Anda di halaman 1dari 11

BAB V

PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang (a) kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita
program linear, (b) defragmentasi struktur berpikir siswa dalam menyelesaikan
soal cerita program linear, (c) efektifitas defragmentasi struktur berpikir siswa
dalam menyelesaikan soal cerita program linear, serta (d) keterbatasan penelitian.

A. Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita Program Linear


Subjek reflektif VM dan subjek impulsif AF menggunakan strategi trial
and error dalam menyelesaikan soal tes awal, baik nomor 1 maupun nomor 2.
Subjek refektif FR juga menggunakan strategi yang sama, namun hanya pada soal
tes awal nomor 2. Kelima jawaban akhir subjek tersebut tidak tepat, karena subjek
hanya mencoba beberapa kemungkinan, sedangkan kemungkinan-kemungkinan
yang ada cukup banyak. Hal ini diperkuat oleh pendapat Tabachneck, dkk (1994)
bahwa dalam melakukan trial and error, siswa akan menghentikan percobaannya
pada saat menguji beberapa kemungkinan, kemudian menentukan jawaban
akhirnya hanya dari kemungkinan-kemungkinan yang telah dicobanya. Strategi
yang digunakan subjek tidak salah, namun tidak efektif, karena cukup banyak
kemungkinan yang seharusnya dicoba oleh subjek agar jawabannya akurat.
Dalam mengerjakan soal nomor 1, subjek reflektif VM sudah mampu
menjelaskan kalimat “banyaknya pemuatan iklan pada surat kabar tidak lebih dari
dua kali banyaknya pemuatan iklan pada majalah” dengan tepat, namun saat
pengerjaannya, VM kurang teliti dalam memahami penjelasannya tersebut. VM
membuat pemahaman baru yang justru tidak tepat, sehingga proses trial and error
yang dilakukannya juga tidak tepat. Whimbey (1980) berpendapat bahwa
ketidaktelitian dan ketidakfokusan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah
dapat mengakibatkan kesalahan dalam proses pengerjaan soal hingga pembuatan
kesimpulan akhir. Kesalahan yang sama juga dialami oleh subjek impulsif AF saat
mengerjakan soal nomor 1. Dalam hal ini, AF melakukan kesalahan dari awal
pemahaman terhadap informasi-informasi soal sehingga proses trial and error

115
116

yang dilakukannya juga salah. Gerofsky (1996) mengungkapkan bahwa kesalahan


pemahaman awal dapat mengakibatkan kesalahan lebih lanjut pada proses
penyelesaian masalah, sehingga jawaban akhir siswa juga menjadi tidak tepat.
Kecenderungan AF yang cepat namun kurang cermat dalam mengerjakan soal
juga mengakibatkan kesalahan tersebut. AF membaca soal hanya sekilas saat awal
pengerjaan soal. Pada saat memproses penyelesaiannya, AF tidak membaca soal
kembali. Karakter AF tersebut dipengaruhi oleh gaya kognitifnya. Hal ini sesuai
dengan penelitian Kagan (1966) bahwa kebanyakan siswa impulsif cukup cepat
dalam menyelesaikan suatu masalah, namun hasilnya cenderung tidak akurat.
Dalam mengerjakan soal nomor 2, baik subjek reflektif VM dan FR
maupun subjek impulsif AF, telah mampu memahami informasi pada soal dengan
tepat, namun pemahaman tersebut tidak utuh. VM dan AF menganggap bahwa
banyaknya daging dan kentang yang dikonsumsi pasien harus bilangan bulat,
sehingga proses trial and error yang dilakukannya hanya terbatas pada bilangan-
bilangan bulat. Sementara itu FR mengetahui bahwa banyaknya daging dan
kentang tidak harus bilangan bulat, namun FR melakukan kesalahan dalam proses
aljabar saat melakukan trial and error. FR menganggap bahwa penjumlahan 1
unit daging dan 1 unit kentang yang ditulisnya sebagai penjumlahan banyaknya
daging dan kentang. Hal ini terjadi karena FR tidak mengaitkan kembali antara
banyaknya daging dan kentang dengan kandungan nutrisi pada daging dan
kentang (pemahaman FR terkait informasi awal tidak utuh). Menurut Whimbey
(1980), kegagalan siswa saat menyelesaikan suatu masalah juga dapat diakibatkan
karena siswa tidak membaca kembali soal yang diberikan dengan seksama untuk
memastikan bahwa tidak ada pemahaman mengenai informasi soal yang terlewat.
Subjek reflektif FR mengerjakan soal nomor 1 dengan lebih terstruktur.
FR memulai pengerjaannya dengan membuat model matematika yang menurutnya
sesuai. FR masih salah dalam menuliskan salah satu pertidaksamaan yang
memenuhi sistem, sehingga daerah penyelesaian dari sistem pertidaksamaan yang
dituliskan FR juga salah. FR hanya menggambar dua dari tiga pertidaksamaan
dari sistem yang telah ditulisnya, termasuk pertidaksamaan yang salah. FR
menggunakan satu pertidaksamaan yang tidak digambarkan untuk menentukan
selesaian (solusi) yang memenuhi. Strategi yang dilakukan FR kurang efektif
117

karena FR melakukan dua langkah berbeda yang memiliki tujuan sama, yaitu
untuk menentukan selesaiannya. Sweller (1998) menyatakan bahwa siswa yang
kurang efektif dalam menggunakan strategi tertentu dapat disebabkan oleh tidak
adanya keterhubungan antara pemahaman siswa terkait permasalahan yang sedang
dihadapi dengan tujuan dari proses penyelesaian yang dilakukan. Ketidakefektifan
strategi juga diakibatkan karena siswa tidak berpikir secara mendalam setiap
langkah dari proses penyelesaiannya (Whimbey, 1980). Pada akhir penyelesaian,
FR juga salah dalam menuliskan kesimpulan. Hal ini dikarenakan FR tidak
mengaitkan kembali hasil penyelesaiannya dengan hal yang ditanyakan pada soal.
Siswa akan cenderung melakukan kesalahan apabila tidak menghubungkan
penyelesaiannya dengan pertanyaan pada soal (Sweller, 1998).
Subjek impusif TK mengerjakan soal nomor 1 dan 2 juga dengan lebih
terstruktur. Kesimpulan TK pada soal nomor 1 tepat, namun prosesnya salah. TK
menyelesaikan soal tersebut secara prosedural (menghafal prosedur yang telah
diajarkan sebelumnya) tanpa mengetahui makna secara mendalam prosedur yang
digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa TK memiliki pseudo construction terkait
prosedur penyelesaian yang dilakukannya. Subanji (2015) mengungkapkan bahwa
pseudo construction adalah konstruksi skema yang “seakan-akan benar”, namun
siswa tidak bisa memberikan justifikasinya. TK juga mengerjakan soal nomor 2
secara prosedural. TK salah dalam menyimpulkan jawaban akhirnya. Kesalahan
TK dimulai pada saat membuat model-model matematika yang sesuai. TK salah
dalam menuliskan tanda “≥” dan mengubahnya menjadi “≤”. Kesalahan tersebut
mengakibatkan kesalahan lain pada proses penyelesaian lanjutan. Whimbey
(1980) mengungkapkan bahwa kesalahan siswa dapat terjadi karena siswa tidak
melakukan pengecekan kembali terhadap keseluruhan proses penyelesaiannya.
Luneta dan Makonye (2010) menyatakan bahwa kesalahan siswa dalam
menyelesaikan suatu soal matematika dapat terjadi karena adanya fragmentasi
pada struktur berpikir siswa. Subanji (2016) menjelaskan bahwa fragmentasi
struktur berpikir merupakan fenomena penyimpanan informasi di dalam otak yang
tidak efisien sehingga menghambat proses penyelesaian soal-soal matematika.
Fragmentasi struktur berpikir yang dilakukan oleh keempat subjek terjadi karena
ketidakcukupan pengetahuan awal (termasuk pemahaman terhadap soal secara
118

utuh), kesalahan dalam membuat koneksi matematis antar proses penyelesaian,


ketidaklengkapan proses akomodasi (internalisasi informasi-informasi baru), serta
dominasi dari cara berpikir yang prosedural.

B. Defragmentasi Struktur Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Soal


Cerita Program Linear
Proses defragmentasi struktur berpikir telah membuat subjek menyadari
kesalahan-kesalahannya, kemudian segera memperbaikinya sehingga struktur
berpikir subjek menjadi lebih adaptif. Subanji (2016) berpendapat bahwa
defragmentasi struktur berpikir sangat penting dilakukan untuk memperbaiki
kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan masalah matematika, sehingga
proses belajar siswa terhadap suatu konsep tertentu menjadi lebih cepat. McKay
dan Fanning (2000) juga menambahkan bahwa siswa dapat merefleksikan
kesalahannya melalui proses defragmentasi, sehingga struktur berpikir siswa akan
mengalami penataan ulang untuk disesuaikan dengan struktur suatu konsep atau
masalah yang diberikan. Siswa juga dapat merefleksikan pemikirannya dengan
lebih mendalam dari berbagai sudut pandang (perspektif) yang berbeda melalui
proses defragmentasi tersebut (Woolfolk dan Allen, 2007).

1. Defragmentasi Struktur Berpikir Siswa Reflektif


Berdasarkan tahapan penyelesaian soal oleh Polya (1973), pada tahap
terakhir yakni memeriksa kembali hasil dan prosedur penyelesaian, peneliti
memberikan intervensi disequlibrasi kepada setiap subjek penelitian untuk
mengetahui keyakinan subjek terkait jawaban akhirnya. Pada soal nomor 1, subjek
reflektif VM dan FR merasa tidak yakin dengan proses penyelesaiannya, sehingga
jawaban akhir keduanya juga tidak yakin tepat. VM menyadari bahwa strategi
trial and error membuatnya tidak yakin bahwa jawabannya benar. Sementara itu,
FR juga menyadari bahwa pemahamannya terhadap informasi awal pada soal
tidak utuh, sehingga FR merasa tidak yakin dengan jawaban akhirnya. Intervensi
disequlibrasi oleh peneliti pada awal proses defragmentasi membuat VM dan FR
kembali memikirkan jawaban akhirnya beserta proses penyelesaiannya. Subanji
(2016) menyatakan bahwa intervensi disequlibrasi membuat siswa mengalami
119

ketidakseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi, sehingga terjadi suatu


perbaikan struktur berpikir siswa. Pada soal nomor 2, VM merasa lebih yakin
dengan jawabannya jika dibandingkan dengan jawaban soal nomor 1. Peneliti
memberikan VM suatu conflict cognitive terkait kemungkinan tidak adanya
daging yang dikonsumsi oleh pasien dalam satu hari (pasien hanya mengkonsumsi
kentang). VM baru menyadari bahwa kemungkinan tersebut juga bisa terjadi jika
gizi pasien sudah terpenuhi meskipun hanya mengkonsumsi kentang. Dengan
demikian, VM juga menyadari bahwa jawabannya belum tentu tepat. Sementara
itu, FR mendapatkan intervensi disequlibrasi dari peneliti untuk mengungkap
proses aljabar yang telah dilakukannya dalam proses trial and error. Intervensi
tersebut membuat FR sadar bahwa proses aljabar tersebut kurang tepat dalam
menginterpretasikan informasi pada soal, sehingga FR juga menyadari bahwa
jawaban akhirnya kurang tepat.
Pada tahap pertama penyelesaian soal oleh Polya (1973), yakni memahami
soal cerita, peneliti mulai mengungkap pemahaman subjek terkait hal-hal yang
diketahui dan ditanyakan pada soal serta pembuatan model matematika yang
sesuai. Hal tersebut dilakukan oleh peneliti setelah VM dan FR menyadari bahwa
jawabannya belum tentu tepat. Peneliti melakukan defragmentasi terencana
kepada VM melalui proses disequlibrasi, conflict cognitive, dan scaffolding untuk
soal nomor 1. Sementara itu, FR mendapatkan intervensi disequlibrasi dan conflict
cognitive untuk soal nomor 1. Pada soal nomor 2, VM dan FR mendapatkan
scaffolding dari peneliti untuk membuat model matematika yang sesuai. Peneliti
membimbing VM dan FR untuk membuat tabel yang memuat informasi-informasi
pada soal sehingga keduanya lebih mudah dalam membuat model matematika.
Proses penginterpretasian kembali dengan tujuan untuk menyederhanakan suatu
masalah termasuk pada aspek restructuring (menstrukturasi kembali) pada
scaffolding level kedua menurut Anghileri (2006).
Pada tahap kedua penyelesaian soal oleh Polya (1973), pemilihan strategi
penyelesaian diulas melalui ntervensi disequlibrasi pada awal dan akhir proses
defragmentasi. Pada awal proses defragmentasi, peneliti menanyakan keyakinan
subjek penelitian terhadap proses penyelesaian yang dilakukan (termasuk strategi
yang digunakan). Pada akhir proses defragmentasi, peneliti menanyakan kepada
120

VM dan AF terkait perlunya menggambarkan daerah penyelesaian yang


memenuhi sistem pertidaksamaan yang telah dituliskan serta membandingkan
strategi tersebut dengan strategi trial and error. VM dan AF sepakat bahwa dalam
penyelesaian soal tersebut, perlu untuk membuat model matematika yang sesuai,
kemudian menggambarkannya pada bidang Cartesius untuk menentukan titik-titik
optimumnya. Penelusuran pemikiran siswa melalui intervensi disequlibrasi di atas
dapat membuat siswa memahami alur berpikirnya sendiri secara lebih detail dan
mendalam terhadap suatu proses penyelesaian masalah (Widyani, 2017).
Pada tahap ketiga penyelesaian soal oleh Polya (1973), yakni
melaksanakan rencana penyelesaian, VM dan FR telah mengetahui langkah
lanjutan yang sebaiknya dilakukan setelah dibantu melalui intervensi dari peneliti
untuk membuat model matematika. Langkah tersebut yaitu menggambar daerah
penyelesaian yang memenuhi sistem pertidaksamaan linear yang telah dituliskan.
Pada soal nomor 1, VM mengalami kesulitan dalam menggambar garis 𝑦 = 2𝑥.
Peneliti langsung membantunya melalui intervensi disequlibrasi. Peneliti
menanyakan VM terkait penentuan dua titik pada garis. VM segera menyadari
bahwa titik yang dapat digunakan dalam menggambar suatu garis tidak harus
melalui 𝑥 = 0 dan 𝑦 = 0. Sementara itu, FR kesulitan dalam menggambarkan
pertidaksamaan 𝑚 ≥ 0 (Bidang Koordinat 𝑚 − 𝑠). FR mengalami kebingungan
dalam menentukan garis 𝑚 = 0. FR mengira garis tersebut adalah garis 𝑠 = 0.
Peneliti membantu menyadarkan FR melalui proses scaffolding. Scaffolding dapat
membantu siswa dalam mengingat kembali konsep atau materi yang pernah
didapatkan sebelumnya (Anghileri, 2006). Pada soal nomor 2, intervensi yang
diberikan oleh peneliti tidak sebanyak intervensi yang diberikan untuk soal nomor
1. Dalam hal ini, defragmentasi struktur berpikir VM dan FR untuk soal nomor 2
juga mendapatkan pengaruh dari intervensi peneliti terhadap soal nomor 1.

2. Defragmentasi Struktur Berpikir Siswa Impulsif


Berdasarkan tahapan penyelesaian soal oleh Polya (1973), pada tahap
terakhir yakni memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian, peneliti
memberikan intervensi disequlibrasi kepada setiap subjek penelitian untuk
mengetahui keyakinan subjek terkait jawaban akhirnya. Pada soal nomor 1, TK
121

yakin terhadap jawaban akhirnya, namun tidak pada proses penyelesaiannya.


Peneliti membantu TK melalui scaffolding untuk meninjau ulang (review) proses
penyelesaiannya. TK menyadari bahwa proses penyelesaiannya tidak sepenuhnya
tepat, meskipun jawaban akhirnya tepat. Sementara itu, AF sudah merasa tidak
yakin dengan jawaban akhirnya pada soal nomor 1. Hal berbeda dirasakan oleh
AF pada saat mengerjakan soal nomor 2. AF justru yakin dengan jawaban
akhirnya, sedangkan TK tidak telalu yakin. Peneliti memberikan suatu conflict
cognitive kepada AF dengan menanyakan kemungkinan banyaknya daging dan
3 1
kentang yang dapat dikonsumsi pasien dalam satu hari yaitu 4 dan 4 unit. AF baru

menyadari bahwa kemungkinan tersebut dapat terjadi, sehingga jawaban akhir


yang telah dituliskan AF belum tentu tepat.
Pada tahap pertama penyelesaian soal oleh Polya (1973), yakni memahami
soal cerita, peneliti kembali memberikan beberapa intervensi untuk mengungkap
pemahaman TK dan AF terhadap informasi-informasi pada soal agar struktur
berpikir keduanya lebih tertata. Pada soal nomor 1, TK menulis pertidaksamaan
𝑦 ≤ 2𝑥, namun tidak mengetahui maknanya. Peneliti membantu TK melalui
intervensi disequlibrasi dan conflict cognitive. TK juga mengetahui bahwa fungsi
tujuan yang dimaksud pada soal adalah 𝑓 (𝑥, 𝑦) = 400𝑥 + 50𝑦, namun TK juga
tidak mengetahui maknanya. Peneliti membimbing TK melalui scaffolding. Proses
pemberian intervensi tersebut cukup lama jika dibandingkan dengan pemberian
intervensi pada subjek reflektif, karena karakteristik siswa impulsif yang mampu
memberi respons dengan lebih cepat, namun respons yang diberikan cenderung
kurang sesuai (Messer, 1976). Sementara itu, AF mengalami kesalahpahaman
informasi pada soal nomor 1. AF menganggap bahwa banyaknya pemuatan iklan
pada majalah dan surat kabar minimal 6 serta banyaknya pemuatan iklan pada
majalah tidak lebih dari dua kali banyaknya pemuatan iklan pada surat kabar.
Peneliti membantu AF melalui intervensi disequlibrasi dan scaffolding untuk
mengoreksi pemahaman AF. Peneliti juga membantu AF dalam membuat model-
model matematika yang sesuai karena sebelumnya AF menggunakan strategi trial
and error. Pada awal pembuatan model matematika, AF menganggap variabel
sebagai suatu benda, namun setelah diberikan conflict cognitive, AF menyadari
bahwa variabel adalah suatu bilangan (nilai), bukan benda. Subanji (2016)
122

menyatakan bahwa intervensi conflict cognitive dapat membantu siswa dalam


memperbaiki kesalahan konsep. Dalam hal ini, intervensi conflict cognitive
mampu memperbaiki kesalahan konsep AF terkait makna variabel.
Pada tahap kedua penyelesaian soal oleh Polya (1973), strategi yang
dilakukan oleh TK lebih terstruktur daripada AF. AF menggunakan strategi trial
and error. Pada soal nomor 1, strategi yang digunakan TK yaitu membuat model-
model matematika, menentukan titik-titik potong setiap persamaan garis batas
(garis yang menjadi batas pertidaksamaan yang dituliskan) dengan sumbu-x dan
sumbu-y, menentukan titik potong antar garis batas, serta menentukan nilai dari
fungsi tujuan yang maksimum. Strategi TK masih belum utuh karena TK tidak
menggambarkan daerah penyelesaian dari sistem pertidaksamaan yang dimaksud.
Peneliti memberikan TK intevensi disequlibrasi untuk memperbaiki perencanaan
strategi TK. Sementara itu, AF pada awalnya menggunakan strategi yang lebih
terstruktur seperti TK untuk soal nomor 1, namun saat pengerjaan soal, AF
menyadari bahwa dirinya lebih yakin menggunakan strategi trial and error.
Menurut AF, strategi tersebut dapat menghasilkan jawaban dengan lebih cepat.
Hal ini sesuai dengan karakter siswa impulsif yang lebih mudah memberikan
respons dengan cepat (Kagan, 1966). Strategi trial and error yang dilakukan AF
pada soal nomor 1 juga diterapkan pada soal nomor 2. Peneliti memberikan
intervensi disequlibrasi untuk menanyakan AF terkait perlunya menyelesaikan
soal yang diberikan dengan cara yang lebih terstruktur daripada strategi trial and
error. AF mulai menyadari hal tersebut.
Pada tahap ketiga penyelesaian soal oleh Polya (1973), yakni
melaksanakan rencana penyelesaian, TK menyelesaikan soal nomor 1 dan 2 sesuai
dengan strategi yang direncanakan sebelumnya. Pada soal nomor 1, peneliti
berusaha membantu TK melalui intervensi disequlibrasi dan scaffolding untuk
menggambarkan daerah penyelesaian yang memenuhi sistem pertidaksamaan,
karena sebelumnya TK tidak menggambarnya. TK mengalami kesalahan dalam
perhitungan beberapa kali. Hal ini dikarenakan beberapa respons yang diberikan
oleh siswa impulsif cenderung belum matang (dihasilkan dari hasil pemikiran
yang kurang mendalam) (Katz, 1971). Kesalahan TK juga membuat peneliti
memberikan intervensi beberapa kali sampai respons yang diberikan TK tepat.
123

Wibawa (2017) menjelaskan bahwa respons yang diberikan oleh siswa tidak
selalu tepat, sehingga dibutuhkan beberapa intervensi terencana (intervensi yang
berulang) untuk dapat memperbaikinya. Sementara itu, AF mengerjakan soal
nomor 1 tidak sesuai dengan rencana awalnya. AF mengerjakan dengan strategi
trial and error. Peneliti mengarahkan AF dengan menggunakan strategi yang
lebih terstruktur melalui intervensi conflict cognitive, disequlibrasi, dan
scaffolding. AF mengalami kesulitan dalam menggambarkan daerah penyelesaian,
terutama untuk pertidaksamaan 𝑦 ≤ 2𝑥. AF terbiasa menggambar garis dengan
suku yang memuat 𝑥 dan 𝑦 berada pada ruas yang sama. Peneliti memberikan
conflict cognitive terkait kesamaan dua bentuk persamaan 5 + 3 = 8 dan 5 + 3 −
8 = 0. AF mampu memahaminya dan melanjutnya proses penyelesaiannya. Pada
soal nomor 2, intervensi yang diberikan kepada TK dan AF tidak sebanyak
intervensi pada soal nomor 1. Hal ini dikarenakan struktur berpikir TK dan AF
lebih tertata setelah proses defragmentasi yang dilakukan pada saat pengerjaan
soal nomor 1. Dalam hal ini, baik TK maupun AF, telah mampu melaksanakan
proses penyelesaian soal dengan terstruktur dan tepat (sesuai dengan struktur
masalah pada soal cerita yang diberikan) karena pengaruh intervensi dari peneliti,
meskipun tidak secara menyeluruh. Pengetahuan awal dari TK dan AF juga
berkontribusi dalam merangkai skema-skema pada struktur berpikir keduanya
untuk menyelesaikan soal cerita program linear yang diberikan.

Berikut disajikan tabel terkait perbedaan intervensi defragmentasi yang


diberikan kepada siswa reflektif dan impulsif untuk beberapa kesalahan yang
sama (sama-sama dilakukan siswa reflektif dan impulsif).

Tabel 5.1 Perbedaan Intervensi Defragmentasi Siswa Reflektif dan Impulsif


Intervensi Defragmentasi
No. Kesalahan Siswa
Siswa Reflektif Siswa Impulsif
Membantu siswa
Penjelasan terkait informasi- Menghimbau siswa untuk memahami informasi soal
1
informasi yang diketahui pada soal membaca soal kembali melalui scaffolding
(restructure)
Membimbing siswa dalam
Mengajak siswa untuk
membuat model-model
menggunakan variabel
Penentuan model-model matematika yang sesuai
dan membuat model-
2 matematika yang sesuai informasi serta membantu siswa
model matematika
pada soal untuk membuat tabel yang
melalui bantuan tabel
memuat informasi soal
informasi
untuk memudahkan
124

membuat model
matematika yang sesuai
Menanyakan perlunya
menggunakan cara
terstruktur, mulai dari
membuat model-model
Menanyakan terkait
matematika, menentukan
Penggunaan strategi penyelesaian perlunya siswa dalam
3 daerah penyelesaian, hingga
soal yang tidak efektif menggambar daerah
menentukan titik atau nilai
penyelesaian
optimum serta
membandingkannya dengan
strategi yang digunakan
oleh siswa
Membimbing siswa untuk
Penentuan titik atau nilai optimum Memberikan conflict
4 menentukan titik atau nilai
dari fungsi tujuan cogitive kepada siswa
optimum dari fungsi tujuan
Membimbing siswa dalam
Menanyakan keyakinan
memahami porses
siswa terkait jawaban
penyelesaiannya yang
Penarikan kesimpulan jawaban akhirnya serta
5 menyebabkan jawaban
akhir memberikan
salah serta memberikan
kemungkinan pilihan
kemungkinan pilihan
jawaban yang lain
jawaban yang lain

C. Efektifitas Defragmentasi Struktur Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan


Soal Cerita Program Linear
Berdasarkan hasil tes evaluasi, jawaban akhir (kesimpulan) dari subjek
reflektif VM serta subjek impulsif TK dan AF pada saat menyelesaikan soal tes
evaluasi nomor 1 sudah tepat. Namun demikian, proses penyelesaian yang telah
dilakukan ketiganya masih belum sepenuhnya sesuai dengan struktur masalah
pada soal tes evaluasi nomor 1. Sementara itu, subjek reflektif FR masih belum
tepat dalam menyimpulkan jawaban akhirnya karena kesalahan perhitungan pada
saat menentukan nilai dari suatu titik pojok ke dalam fungsi tujuan.
Pada soal tes evalusi nomor 2, jawaban akhir subjek reflektif FR dan
subjek impulsif TK sudah tepat. Namun demikian, proses penyelesaian yang telah
dilakukan keduanya masih belum sepenuhnya sesuai dengan struktur masalah
pada soal tes evaluasi nomor 2. Sementara itu, subjek reflektif VM dan subjek
impulsif AF masih belum tepat dalam menyimpulkan jawaban akhirnya.
Keduanya tidak mengaitkan hasil penyelesaiannya dengan hal yang ditanyakan
pada soal. Dalam hal ini, meskipun proses penyelesaian keempat subjek terhadap
soal tes evaluasi belum sepenuhnya tepat, namun kesalahan-kesalahan subjek
sudah berkurang jika dibandingkan dengan banyaknya kesalahan subjek pada saat
125

tes awal. Hal ini berarti bahwa proses defragmentasi struktur berpikir yang telah
dilakukan efektif dalam memperbaiki struktur berpikir subjek penelitian terhadap
soal cerita program linear yang diberikan.

D. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan data berupa deskripsi dari defragmentasi
struktur berpikir siswa yang bergaya kognitif reflektif dan impulsif, namun masih
memiliki beberapa keterbatasan seperti berikut.
1. Situasi pelaksanaan proses think aloud dan wawancara terhadap subjek
penelitian tidak sepenuhnya mendukung. Subjek penelitian melakukan proses
tersebut di perpustakaan SMAN 4 Malang. Situasi di perpustakaan tidak
selalu tenang, karena beberapa kali terdapat kegiatan belajar mengajar. Hal
ini mengakibatkan subjek penelitian tidak sepenuhnya fokus dan konsentrasi
pada saat proses think aloud dan wawancara berlangsung.
2. Subjek penelitian tidak sepenuhnya mengungkapkan hal yang sedang
dipikirkannya pada saat proses think aloud. Hal ini dikarenakan subjek masih
belum terbiasa melakukan proses tersebut. Peneliti beberapa kali mencoba
untuk memberikan dorongan agar subjek tetap mengungkapkan pemikirannya
sembari menuliskan proses penyelesaiannya pada lembar jawaban yang telah
disediakan. Namun demikian, tidak semua hal yang dipikirkan oleh subjek
penelitian diungkapkannya secara keras, sehingga peneliti perlu mengungkap
struktur berpikir subjek yang lebih detail melalui proses wawancara (setelah
proses think aloud).

Anda mungkin juga menyukai