Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH MATA KULIAH

PEMANFAATAN LIMBAH PERIKANAN


“Daging Ikan (Tetelan Daging) dan Air Cucian Surimi”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas makalah mata kuliah
pemanfaatan limbah perikanan

Disusun oleh :
Rahmad Afdillah 230110160154
Shafira Nurul Hudani 230110160164
Yaumil Akbar Rachim 230110160172
Ayu Octrina 230110160182
Annisa Aulia Rachma 230110160192
Muhammad Raihan Fadillah 230110160199
Nadia Khaerunnisa 230110160202
Eka Nurhidayah Hutagaol 230110160214

Kelas :
Perikanan C/ Kelompok 5

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Mata kuliah pemanfaatan
limbah perikanan dengan judul “Daging Ikan (Tetelan Daging) dan Air Cucian
Surimi”. Sholawat serta salam tak lupa kami panjatkan kepada Nabi Muhammad
SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam pengerjaan makalah ini masih terdapat
kekurangan, baik dalam segi materi yang menunjangnya maupun data hasil
praktikum. Maka dari itu kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan sebagai
acuan untuk melahirkan karya-karya tulis yang lebih baik lagi.
Semoga apa yang ada didalam makalah ini dapat memberikan pengetahuan
lebih dalam mengenai pemanfaatan limbah perikanan hasil perikanan yang
berkaitan dengan dunia perikanan. Akhirul kalam, terima kasih atas segala
perhatian dari para pembaca.

Jatinangor, Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan ........................................................................................... 2
II ISI
2.1 Sumber Limbah ............................................................................. 3
2.2 Penanganan Limbah Pada Umumnya ........................................... 3
2.3 Alternatif Penanganan Limbah ..................................................... 3
2.3.1 Pemanfaatan Limbah padat Surimi .............................................. 5
2.3.2 Pemanfaatan Limbah Padat Industri Perikanan ............................ 7
2.3.3 Contoh Produk Hasil Pemanfaatan Limbah Industri Perikanan ... 8
2.4 Fungsi dan aplikasi produk yang dihasilkan ................................. 9
2.4.1 Edible Coating/Film ...................................................................... 9
2.4.2 Surimi ............................................................................................ 12
III KESIMPULAN
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 15
LAMPIRAN ............................................................................................. 21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan sektor perikanan selain menghasilkan produk yang dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan, industri maupun sumber
pendapatan juga menghasilkan limbah baik berupa limbah padatan, cairan maupun gas
(Afrianto dan Liviawaty 1989). Limbah perikanan adalah buangan yang dihasilkan dari
suatu proses produksi yang kehadirannya kurang bermanfaat dan tidak memiliki nilai
ekonomis. Bhaskar et al. (2008) menyatakan bahwa limbah industri perikanan
memiliki kandungan protein dan lemak tak jenuh yang tinggi. Menurut Abun (2006)
limbah perikanan memiliki potensi baik berupa protein dan sebagainya yang dapat
diolah secara kimiawi maupun biologi untuk menghasilkan produk yang lebih
bermanfaat dan bernilai ekonomis. Salah satu pengolahan atau diversivikasi produk
perikanan adalah surimi.
Surimi adalah daging ikan cincang yang telah dicuci untuk menghilangkan
sebagian besar lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma, yang kemudian
distabilkan menggunakan cryoprotectants untuk memungkinkan penyimpanan beku
(Lee 1984; Park dan Lin 2005; Julavittayanukul et al. 2006). Pemanfaatan produk
sampingan industri ikan, seperti surimi, memberikan peluang penting bagi industri
karena berpotensi menghasilkan pendapatan tambahan serta mengurangi biaya
pembuangan bahan-bahan ini (UNEP 2000). Namun, surimi membutuhkan
penggunaan air tawar dalam jumlah besar dan menghasilkan air limbah tingkat tinggi
yang terkontaminasi (Martín-Sánchez et al. 2009) dengan jumlah siklus pencucian,
perbandingan air dan ikan, serta waktu pencucian adalah faktor penting yang
menentukan kualitas surimi gel. Jumlah air yang dibutuhkan dan jumlah siklus
pencucian ditentukan oleh spesies ikan, kondisi ikan dan kualitas produk yang
dibutuhkan (Lee 1984).

1
2

Menurut Toyoda et al. (1992), air limbah pencucian surimi mengandung


komponen larutan air (protein sarkoplasma, enzim pencernaan, gram-garam inorganik
dan zat organik bermolekul rendah), lipid, darah. Kandungan protein terlarut dalam air
limbah berpotensi menghasilkan nilai tambah yaitu dengan menggunakannya sebagai
bahan dasae pembuatan edible film, silase dan lain lain. Pemanfaatan limbah perikanan
khususnya dalam air limbah surimi perlu dilakukan agar tidak terjadinya proses
endapan yang terakumulasi di perairan yang dapat mengakibatkan pencemar bagi
badan perairan. Pemanfaatan limbah ini merupakan penerapan dari salah satu prinsip
ekonomi biru (blue economy) yang saat ini sedang gencar dikembangkan, yaitu prinsip
nirlimbah (zero waste) yang menekankan sistem siklikal dalam proses produksi,
sehingga tercipta produksi bersih. Artinya, limbah dari sebuah proses produksi akan
menjadi bahan baku atau sumber energi bagi produk berikutnya.

1.2 Tujuan
1. Pemanfaatan limbah perikanan sebagai alternatif penanganan limbah pencemar
khususnya pada daging ikan (tetelan) atau air pencucian surimi.
2. Mengetahui sumber limbah, penanganan limbah pada umumnya, alternatif
penanganan limbah, produk yang dihasilkan dan prosedur pengolahan lombah serta
fungsi dan aplikasi produk yang dihasilkan dari limbah cucian surimi
3. Media informasi dan edukasi bagi para pembaca khususnya bagi mahasiswa/i
3

BAB II
ISI

2.1 Sumber Limbah


Limbah cair dari hasil pengolahan hasil-hasil laut pada umumnya mengandung
banyak protein dan lemak sehingga mengakibatkan terjadi tingginya nilai BOD
(Biochemical Oxygen Demand) dan TSS (Total Suspended Solid). Pada limbah cair
pada dasarnya kadar yang tekandung berbeda-beda tegantung pada tingkat produksi,
jenis bahan mentah, ksegaran dan jenis pangan yang diolah (Sugiharto 1987).
Pada proses pengolahan surimi, tahap pencucian menghasilkan air sisa
pencucian yang akan menjadi limbah. Pada tahap tersebut, air yang digunakan dalam
jumlah yang cukup banyak sehingga air limbah yang dihasilkan juga cukup besar. Air
limbah surimi memiliki nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) yang tinggi karena
mengandung zat-zat organik (Morissey dan Park 2000). Air limbah surimi
mengandung lemak, darah, enzim sarkoplasma, enzim pencernaan, garam-garam
inorganik dan zat organic bermolekul rendah seperti trimetilamin oksida. Semakin
besar nilai BOD menunjukkan derajat pengotoran air limbah semakin besar. Oleh
karena itu harus dilakukan preses penurunan nilai BOD dan TSS agar air limbah dapat
dibuang ke lingkungan dan tidak menyebabkan pencemaran (Sugiharto 1987).

2.2 Penanganan Limbah Pada Umumnya


Kosong bu hehe

2.3 Alternatif Penanganan Limbah


Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi yang
berlangsung di dalam rumah tangga (sampah domestik) dan industri. Keberadaan
limbah umumnya tidak dikehendaki karena hampir tidak mempunyai nilai ekonomi
yang bersifat merusak ekologi dan lingkungan. Limbah pada konsentrasi dan jumlah
tertentu bisa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan ataupun manusia
4

misalnya bahaya racun dan kerusakan lingkungan oleh karena itu, limbah harus
dikelola untuk menghindari efek negatif tersebut dan agar dapat mendatangkan
manfaat (Nadiyanto, 2008).
Limbah hasil perikanan berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 4 yaitu (a) hasil
samping berupa ikan mentah yang berbentuk utuh dalam proses penangkapan (by
catch), (b) limbah pengolahan, yang terdiri atas campuran kepala, isi perut, kulit,
tulang, sirip ekor dan lain-lain, (c) limbah surplus, berupa ikan utuh karena kelebihan
pemasaran atau pengolahan dan (d) limbah industri berupa ikan utuh, potongan atau
hancuran yang terjadi pada distribusi dan pemasaran (Nurilmala, 2004).
Secara rasional limbah dari tubuh ikan terdiri dari bagian kepala sekitar 10- 12%,
bagian tulang sekitar 11,7%, sirip sekitar 3,4%, kulit 4,0%, duri 2,0% dan bagian isi
perut 4,8% (termasuk gelembung renang, hati dan gonad). Bagianbagian tersebut masih
mempunyai nilai yang tinggi diantaranya bagian kulit, gelembung renang, duri dan
kulit yang mengandung kolagen, kalsium dan fosfar (Nurilmala, 2004).
Limbah industri pengolahan hasil perikanan (fish waste) dapat diolah menjadi
sumber protein yang bernilai ekonomis melalui proses fermentasi dengan kandungan
protein kasar berkisar 51-55%. Selain sebagai sumber protein dengan asam amino yang
baik, limbah ikan juga merupakan sumber mineral dan vitamin dengan kandungan gizi
tiap limbah ikan yang berbeda, sesuai dengan jenis ikan yang diolah di industri
perikanan (Billah, 2009).
Limbah surimi dibedakan menjadi dua yaitu limbah padat dan limbah cair.
Limbah padat merupakan hasil proses penyiangan surimi yang meliputi pembuangan
kepala, jeroan, kotoran dan tulang (Park and Morrisey, 2000). Limbah cair merupakan
hasil dari proses pencucian surimi yang masih mengandung kandungan protein, lemak
dan zat padat terlarut yang tinggi (Oktaviana dkk., 2012).
Tahap pencucian pada proses pengolahan surimi menghasilkan air sisa
pencucian yang akan menjadi limbah. Tahap ini, digunakan air dalam jumlah yang
besar sehingga limbah yang dihasilkan jumlahnya sangat banyak. Sekitar 5000 ton
(berat kering) Fish Water Soluble protein yang dibuang setiap tahunnya dari limbah
5

cair pabrik pengolahan surimi di Jepang. Proses pencucian mengahasilkan limbah


padatan ikan lumatan kira-kira 40-50 mg/100 ml (Iwata et al., 2000). Limbah air
pencucian surimi yang masih mempunyai protein yang tinggi. Beberapa perusahaan
pengolahan surimi sudah melakukan penanganan air pencucian surimi sebelum
dibuang ke saluran air (Apriani., 2007). Pemanfaatan limbah cair bertujuan untuk
meminimalkan limbah yang ada dengan cara mengurangi atau menghilangkan
pengaruh volume, konsentrasi dan toksisitas limbah cair dengan memanfaatkan
mikroorganisme untuk mengkonsumsi polutan yang berupa zat organik (Retnosari dan
shovitri, 2013).

2.3.1 Pemanfatan Limbah Padat Surimi Ikan Swanggi (Priacanthus


macracanthus) Secara kimiawi Terhadap Kandungan Nutrisi Sebagai Alternatif
Bahan Pakan Ikan.
Industri pengolahan ikan disamping memberikan peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pendapatan daerah, juga menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan sekitarnya. Salah satu dampak negatif yang telah menjadi sorotan
masyarakat luas adalah timbulnya pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya
(Setyono dan Yudo, 2008). Limbah ikan yang berupa padatan dapat terkontaminasi
mikroorganisme pembusuk, menyebabkan masalah bau dan dalam jumlah banyak
dapat menimbulkan permasalahan tempat dan sarana penampungan limbah. Salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk menambah nilai ekonomi dari limbah padat ini adalah
melalui proses kimiawi (Handoko dkk., 2011).
Pemanfaatan limbah ikan secara kimiawi dilakukan dengan cara menambahkan
asam mineral, asam organik atau campurannya dalam bahan baku pakan. Prinsip
pengawetan ini adalah dengan penurunan pH dari bahan tersebut sehingga aktivitas
bakteri pembusuk menjadi terhambat (Ariesta, 2007). Keuntungan maupun kerugian
penggunaan asam organik dan asam mineral adalah asam mineral bersifat korosif
sehingga akan lebih berbahaya dan akan menghasilkan produk yang sangat asam
sehingga perlu dinetralkan terlebih dahulu karena asam mineral sebagai asam
6

anorganik tidak mudah diubah dalam proses biokimia yang terdapat dalam tubuh
hewan yang memakannya dan dapat menyebabkan intoksinasi (timbulnya zat beracun).
Asam organik relatif lebih mudah mengalami proses biokimia karena hanya
mengandung atom karbon, hydrogen dan oksigen. Asam organik umumnya lebih
mahal tetapi mampu menghasilkan produk yang dapat diberikan secara langsung
kepada ikan tanpa menetralisasi terlebih dahulu oleh karena itu penggunaan asam
organik lebih dianjurkan dari pada asam mineral (Ariesta, 2007).
Asam organik yang biasa digunakan adalah asam formiat (HCOOH) dan
propionat (CH3CH2COOH) karena kedua asam tersebut menghasilkan produk yang
baik. Perbandingan asam formiat dengan propionat adalah 1:1 dengan penggunaan
sebanyak 3%. Penggunaan asam kurang dari 3%, produk yang dihasilkan akan mudah
terserang jamur dan penurunan pH relatif lambat (Abun, 2006). Asam formiat yang
digunakan sebanyak 3% pada umumnya akan memperoleh produk yang baik tetapi
seringkali mudah terserang jamur kemudian pHnya meningkat dan membusuk. Untuk
menghindari pertumbuhan jamur diperlukan penambahan asam propionat. Keuntungan
lain penambahan propionat yaitu bila produk dicampur dengan bahan yang
mengandung karbohidrat akan tetap awet dalam keadaan basah sampai beberapa
minggu apabila penggunaan asam formiat saja, campuran tersebut akan menjadi busuk
dalam waktu 1 atau 2 minggu (Nurmalasari, 2007).
Ciri proses kimiawi yang baik menurut Yeoh (1979) antara lain adalah (1) Terjadi
penurunan pH dengan cepat, semakin lama proses berlangsung makin cepat penurunan
pH dan nilai pH akan semakin rendah (2) Kandungan asam laktat tinggi (3) Kandung
asam ammonia rendah (NH3) (4) Sedikit bakteri coli dan bakteri pembentukan anaerob
membentuk spora (5) Tidak ada bakteri pathogen seperti Salmonella sp. dan
Staphlococcus sp. (6) Baunya amis, tidak ada bau busuk (7) Gas yang terbentuk sedikit
(8) Stabil dalam bentuk basah selama enam bulan dan dalam bentuk kering lebih dari
setahun.
7

2.3.2 Pemanfaatan Limbah Padat Industri Perikanan


Limbah padat perikanan merupakan limbah padat yang tidak menimbulkan zat-
zat beracun bagi lingkungan, namun merupakan limbah padat yang mudah membusuk,
sehingga menyebabkan bau yang sangat menyengat. Limbah padat dapat berupa
kepala, kulit, tulang ikan, potongan daging ikan, sisik, insang atau saluran pencernaan
(Sugiharto, 1987). Pemanfaatan limbah daging ikan dari industri fillet dapat berupa
limbah daging ikan hasil sortiran yang tidak memenuhi standar karena rusak akibat
memiliki celah atau rongga di antara daging sehingga otot daging menjadi terpisah dan
daging masih menempel pada tulang (Rostini, 2013). Limbah jeroan ikan yang
umumnya banyak pada setiap industri perikanan dapat dimanfaatkan sebagai biodiesel.
Pemanfaatan ini dapat digunakan sebagai alternatif bahan bakar pengganti dari bahan
yang terbarukan (Harahap et al., 2013).
Tulang ikan merupakan salah satu limbah hasil pengolahan perikanan yang dapat
dimanfaatkan sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung tulang ikan
dapat dilakukan dalam bentuk pengayaan (enrichment) sebagai salah satu upaya
fortifikasi zat gizi dalam makanan. Tulang ikan banyak mengandung garam mineral
dari garam fosfat seperti kalsium fosfat (Elfauziah, 2003).
Kulit ikan terdiri dari daerah punggung, perut dan ekor sesuai dengan bentuk
badannya. Kulit tersusun dari komponen kimia protein, lemak, air dan mineral. Kulit
ikan merupakan penghalang fisik terhadap perubahan lingkungan serta serangan
mikroba dari luar tubuh. Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak
dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pagan
maupun nonpangan. Kulit ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses
pembuatan kerupuk kulit ikan, gelatin, kulit olahan, tepung ikan, serta sumber kolagen
untuk kosmetik. Kandungan protein kolagen yang terdapat pada kulit ikan yaitu sebesar
41-84% (Judoamidjojo, 1981).
8

2.3.3 Contoh Produk Hasil Pemanfaatan Limbah Industri Perikanan


Limbah industri perikanan dapat dimanfaatkan menjadi beberapa jenis produk,
contohnya sebagai berikut:
1. Tepung Tulang Ikan
Tepung tulang ikan menurut Wini (2006) merupakan produk olahan yang
berasal dari limbah tulang ikan yang biasanya tidak dimanfaatkan dan diolah
dengan dikeringkan dan dijadikan tepung. Tepung tulang ikan merupakan salah
satu sumber kalsium yang tinggi yang dapat diperoleh dari tepung tulang yang
menjadi limbah. Moelyanto (1982) menyatakan tepung ikan yang bermutu baik
harus mempunyai sifat-sifat yakni memiliki butiran-butiran yang seragam,
bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan dan benda asing lainnya. Mutu tepung
ikan merupakan atribut tingkat penerimaan dan daya terima panelis terhadap
tepung ikan tersebut
2. Kecap Ikan
Salah satu limbah yang dihasilkan dalam pengolahan hasil perikanan adalah
jeroan ikan. Jeroan ikan didapatkan pada tahap penyiangan untuk
membersihkan dan membuang saluran pencernaan yang merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk, sehingga diusahakan untuk
segera dihilangkan dari ikan. Kecap ikan merupakan salah satu produk
bahan makanan hasil olahan melalui proses fermentasi yang dibuat dari ikan
maupun limbah ikan mempunyai rasa dan bau yang khas serta
daya simpannya lama (Purwaningsih & Nurjanah, 1995).
Secara tradisional, kecap ikan diproduksi dengan pencampuran antara garam
dengan dua atau tiga bagian ikan dan di fermentasi pada suhu lingkungan
(±30oC) selama 6-12 bulan atau bahkan lebih (Lopetcharat et al., 2001).
9

2.4 Fungsi dan aplikasi produk yang dihasilkan


2.4.1 Edible Coating/Film
Fungsi tetelan ikan (limbah pengolahan ikan) dapat dimanfaatkan untuk bahan
utama pembuatan edible film melalui beberapa mekanisme pengolahan limbah
perikanan sampai menjadi edible film yang dapat digunakan sebagai kemasan makanan
makanan seperti sosis,buah-buahan Dan lain sebagainya (Skurtys et al. 2011). Salah
satu fungsi utama dari edible film adalah kemampuan mereka dalam peranannya
sebagai penghalang, baik gas, minyak, atau yang lebih utama air.
Antimicrobial film/packaging material mempunyai efektivitas memperlama fasa
lag adaptasi dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme sehingga dapat
memperpanjang umur simpan dan menjaga kualitas dan keamanan produk terkemas.
Antimicrobial film/packaging adalah penyederhanaan dari proses pengemasan (Ahmed
et al. 2008).
Keuntungan Edible film diantaranya yaitu:
1. Penggunaan edible memberikan keuntungan lingkungan, serta keuntungan
biaya dan kenyamanan, lebih konvensional sistem kemasan sintetis.
2. Penggabungan pengawet menjadi film yang dapat dimakan dan coating untuk
mengendalikan pertumbuhan mikroba permukaan dalam makanan sedang
dieksplorasi. Komposisi Film adalah salah satu faktor utama yang
mempengaruhi difusivitas dari preservatices dalam film sehingga dapat
dimakan.
3. Edible film dan coating telah menunjukkan potensi untuk mengendalikan
transfer kelembaban, oxygen, lipid, aroma, dan rasa senyawa dalam sistem
makanan, dengan hasil peningkatan kualitas makanan.
4. Tergolong dalam kemasan yang lebih murah dibandingkan dengan kemasan
yang lainnya misalnya dibandingkan dengan plastik.
5. Edible film yang dibuat dari hidrokoloid merupakan barrier yang baik terhadap
transfer oksigen, karbohidrat, karbon dan lipid. Kebanyakan dari film
10

hidrokoloid memiliki sifat yang baik sehingga sangat baik dijadikan bahan
pengemas.
Film hidrokoloid umumnya mudah larut dalam air sehingga sangat
menguntungkan dalam penggunaannya.

Aplikasi dari edible coating terdiri dari beberapa yaitu


1. Edible film anti mikroba
Edible film yang bersifat antimikroba berpotensi dapat mencegah kontaminasi
patogen pada berbagai bahan pangan yang memiliki jaringan (daging, buah-buahan,
sayuran). Kombinasi antimikroba dengan pengemas film untuk mengendalikan
pertumbuhan mikroba pada makanan dapat memperpanjang masa simpan dan
memperbaiki mutu pangan (Quintavalla dan Vicini 2002). Jenis bahan antimikroba
yang dapat ditambahkan ke dalam matriks edible coating/film antara lain adalah
minyak atsiri, rempah-rempah dalam bentuk bubuk atau oleoresin, kitosan, dan
bakteriosin seperti nisin. Bahan antimikroba dari senyawa kimia antara lain adalah
asam organik seperti asam laktat, asetat, malat, dan sitrat, serta sistem laktoperoksidase
yang merupakan antimikroba alami yang terdapat dalam susu dan saliva dari mamalia
(Campos et al. 2011). Metode yang sering digunakan adalah penambahan/ inkorporasi
bahan antimikroba ke dalam edible film. Bahan antimikroba yang digunakan pada
makanan seperti asam-asam organik, bakteriosin, enzim, alkohol, dan asam lemak serta
ekstrak rempah atau minyak atsiri, seperti minyak kayu manis, daun serai, cengkih, dan
bawang putih telah diteliti aktivitas antibakterinya. Penambahan bahan alami seperti
oregano, rosemary, dan minyak bawang putih ke dalam edible film untuk mencegah
pertumbuhan mikroba telah diteliti oleh Pranoto et al. (2005) serta Seydim dan Sarikus
(2006). Bahan aktif tersebut ditambahkan ke dalam matriks bahan pengemas, baik
dalam bentuk bubuk, ekstrak/oleoresin maupun minyak atsirinya. Sementara kitosan
biasanya ditambahkan dalam matriks atau dilapiskan pada lapisan film (Vasconez et
al. 2009).
11

Edible coating anti mikroba antara lain telah diaplikasikan pada buah-buahan,
terutama buah terolah minimal seperti pepaya dan apel (Tapia et al. 2007), melon
(Massilia et al. 2008), apel (Rojas et al. 2008), dan strowberi atau sayuran seperti
wortel (Simoes et al. 2009) dan paprika (Miskiyah et al. 2009), makanan laut
(Vasconez et al. 2009), dan roti (Kechichian et al. 2010).
Menurut Krochta et al. (1994) aplikasi dari edible film atau edible coating adalah
sebagai berikut :
1) Sebagai Kemasan Primer dari produk pangan Contoh dari penggunaan edible
film sebagai kemasan primer adalah pada permen, sayur-sayuran dan buah-
buahan segar, sosis, daging dan produk hasil laut.
2) Sebagai Barrier Penggunaan edible film sebagai barrier dapat dilihat dari
contoh-contoh berikut : - Gellan gum yang direaksikan dengan garam mono
atau bivalen yang membentuk film, di Jepang bahan ini digunakan untuk
menggoreng tempura. – Edible coating yang terbuat dari zein (protein jagung),
dengan nama dagang Z’coat TM (Cozean) dari Zumbro Inc., Hayfielf, MN
terdiri dari zein, minyak sayuran, BHA, BHT dan etil tapioca, digunakan untuk
produk-produk konfeksionari seperti permen dan coklat.
3) Sebagai Pengikat (Binding) Edible film juga dapat diaplikasikan pada snack
atau crackers yang diberi bumbu, yaitu sebagai pengikat atau tapioca, dari
bumbu yang diberikan agar dapat lebih melekat pada produk. Pelapisan ini
berguna untuk mengurangi lemak pada bahan yang digoreng dengan
penambahan bumbu-bumbu.
Pelapis (Glaze) Edible film dapat bersifat sebagai pelapis untuk meningkatkan
penampilan dari produk-produk bakery, yaitu untuk menggantikan pelapisan dengan
telur. Keuntungan dari pelapisan dengan edible film, adalah dapat menghindari
masuknya mikroba yang dapat terjadi jika dilapisi dengan telur.
12

2.4.2 Surimi
Surimi merupakan istilah dalam tapioc jepang untuk daging lumat dan jaringan
yang akan dicuci. Surimi juga dapat disebut sebagai olahan daging cincang yang telah
mengalami beberapa kali proses pencucian yang dimaksudkan untuk menghilangkan
komponen yang larut air seperti protein, sarkoplasma, darah dan enzim
(Abdurachman, 1987; Uju, 2006, dan Mahawanich, 2008).
Surimi beku adalah semi “processed intermediat minced fish” bahan setengah
jadi yang digunakan sebagai bahan mentah pembuatan berbagai macam fish jelly
products di antaranya bakso ikan, sosis ikan, sio may, mie ikan, burger ikan dan
sejenisnya yang spesifikasinya menuntut kemampuan dalam pembentukan gel.
Aplikasi surimi:
1. Bahan baku bakso ikan
Bakso merupakan jenis makanan yang umumnya terbuat dari daging sapi.
Namun saat ini bakso yang dibuat dari daging ikan sudah mulai banyak dijumpai di
pasaran. Jenis ikan yang sering digunakan sebagai bahan mentah umumnya ikan
tenggiri dengan harga yang cukup mahal. Dalam rangka mengurangi biaya bahan
mentah dan sekaligus memanfaatkan daging tetelan yang selama ini masih sangat
terbatas pengolahannya, maka telah diperkenalkan pengolahan bakso dengan
menggunakan bahan baku limbah ikan (tetelan ikan) (Fawzya, 1993). Proses
pembuatan bakso ikan meliputi: penggilingan hancuran daging ikan, penambahan
garam dan bumbu-bumbu serta tepung tapioca, pengadukan sampai homogen,
pencetakan dan perebusan. Jumlah tepung yang ditambahkan 10 % dari berat hancuran
tetelan ikan (Tazwir 1993). Bakso ikan dari surimi yang dihasilkan kadar airnya
berkisar antara 64,95–66,12%; protein 18,68–20,17%, lemak 2.06–3,08%, abu 1,95–
2,32 % dan karbohidrat 9,5– 11,68%. Nilai kalori berkisar antara 139,9 – 146,3 kkal.
Kandungan TPC (log X) bakso ikan berkisar antara 4,02–4,17 atau 1,05 x 104 –1,48 x
104 koloni. Nilai parameter subyektif (uji tapioca optic) antara 6,6–7,5 (Pattipeilohy
dkk. 2012).
13

2. Bahan Baku daging burger


Burger ikan atau Fish burger adalah produk yang diolah dari hancuran daging
ikan setelah melalui proses pencucian, pengepresan, penambahan bumbu-bumbu dan
tepung tapioca, pencetakan dan pembekuan. Komposisi kimia fish burger yang dibuat
dari limbah pengolahan ikan kakap, tenggiri dan cumi (1 : 5 : 2) dengan penambahan
tepung tapioca 8 persen adalah: kadar air 58.2 %, protein 19.2 %, lemak 10.8 %, abu
2.9 % dan pati/hidrat arang 8,3 % (Arifudin 1993). Pattipeilohy (2005) melaporkan
rendemen daging ikan yang dapat dimanfaatkan untuk pengolahan fish burger dari
limbah ikan gulamah adalah 47,8 % (192 g/ekor), ikan senangin 33,9 % (105 g/ekor).
Ikan kurisi 34,4 % (110 g/ekor) dan bawal hitam 44,5 % (340 g/ekor). Komposisi kimia
produk dari masing-masing jenis, gulamah : senangin (5 : 1), gulamah : senangin (5 :
3) dan perbandingan kurisi: bawal (1 : 1) dengan penambahan tepung 13apioca 8 %
adalah: kadar air 49.3 – 53.2 % dan kadar abu 0.8 – 3.6 %. Sedangkan rendemen daging
ikan kurisi 34,4 % (110 g/ekor), bawal hitam 44,5 % (340 g/ekor) dan tuna 63.5 % yang
dapat diolah menjadi fish burger (Pattipeilohy 2007).
14

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Simpulan
Surimi adalah olahan daging ikan yang diambil dagingnya, dihancurkan, dicuci,
ditambahkan zat aditif, dan dibekukan. Proses pengolahan surimi menghasilkan limbah
yang dibagi menjadi dua jenis yaitu limbah cair dan limbah padat. Limbah cair berasal
dari air sisa pencucian surimi dan pencucian alat-alat yang digunakan pada proses
pengolahan surimi, sedangkan limbah padat merupakan hasil proses penyiangan surimi
yang meliputi pembuangan kepala, jeroan, kotoran dan tulang. Limbah cair surimi bisa
dimanfaatkan sebagai pupuk nitrogen dan bahan pakan ikan. Limbah padat bisa
dimanfaatkan sebagai tetelan ikan, tepung tulang ikan, dan kecap ikan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahman, 1987. Teknologi Pengolahan Surimi. Balai Bimbingan dan Pengujian


Mutu Hasil Perikanan. Jakarta.

Abun. 2006. Efek Pengolahan Secara Kimia dan Biologi Terhadap Kandungan Gizi dan
Nilai Energi Metabolis Limbah Ikan Tuna Pada Ayam Broiler. Jurnal Bionatura.
3 (VII) : 282.

Abun. 2006. Protein dan Asam Amino Pada Unggas Nutrisi Ternak Unggas dan
Monogastrik. [Skripsi]. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.


Yogyakarta.

Ahmad, Shafeeg, Ade Nurisman, Wahyu Fitrianto, Arif Rahman Hakim dan Nur
Hidayat. Edible Coating Dari Gel Lidah Buaya Sebagai Alternatif Bahan Untuk
Mempertahankan Mutu Produk Dengan Aplikasi Spray. Laporan akhir PKM-
P.IPB:Bogor.

Apriani, K. N. S. 2007. Edible Film dengan Bahan Dasar Air Limbah Surimi Ikan Nila
(Oreochromis niloticus). Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ariesta, A. 2007. Karakteristik Mutu dan Kelarutan Kitosan dari Ampas Silase Kepala
Udang Windu (Penaeus monodon). Skripsi. Teknolgi Hasil Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

ASTM. 1989. Annual Book of ASTM Standard. American Society for Testing and
Material. Philadelphia. 247 pp.

Banker, G. S. 1986. Film Coating, Theory, and Practise. Journal of Pharmacological


Science 55 : 81 -83.

15
Bhaskar, N., Mahendrakar, N.S. 2008. Protein hydrolysate from visceral waste proteins
of Catla (Catla catla). Optimization of hydrolysis conditions for a commercial
neutral protease. Journal of Bioresource Technology. 99(10), 4105-4111.

Billah, M. 2009. Pemanfaatan Limbah Ikan Tuna Melalui Proses Fermentasi Anaerob
Menggunakan Bakteri Ruminansia. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 1 (I) : 49.

Campos, C.A., L.N. Greshcenson, and S.K. Flores. 2011. Development of edible films
and coatings with antimicrobial activity. Food Bioprocess Technol. 4: 849–
875

Christina W., Miskiyah dan Widaningrum 2012. Production Technology and


Application of Starch BasedAntimicrobial Edible Package. Jurnal Litbang Pert.
Vol. 31 No. 3 September 2012: 85-93.

Cristsania. 2008. Pengaruh Pelapisan Dengan Edible Coating Berbahan Baku Karagenan
Terhadap Karakteristik Buah Stroberi (Fragaria nilgerrensis) Selama
Penyimpanan Pada Suhu 5OC + 2 OC. Skripsi. Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Cuq, B., Nathalie, G., Cuq, J.L. and Guilbert, S. 1996. Functional Properties of
Myofibrillar Protein-Based Biopackaging as Affected by Film Thickness.
Journal of Food Science. 61(3): 580-584.

Druchta.J.M and Catherine D. J. 2004. An Update on Edible Films.


(http://www.csaceliacs.org). Diakses tanggal 12 Oktober 2019 pukul 10.55 wib.

Gontard,N., Guilbert.,S., dan Cuq,J.L., 1993. Water and Glyserol as Plasticizer Afect
Mechanical and Water Barrier Properties of an Edible Wheat Gluten Film. J.Food
Science.58(1):206-211

Grantham, G.J. 1981. Minced Fish Technol ogy: A Review. FAO of the United Nations.
Rome.
Guilbert, S. 1986. Technology and application of edible protective films.In Mathlouthi,
M. Food Packaging and Preservation, p. 371 - 394.

Han, Jung H. 2005. Innovations in Food Packaging. Elsevier Ltd

Handoko, T., S, Octavia dan I, Sandy. 2011. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Asam,
Temperatur dan Waktu Ekstraksi Terhadap Karakteristik Fish Glue Dari Limbah
Ikan Tenggiri. Jurnal. 13 (4) : 238.

Hui, Y. H. 2006, Handbook of Food Science, Technology, and, Engineering Volume I.


CRC Press, USA

Irianto HE, Soesilo I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.


makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia tahun 2007.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Kechichian, V., C. Dield, P. Veiga-Santos, and C.C. Tadini. 2010. Natural antimicrobial
ingredients incorporated in biodegradable films based on cassava starch. LWT
- Food Sci. Technol. 43: 1088−1094

Kester, J. J. dan O. R. Fennema. 1989. Edible film and coating : A. Review. Food
Technology 40 (12) : 47-59.

Krochta,J.M., Baldwin,E.A. dan M.O.Nisperos-Carriedo. 1994. Edible coatings and film


to improve food quality. Echnomic Publ.Co., Inc., USA.

Lalopua,Vonda M.N.2004. Pembuatan Edible Film Kalsium Alginat dari Sargassum


sp. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan. Vol.3, No.1, Januari 2004:35-40.

Lee CM. 1986. Surimi manufacturing and fabrication of surimi based products. J. Food
Technology. 40: 115-124.

Matsumoto. 1980. Chemical deterioration of muscle proteins during frozen storage. In


J.Whitaker and M. Fujimaki (ed). Chemical deterioration of protein, p.95.
Washington DC: ACS Symp, series 123.
Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1992. Cryostabilization of protein in surimi. In Lanier TC,
Lee CM (eds). Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc.

McHaugh, T. H. J. F. Aujard dan J. M. Krochta. 1994. Plasticized Whey Protein Edible


Film: Water Vapor Permeability Properties. Journal of Food Science, 59: 416-
419, 423.

Miyake, Y., Y. Hirasawa and M. Miyanabe. 1985. Technology of Manufacturing. Info


Fish Marketing Digest No. 5: 29 – 32.

Nandiyanto, A. B. D. 2008. Catatan Kecil Mengenai Pengolahan Limbah dengan


Menggunakan Sinar Matahari. Majalah Inovasi. 20 (XII) : 17.

Nurilmala, M. 2004. Potensi Limbah Tulang Ikan Keras (Teleostei) sebagai Sumber
Gelatin dan Analisis Karakteristiknya. Tesis. Pasca Sarjana. Institut Pertabian
Bogor. Bogor.

Nurmalasari, D. M. 2007. Pemanfaatan Silase Ikan sebagai Pakan Terhadap Produksi


Kista Artemia franciscana Pada Berbagai Padat Penebaran. Skripsi. Jurusan
Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

Park JW. 2005. Surimi and Surimi Seafood second edition. CRC Press (Taylor & Francis
Group), New York.

Park JW, Morrissey MT. 2000. Manufacturing of surimi from light muscle fish. In Park
JW (Ed) Surimi and Surimi Seafood second edition. CRC Press (Taylor &
Francis Group), New York.

Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and shelf
life of fresh surimi from pacific whiting. J.Food Sci. 06(6): 1241-1244.

Pranoto, Y., V.M. Salokhe, and S.K. Rakshit. 2005. Physical and antibacterial properties
of alginate-based edible film incorporated with garlic oil. J. Food Res. Intl.
38: 267−272.
Prasetyaningrum, A., N. Rokhati, D. N. Kinasih, dan F. D. N. Wardhani. 2010.
Karakterisasi bioactive edible film dari komposit alginat dan lilin lebah sebagai
bahan pengemas makanan biodegradable. Seminar Rekayasa Kimia dan Proses.
ISSN : 1411 – 4216.

Quintavalla, S. and L. Vicini. 2002. Antimicrobial food packaging in meat industry.


Meat Sci. 62: 373–380

Retnosari, A. A dan M. Shovitri. 2013. Kemampuan Isolat Bacillus sp. dalam


Mendegradasi Limbah Tangki Septi. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 1 (II) : 7.

Setyono dan S. Yudo. 2008. Potensi Pencemaran Dari Limbah Cair Industri Pengolahan
Ikan Di Kecamatan Muncur, Kabupaten Bayuwangi. Jurnal. 4 (2) : 1

Skurtys;O. Acevedo; Cpedreschi; F.Enrione;J.Osorio; dan


F.Aguilera.2011. Food Hydrocolloid Edible Films and Coatings. Universidad de
Santiago de Chile.

Sonti, Sirisha. 2003. Consumer Perception and Application of Edible Coating on Fresh-
Cut Fruits and Vegetables. Thesis. Faculty of Lousiana State University and
Agricultural and Mechanical Collage in the Departement of Food Science.
Shreveport, U.S.A.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein Processing Technology. London: Applied Science
Publisher Limited.

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI Press

Tapia, M.S., M.A. Rojas-Grau, F.J. Rodriguez, J. Ramirez, A. Carmona, and O. Martin-
Belloso. 2007. Alginate- and gellanbased edible films for probiotic coating on
fresh cut fruits. J. Food Sci. 72(4): E 190−196.

Oktaviana, D. A., D. Mangunwidjaja., S. Wibowo., T. C. Sunantri., dan M.


Rahayuningsih. 2012. Pengolahan Limbah Cair Perikanan Menggunakan
Konsorsium Mikroba Indigenous Roteolitik dan Lipolitik. Jurnal Agrointek. 6
(II) : 65.

Vásconez, M.B., S.K. Flores, C.A. Campos, J. Alvarado, and L.N. Gerschenson. 2009.
Antimicrobial activity and physical properties of chitosan-tapioca starch based
edible films and coatings. Food Res. Intl. 42: 762−769.

Winarno, F.G.S., dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT.
Gramedia.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Winarno, F. G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Zayas JF. 1997. Functionality of Proteins in Food. London: Springer.

Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. 2006. Cryoprotective effects of trehalose


and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi during frozen
storage. Food Chem. 96: 96-103.
LAMPIRAN
bs_bs _banner

Journal of Food Quality ISSN 1745-4557

OPTIMIZATION OF THE SURIMI PRODUCTION FROM


MECHANICALLY RECOVERED FISH MEAT (MRFM) USING RESPONSE SURFACE
METHODOLOGY
FABÍOLA H S. FOGAÇA1,2, LUZIA APARECIDA TRINCA3 and ÁUREA JULIANA BOMBO4 and LÉA SILVIA
SANT’ANA2 , 5
1 Embrapa Meio-Norte, Parnaíba, PI
2 UNESP, Centro de Aqüicultura da UNESP, Via de Acesso Prof. Paulo Donato Castellane, s/n, 14884-900, Jaboticabal, SP
3 Instituto de Biociências de Botucatu, UNESP, Botucatu, SP
4 Departamento de Nutrição, USP, Faculdade de Saúde Pública, São Paulo, SP

5 Corresponding author.
ABSTRACT
TEL: +55-14-38807642 ;
FAX: +55-14-38807164; The by-products generated from industrial filleting of tilapia surimi can be used for
EMAIL: santana@fca.unesp.br the manufacture of surimi. The surimi production uses large amounts of water,
which generates a wastewater rich in organic compounds (lipids, soluble proteins
Received for Publication June 12, 2012 and blood). Optimizing the number of washing cycles will contribute to a more
Accepted for Publication January 2, 2013 sustainable production. A mathematical model of mechanically recovered tilapia
meat (Oreochromis niloticus) for the processing of surimi (minced fish washing
10.1111/jfq.12019 cycles and tapioca starch addition) based on two quality parameters (texture and
moisture) was constructed by applying the response surface methodology (RSM).
Each factor had an important effect on the moisture and texture of surimi. This
study found that the optimal formulation for producing the best surimi using the
by-products of tilapia filleting in manufacturing fish burger were the addition of
10% tapioca starch and three minced fish washing cycles. A microstructural
evaluation supported the findings of the mathematical model.

PRACTICAL APPLICATIONS
The use of mechanically recovered fish meat (MRFM) for the production of surimi
enables the utilization of the by-products of filleting fish. However, the inferior
quality of the surimi produced from MRFM in relation to that produced with fillets
necessitates the addition of starch; secondly, surimi production consumes a large
volume of water. RSM provides a valuable means for optimizing the number of
washing cycles and starch amounts utilized in fish burger production. Tapioca
starch, widely produced in Brazil, has desirable characteristics ( surface sheen,
smooth texture, neutral taste and clarity in solution) for use in MRFMproduced
surimi.

ogy facilitates the more responsible utilization of available resources


INTRODUCTION for human food and it reduces the environmen-

Journal of Food Quality 36 (2013) 209–216 © 2013 Wiley Periodicals, Inc. 209
In 2010, the tilapia was responsible for 40% of aquaculture tal stresses associated with the disposal of processing production
of freshwater fish in Brazil (FAO 2012), and that by-products (Jaczynski 2005). The recovered muscle protein most of the
tilapias were used to produce fillet. The average can be used to manufacture value-added products such as tilapia fillet yield
varies from 30–38% and industrial fillet- surimi.
ing generates significant amounts of by-products. The Surimi is minced fish flesh that has been washed to development of
technology for protein recovery from fillet- remove most of the lipids, blood, enzymes and sarcoplasmic ing by-products
offers many benefits, because this technol- proteins, which is then stabilized using cryoprotectants to

allow frozen storage (Lee 1984; Park and Lin 2005; in meat industry for its surface sheen, smooth texture,
Julavittayanukul et al. 2006). neutral taste and clarity in solution (Zhang and Barbut
The utilization of fish industry by-products, such as 2005). The cassava plant originated in the Brazilian
surimi, provides an important opportunity for the industry Amazon rainforest and it was adopted as a staple food in
because it could potentially generate additional revenue as the African and Asian continents, which are now the main
well as reducing the costs of disposing of these materials producers of this raw material (Maieves et al. 2011).
(UNEP 2000). However, surimi requires the use of large Response surface methodology (RSM) is a useful
volumes of freshwater and it produces high levels of statistical technique that has been applied to complex
contaminated wastewater (Martín-Sánchez et al. 2009). variable processes where its principal advantage is the
The number of washing cycles, the ratio of water : fish, reduced number of experimental runs required to generate
and the washing time are important factors determining the sufficient information to provide a statistically acceptable
quality of surimi gel. The amount of water required and the result (Jeong et al. 2009).
number of washing cycles is determined by the fish The present study tested the number of washing cycles and
species, the fish condition and the product quality required the starch concentration as independent variables when
(Lee 1984). optimizing shear stress and moisture in tilapia surimi for fish
The texture, color and odor composition of the final burger production.
product is greatly improved when impurities are removed
by washing (Park and Lin 2005). These functional MATERIALS AND METHODS
properties are the major factors responsible for the final
acceptance of surimi-based products by consumers Materials
(Tabilo-Munizaga and Barbosa-Canóvas 2004; Park and
Morrissey 2005). However, rising utility costs, limited Experiments were performed at Universidade Estadual
water sources and pollution have prompted surimi Paulista, UNESP, Brazil. Minced fish of tilapia was obtained
manufacturers to consider minimizing water usage and from a commercial abattoir. The meat was removed from
reducing wastewater disposal (Park and Lin 2005). The tilapia carcasses that were produced and slaughtered at the site
number of washing cycles and ratio water : fish are and that belonged to the same production lot. Fish were
important parameter for texture, color and odor, and the use deprived of food for 24 h and then killed by heat shock (using
of mechanically recovered meat usually requires a larger water and ice at a 1:1 ratio), before gutting and heading prior
amount of water. to fillet removal. Once sliced, the fish carcasses were passed
Starches promote the formation of a continuous matrix through a deboning machine (High Tech, HT 250, Chapeco,
by interacting with water and protein in the fish paste and SC, Brazil) to remove muscle attached to bones, resulting in a
they have an important role in improving the mechanical product known as mechanically recovered fish meat (MRFM).
and functional properties of surimi (Ramirez et al. 2011). The MRFM was packaged and frozen in a freezing tunnel at -
Furthermore, starch is added to surimi to maintain gel 25C and then stored in a freezer at -18C. Samples were
strength with a reduction in surimi content, because of its transported in cold boxes to keep them frozen. On arrival at
water-binding ability, while it also improve stability during the laboratory, they were kept in a freezer (–18C) for 48 h.
refrigerated or frozen storage (Lee 1984). A 4–12% starch
level is commonly added to surimi and the most frequently Surimi Preparation
used starches include wheat, corn, potato, waxy maize and
tapioca (starch produced from treated and dried cassava Surimi was prepared using a manual process. The MRFM was
root) (Hunt et al. 2010). Different botanical starch sources kept under refrigeration at 5C for 24 h before being handled.
have different effects on the texture of surimi starch gels After thawing, it was subjected to a different number of
(Yang and Park 1998). In Brazil, tapioca starch is widely washing steps (1, 3 or 5) using four volumes of cold distilled
used in the baking industry because of its special water. The water temperature during washing was maintained
characteristics in starch gelatinization and the added at approximately 5C using crushed ice. After each wash, the
advantage of not containing gluten. Tapioca starch is used mince was manually pressed on cotton. At the end of
processing, 1% sucrose was added as a primary cryoprotectant Scanning Electron Microscopy ( SEM )
and 2% sodium chloride was used as a flavor enhancer, which
masked the sweetness, because Brazilians dislike surimi-based The microstructure of gels prepared using the different
products with strong sweet taste. The treatment with 10 or methods was determined with a SEM. Samples with a
20% of starch addition was done slowly until homogenization. thickness of 5 mm were fixed using 2.5% buffered
Adding starch was performed to simulate the fish burger glutaraldehyde and post-fixed in 1% osmium tetroxide for 2
production according Fogaça (2009). The addition of h.They were then washed in phosphate buffered saline,
cryoprotectants ( sucrose), flavor enhancer (sodium chloride) dehydrated in ethanol and dried to the critical point using CO2.
and texture enhancer (starch) was performed using an electric Samples were metalized with pale-gold ions prior to electron
mixer (Arno, Planetaria, São Paulo, Brazil), then surimi was micrography.
frozen.

Surimi Gel Preparation Design and Statistical Analysis

Surimi samples were thawed and placed in ham forms during The experimental design was a three-level Central
baking and the induction of surimi gelatinization. Composite Design (Box and Draper 1987) that included 18
runs divided into two blocks at each time (Table 1). The
Each sample was directly cooked to a gel in a bath central point was replicated six times (five within a block)
(Novatecnica, NT 249, Piracicaba, SP, Brazil) and heated at and the two-level factorial portion was replicated twice.
90C for 30 min. After cooking, samples were cooled using The responses were analyzed by fitting RSMs (second
crushed ice for 15 min to stop the process. order polynomials) after coding both factors, i.e., washing
cycles (x1) and starch amount (x2), such that their levels
Shear Stress were centered at zero and their maximum and minimum
levels were 1 and -1, respectively. The “lm” function from
The shear stress of fish ham was measured using an SMS TA- R (R Development Core Team 2011) was used for the
XT PlusTexture Analyzer (Stable Micro Systems, UK) and calculations. F-tests from the analysis of variance were
blade attachment (Warner-Bratzler shearing device) with a used for deciding for parsimonious fitted models following
load cell of 5 kg and a crosshead speed of 12 cm/min at a the hierarchy principle applied to the polynomial terms
distance of 1.5 cm. Cubes (1 cm3) were compressed in the axial (Wu and Hamada
direction until they completely cut the sample. The computer
2009). Significance was attained for P-value smaller than
program Texture Expert Exceed version 2.5 was used for data
collection (25 measurements per treatment) and shear stress 0.05.
calculation (expressed in KPa). Shear stress was carried out at
room temperature (20–22C).
RESULTS
Moisture In the analysis of the response variable moisture, the
analysis of variance and associated F-tests for model
The moisture content was determined based on the weight effects indicated significant linear effects of the number of
difference of 2 g surimi before and after heating in an oven washing
(Fanen, São Paulo, Brazil) for 24 h at 105C (method 950.46)
(Association of Official Analytical Chemists 2005). All
samples were stored at -18C and thawed at 5C for a period of
24 h prior to analysis.

TABLE 1. EXPERIMENTAL DESIGN (X1, X2) ,


MOISTURE (M) AND SHEAR FORCE (SF)
ACCORDING TO THE NUMBER OF SAMPLE
WASHINGS (W) AND THE PROPORTION OF
ADDED CASSAVA STARCH ( S )
W1S0 -1 1 -1 0 75.24 (0.43) 32.5 (5.9)
W1S20 -1 1 1 20 65.14 (0.20) 32.0 (5.7)
W5S0 1 5 -1 0 83.24 (0.18) 43.0 (11.6)
W5S20 1 5 1 20 71.86 (0.14) 42.4 (15.7)
W3S10 0 3 0 10 72.07 (0.27) 17.1 (5.5)
W3S10 0 3 0 10 78.54 (0.65) 22.4 (10.2)
W3S10 0 3 0 10 72.51 (0.89) 15.0 (5.6)
W3S10 0 3 0 10 72.38 (0.20) 16.3 (6.4)
W3S10 0 3 0 10 74.79 (0.36) 14.4 (5.6)
W1S0 -1 1 -1 0 72.61 (0.30) 18.0 (6.9)
W1S20 -1 1 1 20 64.57 (0.88) 16.6 (4.1)
W5S0 1 5 -1 0 78.88 (0.61) 24.7 (10.3)
W5S20 1 5 1 20 71.20 (0.93) 17.9 (5.3)
W3S10 0 3 0 10 68.53 (1.66) 18.0 (3.7)
W1S10 -1 1 0 10 69.31 (0.69) 11.5 (2.1)
W5S10 1 5 0 10 75.70 (0.29) 11.0 (1.0)
W3S0 0 3 -1 0 75.44 (0.97) 11.4 (1.7)
W3S20 0 3 1 20 66.84 (0.09) 20.1 (2.9)

* Does not correspond to the randomized order.


† Mean (standard deviation). We used 25 readings for texture (n= 25) and four moisture
y1 y2
W −3 S −10
Treatment* x1 = W x2 = S (% ) M (%)† SF (KPa)†
2 10
analyses in triplicate (n= 12) per test.
TABLE 2. SECOND ORDER MODEL PARAMETER ESTIMATES FOR +10.03x22, where yˆ2 is the fitted response shear stress.
MOISTURE (R2 = 0.89)
Contours and surfaces for the estimated response are
Standard shown in the second row of Fig. 1. A region of minimum
Parameter Estimate error response can be seen from
Intercept 71.09 1.00
Block effect 2.64 0.97
x1 3.40 0.63 TABLE 3. SECOND ORDER MODEL PARAMETER ESTIMATES FOR SHEAR
x2 -4.58 0.63 STRESS (R2 = 0.78)
x12 0.96 1.14 Standard
x22 -0.41 1.14
Parameter Estimate error
x1.x2 -0.12 0.70 Intercept 6.20 2.85
cycles (P-value = 0.0002) and starch content (P-value Block effect 13.00 2.79
<0.0001). There was no evidence of curvatures with x1 2.84 1.81
respect to both factors or any interaction between them (P- x2 -0.06 1.81

values = 0.4606, 0.7272 and 0.87334, respectively). x12 5.53 3.28


x22 10.03 3.28
Parameter estimates and their standard errors are presented
x1.x2 -0.69 2.04
in Table 2. The fitted equation, averaging over the two
blocks, resulted in: yˆ1 = 72.41 + 3.40x1 - 4.58x2, where yˆ1 these plots and the partial derivatives of the shear stress with
is the fitted response moisture. The fitted model indicated respect to washing cycles and starch addition indicated that the
that moisture increases with washing cycles and decreases estimated shear stress attained the minimum when starch
with starch addition (as expected). The contours and plane amount was around 10 and washing cycles around 2.5 which
surface for the fitted response moisture are shown in the means in practice, two or three cycles.
first row of Fig. 1. The estimates show that any level of In accordance with the model in optimum conditions for
moisture between 65 and 80% can be obtained by varying tilapia surimi production, the shear force predicted is 12.5 KPa
the starch level and the number of washing cycles. while in practice conditions, using three washing cycles, the
Moisture levels between 75 and 78% can be achieved by shear force determined is 17.2 2.86 KPa.
reducing the starch level if the number of cycles is low or The highest values for shear stress were observed with 0 and
vice-versa. 20% starch and one or five washing cycles. The protein
Analysis of variance for the response shear stress structure of surimi with 0% starch and one washing cycle was
showed strong evidence of curvature effects for both intact and the fat droplets remained within the protein network
washing cycles (P-value = 0.0026) and starch (P-value = (Fig. 2A). The protein structure was surrounded by starch
0.0108) factors. Again, there was no evidence of granules while the fat droplets appeared to be wrapped in
interaction between the two factors (P-value = 0.7406). starch granules (20% starch and one washing cycle) (Fig. 2B).
With five washing cycles, 0% starch it was found that the
Parameter estimates and standard errors are presented in
protein structure contained gaps, probably due to changes in
Table 3. The fitted equation, averaged over the two blocks,
protein composition and the elimination of soluble proteins,
resulted in: yˆ2 =12.70 + 2.84x1 − 0.06x2 + 5.53x12
which consequently increased the concentration of
myofibrillar proteins (Fig. 2C), while with five washing
cycles, 20% starch that the structure was now formed of a mass
of protein, starch and fat droplets
(Fig. 2 D ).
The surimi gel produced with 10% starch and three washing
cycles had an intermediate structure with amorphous starch
granules that were probably gelatinized, while the fat droplets
were evenly distributed throughout the surimi structure (Fig.
3).

DISCUSSION
Since the surimi produced in this study was to be used for fish
burger production, it was desirable that the product had a soft
texture with a low shear force. Burgers formulated from
blends, in particular tapioca starch, present improved
tenderness and in particular lowered shear force (Troy et al.
1999). Based on these considerations, we estimated that the
shear stress was minimized when the starch amount was
approximately 10% with approximately 2.5 washing cycles,
which in practice meant three cycles (Fig. 1, second row). A
micrograph of this treatment (Fig. 3) shows that the presence
of fat globules and a starch network surrounded by the protein
matrix promoted the soft texture.
The use of three washing cycles during the preparing of
surimi from tilapia fillets, with a fish-to-water ratio of 1:4
(w/v) or 1:3 (w/v), is recommended by several authors
(Rawdkuen et al. 2009; Duangmal and Taluengphol 2010 ;
Ingadottir and Kristinsson 2010; Mahawanich et al. 2010).
The addition of starch can enhance the textural The U.S. Department of Agriculture has also authorized
characteristics of breaded or restructured products made with the use of a Commercial Item Description, for surimi

Washing Cycles

FIG. 1. FITTED CONTOURS AND SURFACES FOR THE RESPONSE VARIABLES MOISTURE (FIRST ROW) AND SHEAR STRESS (SECOND ROW)
surimi. There is an increasing interest in identifying novel products, whose analytical requirements specify that starch
applications for both native and modified starches to improve should constitute no more than 10% of the total ( USDA
the mechanical and functional properties of surimi products 2008). The relevant Brazilian law, drafted by the Ministry
(Ramirez et al. 2011). In spite of their higher amylose content, of Agriculture, Livestock and Supply, states that breaded
about 18%, tapioca starches give relatively stable, clear sols products can possess 30% carbohydrates and at least 10 %
on cooling, because this amylose is higher in molecular weight protein (Brasil 2012). Thus, the amount of tapioca starch in
and may be more branched than other starches (Mason 2009). the optimum condition meets both laws.
Furthermore, the addition of salt helps to disperse the fish
proteins in the tapioca starch system (Chow and Yu 1997).
A 0% Starch, one washing cycles B 20% Starch, one washing cycles
CONCLUSIONS consultarLegislacao.do?operacao=visualizar&id=2198 (accessed
July 1, 2012).
The optimizing process will contribute to sustainable CHOW, C.S. and YU, S.S. 1997. Effect of fish protein, salt, sugar,
production of tilapia surimi, by utilizing filleting by- and monosodium glutamate on the gelatinization of starch in fish-
products in the preparation of restructured products with starch mixtures. J. Food Process. Preserv. 21, 161–177.
high biological value, such as the fish burger and by DUANGMAL, K. and TALUENGPHOL, A. 2010. Effect of
reducing the amount of water wasted with excessive protein additives, sodium ascorbate, and microbial
washings. The optimal conditions for tilapia surimi made transglutaminase on the texture and colour of red tilapia
with MRFM were the addition of 10% tapioca starch and surimi gel. Int. J. Food Sci.Technol. 45, 48–50.
three washing cycles. Further studies are needed to
FAO. 2012. Global Aquaculture Production. http://www.fao.org/
determine the optimum quantity of water used for washing fishery/statistics/global-aquaculture-production/en (accessed July
(the water-tofish ratio) in each cycle. 2, 2012).
FOGAÇA, F.H.S. 2009. Caracterização do surimi de tilápia do Nilo:
ACKNOWLEDGMENTS morfologia e propriedades físicas, químicas e sensoriais.
PhD Thesis, Aquicultura, CAUNESP, São Paulo State,
This paper was based on the work funded by Fundação de Brasil.
Amparo a Pesquisa do Estado de São Paulo ( FAPESP),
HUNT, A., GETTY, K.J. and PARK, J.W. 2010. Screening of
Brazil, (2006/06388-7). special starches for use in temperature-tolerant fish proteins
gels. J. Food Qual. 33, 100–118.
INGADOTTIR, B. and KRISTINSSON, H.G. 2010. Gelation of
protein isolates extracted from tilapia light muscle by pH shift
processing. Food Chem. 110, 789–798.
JACZYNSKI, J. 2005. Protein, lipid recovery from fish-
processing by-products. Glob. Aquac. Advocate 8(2), 34–35.
JEONG, G.-T., YANG, H.-S. and PARK, D.H. 2009.
Optimization of transesterification of animal fat ester using
response surface methodology. Bioresour. Technol. 100, 25–
30.
JULAVITTAYANUKUL, O., BENJAKUL, S. and
VISESSANGUAN, W. 2006. Effect of phosphate
compounds on gel-forming ability of surimi from bigeye
snapper (Priacanthustayenus). Food Hydrocolloids 20,
1153–1163.
LEE, C.M. 1984. Surimi process technology. Food Technol. 38, 69–
80.
MAHAWANICH, T., LEKHAVICHIR, J. and DUANGMAL, K.
2010. Gel properties of red tilapia surimi: Effects of setting
FIG. 3. MICROSTRUCTURE OF TILAPIA SURIMI GEL WITH 10%
condition, fish freshness and frozen storage. Int. J. Food
STARCH AND THREE WASHING CYCLES Sci.Technol. 45, 1777–1786.
MAIEVES, H.A., OLIVEIRA, D.C., FRESCURA, J.R. and
AMANTE, E.R. 2011. Selection of cultivars for minimization
REFERENCES of waste and of water consumption in cassava starch
production. Ind. Crops Products 32, 224–228.
ASSOCIATION OF OFFICIAL ANALYTICAL CHEMISTS. MARTÍN-SÁNCHEZ, A.M., NAVARRO, C., PÉREZ-ALVAREZ,
2005. Official Methods of Analysis of the Association of Official J.A. and KURI, V. 2009. Alternatives for efficient and
Analytical Chemists, 18th Ed., Association of Analytical sustainable production of surimi: A review. Comp. Rev. Food
Chemists, Gaithersburg, MD. Sci. Food Saf. 8, 359–374.
BOX, G.E.P. and DRAPER, N.R. 1987. Empirical Model-Building MASON, W.R. 2009. Starch use in foods. In Starch, 3rd Ed.,
and Response Surfaces, pp. 304–326, John Willey & Sons, New (J. Bemiller and R. Whistler, eds.) pp. 541–568,
York, NY. Academic Press, Burlington, NY.
BRASIL. 2012. Instrução Normativa n°6 de 15 de fevereiro de PARK, J.W. and LIN, T.M.J. 2005. Surimi: Manufacturing and
2001. Ministério da Agricultura Pecuária e Abastecimento. evaluation. In Surimi and Surimi Seafood, 2nd Ed., ( J.W.
http://extranet.agricultura.gov.br/sislegis-consulta/
Park, ed.) pp. 33–106, Taylor & Francis Group, Boca Raton,
FL.
PARK, J.W. and MORRISSEY, M.T. 2005. Manufacturing of
surimi from light muscle fish. In Surimi and Surimi Seafood,
2nd Ed., (J.W. Park, ed.) pp. 23–58, Taylor & Francis Group,
Boca Raton, FL.
R DEVELOPMENT CORE TEAM. 2011. R: A Language and
Environment for Statistical Computing, R Foundation for
Statistical Computing, Vienna, Austria. http://www.
R-project.org/ (accessed March 1, 2010).
RAMIREZ, J.A., URESTI, R.M., VELASQUEZ, G. and
VÁZQUEZ, M. 2011. Food hydrocolloids as additives to
improve the mechanical and functional properties of fish
products: A review. Food Hydrocolloids 25, 1842–1852.
RAWDKUEN, S., SAI-UTU, S., KHAMSORN, S., CHAIJAN,
M. and BENJAKUL, S. 2009. Biochemical and gelling
properties of tilapia surimi and protein recovered using an
acid-alkaline process. Food Chem. 112, 112–119.
TABILO-MUNIZAGA, G. and BARBOSA-CANÓVAS, G.V.
2004. Color and textural parameters of pressurized and heat-
treated surimi gels as affected by potato starch and egg
white. Food Res. Int. 37, 767–775.
TROY, D.J., DESMOND, E. and BUCKLEY, D.J. 1999.
Eating quality of low-fat beef burgers containing fat-
replacing functional blends. J. Food Sci. Agric.
79, 507–516.
UNEP. 2000. Cleaner production assessment in fish processing,
United Nations Environmental Programme (UNEP),
Division of Technology, Industry and Economics, New
York, NY.
USDA. 2008. Commercial Item Description: Surimi seafood
products, pasteurized, refrigerated or frozen.
http://www.ams.usda.gov/AMSv1.0/getfile?dDocName=
stelprdc5074005 (accessed June 20, 2012).
WU, J.H. and HAMADA, M. 2009. Experiments: Planning, Analysis
and Optimization, pp. 172–176, Wiley, New York, NY.
YANG, H. and PARK, J.W. 1998. Effect of starch properties and
thermal-processing condition on surimi-starch gels. Food Sci.
Technol. 31, 344–353.
ZHANG, L. and BARBUT, S. 2005. Effects of regular and modified
starches on cooked pale, soft, exudative; and dry, firm and dark
breast meat batters. Poultry Sci. 84, 789–796.

Anda mungkin juga menyukai