 17,1 15,6 3,9 45,7 13,5
3,5

0,2
Perempuan 14,0 17,7 1,0 17,6 3,1 46,5
3,2
Laki-laki 14,5 40,0 1,6 22,5 2,2 16,1

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak tetap


Berusaha dibantu buruh tetap Buruh/karyawan/pegawai
Pekerja bebas di pertanian Pekerja bebas di nonpertanian
Pekerja keluarga/tak dibayar

Sumber: BPS (2016a) (diolah).

Pada Gambar 3.24 disajikan distribusi status pekerjaan utama penduduk bekerja
menurut lapangan pekerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur menurut hasil SP
2010. Terlihat bahwa sebagian besar penduduk bekerja sektor pertanian berstatus
pekerja keluarga/tidak dibayar (49,4%), sebagian besar penduduk bekerja sektor
industri berstatus berusaha sendiri (48%), dan sebagian besar penduduk bekerja
sektor jasa berstatus buruh/karyawan/pegawai (53,6%). Peningkatan status
bekerja penduduk bekerja sektor pertanian dan industri merupakan strategi yang
penting dalam rangka optimalisasi penduduk usia produktif di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.

63
Gambar 3.24
Distribusi persentase status pekerjaan utama penduduk bekerja menurut
pendidikan: Nusa Tenggara Timur 2010

S2/S3
Diploma IV/Universitas
Diploma III
Diploma I/II
SM Kejuruan
SLTA/MA/Sederajat
SLTP/MTs/Sederajat
SD/MI/Sederajat
Tidak/Belum Tamat SD
Tidak/Belum Pernah Sekolah
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Berusaha sendiri
Berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar
Berusaha dibantu buruh tetap atau buruh dibayar
Buruh atau karyawan atau pegawai
Pekerja bebas
Pekerja keluarga atau tidak dibayar

Sumber: sp.2010.bps.go.id (diolah).

Gambar 3.25
Distribusi persentase status pekerjaan utama penduduk bekerja menurut
lapangan pekerjaan utama: Nusa Tenggara Timur 2010

25,2 5,2 26,1 11,3 25,3


Lainnya 6,9

25,4 4,0 5,4 53,6 6,0 5,6


Jasa

48,0 16,3 2,4 3,0 27,0


Industri
12,2 35,2 0,4 1,9 3,3 49,4
Pertanian
0,7
0% 20% 40% 60% 80% 100%

Berusaha sendiri
Berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar
Berusaha dibantu buruh tetap atau buruh dibayar
Buruh atau karyawan atau pegawai
Pekerja bebas
Pekerja keluarga atau tidak dibayar

Sumber: sp.2010.bps.go.id (diolah).

64
3.4. Jam Kerja dan Upah Pekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Jam kerja merupakan salah satu faktor penentu produktivitas pekerja. Jika hal yang
lain sama, pekerja yang bekerja lebih lama cenderung lebih produktif daripada
pekerja lainnya. Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan
produktivitas penduduk bekerja yang paling rendah di Indonesia. Hal ini dapat
disebabkan karena pekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur secara rata-rata bekerja
lebih singkat daripada pekerja Indonesia secara keseluruhan. Hasil SAKERNAS
2016 menunjukkan bahwa pekerja (buruh/karyawan/pegawai, pekerja bebas di
pertanian, dan pekerja bebas di nonpertanian) di Provinsi Nusa Tenggara Timur
bekerja rata-rata dua jam lebih pendek daripada pekerja Indonesia secara
keseluruhan (Gambar 3.25).

Gambar 3.25
Jam kerja rata-rata seminggu yang lalu pekerja menurut jenis kelamin,
tempat tinggal dan pendidikan: Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

50
45 42 43 43 44
40 41 40 41
40 37 37 38 37 37
35 33
30
25
20
15
10
5
0

Sumber: BPS (2016b) (diolah).

65
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur pekerja perempuan secara rata-rata bekerja empat
jam lebih singkat daripada pekerja laki-laki, sementara pekerja perdesaan secara
rata-rata bekerja enam jam lebih singkat daripada pekerja perkotaan. Selain itu, jam
kerja rata-rata paling pendek pada pekerja tidak/belum pernah sekolah, meningkat
seiring dengan meningkatnya pendidikan pekerja, mencapai puncak pada pekerja
berpendidikan SMP, dan kemudian menurun untuk pekerja berpendidikan lebih
tinggi. Peningkatan jam kerja perempuan, perdesaan, dan berpendidikan rendah
merupakan suatu upaya yang penting dalam rangka optimalisasi penduduk usia
produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Kesenjangan penghasilan (upah/gaji/pendapatan bersih (rupiah) rata-rata sebulan)


nyata di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil SAKERNAS 2016 menunjukkan bahwa
penghasilan pekerja perempuan 1,2 kali lebih rendah daripada penghasilan pekerja
laki-laki, sementara penghasilan pekerja perdesaan 1,5 kali lebih rendah daripada
penghasilan pekerja perkotaan. Selain itu, semakin tinggi pendidikan, semakin
tinggi penghasilan (Gambar 3.26). Penghasilan pekerja berpendidikan tidak/belum
pernah sekolah, tidak belum tamat SD, tamat SD, dan tamat SMA masing-masing
4,2, 3,1, 2,4, dan 1,7 kali lebih rendah daripada penghasilan pekerja lulusan
universitas. Penurunan kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan,
antara perkotaan dan perdesaan, dan antartingkat pendidikan merupakan suatu
strategi penting agar penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur
optimal.

Kesenjangan dalam penghasilan antara laki-laki dan perempuan menurut tingkat


pendidikan juga nyata di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Meskipun tingkat
pendidikan sama, penghasilan pekerja perempuan lebih rendah daripada
penghasilan pekerja perempuan. Penghasilan pekerja perempuan lulusan SMA 1,5
kali lebih rendah daripada penghasilan pekerja laki-laki lulusa SMA. Sementara itu,
penghasilan pekerja perempuan lulusan diploma juga 1,5 kali lebih rendah daripada
penghasilan pekerja laki-laki lulusan diploma. Selanjutnya, penghasilan pekerja
perempuan lulusan universitas 1,4 kali lebih rendah daripada penghasilan pekerja
laki-laki lulusan universitas.

66
Gambar 3.26
Upah/gaji/pendapatan bersih (rupiah) rata-rata sebulan pekerja menurut jenis
kelamin, tempat tinggal dan pendidikan:
Nusa Tenggara Timur dan Indonesia 2016

Universitas 2.695.866
Diploma I/II/III 2.310.155
SM Kejuruan 1.956.242
SLTA/MA/Sederajat 1.591.056
SLTP/MTs/Sederajat 1.138.753
SD/MI/Sederajat 1.106.843
Tidak/Belum Tamat SD 865.998
Tidak/Belum Pernah Sekolah 645.122

Perdesaan 1.480.773
Perkotaan 2.224.872

Perempuan 1.588.849
Laki-laki 1.903.288

Indonesia 1.969.385
Nusa Tenggara Timur 1.783.059
0 1.000.000 2.000.000 3.000.000

Sumber: BPS (2016b) (diolah).

3.5. Investasi dan Kesempatan Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Investasi merupakan salah satu faktor penting dalam penyerapan angkatan kerja.
Data investasi dan kesempatan kerja pada periode 2001-2013 menunjukkan bahwa
investasi dan kesempatan kerja cenderung meningkat di Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Selain itu, grafik garis linier antara investasi dan kesempatan kerja
menunjukkan bahwa peningkatan investasi sebesar satu juta rupiah, akan
menyerap tenaga kerja sebanyak 0,036 orang, atau investasi sebesar satu miliar
rupiah akan menyerap tenaga kerja sebanyak 36 orang (Gambar 3.27). Artinya,
investasi merupakan suatu instrumen untuk meningkatkan kesempatan kerja dan
optimalisasi penduduk usia produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara
umum akan terjadi peningkatan kesempatan kerja jika pemangku kepentingan
meningkatkan investasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Investasi yang dimaksud
dalam bentuk pembangunan infrastruktur maupun investasi swasta.

67
Pada Bab 2 sudah didiskusikan permasalahan luaran pembangunan di Provinsi
Nusa Tenggara Timur, yaitu rendahnya investasi infrastruktur dalam kebutuhan
dasar. Dalam hal jarak geografis, terdapat sejumlah kabupaten yang tidak dapat
dilalui dengan jalur darat maupun laut. Hal ini menyulitkan bagi pemerataan
pembangunan. Pemerintah perlu membangun infrastruktur, khususnya
pembangunan pelabuhan, agar semua kabupaten dapat mudah dilalui dan
terhubung. Selain itu, pendistribusian anggaran pembangunan sulit di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Jika hanya mengandalkan jalur udara (penerbangan), maka
kabupaten yang tidak dapat dilalui dengan jalur darat maupun laut di Provinsi Nusa
Tenggara Timur sulit medapatkan porsi pembangunan yang memadai, sebagaimana
halnya kabupaten lainnya yang dekat dengan ibu kota provinsi. Dalam rangka
optimalisasi penduduk usia produktif, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh
dalam pemerataan pembangunan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Nusa
Tenggara Timur.

Gambar 3.27
Investasi dan Kesempatan Kerja: Nusa Tenggara Timur 2001-2013

2.200.000

2.150.000

2.100.000

2.050.000
Kesempatan
kerja 2.000.000
(orang)
1.950.000 Kerja = 0,036Investasi + 0,000002
R² = 0,5682
1.900.000

1.850.000

1.800.000
0 2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.00010.000.000
Investasi (juta rupiah)

Sumber: INDODAPOER Bank Dunia (diolah).

68
3.6. Permasalahan ketenagakerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan ketenagakerjaan di Provinsi Nusa


Tenggara Timur mencakup permasalahan angkatan kerja, pengangguran, lapangan
pekerjaan, status pekerjaan, jam kerja, dan penghasilan pekerja. Dalam hal
angkatan kerja, sebagian besar angkatan kerja Provinsi Nusa Tenggara Timur
tinggal di perdesaan dan berpendidikan rendah. Dalam hal pengangguran, sebagian
besar pengangguran terbuka berusia 15-29 tahun dan berpendidikan menengah.

Dalam partisipasi angkatan kerja, tingkat partisipasi angkatan kerja paling rendah
di Kota Kupang dan pada angkatan kerja berpendidikan menengah. Dalam hal
pengangguran terbuka, tingkat pengangguran terbuka paling tinggi di Kota Kupang
serta lebih tinggi pada angkatan kerja berusia 15-24 tahun, di perkotaan dan
berpendidikan tinggi.

Dalam hal lapangan pekerjaan, sebagian besar penduduk bekerja di Provinsi Nusa
Tenggara Timur bekerja di sektor pertanian, terutama di perdesaan dan pada
penduduk bekerja berpendidikan rendah. Dalam hal status pekerjaan, sebagian
besar penduduk bekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur bekerja sebagai pekerja
sektor informal, terutama sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar. Mayoritas
penduduk bekerja usia muda, di perdesaan, perempuan, berpendidikan rendah, dan
yang bekerja di sektor pertanian adalah pekerja keluarga/tidak dibayar.

Dalam hal jam kerja, pekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur secara rata-rata
bekerja lebih singkat daripada pekerja Indonesia secara keseluruhan. Jam kerja
pekerja perempuan, perdesaan, dan berpendidikan rendah lebih pendek daripada
jam kerja pekerja lainnya. Dalam hal penghasilan, di Provinsi Nusa Tenggara Timur
terdapat kesenjangan penghasilan menurut jenis kelamin, tempat tinggal, dan
pendidikan.

69
BAB 4
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KEPENDUDUKAN
DAN KELUARGA BERENCANA DAN PENDUDUK USIA PRODUKTIF
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

4.1. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kependudukan dan Keluarga


Berencana di Provinsi Nusa Tenggara Timur

Berdasarkan permasalahan kependudukan dan keluarga berencana di Provinsi


Nusa Tenggara Timur maka kebijakan yang harus dilakukan dalam rangka
optimalisasi penduduk usia produktif adalah penurunan tingkat kelahiran dan
pengelolaan mobilitas penduduk. Strategi yang dapat dilakukan untuk penurunan
tingkat kelahiran meliputi penguatan pelayanan keluarga berencana (KB),
penyediaan layanan dan alat KB yang terjangkau, peningkatan prevalensi KB,
peningkatan penggunaan metode KB jangka panjang, penurunan kebutuhan ber-
KB yang tidak terpenuhi, dan penanganan komplikasi berat dan kegagalan
kontrasepsi. Strategi yang dapat dilakukan untuk pengelolaan mobilitas penduduk
adalah penciptaan kesempatan kerja produktif, layak dan remuneratif, serta
penanganan penduduk pendatang dari luar negeri.

Sumber daya manusia berkualitas merupakan faktor kunci untuk penurunan


tingkat kelahiran dan pengelolaan mobilitas penduduk. Oleh karena itu, strategi
yang juga harus dilakukan adalah peningkatan jaminan kesehatan, perluasan
pendidikan menengah universal, peningkatan akses dan kualitas pendidikan tinggi,
peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan akses sumber energi, penurunan
kemiskinan dan peningkatan perekonomian.

4.2. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Penduduk Usia Produktif di Provinsi


Nusa Tenggara Timur

Berdasarkan permasalahan ketenagakerjaan di Provinsi Nusa Tenggara Timur maka


kebijakan yang harus dilakukan dalam rangka optimalisasi penduduk usia
produktif adalah peningkatan pendidikan angkatan kerja, peningkatan kesempatan
kerja bagi angkatan kerja usia muda serta berpendidikan menengah dan tinggi,

70
peningkatan keterampilan angkatan kerja di perkotaan, peningkatan produktivitas
sektor pertanian, penurunan pekerja keluarga/tidak dibayar, dan penurunan
kesenjangan penghasilan.

Setiap peningkatan pendidikan satu jenjang di Provinsi Nusa Tenggara Timur,


berdampak pada kenaikan upah/gaji/rata-rata sebesar Rp. 340.000 per bulan. Oleh
karena itu, strategi peningkatan pendidikan angkatan kerja adalah dengan
peningkatan pendidikan pekerja dengan mengupayakan agar semua pekerja
mendapatkan pendidikan formal. Bagi pekerja yang mengalami hambatan
mendapatkan pendidikan formal dengan kelompok usia sekolah, pemerintah dapat
dan perlu mendorong mereka menempuh pendidikan kesetaraan yang
diselenggarakan pemerintah Republik Indonesia, yang telah mempunyai program
pendidikan kesetaraan yang meliputi program Paket A setara SD, Paket B setara
SMP, dan Paket C setara SMA. Bagi tenaga kerja yang memerlukan pendidikan tinggi
dapat mengikuti perkuliahan melalui Universitas Terbuka. Pemerintah melalui
Kementerian Tenaga kerja dapat membangun Balai Latihan Kerja (BLK) untuk
meningkatkan pendidikan (modal manusia) bagi pekerja yang kesulitan waktu
menempuh pendidikan formal. Strategi pelatihan adalah dengan memperhatikan
kebutuhan keahlian pada lapangan kerja yang tersedia dan juga perlu memberi
pekerja dengan sertifikasi keahlian. Hal ini diperlukan agar pasar kerja dapat
memberi imbalan yang sesuai atas keahlian dan spesifikasi pekerja tersebut.

Salah satu permasalahan yang dihadapi pekerja usia muda serta berpendidikan
menengah dan tinggi adalah permintaan tenaga kerja yang rendah pada kelompok
ini. Pemangku kepentingan perlu membangun dan mengarahkan struktur
perekonomian dari sektor pertanian ke sektor jasa agar selaras dengan permintaan
tenaga kerja pada angkatan kerja usia muda serta berpendidikan menengah dan
tinggi. Selain itu, dari sisi permintaan tenaga kerja, sektor jasa menjadi faktor
permintaan terbesar bagi pekerja dengan kualifikasi pendidikan menengah dan
tinggi. Khusus untuk pekerja berusia muda, perlu dilakukan monetarisasi
masyarakat, yaitu agar transaksi ekonomi dilakukan melalui pasar dan
menggunakan uang.

Proporsi terbesar pekerja di perkotaan adalah buruh/karyawan/pegawai. Pekerja


dengan status buruh/karyawan/pegawai adalah pekerja yang menuntut
keterampilan. Peningkatan keterampilan pekerja dengan status

71
buruh/karyawan/pegawai merupakan suatu keharusan. Pemangku kepentingan
harus mendorong agar pekerja di perkotaan mengikuti pendidikan melalui
pendidikan formal dan pelatihan melalui pendidikan nonformal. Pendidikan formal
dapat ditempuh dengan mengikuti pendidikan kesetaraan dan pendidikan
nonformal dapat dilakukan dengan pelatihan bersertifikasi. Perlu juga didorong
pembangunan pelatihan bersertifikasi yang dilakukan pemerintah bersama-sama
dengan asosiasi serikat pekerja sektoral. Misalnya, pemerintah perlu memberi
kualifikasi standar (standardisasi pekerja pada keahlian mengelas logam atau
pekerja pada keahlian kecantikan). Setiap jenjang keahlian dapat diberi sertifikat.

Salah satu ciri sektor pertanian di negara berkembang adalah produktivitas yang
rendah. Hal yang sama terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini terjadi
karena sektor pertanian dikelola secara tradisional oleh keluarga dan pada lahan
yang dimiliki secara turun termurun. Rendahnya produktivitas juga diakibatkan
teknologi pertanian yang diwarisi secara turun temurun. Untuk meningkatkan
produktivitas sektor pertanian, sektor ini perlu dikelola menurut hukum pasar,
dengan teknologi yang dikembangkan. Pemangku kepentingan perlu bekerja sama
dengan pihak ketiga untuk mencari teknologi pertanian yang tepat. Teknologi
pertanian diperlukan untuk menentukan komoditas pertanian unggulan lokal dan
juga metode pertanian agar produktivitas maksimal. Pemerintah dan pemangku
kepentingan perlu menciptakan permintaan pasar yang baik agar petani mau belajar
dan bersedia meningkatkan produksi pertaniannya. Produk pertanian perlu diberi
akses ke pasar agar produksi pertanian dapat mempunyai nilai ekonomi yang baik.
Setiap petani sebagai produsen perlu dilindungi dan diberi akses ke pasar, agar
produk pertanian dapat mempunyai nilai tambah yang baik. Pemerintah perlu
membentuk dan memberdayakan Badan Urusan Logistik dan juga Badan
Pengendali Inflasi Daerah untuk membeli produk pertanian jika hasilnya melebihi
permintaan pasar sebagai akibat musim produksi.

Terlihat bahwa pada semua kelompok umur pekerja di Provinsi Nusa Tenggara
Timur terdapat pekerja rumah tangga/tidak dibayar. Khusus untuk pekerja berusia
muda proporsi yang bekerja pada keluarga/tidak dibayar sangat besar, lebih dari
setengah. Strategi optimalisasi pekerja menurut kelompok umur dan sektor
pekejaan adalah mendorong pemangku kepentingan agar pekerja ini dimonetarisasi.
Pekerja tersebut perlu dan harus bekerja melalui pasar tenaga kerja dan diberi upah
berupa uang.

72
Kesenjangan penghasilan merupakan salah satu yang terjadi di Provinsi Nusa
Tenggara Timur, terutama diakibatkan oleh besarnya proporsi pekerja pada
keluarga dan tidak dibayar dan juga besarnya proporsi pekerja pada sektor
pertanian (tradisional). Pekerja keluarga/tidak dibayar tidak mendapat penghasilan
berupa uang. Pekerja di sektor pertanian mempunyai produktivitas rendah. Kedua
sektor inilah yang perlu diberi penghasilan yang layak dan sesuai agar kesenjangan
penghasilan dapat diturunkan. Untuk menurunkan kesenjangan penghasilan,
pemangku kepentingan perlu mendorong pasar tenaga kerja berlaku bagi semua
tenaga kerja agar pekerja keluarga/tidak dibayar mendapat penghasilan sesuai
dengan mekanisme pasar tenaga kerja. Selanjutnya, dengan modernisasi sektor
pertanian menjadi industri pertanian, maka pekerja di sektor pertanian dapat
berpindah ke sektor industri yang memberi penghasilan yang lebih baik.

Kebijakan peningkatan kesempatan kerja dapat dilakukan dengan peningkatan


investasi. Gambar 3.27 memperlihatkan hubungan antara Investasi (Rp. Juta) dan
Kesempatan Kerja (orang) di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2001-2013. Setiap
penambahan investasi sebesar Rp. 1 juta akan mengakibatkan peningkatan atau
penyerapan tenaga kerja sebanyak 0,036 orang. Artinya, jika dalam kurun waktu
2001-2013 dilakukan investasi sebesar Rp. 1 miliar, dalam jangka panjang akan
menyerap tenaga kerja sebanyak 36 orang. Dengan demikian, pemangku
kepentingan perlu terus menerus menarik investasi agar penduduk usia produktif
dioptimalkan di Provinsi Provinsi Nusa Tenggara. Pemerintah perlu mengadakan
pembangunan infrastruktur dan mengajak, mendorong, memfasilitasi pihak swasta
untuk berinvestasi.

73
BAB 5
PENUTUP

Hasil kajian “Optimalisasi Penduduk Usia Produktif di Provinsi Nusa Tenggara


Timur” menunjukkan bahwa permasalahan kependudukan dan keluarga berencana
(KB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi,
tingkat kelahiran yang tinggi, migrasi neto penduduk usia produktif yang negatif,
prevalensi KB yang rendah, dominasi metode KB jangka pendek, serta kebutuhan
ber-KB yang tidak terpenuhi yang tinggi. Permasalahan ketenagakerjaan meliputi
dominasi angkatan kerja perdesaan dan berpendidikan rendah, pengangguran tinggi
pada angkatan kerja usia muda, berpendidikan menengah dan tinggi dan di
perkotaan, dominasi lapangan pekerjaan pertanian, dominasi pekerja
keluarga/tidak dibayar dan kesenjangan penghasilan.

Rekomendasi kebijakan untuk penanganan permasalahan kependudukan dan


keluarga berencana (KB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah penurunan tingkat
kelahiran dan pengelolaan mobilitas penduduk. Rekomendasi kebijakan untuk
penanganan permasalahan ketenagakerjaan dalam rangka optimalisasi penduduk
usia produktif adalah peningkatan pendidikan angkatan kerja, peningkatan
kesempatan kerja bagi angkatan kerja usia muda serta berpendidikan menengah
dan tinggi, peningkatan keterampilan angkatan kerja di perkotaan, peningkatan
produktivitas sektor pertanian, penurunan pekerja keluarga/tidak dibayar, dan
penurunan kesenjangan penghasilan.

74
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2001a. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2000.
Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2001b. Penduduk Nusa Tenggara Timur Hasil Sensus
Penduduk 2000. Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2015. Penduduk Indonesia Hasil Survei Penduduk Antar
Sensus 2015. Jakarta, Indonesia. Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2016a. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Februari 2016.
Jakarta, Indonesia. Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2016b. Keadaan Pekerja di Indonesia Februari 2016. Jakarta
Indonesia.
Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
2002-2003. Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
2002-2003. Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan dan Macro International. 2008. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 2007. Jakarta, Indonesia.
Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional,
Kementerian Kesehatan dan ICF International. 2013. Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik. 1974a. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 1971.
Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik. 197b. Penduduk Nusa Tenggara Timur Hasil Sensus Penduduk
1971. Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik. 1983a. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 1980.
Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik. 1983b. Penduduk Nusa Tenggara Timur Hasil Sensus
Penduduk 1980. Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik. 1992a. Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 1990.
Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik. 1992b. Penduduk Nusa Tenggara Timur Hasil Sensus
Penduduk 1990. Jakarta, Indonesia.

75
Biro Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan dan Macro International Inc. 1992. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 1991. Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan dan Macro International Inc. 1995. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 1994. Jakarta, Indonesia.
Biro Pusat Statistik, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Departemen
Kesehatan dan Macro International Inc. 1998. Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia 1997. Jakarta, Indonesia.
House, W.J. 1995. Integrating population factors in development planning. Pacific
Health Dialog. Vol. 2. No.1. Original Papers.
Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Pusat
Statistik, dan United Nations Population Fund. 2013. Proyeksi Penduduk
Indonesia 2010-2035. Jakarta, Indonesia.
Kementerian Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta, Indonesia.
Maliki. 2014. Implications of the Demographic Dividend on Government Policy in
Indonesia. Dalam Policy in Focus: National Transfer Accounts and Generational
Flows. No. 30. Hal.: 29-31. United Nations Development Programme.
Rajagukguk, W., Omas Bulan Samosir, Brigitte Inez Maitimo, Oktavianus Porajow,
Dahamiaz Arnold Koda, dan Yacobus Yakob. 2015. Fakta dan Prospek
Pemanfaatan Jendela Kesempatan Demografis: Suatu Studi Banding di Sulawesi
Utara dan Nusa Tenggara Timur. Karya Tulis Ilmiah. Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional dan Universitas Kristen Indonesia Jakarta. Jakarta,
Indonesia.
United Nations. 1995. Report of the International Conference on Population and
Development. Cairo, 5-13 September 1994. New York, USA.
United Nations (UN). 2015. World Population Prospects: The 2015 Revision.
Department of Economic and Social Affairs, Population Division.
ntt.bps.go.id
sp2010.bps.go.id
www.bps.go.id

76
77
78

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai