Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu dalam hal-hal yang
nash Al-Quran dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.pada
dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu yang masih merujuk
kepada nash, bentuk pertama secara sederhana disebut Qiyas. Meskipun
Qiyas tidak menggunakan nash secara langsung, tatapi karena merujuk
kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa Qiyas juga sebenarnya
menggunakan nash, namun tidak secara langsung.
Dasar pemikiran Qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara
hukum dengan sebab. Hampir setiap hukum diluar bidang ibadat, dapat
diketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering
mempunyai kesamaan dengan kasus lain yang tidak ditetapkan Allah.,
namun karena ada kesamaan dalam sifatnya dengan kasus yang Lain yang
tidak ditetapkan hukumnya,makahukum yang ditetapkan itu dapat
diberlakukan kepada kasus lain tersebut.

B. Rumusan masaalah
a. Pengertian Qiyas
b. Syarat pada rukun Qiyas
c. Contoh penerapannya
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan menambah
wawasan pembaca tentang Qiyas rukunnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Qiyas
Dalil keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi. Qiyas
menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain
untuk diketahui adanya persamaan antara keduanya “. Menurut istilah
Ushul fiqh, seperti dikemukakan oleh wahbah az-Zuhaili adalah:

‫إلحاق أمر غير منصوص على حكمه الشرعي بأمر منصوص على‬
‫ ال شترا كهما علة الحكم‬,‫كمه‬
Menghubungkan ( menyamakan hukum ) sesuatu yang tidak ada
ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya
karena ada persamaan ‘illat antara keduanya.
Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan
dalam Al-qur’an dan Sunnah. Adapun qiyas dilakukan seorang mujtahid
dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari rumusan hukum itu dan setelah
itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak
termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Bila benar ada
kesamaan ‘illatnya, maka keras dugaan bahwa hukumnya juga sama.
Begitulah dilakukan pada setiap praktik qiyas. 1
Sadr Asy-Syari’ah (w. 747 H/1346 M) seorang tokoh ushul fiqh
Hanafi,mendefinisikan qiyas dengan:

‫ص ِّل ِّالَى ْالفَ ْرعِّ ِّل ِّعلَّة ُمت َّ ِّح َدٍة َالتُد َْر ََك بِّ ُم ََج َّر ِّد ا ْللُّغَ ِّة‬
ْ َ ‫تَعَ ِّديَّةُ ْال ُح ْك ِّم ِّمنَ ْاْل‬

Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan


‘illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.

1
Aminuddin ya’kub,Nurul irfan,Azharruddin.Ushul Fiqh.(Jakarta:kencana 2005).Hal:130

2
Menurut mayoritas ulama Syafi’yah mendefinisikan qiyas dengan:

َ ‫ت ْال ُح ْك ِّم لَ ُه َما ا َ ْونَ ْفيِّ ِّه‬


‫ع ْن ُه َما‬ ِّ ‫علَى َم ْعلُ ْوم فِّى اِّتْبَا‬
َ ‫غي ِّْر َم ْعلُ ْوم‬
َ ‫َح ْم ُل‬
ِّ ‫بِّأ َ ْمر ََج‬
ِّ ‫امع َب ْي َن ُه َما ِّم ْن ُح ْك ِّم ا َ ْو‬
‫صفَت‬

Membawa hukum yang (belum) diketahui kepada (hukum)yang diketahui


dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan
hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan
keduanya,baik hukum maupun sifat.

Saifudin Al-Amidi, mendefinisikan qiyas dengan:

َ َ‫ص ِّل فِّى ْال ِّعلَّ ِّة ْال ُم ْست َ ْنب‬


َ‫طة‬ ْ َ ‫اءيَيْنَ ْالفَ ْرعِّ َو ْاْل‬ ِّ ‫ارٍة ٌ ِّع ِّن‬
ِّ ‫اإل ْستِّ َو‬ َ َ‫ِّعب‬
ْ َ ‫ِّم ْن ُح ْك ِّم ْاْل‬
‫ص ِّل‬

Mempersamakan ‘illat yang ada pada furu’ dengan ‘illat yang ada pada
ashal yang diistinbathkan dari hukum asal. 2

B. Rukun Qiyas
Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para
ulama Ushul fiqh sepakat bahwa yang menjadi rukun qiyas ada empat
yaitu:
1) Ashal (pokok Tempat Mengqiyaskan sesuatu ), yaitu masalah yang telah
ditetapkan hukumnya baik dalam Al-Qur’an atau dalam Sunnah
Rasulullah. Ashal disebut juga al-maqis ‘alaih (tempat mngiyaskan
sesuatu). Misalnya khamar yang ditegaskan haramnya dalam ayat:

2
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fiqh . Jakarta. Bumi Aksara. 2009. Hal
270-271.

3
ٌ ‫ب َواْل َ ْذلَ ُم ِّر َْج‬
‫س ِّم ْن‬ َ ‫يَأَيُّ َها ل ِّذيْنَ ا َ َمنُ ْوآ اِّنَّ َما ْالخ َْم ُر َو ْال َم ْي ِّس ُر َو ْاْل َ ْن‬
ُ ‫ص‬
َ‫اَجتَ ِّنب ُْوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِّل ُح ْون‬ َ ‫ش ْي‬
ْ َ‫ط ِّن ف‬ َ ‫ع َم ِّل ال‬
َ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala,mengundi nasib dengan panah,adalah perbuatan
keji dan termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan. Al-Qur’an. (QS.al-Maidah/5:90).
Beberapa syarat ashal,seperti dikemukakan A.Hanafi M.A.,adalah
a Hukum yang hendak dipindahkan kepada cabang masih ada pada
pokok (ashal), kalu sudah tidak ada, misalnya sudah di hapuskan
(manshuk) di masa Rasulullah, maka tidak mungkin terdapat
pemindahan Hukum.
b Hukum yang terdapat pada ashal itu hendaklah hukum syara’,bukan
hukum akal atau hukum yang berhubungan dengan bahasa, karena
pembicaraan kita adalah qiyas syara’.
c Hukum ashal bukan merupakan hukum pengecualian seperti sahnya
puasa orang yag lupa,meskipun makan dan minum. Mestinya puasa
menjadi rusak, sebab sesuatu tidak akan tetap ad apabila berkumpul
dengan hal-hal yang menafikannya (meniadakannya). Tatapi
puasanya tetap ada¸karena ada Hadist yang menerangkan bahwa:

‫سلَّ َم قَا َل اِّ َذا‬


َ ‫علَ ْي ِّه َو‬ َ ِّ ‫ع ْن ْالن ِّبي‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ َ ُ‫ع ْنه‬
َ ُ‫ي هللا‬ ِّ ‫ع ْن أَبِّ ْي ُه َري َْرٍة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
ُ‫سقَاه‬ ْ َ ‫ص ْو َمهُ فَإِّنَّ َما أ‬
َ ‫طعَ َمهُ هللاُ َو‬ َ ‫ب فَ ْليُتِّ َّم‬
َ ‫نَ ِّس ْي فَأ َ َك َل َوش َِّر‬
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW. Bersabda: “ barangsiapa lupa,
padahal ia sedang puasa, kemudian ia makan dan minum, hendaklah
menyelesaikan puasanya. Hanya saja Allah yang memberinya makan
dan minum”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

4
2) Adanya Hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang
hendak ditetapkan pada far’u (cabang) dengan jalan qiyas. Misalnya hukum
haram khamar yang tegaskan dalam Al-Qur’an.
Syarat-syarat hukum ashal,menurut Abu Zahrah,antara lain adalah:
a Hukum ashal hendaklah berupa hukum syara’ yang berhubungan
dengan amal perbuatan, karena yang menjadi kajian Ushul fiqh
adalah hukum yang menyangkut amal perbuatan.
b Hukum ashal dapat ditelusuri ‘illat (motivasi) hukumnya. Misalnya
hukum haramnya khamar dapat ditelusuri mengapa khamar itu
diharamkan,yaitu karena memabukkan dan bisa merusak akal
pikiran,bukan hukum-hukum yang tidak dapat diketahui ‘illat
hukumnya (gairu ma’qul al-ma’na), seperti masalah bilangan rakaat
shalat.
c Hukum ashal itu bukan merupakan kekhasusan bagi Nabi
Muhammad SAW. Misalnya kebolehan Rasulullah beristri lebih dari
empat orang wanita sekaligus.

3) Adanya cabang (Far’u), yaitu sesuatu yang tidak ada ketegasan


hukumnya dalam Al-Qur’an , Sunnah, atau ijtima’,yang hendak
ditemukan hukumnya melalui qiyas, misalnya minuman keras
wisky.
Syarat-syaratnya, seperti dikemukakan A.Hanafi, antara lain yang
terpenting :
a Cabang tidak mempunyai ketentuan tersendiri. Ulam Ushul
Fiqf menetapkan bahwa: “apabila datang nash (penjelasan
Hukumnya dalam Al-Quran atau sunnah), Qiyas menjadi
batal”. Artinya jika cabang yang akan diqiyaskan itu telah
ada ketegasan hukumnya dalam Al_Quran dan sunnah,
mak Qiyas tidak lagi berfungsi dalam masalah tersebut.

5
b ‘illat yang terdapat pada cabang terdapat sama dengan
yang terdapat pada ashal.
c Hukum cabang harus sama dengan hukum pokok.
4) ‘llat, rukun yang satu ini merupakan inti bagi praktik qiyas, karena
berdasarkan illat itulah hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-
Quran dan sunnah Rasulullah dapat dikembangkan. Illat menurut
bahsa berarti ”sesuatu yang bisa mengubah keadaan”, misalnya
penyakit disebut illad karena sifatnya mengubah kondisi
seseorang yang terkena penyakit itu.
Misalnya dalam Ijab dan Qabul dalam jual beli adalah ‘illad bagi
disepaatinya jual beli, ijab dan Qabul adalah dua sifat kongkret
yang menggambarkan adanya rela sama rela, dapat dipastikan
keberadaannya serta tidak berbeda pelaksanaannya antara
seorang pelaku dengan pelaku yang lain dan sesuai dengan tujuan
syariat dimana dengan adanya ijab dan Qabul akan dirasakan
kemaslahatannya yaitu pemindahan milik kepada sipembeli dan
menikmati harganya bagi pihak penjual.
Syarat ‘illat yaitu:
a. ‘illat harus berupa sesuatu yang ada kesesuaiannya dengan
tujuan pembentukan suatu hukum. Artinya, kuat dugaan
bahwa hukum itu terwujud karena alasan adanya ‘illat itu
bukan karena sesuatu yang lain dugaan kuat itu muncul karena
dugaan dari penelitian tentang hubungan sesuatu yang di
anggap ‘illat iyu dengan kemaslahatan manusia. Contohnya
sifat iskar (memabukkan) adalah relevan bagi pengharaman
khamar, karena dengan mengharamkannya berarti menolak
kemudaratan dari kehidupan manusia. Oleh sebab itu, tidak
sah dijadikan ‘llat sifat yang tidak relevan dengan
pembentukan suatu hukum. Misalnya, sifat cair bagi minuman

6
keras khamar tidak cocok untuk dijadikan ‘illat atau alasan
bagi diharamkannya khamara, karena tidak ada hubungannya
( keadaan cair ) dengan upaya meraih kemanfaatan disaksikan
keberadaanya.
b. ‘illat harus bersifat jelas. Maka sesuatu yang tersembunyi atau
samar – samar tidak sah dijadikan ‘illat karena tidak dapat
dideteksi keberadaannya. Misalnya, perasaan ridhI meskipun
menentukan sah atau tidak sahnya suatu perikatan, namun
semata – mata perasaan ridha karena tersembunyi tidak dapat
dijadikan ‘illat bagi sahnya suatu perikatan.karena itu, harus
dicarikan sesuatu yang konkretsebagai penggantinya yang
menurut kebiasaannya menunjukkan kepada adanya ridha
seseorang. Misalnya, ijab dan qabul dalam jual beli adalah
sebagai tanda bagi adanya ridha pada kedua belah pihak.
c. ‘illat itu harus berupa sesuatu yang bisa dipastikan bentuk,
jarak, atau adar timbangannya jika berupa barang yang
ditimbang sehinga tidak jauh berbeda pelaksanaannya antara
seorang pelaku dengan pelaku lain. Misalnya tindakan
pembunuhan adalah sifat yang dapat dipastikan yaitu
menghilangkan nyawa orang, dan hakikat pembunuhan itu
tidak berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh
sebab itu ia secara sah bisa dijadikan ‘illat bagi terhalangnya
mendapat harta warisan bilamana yang membunuh adalah
anak dari yang terbunuh atau ahli waris dari yang terbunu.
Dan atas dasar itu secara sah bisa di qiyaskan kepadanya
wasiat, yaitu bilamana seseorang penerima berwasiat, maka

7
pembunuh tidak lagi berhak terhadap harta yang diwasiatkan
untuknya itu di qiyaskan kepada masalah warisan tadi.3
C. Contoh penerapan Qiyas
1. Minuman narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu di terapkan
hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapt dijadikan sebagai
dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya, dapat ditempuh cara
qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minuman khamar, yang
diharamka berdasarkan firman Allah SWT

َ ‫ش ْي‬
‫ط ِّن‬ َّ ‫ع َم ِّل ال‬ ٌ ‫ب َو ْاْل َ ْزلَ ُم ِّر َْج‬
َ ‫س ِّم ْن‬ َ ‫َيأَيُّ َهاالَّ ِّذيْنَ ا َ َمنُ ْوآ اِّنَّ َماا ْلخ َْم ُر َو ْال َم ْي ِّس ُر َو ْاْل َ ْن‬
ُ ‫ص‬
‫اَجت َ ِّنب ُْوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِّل ُح ْون‬
ْ َ‫ف‬

Wahai orang – orang yang beriman ! sesungguhnya minuman keras,


berjudi, ( berkurban untuk ) berhala, dan mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan.maka
jauhilah ( perbuatan – perbuatan ) itu agar kamu beruntung. QS Al
Maidah : 90

Antara minum narkotik dengan minum khamar ada


persamaan ‘iilatnya, yaitu sama – sama berakibat memabukkan bagi
peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan
‘illatnya itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu haram,
sebagaimana haramnya meminum khamar.

2. Ketidakbolehan melakukan sesuatu yang merugikan anak yatim


dengan cara apapun adalah dasar yang ditunjukan Al Quran Surat An
Nisa ayat tentang tidak boleh memakan harta anak yatim dengan cara

3
Satria Efendi M. Zein. M.A. Ushul Fiqh. 2005. Kencana. Jakarta

8
yang zalim ( zulma ). Kata zulma yang dapat di kategorikan sebagai
‘illat larangan itu, harus di analisis secara mendasar baik dari segi
keberadaan anak yatim sebagai sumber daya manusia yang harus
mendapat bimbingan dan arahan, karena ia mempunyai hak dan
kewajiban yang sama seperti manusia pada umunya dengan demikian
jiwanya harus dipelihara, maupun dari segi kepemilikannya terhadap
harta harus mendapat jaminan. Baik jiwa maupun harta termasuk
dalam maqashid adh daruryyah dari maqashid asy syriah dalam
pandangan Asy Syatibi.
3. Ketidabolehan bersikap kasar dalam bentuk memukul orang tua, yang
di analogikan kepada ketidakbolehan berkata kasar yang menyakitkan
sebagaimana yang ditunjukkan oleh surah Al Isra : 23.4

4
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fiqh . Jakarta. Bumi Aksara. 2009

9
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dalil keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi. Qiyas menurut
bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui
adanya persamaan antara keduanya “. Qiyas juga bisa diartikan dengan salah
satu kegiatan ijtihad yang tidak ditegaskan dalam Al-qur’an dan Sunnah. Adapun
qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis (‘illat) dari
rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan ‘illat yang sama pada
masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah. Bila
benar ada kesamaan ‘illatnya, maka keras dugaan bahwa hukumnya juga sama.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin ya’kub,Nurul irfan,Azharruddin. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana. 2005.

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fiqh . Jakarta. Bumi Aksara.
2009.

Satria Efendi M. Zein. M.A. Ushul Fiqh. 2005. Kencana. Jakarta

11

Anda mungkin juga menyukai