Anda di halaman 1dari 3

Rangga Mochammad Sada Saputra

Hubungan Internasional FISIP Universitas Pasundan Bandung


Kampung Naga

Pada kurun waktu 5 tahun belakangan, promosi kebudayaan yang dilakukan oleh
Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan Indonesia mendapatkan respon positif dari masyarakat
internasional. Salah satunya melalui slogan diplomasi budaya “Wonderful Indonesia” yang mudah
dibaca serta menyebarkan pesan-pesan keindahan Indonesia di mata dunia. Banyak sekali
keanekaragaman budaya yang sangat unik dan spesial karena ada suatu masyarakat yang masih
konservatif yang artinya tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional. Maka dari itu, essai yang
akan saya buat untuk kontribusi Indonesia kepada Jepang adalah mengambil komunitas suku yang
unik karena meskipun sekarang sudah memasuki zaman Industri 4.0 namun tetap mempertahankan
nilai kultural tradisional secara utuh yaitu “Kampung Naga”.

Kampung Naga adalah kampung adat yang terletak di desa Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya tidak jauh dari Jalan Raya yang
menghubungkan Garut-Tasikmalaya. Kampung ini sangat unik dikarenakan meskipun masyarakat
kampung Naga yang mempertahankan nilai-nilai tradisional tetapi lokasinya strategis dengan
daerah perkotaan. Sehingga banyak wisatawan bukan hanya dari lokal saja, tetapi juga turis dari
mancanegara. Dengan demikian Kampung Naga menjadi objek penelitian antropologi yang mudah
untuk diteliti dan mudah bagi turis mancanegara terutama turis Jepang. Kampung Naga artinya
bukan dulunya didiami oleh seekor naga tetapi arti naga adalah istilah dari bahasa Sunda yaitu
“Nagawir/dina gawir”, yang artinya: berada di lembah, disebabkan geografi kampung Naga berada
di lembah. Sehingga untuk dapat mencapai tersebut harus menuruni ratusan tangga.

Sejarah kampung Naga sendiri tidak diketahui secara pasti bahkan masyarakat Kampung
Naga tidak tahu sejarah karena manuskrip atau arsip-arsip dan benda pusaka Kampung Naga
dibakar dan dimusnahkan oleh Pemberontakan DI/TII oleh Sekarmadji Kartosoewirjo tahun 1956.
Bagi masyarakat Kampung Naga disebut sebagai Pareum Obor yang dalam bahasa Indonesia ialah
matinya penerangan. Wilayah Kampung Naga dibatasi oleh batas alam dan batas buatan, batas
alamnya yaitu hutan dan sungai Ciwulan dan batas buatannya yaitu parit dan pagar kayu. Namun,
masyarakat sekitarnya tidak berani menggeser batas buatan dan tetap mempertahankan batasnya.
Kampung Naga mempunyai falsafah atau prinsip yang harus dilakukan oleh masyarakat kampung
Naga yaitu “Saur Elingkeun Jaman Kaulaan Kandang Jaga”, yang artinya adalah: meskipun jaman
Rangga Mochammad Sada Saputra
Hubungan Internasional FISIP Universitas Pasundan Bandung
sudah berubah, adat istiadat wajib dipertahankan karena masyarakat kampung Naga adalah
masyarakat yang taat agama. Sehingga mengubah alam sama saja mengubah ciptaan dari Tuhan.

Masyarakat kampung Naga mayoritas beragama Islam tetapi masih ada unsur-unsur nenek
moyang seperti Upacara “Hajat Sasih” yang dilakukan pada hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah
dengan alat musik tradisionalnya yaitu “terbang gembrung”, angklung digunakan untuk upacara
padi dan khitanan serta untuk menghormati Dewi Sri Pohaci. Selain itu, seni puisi atau tembang
sunda dalam bahasa Sunda ialah Beluk jeung réngkong yaitu seni bersyair diiringi dengan musik
dan isi syairnya diambil dari “wawacan” yaitu isi cerita rakyat sunda. Jumlah tempat tinggal ada
112 tempat tinggal . Atap bangunan rumah mereka dibuat dari daun nipah, ijuk ataupun atau alang-
alang dan posisi rumahnya menghadap Utara-Selatan dan pintu hanya pintu depan saja karena bagi
masyarakat kampung Naga membuat dua pintu berlawanan (depan-belakang) adalah hal yang
dilarang karena akan menghilangkan rejeki, serta bentuk bangunannya tidak boleh berubah dan
wajib sesuai dengan aslinya karena untuk menjaga tradisi dari warisan leluhur kampung Naga.

Sistem pemerintahannya adalah kepala masyarakat dipimpin oleh “kuncen” yang bertugas
memimpin kampung, memimpin upacara adat, dan menjadi narasumber jika ada turis yang
berkunjung dan sistemnya satu Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk kampung Naga sekitar
10% berada di dalam dan 90% berada di luar kampung Naga yang bernama warga sanaga. Mata
pencahariannya yaitu bertani, beternak, dan berladang dengan meggunakan alat tradisional. Di
seberang sungai Ciwulan ada hutan yang tidak boleh dikunjungi atau bahkan ditebang karena
larangan yang mereka lakukan bukan dari hukum adat tetapi dari hukum alam yang namanya ialah
“Pamali”. Sehingga apabila melanggar akan mendapat ganjaran dan hukuman dari tuhan yang
menciptakan alam. Sistem teknologi, mereka hanya digunakan untuk aktivitas utama saja misalnya
radio, handphone, bahkan televisi. Akan tetapi untuk memasak dan melakukan aktivitas ekonomi
masih menggunakan alat tradisional. Pengetahuan dan pendidikan masyarakat kampung Naga
berpendidikan sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) dan bahkan sampai jenjang
perguruan tinggi hingga menjadi putra daerah tersebut.

Karena geografis masyarakat kampung Naga yang strategis dan masyarakatnya yang
terbuka dengan luar dengan falsafahnya “Kudu nyucruk jeruk mapak gedang”, yang artinya:
terbuka, tunduk, dan menerima setiap orang asal menghormati tradisi mereka dan mempertahankan
Rangga Mochammad Sada Saputra
Hubungan Internasional FISIP Universitas Pasundan Bandung
keaslian mereka, maka tidak heran sejak 1970-an turis lokal dari mahasiswa UI, UGM, dan UNPAS
bahkan dari mancanegara, Swedia, Australia, dan Belanda mengunjungi kampung tersebut.
Dengan demikian keunikan Kampung Naga menjadi identitas budaya yang harus didiplomasikan
ke dunia internasional demi mempertahankan identitas budaya Indonesia dengan keanekaragam
budayanya.

Anda mungkin juga menyukai