Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit hati kronik adalah suatu penyakit nekroinflamasi hati yang berlanjut dan
tanpa perbaikan paling sedikit selama 6 bulan. Penyakit hati kronik dapat asimtomatik atau
disertai gejala-gejala seperti mudah lelah, malaise dan nafsu makan berkurang. Serum
aminotransferase dapat meningkat secara sementara atau menetap. Ikterus sering tidak
ditemukan, kecuali pada kasus - kasus stadium lanjut. Keadaan ini dapat disertai
splenomegali, limfadenopati, berkurangnya berat badan, dan demam ( Akbar, 2007 ).
Fibrosis hati adalah suatu respon penyembuhan luka yang ditutupi oleh matriks
ekstraselluler atau parut. Fibrosis hati merupakan keadaan lanjutan dari hepatitis kronis yang
berlanjut menjadi sirosis. Fibrosis hati juga sebagai akibat dari kerusakan hati kronik oleh
karena beberapa penyebab termasuk hepatitis B dan C, minum alkohol yang berlebihan,
steatohepatitis-non alkoholik (NASH) dan kelebihan besi. Kerusakan hati menyebabkan sel
stellata hati menjadi hiperaktif dan memicu peningkatan sintesis matriks
ektrasellular.(Sembiring, 2009), (Tsukada, 2006).
Hepatitis kronik B dan C sering menyebabkan terjadinya fibrosis hati. Dengan
meningkatnya pengetahuan terhadap mekanisme terjadinya fibrosis hati bersama-sama
dengan strategi pengobatan yang efektif, maka membuka peluang untuk upaya mengevaluasi
progresivitas dari fibrogenesis penyakit hati kronik. (Wolber, 2002).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trombositopenia
2.1.1 Fisiologi Trombosit
A. Trombopoiesis
Trombosit adalah fragmen sitoplasmik tanpa inti berdiameter 2-4 mm yang berasal
dari megakariosit. Hitung trombosit normal di dalam darah tepi adalah 150.000-
400.000/µL dengan proses pematangan selama 7-10 hari di dalam sumsum tulang.
Trombosit dihasilkan oleh sumsum tulang (stem sel) yang berdiferensiasi menjadi
megakariosit (Candrasoma, 2005). Megakariosit ini melakukan replikasi inti
endomitotiknya kemudian volume sitoplasma membesar seiring dengan penambahan
lobus inti menjadi kelipatannya. Kemudian sitoplasma menjadi granular dan trombosit
dilepaskan dalam bentuk platelet/keping-keping. Enzim pengatur utama produksi
trombosit adalah trombopoietin yang dihasilkan di hati dan ginjal, dengan reseptor C-
MPL serta suatu reseptor lain, yaitu interleukin-11 (A.V Hoffbrand et al, 2005).
Trombosit berperan penting dalam hemostasis, penghentian perdarahan dari cedera
pembuluh darah (Guyton, 1997; Sherwood, 2001).

B. Struktur Trombosit
Trombosit memiliki zona luar yang jernih dan zona dalam yang berisi organel-organel
sitoplasmik. Permukaan diselubungi reseptor glikoprotein yang digunakan untuk reaksi
adhesi & agregasi yang mengawali pembentukan sumbat hemostasis. Membran plasma
dilapisi fosfolipid yang dapat mengalami invaginasi membentuk sistem kanalikuler.
Membran plasma ini memberikan permukaan reaktif luas sehingga protein koagulasi
dapat diabsorpsi secara selektif. Area submembran, suatu mikrofilamen pembentuk
sistem skeleton, yaitu protein kontraktil yang bersifat lentur dan berubah bentuk.
Sitoplasma mengandung beberapa granula, yaitu: granula densa, granulaa, lisosom yang
berperan selama reaksi pelepasan yang kemudian isi granula disekresikan melalui sistem
kanalikuler. Energi yang diperoleh trombosit untuk kelangsungan hidupnya berasal dari
fosforilasi oksidatif (dalam mitokondria) dan glikolisis anaerob (Aster, 2007; A.V
Hoffbrand et al, 2005; Candrasoma, 2005).

2
C. Fungsi Trombosit
 Mencegah kebocoran darah spontan pada pembuluh darah kecil dengan cara adhesi,
sekresi, agregasi, dan fusi (hemostasis).
 Sitotoksis sebagai sel efektor penyembuhan jaringan.
 Berperan dalam respon inflamasi.
 Cara kerja trombosit dalam hemostasis dapat dijelaskan sebagai berikut : Adanya
pembuluh darah yang mengalami trauma maka akan menyebabkan sel endotelnya
rusak dan terpaparnya jaringan ikat kolagen (subendotel). Secara alamiah, pembuluh
darah yang mengalami trauma akan mengerut (vasokontriksi). Kemudian trombosit
melekat pada jaringan ikat subendotel yang terbuka atas peranan faktor von
Willebrand dan reseptor glikoprotein Ib/IX (proses adhesi). Setelah itu terjadilah
pelepasan isi granula trombosit mencakup ADP, serotonin, tromboksan A2, heparin,
fibrinogen, lisosom (degranulasi). Trombosit membengkak dan melekat satu sama
lain atas bantuan ADP dan tromboksan A2 (proses agregasi). Kemudian dilanjutkan
pembentukan kompleks protein pembekuan (prokoagulan). Sampai tahap ini
terbentuklah hemostasis yang permanen. Pada suatu saat bekuan ini akan dilisiskan
jika jaringan yang rusak telah mengalami perbaikan oleh jaringan yang baru.
(Candrasoma, 2005; Guyton, 1997; A.V Hoffbrand et al, 2005).
Proses pembentukan trombosit terjadi di sumsum tulang yang dimulai dari
pluripotent stem cell yang berdiferensiasi menjadi colony forming granulocyte,
erythroid, monocyte, megakaryocyte (CFU-GEMM) dengan bantuan thrombopoetin.
CFU-GEMM berdiferensiasi lagi menjadi CFU-MEG yang dipengaruhi oleh IL-3, IL-6,
IL-11, GCFS, dan thrombopoetin. Kemudian CFU-MEG berkembang menjadi
megakarioblast dibantu oleh TPO, EPO, IL-3, IL-6, dan IL-11. Selanjutnya
megakarioblast berkembang menjadi megakariosit, sitoplasma megakariosit
terfragmentasi, dan terbentuklah trombosit. Sebuah sel megakariosit mampu
menghasilkan 4000 trombosit1.
Interval waktu dari diferensiasi stem sel sampai dihasilkan trombosit sekitar 7-10
hari dan dalam keadaan normal angka trombosit menunjukkan 150.000-400.000/μL.
Volume trombosit berkurang saat matang dalam sirkulasi karena trombosit muda dapat
memakan waktu 24-36 jam dalam limfa setelah dibebaskan dari sumsum tulang dan
sampai sepertiga pengeluaran trombosit sumsum tulang dapat dijerat pada satu waktu
dalam limfa normal2.

3
Struktur trombosit:
 Bulat kecil/ cakram oval, bikonveks, diameter 2-4µm, tidak berinti
 Bagian Granulomer/ chromatomer : di bagian tengah, lebih tebal, membias sinar
lebih kuat, terdapat granula alfa (protein pembekuan darah), delta (ion Ca 2+,
ADP, ATP), dan lambda (enzim lisosom), mitokondria, dan glikogen.
 Bagian Hialomer : di bagian tepi, lebih tipis, homogen (biru pucat), terdapat
filament untuk mempertahankan bentuk trombosit, proses retraksi bekuan darah
dan pembentukan pseudopodia.
 Mengandung aktin & myosin yang menyebabkan kontraksi sehingga dapat
membuat sumbatan bila terjadi perdarahan
 Granula dalam trombosit banyak berisi serotonin, epinefrin, ADP, kalsium,
kalium dan faktor-faktor untuk penjendalan darah3.

2.1.2 Definisi Trombositopenia


Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang merupakan bagian dari
pembekuan darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL.
Jika jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun
biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari 10.000/mL1.
2.1.3. Etiologi Trombositopenia
Penyebab terjadinya trombositopenia adalah sebagai berikut:
a. Jumlah trombosit yang rendah ini dapat merupakan akibat berkurangnya
produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada
manifestasi klinis hingga jumlahnya kurang dari 100.000 / mm3 dan lebih lanjut
dipengaruhi oleh keadaan-keadaan lain yang mendasariatau yang menyertai, seperti
leukimia atau penyakit hati. Jika jumlahtrombosit dalam darah perifer turun sampai
dibawah batas tertentu, penderita mulai mengalami perdarahan spontan, yang berarti
bahwatrauma akibat gerakan normal dapat mengakibatkan perdarahan yang luas.
b. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit normal biasanyadisebabkan
oleh penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan. Segalakondisi yang
menyebabkan splenomegali (lien yang jelas membesar) dapatdisertai trombositopenia,
meliputi keadaan seperti sirosis hati, limfoma,dan penyakit-penyakit mieloproliferatif.
Lien secara normal menyimpansepertiga trombosit yang dihasilkan tetapi dengan
splenomegali, sumber ini dapat meningkat hingga 80%, dan mengurangi sumber yang
tersedia.

4
c. Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksi oleh
obat, seperti yang ditemukan pada qunidin atau oleh autoantibodi (antibodi yang
bekerja melawan jaringannya sendiri). Antibodi-antibodi ini dapat ditemukan pada
penyakit-penyakit seperti lupus eritematosus, leukimia limfositis kronis, limfoma
tertentu, dan purpura trombositopenik idiopatik (ITP). ITP, terutama ditemukan pada
perempuan muda, bermanifestasi sebagai trombositopenia yangmengancam jiwa
dengan jumlah trombosit yang sering kurang dari100.000 / mm3. Mekanisme
trombositopenia pada ITP adalahditemukannya antibodi IgG pada membran
trombosit, sehinggamenyebabkan gangguan agregasi trombosit dan meningkatnya
pembuangan dan penghancuran trombosit oleh sistem makrofag.
d. Trombositopenia dapat timbul akibat perusakan atau penekanan pada sumsum
tulang, (misalnya, karena keganasan atau beberapa macam obat) yang berakibat
kegagalan pembentukan trombosit.
e. Trombositopenia juga bisa disebabkan oleh kemoterapeutik yang bersifat toksik
terhadap sumsum tulang, sehingga produksi trombosit mengalami penurunan2.
Penyebab lain trombositopenia:
1. Sumsum tulang menghasilkan sedikit trombosit
 Leukemia
 Anemia aplastik
 Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
 Pemakaian alkohol yang berlebihan
 Anemia megaloblastik
 Kelainan sumsum tulang
2. Trombosit terperangkap di dalam limpa yang membesar
 Sirosis disertai splenomegali kongestif
 Mielofibrosis
 Penyakit Gaucher
3. Trombosit menjadi terlarut
 Penggantian darah yang masif atau transfusi ganti (karena platelet tidak
dapat bertahan di dalam darah yang ditransfusikan)
 Pembedahan bypass kardiopulmoner
4. Meningkatnya penggunaan atau penghancuran trombosit
 Purpura trombositopenik idiopatik (ITP)
 Infeksi HIV

5
 Purpura setelah transfusi darah
 Obat-obatan, misalnya heparin, kuinidin, kuinin, antibiotik yang
mengandung sulfa, beberapa obat diabetes per-oral, garam emas, rifampin
 Leukemia kronik pada bayi baru lahir
 Limfoma
 Lupus eritematosus sistemik
 Keadaan-keadaan yang melibatkan pembekuan dalam pembuluh darah,
misalnya komplikasi kebidanan, kanker, keracunan darah (septikemia)
akibat bakteri gram negatif, kerusakan otak traumatik
 Purpura trombositopenik trombotik
 Sindroma hemolitik-uremik
 Sindroma gawat pernafasan dewasa
 Infeksi berat disertai septikemia1.
2.1.4 Gejala Trombositopenia
Perdarahan kulit bisa merupakan pertanda awal dari jumlah trombosit yang kurang.
Bintik-bintik keunguan seringkali muncul di tungkai bawah dan cedera ringan bisa
menyebabkan memar yang menyebar. Bisa terjadi perdarahan gusi dan darah juga bisa
ditemukan pada tinja atau air kemih3.
Pada penderita wanita, darah menstruasinya sangat banyak. Perdarahan mungkin
sukar berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan bisa berakibat fatal. Jika jumlah
trombosit semakin menurun, maka perdarahan akan semakin memburuk1.
Jumlah trombosit kurang dari 5.000-10.000/mL bisa menyebabkan hilangnya
sejumlah besar darah melalui saluran pencernaan atau terjadi perdarahan otak (meskipun
otaknya sendiri tidak mengalami cedera) yang bisa berakibat fatal3.

2.2 Hubungan Trombositopenia dengan Penyakit Hati KronIk


Penyakit hati kronik adalah suatu penyakit nekroinflamasi hati yang berlanjut dan tanpa
perbaikan paling sedikit selama 6 bulan. Penyakit hati kronik dapat asimtomatik atau disertai
gejala-gejala seperti mudah lelah, malaise dan nafsu makan berkurang. Serum
aminotransferase dapat meningkat secara sementara atau menetap. Ikterus sering tidak
ditemukan, kecuali pada kasus - kasus stadium lanjut. Keadaan ini dapat disertai
splenomegali, limfadenopati, berkurangnya berat badan, dan demam ( Akbar, 2007 ).
Fibrosis hati adalah suatu respon penyembuhan luka yang ditutupi oleh matriks
ekstraselluler atau parut. Fibrosis hati merupakan keadaan lanjutan dari hepatitis kronis yang

6
berlanjut menjadi sirosis. Fibrosis hati juga sebagai akibat dari kerusakan hati kronik oleh
karena beberapa penyebab termasuk hepatitis B dan C, minum alkohol yang berlebihan,
steatohepatitis-non alkoholik (NASH) dan kelebihan besi. Kerusakan hati menyebabkan sel
stellata hati menjadi hiperaktif dan memicu peningkatan sintesis matriks
ektrasellular.(Sembiring, 2009), (Tsukada, 2006).
Hepatitis kronik B dan C sering menyebabkan terjadinya fibrosis hati. Dengan
meningkatnya pengetahuan terhadap mekanisme terjadinya fibrosis hati bersama-sama
dengan strategi pengobatan yang efektif, maka membuka peluang untuk upaya mengevaluasi
progresivitas dari fibrogenesis penyakit hati kronik. (Wolber, 2002).

7
Metode Invasif
Biopsi hati merupakan salah satu baku emas dalam menegakkan diagnosis fibosis hati.
Dimana biopsi hati dapat menilai, mendeteksi dan memonitoring fibrosis hati. Karena begitu
banyak hambatan-hambatan yang dialami dengan metode invasif ini, banyak penelitian yang
mencoba mendiagnosis derajat fibrosis dengan metode noninvasif. Banyak studi yang kuat
menunjukkan bahwa akibat keterbatasan dan risiko dari biopsi, biomarker noninvasif telah
memberikan kemajuan dalam diagnosis. Biopsi hati tidak boleh lebih lama lagi dianggap
sebagai lini pertama penilaian fibrosis pada sebagian besar penyakit hati kronik (Poynard,
2008).
Grading aktivitas penyakit hati dapat dievaluasi dari gejala klinis, serologi serum
aminotransferase dan histopatologi biopsi hati. Secara histologis, patolog dapat melihat :
inflamasi, kerusakan interlobular dan nekrosis. Dalam praktek sehari-hari, laporan yang
adekuat mencakup estimasi yang akurat berupa lesi minimal, mild, moderate atau severe.
Namun untuk perbandingan biopsi pre dan post-treatment dan untuk mengevaluasi trial
terapeutik, maka digunakan scoring systems. Berbagai jenis sistem skoring telah dipakai
untuk menilai staging fibrosis hati seperti skor METAVIR oleh Poynard dkk, Knodell dkk,
skor Ishak, dan analisis biopsi dengan morfometri komputer menggunakan pewarnaan
jaringan. Salah satu klasifikasi histologik untuk menilai aktivitas peradangan yang terkenal
adalah Histological Activity Index (HAI), yang ditemukan oleh Knodell pada tahun 1981.

8
Staging ini berguna dalam memperkirakan waktu progresifitas hepatitis. Dapat dilakukan
dengan melihat luasnya fibrosis dan perkembangan sirosis, oleh karena itu dibutuhkan
connective tissue stains.
Serum marker dapat digunakan untuk fibrosis hati.Serum marker untuk fibrosis hati
dibagi atas 2 kelompok yaitu petanda langsung dan tidak langsung.
A. Petanda tidak langsung
Studi studi sebelumnya telah mengevaluasi petanda non invasive untuk memprediksi
keberadaan fibrosis atau sirosis pada penderita hepatitis kronis, seperti :
1. Rasio AST/ALT ( indeks AAR: Rasio AST/ALT lebih besar dari 1 dengan kuat
menyarankan sirosis dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 97%
2. Skor PGA: Kombinasi pengukuran indeks protombin, GGT dan apolipoprotein A1
(PGA).
3. Fibrotest, pemeriksaan melibatkan alfa-2 makroglobulin, alfa2 globulin, gamma
globulin, apolipoprotein A1, gamma GT, dan bilirubin total.
4. Acti Test, pemeriksaan memodifikasi Fibrotest dengan menyertakan ALT
5. Skor Forns ( indeks Forns), berdasarkan 4 variabel umum dijumpai di kloinik
meliputi jumlah trombosit, umur, level kolesterol, dan GGT.
6. Rasio AST/trombosit (indeks APRI), model ini konsisten dan objektif pada
laboratorium rutin pasien pasien dengan hati kronis.
7. Fibroindex menggunakan variable trombosit, AST dan YGlobulin.
8. Kombinasi AST,INR, trombosit( indeks GUCI)

9
B. Penanda langsung (direct marker)
Penanda langsung seperti : Collagen type IV, Hyaluronic acid, Procollagen III
peptide, Platelet. Skor APRI merupakan petanda fibrosis hati non invasive, pertama kali
dikemukakan oleh Wai dkk, dengan menggunakan variable AST dan jumlah trombosit.
Rumus untuk menghitung skor adalah

2.2.1 Trombositopenia pada penyakit Hepatitis


Trombositopenia adalah kondisi dimana trombosit berada pada level yang rendah (
<100.000 mm3). Penyebabnya terbagi atas penyakit autoimun, infeksi, efek samping
obat, kanker, dan defisiensi zat. Virus Hepatitis C (VHC) adalah salah satu penyebab
penyakit hati kronik terbesar di dunia. Beberapa penelitian menghubungkan antara
infeksi VHC dengan kejadian trombositopenia. Hal ini disebabkan karena hepar atau hati
adalah salah satu sumber trombopoetin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel
darah di sumsum tulang. Fibrosis hepar, sirosis, atau kerusakan hati lainnya dapat
mengurangi produksi trombopoetin ini dan berujung pada gangguan pembentukan sel
darah. Selain itu, penyakit hati kronik dapat meningkatkan platelet turn-over atau
penghancuran platelet berkaitan dengan hipersplenisme atau pembesaran dari limpa
sebagai tempat penghancuran sel darah. Patofisiologi trombositopenia di dalam infeksi
Hepatitis C memang sangat kompleks.
Namun perlu diwaspadai bahwa trombositopenia pada hepatitis C berjalan
seiringan dengan keganasan penyakit, kejadian sirosis hati, dan fibrosis hati. Penelitian
membuktikan bahwa prevalensi trombositopenia meningkat sebanyak 9 kali pada mereka
dengan penyakit hati kronik. Penelitian yang berjudul Implications from a Survey of a
Community with Hyperendemic HCV Infection dan dipublikasikan oleh Clinical
Infectious Diseasestahun 2004 menyebutkan bahwa orang yang berusia > 65 tahun dan
memiliki penyakit hari kronik berpotensi 4 kali lipat untuk mengalami trombositopenia
dibandingkan mereka yang berusia lebih muda.
Trombositopenia merupakan suatu gangguan hematologi yang paling sering terjadi
pada pasien-pasien dengan penyakit hati kronik. Mekanisme patogenesis yang
menyebabkan gangguan ini masih belum sempurna diketahui. Berdasarkan beberapa

10
literatur, hal ini dihubungkan dengan sekuestrasi dan penghancuran trombosit dalam
limpa yang terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang mengompensasi peningkatan
produksi trombosit. Hipersplenisme terjadi pada pasien-pasien penyakit hati lanjut
dengan suatu gambaran yang bervariasi dan merupakan komplikasi yang umum dari
hipertensi portal. Pembelokan aliran darah portal ke limpa menyebabkan suatu keadaan
perpindahan yang berlebihan (hyper-inflow) yang kemudian dapat menyebabkan
peningkatan konsentrasi trombosit limpa ( Kajihara, 2003 ), ( Sembiring, 2009 )
Perpindahan trombosit dari sirkulasi perifer ke limpa tersebut dapat menyebabkan
trombositopenia meskipun masa hidup trombosit normal, total massa tubuh normal, dan
produksi trombosit tidak terganggu. Usaha untuk melakukan koreksi trombosit yang
rendah dengan pintasan portosistemik dan splenektomi belum memberikan hasil yang
baik. Demikian juga prosedur dekompresi portal telah gagal memperbaiki jumlah
trombosit secara konsisten dalam jangka waktu yang lama meskipun tekanan portal
berkurang. Hipotesis lain menyebutkan, bahwa peningkatan trombosit yang dihubungkan
dengan immuno- globulin terjadi pada pasien - pasien dengan hepatitis kronik dan
kemungkinan mekanisme ini juga terlibat. Walaupun kadar trombosit dihubungkan
dengan immunoglobulin, hubungannya dengan trombositopenia belum begitu jelas
karena peningkatan kadar ini mungkin ditemukan pada pasien hepatitis kronik dengan
jumlah trombosit yang normal. Ada faktor lain di samping splenomegali dan destruksi
mediated immunologically yang mungkin berperan dalam patogenesis trombositopenia
pada penyakit hati kronik, faktor lain itu adalah trombopoietin (TPO). Pada hepatitis C
kronik terjadinya trombositopenia masih belum jelas, diduga karena terjadinya fibrosis
hati di daerah sentral. Prevalensi trombositopenia meningkat sembilan kali lebih tinggi
pada infeksi HCV kronik daripada penyakit hati kronik yang lain. Trombositopenia pada
penyakit hati kronik yang disebabkan oleh HCV, diduga terjadi karena gangguan fungsi
hati dan beratnya fibrosis sehingga mempengaruhi pembentukan trombopoietin yang
didominasi oleh sitokin yang mengontrol pembentukan megakariosit dan trombosit. Hal
ini mengidentifikasi trombositopenia pada HCV kronik sangat berhubungan dengan
aktifitas penyakit dan progresivitas jangka panjang ( Kajihara, 2003 ), ( Sembiring, 2009
).
Olariu dkk menyatakan bahwa hepatitis C kronik dihubungkan dengan
trombositopenia berdasarkan 3 proses patologis seperti yang diperlihatkan pada gambar
2.2 (Olariu, 2010). Sedangkan Nagamine dkk telah melaporkan pada hepatitis B kronik

11
bahwa trombositopenia berhubungan dengan PAIgG (Platelet-associated
immunoglobulin G) ( Nagamine, 1996 )

Gambar 2.2 Mekanisme trombositopenia pada hepatitis C kronik


AST merupakan prediktor terhadap penyakit hati ringan sampai berat.
Peningkatan AST berhubungan dengan kelainan hati yang meningkatkan pelepasannya
dari mitokondria dan penurunan klirens akibat fibrosis ( Wu, 2010 ).

12
2.2.2 Trombositopenia pada penyakit Sirosis Hepatitis
Trombosit merupakan komponen darah yang mempunyai fungsi homeostasis.
Jumlah trombosit yang ada dalam sirkulasi darah normalnya berada dalam
kesetimbangan antara destruksi, dan produksi dalam sumsum tulang. Trombositopenia
merupakan salah satu kelainan darah yang paling sering ditemukan pada sirosis hati.
Mekanisme terjadinya trombositopenia ini secara klasik diduga akibat adanya
pooling dan percepatan penghancuran trombosit akibat pembesaran dan kongesti limfa
yang patologis yang disebut hipersplenisme. Namun dari pengalaman klinis, banyak
pasien sirosis hati dengan splenomegali memiliki jumlah trombosit normal.
Sebaliknya banyak diantara mereka mengalami trombositopenia tanpa adanya
pembesaran limfa. Sehingga muncul dugaan bahwa ada mekanisme lain dalam
pathogenesis terjadinya trombositopenia pada sirosis hati. (Afhal 2008).
Trombopoesis merupakan proses yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
sitokin dan trombopoetin. Trombopoetin merupakan hormon glikoprotein yang
dihasilkan oleh hepatosit, sedikit pada ginjal, limfa, paru, sumsum tulang dan otak.
Trombopoetin adalah pengatur utama produksi trombosit. Trombopoetin bekerja dengan
cara menstimulasi megakariopoesis dan maturasi trombosit. Kerusakan hati akan
mempengaruhi pembentukan trombopoetin sehingga mengakibatkan gangguan
keseimbangan antara destruksi dan produksi trombosit dengan akibat trombositipenia.
(Afdhal 2008).
Hal ini dibuktikan oleh Goulis dkk yang melakukan penelitian pada 23 pasien
dewasa dengan sirosis hati yang menjalani transplantasi hati dibandingkan dengan 21
pasien normal. Setelah dilakukan transplantasi hati didapatkan peningkatan jumlah
trombopoetin dan jumlah trombosit yang bermakna dibandingkan saat sebelum
transplantasi. (Afdhal 2008)Rasio jumlah trombosit / diameter spleen. Rasio jumlah
trombosit / diameter spleen dianggap sesuai sebagai parameter splenomegali yang
berimplikasi terjadinya trombositopenia pada penderita sirosis hati, dimana ukuran
diameter spleen berbanding terbalik dengan jumlah trombosit.
TPO adalah suatu sitokin yang berperan sebagai regulator utama dalam proses
trombopoiesis, bekerja mestimulasi sumsum tulang sehingga terjadi proliferasi,
diferensiasi dan pematangan sel-sel progenitor megakariosit sampai terbentuk trombosit.
Sel hati merupakan penghasil utama TPO. Hati fetus manusia mengandung 95% mRNA
TPO, sedikit ditemui pada ginjal, limpa, paru, sumsum tulang dan otak. Pada SH terjadi
defek sintesis TPO yang disebabkan oleh sel-sel hepatosit telah berubah menjadi jaringan

13
fibrotik.20 Pada penelitian ini, skor Child yang lebih besar mencerminkan derajat
penyakit SH lebih berat, sehingga defek sintesis TPO semakin berat yang mengakibatkan
konsentrasi TPO serum lebih rendah. Hal ini sejalan dengan temuan Adinolfi LE et al.4
yang meneliti penderita penyakit hati kronis akibat hepatitis virus C. Mereka
mendapatkan korelasi yang bermakna antara derajat fibrosis hati dengan konsentrasi
TPO serum dimana pada penderita dengan derajat fibrosis hati yang lebih berat
didapatkan konsentrasi TPO serum yang lebih rendah (r = - 0,5; p = 0,0001). Kondisi ini
juga didukung oleh beberapa penelitian pada penderita SH yang menjalani transplantasi
hati dimana hati transplan dapat memproduksi TPO sehingga konsentrasi TPO yang
sebelumnya rendah akhirnya menjadi normal.
Hubungan Antara Jumlah Trombosit dengan Konsentrasi TPO Serum pada Sirosis
Hati

Pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi positif secara bermakna antara jumlah
trombosit dengan konsentrasi TPO serum (r =0,354; p = 0,027). Ada korelasi linier yang
searah antara jumlah trombosit yang beredar di sistem sirkulasi dengan konsentrasi TPO
serum. Selain karena produksinya, pengaturan konsentrasi TPO diduga berdasarkan
ikatan TPO pada reseptornya di trombosit. Massa trombosit dalam sirkulasi secara
langsung menentukan konsentrasi TPO dalam darah.22,23 Pada kondisinormal, bila
jumlah trombosit _ 150.000 / ml maka sebagian besar TPO akan berikatan dengan
trombosit sehingga konsentrasi TPO bebas dalam plasma menjadi rendah. Sebaliknya,
bila jumlah trombosit <150.000/ml (trombositopenia) maka akan sedikit reseptor yang
berikatan dengan TPO sehingga konsentrasi TPO bebas dalam plasma meningkat. Jadi,
terdapat hubungan terbalik antara konsentrasi TPO serum dengan jumlah trombosit.
Parameter ini di ukur dengan ultrasound, dimana pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan non-invasive dan mudah dilakukan dan merupakan pemeriksaan yang rutin
dilakukan pada penderita sirosis hati. Ada beberapa studi yang mengalisisjumlah
trombosit / diameter spleen sebagai prediktor varises oesofagus. Giannini dkk, dalam
studinya menemukan bahwa nilai negatif predictive value Rasio jumlah trombosit /
diameter spleen 909 sebesar 100%. Agha A dkk, bahwa nilai cut off 909 menunjukan
nilai negatif predictive value 100% dan positif predictive value 93,8% dalam
mendiagnosa varises oesofagus. Baig dkk, dengan nilai cut off 1014 menunjukkan positif
dan negatif predictive value sebesar 95,4% dan 95,1%. (Sarangapani et al 2009). Nilai
rasio jumlah trombosit / diameter spleen <820 merupakan prediktor independen
timbulnya varises oesofagus. (Nashaat et al 2010)

14
Liver mempunyai peranan sentral dalam mempertahankan proses haemostasis. Liver
sebagai tempat sintesis semua faktor- faktor pembekuan dan yang menghambatnya.
Kerusakan liver pada penyakit hati kronis dapat menyebabkan gangguan koagulasi yang
akan merusak keseimbangan antara pembekuan dan fibrinolisis. Gangguan koagulasi
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan minimal sampai dengan masif atau bahkan
terjadinya trombosis.
Pemanjangan protrombin time (PT) sering dihubungkan dengan keparahan gangguan
liver dan ini merupakan salah satu parameter yang sering digunakan sebagai prognostik
dari penyakit hati kronis seperti Child pugh atau MELD score. Pemeriksaan PT di
pertimbangkan oleh karena pemeriksaannya simpel, murah, dan merupakan marker
prognostik yang akurat terhadap gangguan liver dan juga merupakan prediktor
perdarahan. Derajat gangguan PT merupakan cerminan rendahnya sintesis di liver yang
dapat memprediksi derajatnya hipertensi portal dan adanya varises oesofagus (Siddiqui et
al 2011).

15
BAB III
KESIMPULAN

16
DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.emedicinehealth.com/thrombocytopenia_low_platelet_count/article_e
m.htm
2. http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?idktg=12&iddtl=773
3. Price, Sylvia Anderson, RN, PHD & Wilson, Lorraine, Mc carty, RN,
PHD.Transliterasi Penlit, Brahm U, dr. dkk. 2005. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
4. Slamet Suyono, Prof. DR. H. SpPD. KE, dkk. 2001. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II edisi ketiga. Jakarta: EGC

17

Anda mungkin juga menyukai