Anda di halaman 1dari 8

Marilah kita semua bersyukur kehadirat Allah SWT atas semua anugerah nikmat-Nya kepada

kita, baik kenikmatan lahiriah maupun batiniah, terutama nikmat iman dan islam. Semoga
kita dapat melengkapi dengan ihsan agar kita termasuk hamba Allah SWT yang semakin
bertakwa. Amin. Kita bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan nabi Muhammad SAW adalah
hamba dan utusan-Nya. Sebagai umat nabi Muhammad SAW marilah kita memohon rahmat
dan keselamatan untuk beliau, keluarga, para sahabat, dan semua pengikut yang teguh dalam
jalan yang beliau ajarkan dan teladankan. Semoga rahmat dan keselamatan itu dianugerahkan
juga kepada kita. Amin.Marilah kita bertakwa kepada Allah dengan menjalankan perintah-
perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, menjaga aturan-aturan-Nya dan mencintai-
Nya. Dengan itu semua, insya Allah kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang
beruntung. Amin.
Kita juga bersyukur dapat melaksanakan shalat Jumat di masjid yang Mubarak ini bersama
dengan saudara-saudara kita seiman. Semoga kebersamaan yang indah ini akan semakin
indah sampai kelak di hari akhir. Amin.
Hidup kita ini adalah anugerah Allah SWT yang luar biasa. Ia menjadi kesempatan emas bagi
kita untuk berbuat yang sebaik-baiknya agar kelak kita memiliki panenan yang
menyelamatkan kita. Dalam menjaga kelestarian anugerah itu marilah kita menilik kenyataan
kita sebagai bangsa yang besar jumlah penduduknya, yang dikaruniai alam yang subur,
wilayah yang luas, dan sejarah yang membanggakan. Dalam waktu sekarang ini, di tengah-
tengah kegembiraan kita sehari-hari itu, sebaiknya kita tetap mawas diri agar hati kita juga
dimuati dengan sikap rendah hati.
Di kalangan kita masih banyak ketertinggalan yang memprihatinkan. Sementara banyak
bangsa yang kecil dengan alam yang tidak subur dengan wilayah yang sempit, tetapi lebih
maju dan sejahtera. Salah satu faktor pokoknya adalah keberhasilan mereka membangun
karakter.
Karakter itu watak, kekhasan tindak tanduk, kode perilaku, respons seseorang dalam bentuk
perilaku yang tidak membutuhkan proses berpikir terlebih dahulu yang menentukan mutu
kepribadian seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindakan. Karakter baik yang diakui
bersumber dari ajaran agama disebut dengan “akhlaq karimah” yang bersumber dari hati
nurani dan terbangun dalam kearifan masyarakat disebut “sopan santun” yang terbangun
sebagai kesadaran diri dan sejalan dengan acuan kebaikan universal disebut “etika”, dan
yang sesuai dengan tugas perkembangan manusia sebagai pelaku kehidupan disebut dengan
“budi pekerti”.
Hadirin jama’ah Jumat rahima kumullah.
Sepuluh Tanda Kemunduran
Pembangunan karakter menjadi sangat penting dewasa ini dan harus dimulai dari kita, umat
Islam, sebagai bagian mayoritas warga Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi kita
sedang berada dalam situasi yang tidak jauh dari 10 tanda kemunduran yang diprihatinkan
oleh Thomas Lickona, guru besar pendidikan di Cortland University, dalam bukunya
Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility (New
York: Bantam Book, 1991). Pendidik ini memperingatkan bahwa karakter suatu bangsa
berada di dalam titik kritis jika ke-10 tanda kemunduran ini sudah ada, yaitu:

1. Meningkatnya kekerasan di kalangan


2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk.
3. Pengaruh kelompok sebaya yang kuat dalam tindak
4. Meningkatnya perilaku merusak diri, misalnya adalah penyalahgunaan narkoba,
konsumsi minuman keras, dan perilaku menyimpang
5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan
6. Menurunnya etos
7. Merosotnya rasa hormat kepada orang tua dan guru.
8. Rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga
9. Membudayanya
10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara

Kita prihatin dengan terjangkitnya tanda-tanda itu pada sebagian warga masyarakat kita.
Sungguh sangat prihatin. Tetapi, kita tak boleh berpangku tangan, karena kita orang beriman.
Sebagai orang yang beriman dan beragama secara baik, kita terpanggil untuk menjaga diri
kita masing-masing agar terhindar dari tanda-tanda kemunduran itu. Untuk itulah kita
kembali kepada tuntunan luhur agama kita.

Semua tuntunan agama mengarahkan kepada kebaikan kita sebagai manusia. Jika tuntunan
agama itu kita jalankan dengan sebaik-baiknya, tentu kita akan selamat dan bahkan dapat ikut
serta memperkuat lingkungan sekeliling kita untuk selamat dari 10 tanda kemunduran di atas.

Kita dapat belajar lebih banyak dari nasihat-nasihat. Kita juga dapat mengambil hikmah
pembelajaran dari ibadah-ibadah yang kita laksanakan. Sungguh, di dalam ibadah-ibadah
terdapat hikmah yang sangat besar untuk membangun karakter kita sebagai bagian dari umat
nabi Muhammad SAW dan bangsa Indonesia.

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl [16]: 30.


“Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: ‘Apakah yang telah diturunkan oleh
Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘(Allah telah menurunkan) kebaikan.’ Orang-orang yang
berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung
akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS.
An-Nahl [16]: 30).

Takwa merupakan “tiket” jaminan kesejahteraan dan jalan keluar dari kesulitan (QS. Ath-
Thalaq [65]: 2-3). Takwa adalah induk dari karakter yang baik. Dan tujuan risalah nabi
Muhammad SAW adalah “menyempurnakan kemaslahatan akhlak (shalihul-akhlaq),” (HR.
Imam Ahmad dan Imam Baihaqi dari Abi Hurairah RA).

َ‫ َر َوا ُه أَ ْح َم ُد َوا ْلبَ ْي َه ِق ُّي ع َْن أَ ِبي ُه َر ْي َرة‬.‫ق‬


ِ َ‫صا ِل َح اِلَ ْخال‬
َ ‫ِإنَّ َما بُ ِعثْتُ ِِلُتَ ِم َم‬
‫رضي هللا عنه‬
Akhlak terbentuk dari hasil belajar dan berkebiasaan. Pengaruh lingkungan menjadi faktor
penting, tetapi perbaikan akhlak selalu berangkat dari pribadi-pribadi dan kelompok kecil
yang bertekad kuat untuk memperbaiki diri. Terhadap kebaikan serupa ini kita tidak
dibenarkan untuk menunda, karena Allah SWT berpesan agar kita tidak menunda-nunda
pekerjaan baik. Nabi Muhammad SAW bersabda:
ِ ‫اِ ْبدَأْ ِبنَ ْف‬
َ‫سك‬
“Mulailah dari dirimu sendiri.” (HR. Imam Muslim dari Nu’aim bin Abdillah RA).
Dan:
‫َوا ْبدَأْ ِب َم ْن تَعُ ْو ُل‬
“Mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.” (HR. Imam Bukhari dari Abi Hurairah
RA
Kedua hadits tersebut berkaitan dengan infak dan sedekah, dua hal yang memenuhi hajat
untuk kebaikan keluarga. Keduanya dapat juga menginspirasi untuk memberikan sesuatu
yang bukan bendawi, yang immaterial, yang dapat memperbaiki kondisi keluarga, misalnya
akhlak.
Bagaimanakah Caranya?
Pertama, kita suasanakan pengamalan agama kita di dalam keluarga, di masyarakat, di
lingkungan kerja, dan di manapun kita berada dalam cara hidup tanashuh (saling menasihati).
Nabi Muhammad SAW bersabda:
‫ رواه مسلم عن تميم الداري رضي هللا عنه‬.ُ‫الد ْي ُن النَّ ِص ْي َحة‬
ِ
“Agama adalah nasihat.” (HR. Imam Muslim dari Tamim Ad-Dariy RA).
Sumber nasihat kita adalah Al-Quran, sunnah nabi Muhammad SAW, pelajaran dari para
sahabat nabi dan penjelasan para ulama. Para pendiri negara dan sejarah perjuangan bangsa
kita juga memuat nasihat tentang banyak hal, termasuk tentang pentingnya menjaga martabat
diri kita sebagai bangsa yang merdeka. Pengalaman hidup, kearifan masyarakat dan peristiwa
yang terjadi setiap hari juga memberikan nasihat yang banyak kepada kita. Intinya,
kecakapan memetik nasihat adalah cermin kecerdasan spiritual seseorang.
Kehidupan yang bercorak pertikaian, atau yang mengakibatkan pertikaian (tanazu’) sudah
harus kita akhiri. Di sana, banyak bangsa yang berkembang semakin kuat karena mampu
mengakhiri pertikaian mereka secara bermartabat.
Kedua, kita perlu belajar dan berlatih mencegah persengketaan. Jika sudah terlanjur terjadi
persengketaan, maka kita harus berbesar jiwa untuk menyelesaikan persengketaan itu melalui
cara-cara yang terhormat dan berkeadilan. Khazanah Islam mengajarkan kepada kita cara-
cara itu, antara lain:

1. Tabayyun atau mengusahakan klarifikasi atau kejernihan informasi sehingga


terhindar dari kesalahpahaman;
2. Musyawarah atau membahas persoalan untuk mengambil kesepakatan terbaik;
3. Munadharah atau mengkaji dalil-dalil agama untuk memahaminya dari berbagai
sudut pandang keilmuan agar mudah dilaksanakan sesuai dengan perkembangan
konteks kemaslahatan;
4. Ifta’ atau meminta fatwa kepada para ulama dan atau pemutus perkara yang
berwenang;
5. Ishlah atau perdamaian dengan penengah yang adil dengan kesepakatan yang
berwawasan ke depan; dan
6. Tahkim atau penetapan hukum keagamaan oleh pihak yang berwenang.

Ketiga, kita dapat mengembangkan pola-pola pendidikan dan penguatan generasi muda
secara kreatif yang bingkai dan tujuannya adalah penguatan akhlaq karimah. Sebagai contoh
adalah pondok-pondok pesantren yang sejak ratusan tahun silam tekun mendidik rakyat
sehingga kuat wawasan keagamaan dan kebangsaannya, dan sekarang programnya semakin
berkembang bagi generasi muda kita.
Keempat, kita juga dapat belajar dari para sahabat nabi Muhammad SAW yang membuat
prasetia atau pakta integritas untuk membangun keluhuran sebagaimana sejarah Bai’atu al-
’Aqabah dan Bai’atu ar-Ridlwan. Ibnu ‘Ujaibah dalam Tafsir Al-Bahru al-Madid (Juz 2: 39)
menjelaskan bahwa QS. At-Taubah [9]: 111-112 berkaitan dengan kedua bai’at atau pakta
integritas itu.
Hadirin jama’ah Jumat rahimakumullah.
Karakter Unggul
Allah SWT berfirman:
“… Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat,
yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan
mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah
orang-orang mukmin itu.” (QS. At-Taubah [9]: 111-112).
Karakter yang melekat pada para sahabat nabi Muhammad SAW peserta Bai’atu al-’Aqabah
danBai’atu ar-Ridlwan diterangkan di dalam ayat 112 itu. Di dalamnya Allah SWT
menunjukkan 9 karakter utama yang wajib kita perhatikan, yaitu:
At-ta’ibun (َ ُ‫التَّائِب‬
‫ون‬ ): orang-orang yang bertaubat kepada Allah SWT. Taubat itu berhenti
dari keburukan, menyesali kesalahan yang telah lewat, memohon ampunan kepada Allah,
mengganti keburukan dengan kebaikan (termasuk menuntaskan tanggungan) dan tegar
memperbaiki perilaku diri (Imam Ghazali, Ihya’ ‘Ulumaddin, Juz 3: 75). Orang-orang yang
bertaubat tidak memutlakkan diri sendiri, melainkan selalu mawas diri, melakukan koreksi
dan inovasi menuju kepada kebaikan.
Al-’Abidun ( َ ‫ا ْلعَا ِبد‬
‫ُون‬ ): orang-orang yang tekun beribadah. Mereka sadar sebagai hamba
ciptaan Allah SWT dan bahwa perbuatan manusia tidak terlepas dari aturan-aturan, tidak
hanya untuk memuaskan naluri, melainkan juga untuk kebaikan rohani atau kebaikan
spiritual (Tafsir Al-Bahru al-Muhith, Juz 2: 77).
Al-Hamidun ( ‫ُون‬ ِ ‫ا ْل َح‬
َ ‫امد‬ ): orang-orang yang memuji Allah SWT. Mereka adalah pribadi-
pribadi yang bersyukur kepada-Nya, berterima kasih kepada sesama dan selalu berpikir
positif dalam keadaan sedih dan gembira (Tafsir Al-Bahru al-Madid, Juz 2: 452).
As-Sa’ihun (َ ‫سائِ ُح‬
‫ون‬ َّ ‫ال‬ ): orang-orang yang mengembara menuntut ilmu atau berjuang di
jalan Allah SWT. Ibnu Abbas RA juga mengartikannya sebagai orang-orang yang berpuasa,
yaitu menahan diri dari dorongan syahwat (Tafsir Al-Bahru al-Muhith, Juz 6: 224). Karakter
ini dalam peribahasa kita adalah “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian.”
Ar-Raki’un as-sajidun ( َ ‫اجد‬
‫ُون‬ ِ ‫س‬ َ ُ‫الرا ِكع‬
َّ ‫ون ال‬ َّ): orang-orang yang rukuk dan sujud,
maksudnya adalah orang-orang yang menegakkan shalat dan menjaga sikap rendah hati
kepada Allah Maha Rukuk dan sujud dipergunakan untuk menunjuk kepada shalat karena
keduanya memperlihatkan sikap rendah hati kepada Sang Khalik sebagaimana spirit utama
shalat (Tafsir Ar-Razi, Juz 8: 160). Karakter rendah hati mendorong orang untuk terbuka,
terus belajar dan mengutamakan pelayanan yang prima.
Al-Amiruna bi al-ma’ruf ( ‫وف‬ َ ‫ْاْلَ ِم ُر‬
ِ ‫ون بِا ْل َم ْع ُر‬ ): orang-orang yang mengajak kepada
kebaikan, yaitu sikap peduli dan proaktif untuk membangun situasi yang menggemakan
kebaikan yang disemangati oleh nilai-nilai keimanan (Tafsir Ar-Razi, Juz 8: 160). Karakter
ini memampukan orang untuk menggemakan kebaikan di manapun berada. Amar makruf dan
nahi munkar – yang akan dijelaskan berikut – mendekatkan umat kepada rahmat ilahi (QS.
At-Taubah [9]: 71) dan mencegah kebinasaan negeri (QS. Hud [11]: 117).
An-Nahuna ’anil-munkar( ‫ون ع َِن ا ْل ُم ْنك َِر‬
َ ‫َوالنَّا ُه‬
): orang-orang yang mencegah
keburukan atau bersikap korektif terhadap penyimpangan dalam rangka menjaga
kemaslahatan. Nahi munkar perlu dilaksanakan secara makruf. Berbeda dari 6 karakter
sebelumnya, karakter ketujuh ini disertai kata hubung ‫( وو‬yang berarti “dan”) untuk
menunjukkan bobotnya yang lebih berat (Tafsir Ar-Razi, Juz 8: 160), sehingga dalam
pelaksanaannya menuntut kinerja para aparatur penegak hukum (Al-Ahkam As-Sulthaniyah
Li al-Mawardi: 486).
Al-hafidhuna li hududillah ( ِ‫ّللا‬ َ ‫ظ‬
َّ ‫ون ِل ُحدُو ِد‬ ُ ِ‫َوا ْل َحاف‬
): orang-orang yang menjaga
hukum-hukum Allah SWT. Karakter baik juga ditandai oleh kepatuhan kepada peraturan dan
hukum baik yang bersumber dari Allah SWT maupun dari perikatan antar sesama manusia.
Karakter ketujuh ini juga disertai kata hubung ‫( وو‬yang berarti “dan”) juga untuk
menunjukkan akumulasi bobot yang lebih berat (Tafsir Ar-Razi, Juz 8: 161). Dalam
pelaksanaannya tidak hanya menempatkan manusia sebagai individu, melainkan juga
sebagai bagian dari umat, warga masyarakat, penduduk, rakyat dan warga negara sekaligus.
Dengan keragaman peran itulah justru terpahami sosok utuh manusia (Tafsir Ar-Razi, Juz 8:
162).
Basysyiril-mu’minin ( َ ِ‫َوبَش ِِر ا ْل ُم ْؤ ِمن‬
‫ين‬ ) atau “berilah kabar gembira kepada orang-
orang beriman.” Frasa ini memberikan isyarat jelas bahwa termasuk karakter yang baik
adalah perilaku motivatif, yaitu yang menyemangati sesama orang beriman untuk melakukan
kebaikan. Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Berilah kabar gembira, jangan menakut-nakuti, mudahkanlah dan jangan mempersulit.”


(HR. Imam Muslim dari Abi Musa RA).
Hadirin jama’ah Jumat rahima kumullah.
Kesembilan butir karakter itu sangat penting untuk kita perhatikan sebagai karakter pokok.
Dari sembilan karakter pokok itu dapat kita kembangkan lagi sesuai dengan tuntunan
rasulullah SAW. Para ulama juga mengajarkan kepada kita keutamaan-keutamaan yang
akhirnya menuntun kita menangkap pelbagai kearifan. Kearifan-kearifan itu tentu saja
memperkaya karakter kita.
Akhirnya, kita perlu juga memperhatikan hadits nabi Muhammad SAW di awal khutbah ini.

“Paling sempurna iman orang-orang mukmin adalah yang terbaik akhlaknya.” (HR. Imam
Abu Dawud dari Abi Hurairah RA).
Terkait dengan generasi muda, kita diingatkan oleh Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
melalui syair beliau.

“Jati diri pemuda itu, demi Allah, terbentuk karena ilmu dan ketakwaan. Jika keduanya
tidak ada, maka keberadaannya sama sekali tidak diperhitungkan.”
Semoga kita semua dimudahkan untuk membangun karakter kita, juga karakter generasi
penerus kita. Amin.
Marilah kita berdoa kepada Allah SWT memohon kebaikan dan kesentosaan kita sekeluarga
dan semua orang yang menjadi tanggungan kita, bangsa kita dan semua umat nabi
Muhammad SAW. Semoga semua pemimpin kita selalu dianugerahi kekuatan dan bimbingan
dalam membangun kemaslahatan negara kita. Semoga kita semua menjadi manusia-manusia
yang berkarakter unggul, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan misi
rasulullah SAW, yaitu menyempurnakan akhlak manusia. Semoga Allah SWT selalu
mengampuni, merahmati, menyentosakan dan menyejahterakan kita semua, mukminin,
mukminat, dan muslimin, muslimat bangsa Indonesia semuanya. Amin.

Anda mungkin juga menyukai