PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang (a) kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita
program linear, (b) defragmentasi struktur berpikir siswa dalam menyelesaikan
soal cerita program linear, (c) efektifitas defragmentasi struktur berpikir siswa
dalam menyelesaikan soal cerita program linear, serta (d) keterbatasan penelitian.
115
116
karena FR melakukan dua langkah berbeda yang memiliki tujuan sama, yaitu
untuk menentukan selesaiannya. Sweller (1998) menyatakan bahwa siswa yang
kurang efektif dalam menggunakan strategi tertentu dapat disebabkan oleh tidak
adanya keterhubungan antara pemahaman siswa terkait permasalahan yang sedang
dihadapi dengan tujuan dari proses penyelesaian yang dilakukan. Ketidakefektifan
strategi juga diakibatkan karena siswa tidak berpikir secara mendalam setiap
langkah dari proses penyelesaiannya (Whimbey, 1980). Pada akhir penyelesaian,
FR juga salah dalam menuliskan kesimpulan. Hal ini dikarenakan FR tidak
mengaitkan kembali hasil penyelesaiannya dengan hal yang ditanyakan pada soal.
Siswa akan cenderung melakukan kesalahan apabila tidak menghubungkan
penyelesaiannya dengan pertanyaan pada soal (Sweller, 1998).
Subjek impusif TK mengerjakan soal nomor 1 dan 2 juga dengan lebih
terstruktur. Kesimpulan TK pada soal nomor 1 tepat, namun prosesnya salah. TK
menyelesaikan soal tersebut secara prosedural (menghafal prosedur yang telah
diajarkan sebelumnya) tanpa mengetahui makna secara mendalam prosedur yang
digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa TK memiliki pseudo construction terkait
prosedur penyelesaian yang dilakukannya. Subanji (2015) mengungkapkan bahwa
pseudo construction adalah konstruksi skema yang “seakan-akan benar”, namun
siswa tidak bisa memberikan justifikasinya. TK juga mengerjakan soal nomor 2
secara prosedural. TK salah dalam menyimpulkan jawaban akhirnya. Kesalahan
TK dimulai pada saat membuat model-model matematika yang sesuai. TK salah
dalam menuliskan tanda “≥” dan mengubahnya menjadi “≤”. Kesalahan tersebut
mengakibatkan kesalahan lain pada proses penyelesaian lanjutan. Whimbey
(1980) mengungkapkan bahwa kesalahan siswa dapat terjadi karena siswa tidak
melakukan pengecekan kembali terhadap keseluruhan proses penyelesaiannya.
Luneta dan Makonye (2010) menyatakan bahwa kesalahan siswa dalam
menyelesaikan suatu soal matematika dapat terjadi karena adanya fragmentasi
pada struktur berpikir siswa. Subanji (2016) menjelaskan bahwa fragmentasi
struktur berpikir merupakan fenomena penyimpanan informasi di dalam otak yang
tidak efisien sehingga menghambat proses penyelesaian soal-soal matematika.
Fragmentasi struktur berpikir yang dilakukan oleh keempat subjek terjadi karena
ketidakcukupan pengetahuan awal (termasuk pemahaman terhadap soal secara
118
Wibawa (2017) menjelaskan bahwa respons yang diberikan oleh siswa tidak
selalu tepat, sehingga dibutuhkan beberapa intervensi terencana (intervensi yang
berulang) untuk dapat memperbaikinya. Sementara itu, AF mengerjakan soal
nomor 1 tidak sesuai dengan rencana awalnya. AF mengerjakan dengan strategi
trial and error. Peneliti mengarahkan AF dengan menggunakan strategi yang
lebih terstruktur melalui intervensi conflict cognitive, disequlibrasi, dan
scaffolding. AF mengalami kesulitan dalam menggambarkan daerah penyelesaian,
terutama untuk pertidaksamaan 𝑦 ≤ 2𝑥. AF terbiasa menggambar garis dengan
suku yang memuat 𝑥 dan 𝑦 berada pada ruas yang sama. Peneliti memberikan
conflict cognitive terkait kesamaan dua bentuk persamaan 5 + 3 = 8 dan 5 + 3 −
8 = 0. AF mampu memahaminya dan melanjutnya proses penyelesaiannya. Pada
soal nomor 2, intervensi yang diberikan kepada TK dan AF tidak sebanyak
intervensi pada soal nomor 1. Hal ini dikarenakan struktur berpikir TK dan AF
lebih tertata setelah proses defragmentasi yang dilakukan pada saat pengerjaan
soal nomor 1. Dalam hal ini, baik TK maupun AF, telah mampu melaksanakan
proses penyelesaian soal dengan terstruktur dan tepat (sesuai dengan struktur
masalah pada soal cerita yang diberikan) karena pengaruh intervensi dari peneliti,
meskipun tidak secara menyeluruh. Pengetahuan awal dari TK dan AF juga
berkontribusi dalam merangkai skema-skema pada struktur berpikir keduanya
untuk menyelesaikan soal cerita program linear yang diberikan.
membuat model
matematika yang sesuai
Menanyakan perlunya
menggunakan cara
terstruktur, mulai dari
membuat model-model
Menanyakan terkait
matematika, menentukan
Penggunaan strategi penyelesaian perlunya siswa dalam
3 daerah penyelesaian, hingga
soal yang tidak efektif menggambar daerah
menentukan titik atau nilai
penyelesaian
optimum serta
membandingkannya dengan
strategi yang digunakan
oleh siswa
Membimbing siswa untuk
Penentuan titik atau nilai optimum Memberikan conflict
4 menentukan titik atau nilai
dari fungsi tujuan cogitive kepada siswa
optimum dari fungsi tujuan
Membimbing siswa dalam
Menanyakan keyakinan
memahami porses
siswa terkait jawaban
penyelesaiannya yang
Penarikan kesimpulan jawaban akhirnya serta
5 menyebabkan jawaban
akhir memberikan
salah serta memberikan
kemungkinan pilihan
kemungkinan pilihan
jawaban yang lain
jawaban yang lain
tes awal. Hal ini berarti bahwa proses defragmentasi struktur berpikir yang telah
dilakukan efektif dalam memperbaiki struktur berpikir subjek penelitian terhadap
soal cerita program linear yang diberikan.
D. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menghasilkan data berupa deskripsi dari defragmentasi
struktur berpikir siswa yang bergaya kognitif reflektif dan impulsif, namun masih
memiliki beberapa keterbatasan seperti berikut.
1. Situasi pelaksanaan proses think aloud dan wawancara terhadap subjek
penelitian tidak sepenuhnya mendukung. Subjek penelitian melakukan proses
tersebut di perpustakaan SMAN 4 Malang. Situasi di perpustakaan tidak
selalu tenang, karena beberapa kali terdapat kegiatan belajar mengajar. Hal
ini mengakibatkan subjek penelitian tidak sepenuhnya fokus dan konsentrasi
pada saat proses think aloud dan wawancara berlangsung.
2. Subjek penelitian tidak sepenuhnya mengungkapkan hal yang sedang
dipikirkannya pada saat proses think aloud. Hal ini dikarenakan subjek masih
belum terbiasa melakukan proses tersebut. Peneliti beberapa kali mencoba
untuk memberikan dorongan agar subjek tetap mengungkapkan pemikirannya
sembari menuliskan proses penyelesaiannya pada lembar jawaban yang telah
disediakan. Namun demikian, tidak semua hal yang dipikirkan oleh subjek
penelitian diungkapkannya secara keras, sehingga peneliti perlu mengungkap
struktur berpikir subjek yang lebih detail melalui proses wawancara (setelah
proses think aloud).