Anda di halaman 1dari 31

REFERAT BEDAH PLASTIK

RESPON HUMORAL PADA PROSES PENYEMBUHAN LUKA


NORMAL DAN ABNORMAL

Disusun oleh:

Emillya Sari G99181024


Miska Raihana G991902040
Rahadian Arista G99181050

Pembimbing:

dr. Amru Sungkar, Sp.B, Sp.BP-RE(K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Penyembuhan luka adalah proses kompleks yang melibatkan beberapa tahap


yang meliputi tahaap inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, reepitelisasi,
pembentukan matriks dan remodeling. Setelah cedera pada kulit, penghalang epidermis
terganggu dan keratinosit melepaskan interleukin-1 (IL-1). IL-1 adalah sinyal pertama
yang memperingatkan sel-sel di sekitarnya untuk menghalangi kerusakan selanjutnya.
Selain itu, komponen darah dilepaskan ke situs luka mengaktifkan kaskade
pembekuan. Gumpalan yang dihasilkan menginduksi hemostasis dan menyediakan
matriks untuk masuknya sel-sel inflamasi. Trombosit berdegranulasi melepaskan
butiran alfa, yang mensekresi faktor pertumbuhan seperti: epideral growth factor
(EGF), platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor-beta
(TGF-β). PDGF, bersama dengan sitokin proinflamasi seperti IL-1, penting dalam
menarik neutrofil ke lokasi luka untuk menghilangkan bakteri yang mengkontaminasi.
Dengan bantuan TGF- β, monosit dikonversi menjadi makrofag yang memainkan peran
penting dalam menambah respons inflamasi dan debridemen jaringan. Makrofag
memulai pengembangan jaringan granulasi dan melepaskan berbagai sitokin
proinflamasi (IL-1 dan IL-6) dan faktor pertumbuhan (fibroblast growth factor [FGF],
EGF, TGF- β, dan PDGF) (Sorg et al., 2017).

Keberhasilan proses penyembuhan luka tergantung pada faktor pertumbuhan,


sitokin, dan kemokin yang terlibat dalam integrasi kompleks sinyal yang
mengoordinasikan proses seluler. Agen-agen ini adalah polipeptida yang aktif secara
biologis yang bertindak untuk mengubah pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme
sel target. Mereka dapat bertindak dengan paracrine, autokrin, juxtacrine, atau
mekanisme endokrin, dan mempengaruhi perilaku sel sebagai konsekuensi dari
pengikatan mereka terhadap reseptor permukaan sel tertentu atau protein ECM.
Mengikat reseptor ini memicu kaskade peristiwa molekuler. Titik akhir dari
pensinyalan ini adalah pengikatan faktor transkripsi ke promotor gen yang mengatur

2
transkripsi protein yang mengendalikan siklus sel, motilitas, atau pola diferensiasi.
Ulasan ini akan meringkas faktor pertumbuhan utama dan sitokin yang terlibat dalam
penyembuhan luka dengan fokus khusus pada EGF, TGF-β, FGF, VEGF, granulocyte
macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), PDGF-BB, CTGF, IL, dan tumor
necrosis factor (TNF)-α (Mirza and Koh, 2015).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka
1. Pengertian
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ
tertentu. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan
tulang atau organ tubuh yang lain. Ketika luka timbul, beberapa efek akan
muncul seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stress
simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, dan kematian
sel.
2. Jenis Luka
Berdasarkan lama waktu penyembuhannya, luka dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu:
a. Luka Akut
Luka akut adalah luka trauma yang biasanya segera mendapat
penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila tidak terjadi
komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan
penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Contohnya
adalah luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
b. Luka Kronik
Luka akut adalah luka yang berlangsung lama atau sering timbul
kembali (rekuren) atau terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang
biasanya disebabkan oleh masalah multi faktor dari penderita. Pada luka
kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon
baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contohnya
adalah ulkus tungkai, ulkus vena, ulkus arteri (iskemi), penyakit vaskular
perifer ulkus dekubitus, neuropati perifer ulkus decubitus.

4
3. Proses Fisiologis Penyembuhan Luka
Proses fisiologis Penyembuhan Luka dapat dibagi ke dalam 4 fase
utama, yaitu:
a. Hemostasis
Pada fase ini terjadi peningkatan perlekatan platelet. Platelet akan
bekerja untuk menutup kerusakan pembuluh darah. Jaringan yang rusak
akan merangsang adenosin diphosphat (ADP) membentuk platelet. Platelet
yang dibentuk berfungsi untuk merekatkan kolagen dan mensekresi faktor
yang merangsang pembekuan darah. Pembekuan darah diawali dengan
produksi trombin yang akan membentuk fibrin dari fibrinogen. Hubungan
fibrin diperkuat oleh agregasi platelet menjadi hemostatik yang stabil.
Platelet juga mensekresi platelet yang terkait dengan faktor pertumbuhan
jaringan (platelet-associated growth factor). Hemostatis terjadi dalam
waktu beberapa menit setelah injuri kecuali ada gangguan faktor
pembekuan.
b. Inflamasi
Pada proses penyembuhan ini biasanya terjadi proses pembersihan
debris. Respon jaringan yang rusak : jaringan yang rusak dan sel mast
melepaskan plasma dan polimorfonuklear ke sekitar jaringan. Neutropil
memfagositosis mikroorganisme dan berperan sebagai pertahanan awal
terhadap infeksi. Jaringan yang rusak juga akan menyebabkan vasodilatasi
dari pembuluh darah sekeliling yang masih utuh serta meningkatkan
penyediaan darah ke daerah tersebut, sehingga menjadi merah dan hangat.
Permeabilitas kapiler-kapiler darah meningkat dan cairan yang kaya akan
protein mengalir kedalam spasium intertisial, menyebabkan edema lokal
dan mungkin hilangnya fungsi di atas sendi tersebut. Makrofag
mengadakan migrasi ke luar dari kapiler dan masuk ke dalam darah yang
rusak sebagai reaksi terhadap agens kemotaktik yang dipacu oleh adanya
cedera. Makrofag mampu memfagosit bakteri. Makrofag juga mensekresi

5
faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibrobalas (FGF), faktor
pertumbuhan epidermal (EGF), faktor pertumbuhan beta trasformasi (tgf)
dan interleukin-1 (IL-1).
c. Proliferasi
Fibroblas meletakkan subtansi dasar dan serabut-serabut kolagen
serta pembuluh darah baru mulai menginfiltrasi luka. Begitu kolagen
diletakkan, maka terjadi peningkatan yang cepat pada kekuatan regangan
luka. Kapiler-kapiler dibentuk oleh tunas endothelial, suatu proses yang
disebut angiogenesis. Bekuan fibrin yang dihasilkan pada fase I
dikeluarkan begitu kapiler baru menyediakan enzim yang diperlukan.
Tanda-tanda inflamasi mulai berkurang. Jaringan yang dibentuk dari
gelung kapiler baru, yang menopang kolagen dan subtansi dasar, disebut
jaringan granulasi karena penampakannya yang granuler dan warnanya
merah terang. Fase ini berlangsung selama 3-24 hari.
d. Maturasi
Pada tahap maturasi terjadi proses epitelisasi, kontraksi dan
reorganisasi jaringan ikat. Setiap cedera yang mengakibatkan hilangnya
kulit, sel epitel pada pinggir luka dan sisa-sisa folikel rambut, serta
glandula sebasea dan glandula sudorivera membelah dan mulai bermigrasi
diatas jaringan glandula baru. Karena jaringan tersebut hanya dapat
bergerak diatas jaringan yang hidup, maka mereka hidup dibawah eskar
atau dermis yang mengering. Apabila jaringan tersebut bertemu dengan
sel-sel epitel lain, yang juga mengalami migrasi, maka mitosis berhenti,
akibat inhibisi kontak. Kontraksi luka disebabkan karena miofibroblas
kontraktil membantu menyatukan tepi-tepi luka. Terdapat suatu penurunan
progresif alam vaskularitas jaringan parut, yang berubah dalam
penampilannya dari merah kehitaman menjadi putih. Serabut- serabut
kolagen mengadakan reorganisasi dan kekuatan regangan meningkat.

6
Gambar 1. Proses penyembuhan luka

4. Faktor-Faktor yang dapat Penghambat Penyembuhan Luka


Meskipun proses penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, ada
banyak faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, yaitu:
a. Faktor intrinsik
Faktor intrinstik meliputi faktor- faktor patofisiologi umum
(misalnya, gangguan kardiovaskuler, malnutrisi, gangguan metabolik dan
endokrin, penurunan daya tahan terhadap infeksi) dan faktor fisiologi
normal yang berkaitan dengan usia dan kondisi lokal yang merugikan pada
tempat luka (misalnya, eksudat yang berlebihan, dehidrasi, infeksi luka,
trauma kambuhan, penurunan suhu luka, pasokan darah yang buruk,

7
edema, hipoksia lokal, jaringan nekrotik, pengelupasan jaringan yang luas,
produk metabolik yang berlebihan, dan benda asing).
b. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik meliputi penatalaksanaan luka yang tidak tepat
(misalnya, pengkajian luka yang tidak tepat, penggunaan bahan perawatan
luka primer yang tidak sesuai, dan teknik penggantian balutan yang
ceroboh).

5. Komplikasi Penyembuhan Luka


a. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul
dalam 2-7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk
adanya purulen, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan, bengkak
disekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah
putih.
b. Dehisen
Dehisen adalah terpisahnya lapisan luka secara parsial atau total.
Dehisen sering terjadi pada luka pembedahan abdomen dan terjadi setelah
regangan mendadak, misalnya batuk, muntah atau duduk tegak di tempat
tidur.
c. Eviserasi
Terpisahnya lapisan luka secara total dapat menimbulkan eviserasi
(keluarnya organ viseral melalui luka yang terbuka). Bila terjadi evisersasi,
perawat meletakkan handuk steril yang dibasahi dengan salin normal steril
di atas jaringan yang keluar untuk mencegah masuknya bakteri dan
kekeringan pada jaringan tersebut.
d. Fistul

8
Fistul adalah saluran abnormal yang berada diantara dua buah
organ atau diantara organ dan bagian luar tubuh.

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Respon Humoral Pada Proses Penyembuhan Luka Normal Dan Abnormal


1. Penyembuhan Luka Normal
Penyembuhan luka merupakan proses yang sangat kompleks meliputi
interaksi dari matriks ekstraseluler, molekul ekstraseluler, mediator, keratinosit,
fibroblast, serta leukosit yang mengembalikan integritas jaringan yang rusak
serta mengganti jaringan yang hilang. Proses ini meliputi tiga tahap berupa
tahap inflamasi, proliferasi sel dan perbaikan matriks, serta reepitelisasi dan
remodeling jaringan luka. Tahap tahap tersebut melibatkan mekanisme seluler
dan biokima yang kompleks. Pada proses ini, terjadi peningkatan permeabilitas
vaskuler untuk migrasi sel dan substasi biologis aktif untuk membantu proses
penyembuhan luka. Dalam hal ini, terjadi migrasi pro dan anti-inflammatory
chemo/cytokines yang akan membantu aktivasi dan migrasi sel.

a. Sitokin Proinflamasi
Penyembuhan luka diatur oleh growth factor dan sitokin yang sangat
penting pada proses inflamasi dan proliferasi sel. Sitokin dilepaskan oleh
neutrophil saat apoptosis pada 5-6 jam setelah luka. IL-1β merupakan
interleukin utama dari respons antimikroba dengan meningkatkan respons
inflamasi; dengan cara merangsang rekrutmen leukosit, pelepasan protein
fase akut, dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. TNF-α
merupakan sitokin proinflamasi kedua yang berkontribusi terhadap keadaan
luka kronis. TNF-α bertindak pada beberapa tahap mekanisme perekrutan
leukosit, neutrofil dan makrofag, menginduksi regulasi adhesi molekuler,
produksi kemokin, dan matriks metalloproteinase, serta inhibitor jaringan
metalloproteinase. Interleukin IL-6 adalah mediator proinflamasi dengan
aktivitas pleiotropik pada inflamasi, hematopoiesis, dan respon imun.
Bersama dengan TNF-α dan IL-1β, IL-6 muncul dalam konsentrasi yang

10
tinggi pada proses inflamasi. Setelah IL-6 disekresikan ke area luka pada
awal proses inflamasi, IL-6 diarahkan ke hepar melalui aliran darah,
mentransmisikan informasi dan mendorong hepatosit untuk menghasilkan
agen inflamasi tertentu (Scheller et.al., 2011). Sitokin penting lainnya dalam
fase inflamasi adalah IL-8, yang juga bertindak sebagai kemokin (CXCL8).
Peran utama IL-8 adalah migrasi ke sel-sel sistem kekebalan tubuh, terutama
neutrofil, juga menentukan peningkatan ekspresi sel-sel molekul adhesi
endotel (Kolaczkowska dan Kubes, 2013).
Sitokin proinflamatori, terutama IL-1 dan interleukin-6, dan TNF-α
diatur naik selama fase inflamasi penyembuhan luka. IL-1 diproduksi oleh
neutrofil, monosit, makrofag, dan keratinosit. Setelah penyembuhan luka
segera dilepaskan oleh keratinosit. Selain memiliki efek parakrin, ia juga
bekerja secara otokrin yang meningkatkan migrasi dan proliferasi
keratinosit. IL-1 telah terbukti menginduksi ekspresi K6 dan K16 dalam
migrasi keratinosit. Selain itu, IL-1 mengaktifkan fibroblast dan
meningkatkan sekresi FGF-7.
IL-6 diproduksi oleh neutrofil dan monosit dan telah terbukti penting
dalam memulai respons penyembuhan. Ekspresinya meningkat setelah
terluka dan cenderung bertahan pada luka yang lebih tua. Ini memiliki efek
mitogenik dan proliferatif pada keratinosit dan bersifat kemoatraktif untuk
neutrofil. Sama seperti IL-1, TNF-α dapat menginduksi produksi FGF-7,
menunjukkan bahwa ia dapat secara tidak langsung mempromosikan
reepithelialization. TNF-α sendiri telah terbukti menghambat reepitelisasi
luka. Efek dari TNF-α eksogen tergantung pada konsentrasi dan durasi
paparan yang menekankan pentingnya menyeimbangkan sinyal proinflamasi
yang mengendalikan penyembuhan luka. TNF-α, pada level rendah, dapat
meningkatkan penyembuhan luka dengan secara tidak langsung merangsang
peradangan dan meningkatkan faktor pertumbuhan yang dihasilkan
makrofag. Namun, pada tingkat yang lebih tinggi, terutama untuk jangka

11
waktu yang lama, TNF-α memiliki efek yang merugikan pada penyembuhan.
TNF-α menekan sintesis protein ECM dan TIMP sambil meningkatkan
sintesis MMP (MMP-1, MMP-2, MMP-3, MMP-9, MMP-13, dan MT1-
MMP). Selain itu, peningkatan kadar IL-1β memiliki respons yang mirip
dengan TNF-α. Baik TNF-α dan IL-1β telah terbukti melanggengkan
ekspresi satu sama lain dan karenanya memperkuat sinyal ini (Barrientos et
al., 2014).
Tingkat TNF-α dan IL-1β meningkat pada luka kronis. Selain itu,
infeksi yang sering terjadi pada luka kronis berkontribusi lebih lanjut pada
peradangan berkepanjangan. Lebih lanjut, luka yang tidak sembuh-sembuh
juga menunjukkan peningkatan kadar kolagenase interstitial, gelatinase, dan
stromelysins yang telah ditunjukkan diinduksi oleh TNF-α dan IL-1β. Oleh
karena itu, telah dihipotesiskan bahwa pada luka kronis, peradangan kronis
menyebabkan sel-sel peradangan untuk mengeluarkan TNF-α dan IL-1β
yang secara sinergis meningkatkan produksi MMP sekaligus mengurangi
sintesis TIMP. Ini adalah peningkatan aktivitas MMP yang menurunkan
ECM yang menghambat migrasi sel dan deposisi kolagen. MMP juga
memecah faktor pertumbuhan dan reseptor sel target mereka (Landen et al.,
2016).
IL-10 merupakan sitokin pengatur, yang dapat disekresikan oleh
banyak jenis sel imun, termasuk Th1, Th2, Th17, Treg, dan sel T CD8 +, sel
B, sel dendritik, makrofag, sel NK, eosinofil, neutrofil, basofil, dan MC,
serta sel-sel nonimun termasuk keratinosit. Sitokin ini dianggap sebagai
sitokin anti-inflamasi karena mampu menghambat produksi sitokin
proinflamasi lainnya, seperti TNF-α, IL-1β, dan IL-6 (Saraiva dan O’Garra,
2010). Selain efek anti-inflamasi yang kuat, IL-10 telah terbukti mengatur
sitokin fibrogenik, seperti mengubah faktor pertumbuhan-β (TGF-β),
sebagai bagian dari perannya dalam regulasi remodeling jaringan.

12
b. Kemokin
Kemokin juga merupakan partisipan aktif dalam proses penyembuhan
luka karena mereka merangsang migrasi beberapa tipe sel di lokasi luka
terutama sel-sel peradangan. Selain itu, kehadiran reseptor kemokin pada sel
residen menunjukkan bahwa mereka juga berkontribusi pada regulasi
reepithelialization, remodeling jaringan, dan angiogenesis. Rangkaian CXC,
CC, dan C dari ligan bertindak dengan mengikat reseptor permukaan yang
ditambah protein G, reseptor CXC dan reseptor CC (Qing, 2017).
Kemokin adalah molekul kecil yang menginduksi kemotaksis dan
aktivasi subset leukosit tertentu. Mereka diklasifikasikan menjadi empat
jenis: kemokin CC, kemokin CXC, kemokin C, dan kemokin CX3C.
Kemokin memainkan peran penting dalam penyembuhan luka dan penting
untuk mempertahankan homeostasis kulit, dan gangguannya dapat
menyebabkan patologi kulit (Nakayama, et.al., 2010) . Mereka juga
memainkan peran penting dalam membangun lingkungan mikro di mana sel-
sel kekebalan yang bermigrasi, bersama-sama dengan sel-sel kulit,
menyebabkan peradangan yang berkepanjangan (Sugaya, 2015).
Macrophage chemoattractant protein (MCP-1 atau CCL2) adalah
kemokin keluarga CC. MCP-1 diinduksi dalam keratinosit saat terluka. Ini
adalah chemoattractant untuk monosit / makrofag, sel T, dan sel mast.
Ekspresi kemokin yang berkelanjutan ini memungkinkan kehadiran neutrofil
dan makrofag yang berkepanjangan dalam luka kronis yang berkontribusi
terhadap respons inflamasi yang berkepanjangan. Namun, kurangnya MCP-
1 in vivo secara signifikan menunda penyembuhan luka terutama dengan
reepitelisasi, angiogenesis, dan sintesis kolagen seperti yang terlihat pada
model tikus. Ini menunjukkan bahwa pada tikus MCP-1 dapat memengaruhi
ekspresi gen / sintesis protein dari faktor-faktor pertumbuhan pada makrofag
murine. Namun, pada manusia MCP-1 tampaknya tidak mengatur produksi
faktor pertumbuhan oleh sel-sel ini. Penambahan MCP-1 eksogen pada luka

13
pada hewan hanya menghasilkan perbaikan moderat dalam penyembuhan
luka.
CX3CL1 diekspresikan oleh sel-sel endotelial dan sel-sel epitel yang
meradang, termasuk makrofag, keratinosit, dan sel otot polos pembuluh
darah, sedangkan CX3CR1 terutama diekspresikan oleh neutrofil, monosit,
sel mast, sel T, dan sel NK. Dalam penyembuhan luka kulit, CX3CL1 telah
terbukti diekspresikan oleh makrofag dan sel endotel, sedangkan CX3CR1
diekspresikan oleh makrofag dan fibroblas. Penurunan ekspresi sitokin
terkait-makrofag, seperti TGF-β dan VEGF, dan berkurangnya pengendapan
dan aktin otot polos-α dan kolagen ditunjukkan pada kulit yang terluka dari
tikus CX3CR1 (Bessera et.al., 2018).
Interferon inducible protein 10 (IP-10 atau CXCL10) adalah bagian
sitokin lain dari keluarga CXC. Pada luka akut dan peradangan kronis,
terjadi peningkatan ekspresi oleh keratinosit. IP-10 telah terbukti berdampak
negatif terhadap penyembuhan luka. Ekspresi berlebihan IP-10
menghasilkan respons peradangan yang lebih intens dengan merekrut
limfosit ke tempat luka. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa IP-10
menunda reepithelization dan memperpanjang fase granulasi. Sitokin ini
menghambat migrasi fibroblast dermal dengan menghalangi pelepasannya
dari substrat yang diatur oleh penghambatan IP-10 dari EGF dan aktivitas
pertumbuhan yang dimediasi oleh reseptor heparin yang menyerupai EGF
seperti faktor pertumbuhan calpain yang dimediasi faktor reseptor. Selain
itu, telah ditunjukkan bahwa IP10 menghambat angiogenesis. Mekanisme
yang disarankan dapat dilihat pada sitokin terkait, PF4. PF4 menghambat
migrasi sel endotel, proliferasi, dan angiogenesis sebagai respons terhadap
bFGF. PF4 menghambat pengikatan bFGF reseptornya dengan membentuk
kompleks heterodimerik melalui pengikatan heparin. Telah disarankan
bahwa IP-10 dapat bekerja dengan cara yang sama (Mirza, 2015).

14
Interleukin-8 (IL-8 atau CXCL8) adalah anggota keluarga CXC.
Ekspresinya meningkat pada luka akut dan telah terbukti berperan dalam
reepitelisasi dengan meningkatkan migrasi dan proliferasi keratinosit. Ini
juga menginduksi ekspresi MMPs dalam leukosit, merangsang remodeling
jaringan. Namun, ini merupakan kemoatraktan yang kuat untuk neutrofil,
sehingga berpartisipasi dalam respon inflamasi. Tingkat tinggi kemokin ini
terakumulasi dalam luka yang tidak sembuh. Selain itu, penambahan IL-8
dalam kadar tinggi mengurangi proliferasi keratinosit dan kontraksi kisi
kolagen oleh fibroblast. Telah ditunjukkan bahwa tingkat IL-8 yang relatif
rendah pada janin. Temuan ini mungkin bertanggung jawab atas kurangnya
peradangan selama penyembuhan luka janin (Barrientos et al., 2014).

c. Growth Factors
Faktor pertumbuhan adalah mediator endogen alami yang mampu
mengendalikan kontrol pertumbuhan sel, proliferasi, migrasi, dan
diferensiasi. Setelah terikat secara khusus pada reseptornya, interaksi
reseptor-ligan mampu mengaktifkan jalur transduksi sinyal intraseluler yang
mengatur berbagai fungsi seluler (Koria, 2012).
Ada banyak faktor pertumbuhan yang dikenal memberikan efek kuat
untuk penggunaan bedah, termasuk PDGF, VEGF, FGF, faktor
pertumbuhan epidermal (EGF), faktor pertumbuhan keratinosit (KGF),
transformasi faktor pertumbuhan beta (TGF-β), faktor stimulasi koloni
granulosit-makrofag (GM-CSF), dan lainnya. Meskipun mekanisme dasar
dari faktor-faktor pertumbuhan ini dipahami dengan baik, sebagian besar
belum menunjukkan dampak yang signifikan dalam uji pra-klinis atau kecil.
Karena ada kebutuhan kritis untuk opsi-opsi perawatan baru ini untuk
pengelolaan luka yang tidak dapat diatasi (misalnya, ulkus tekan, ulkus kaki
vena, dan ulkus kaki diabetik), memahami bagaimana faktor-faktor
pertumbuhan ini dapat digunakan untuk mengoptimalkan lingkungan mikro

15
luka untuk penyembuhan adalah suatu jalan yang menarik dari penelitian
masa depan (Yamakawa dan Hayashida, 2019).
PDGF memainkan peran penting dalam proses penyembuhan pada
luka kronis dan normal. Faktor pertumbuhan ini dilepaskan dari platelet
degranulasi setelah cedera pada cairan di sekitar luka. PDGF menstimulasi
mitogenisitas dan kemotaksis sel, seperti neutrofil, makrofag, fibroblas, dan
sel otot polos ke lokasi luka, memulai tahap proses inflamasi (Mardani et.al.,
2016). Fungsinya telah dijelaskan selama tahap epitelisasi penyembuhan
luka dengan meningkatkan produksi faktor pertumbuhan, seperti insulin-like
growth factor (IGF) -1 dan thrombospondin-1, pada gilirannya IGF-1
meningkatkan motilitas sel keratinosit dan trombospondin-1 menghambat
degradasi proteolitik dan enzimatik dari PDGF (Mardani et.al., 2016).
Angiogenesis merupakan proses yang sangat penting dalam
perkembangan dan perbaikan dan homeostasis jaringan normal. Salah satu
mediator proangiogenik yang paling penting adalah faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF), yang bertanggung jawab untuk merangsang
pembentukan pembuluh darah baru, proliferasi jaringan, migrasi,
diferensiasi, dan kelangsungan hidup, yang berkontribusi pada proses
angiogenesis, selain memengaruhi perbaikan dan penutupan luka dan
pembentukan jaringan granulasi (Kim et.al, 2016). VEGF memiliki beberapa
anggota, dan salah satu anggotanya seperti VEGF-A memulai proses
penyembuhan luka yang menginduksi peristiwa biologis terkait dengan
angiogenesis dan migrasi sel endotelial (Huang et.al., 2012) Pemberian
VEGF-A telah dilaporkan dapat mengembalikan penurunan angiogenesis
pada anggota tubuh iskemik diabetes dalam model hewan serta untuk
meningkatkan proses reepitelisasi luka diabetes (Song, et.al., 2012).
Epidermal growth factor (EGF) merangsang proliferasi dan
diferensiasi berbagai sel, termasuk fibroblast, sel endotel, dan sel epitel, dan
menunjukkan aktivitas mitogenik dan migrasi pada keratinosit pada tepi lesi.

16
EGF berpartisipasi dalam mekanisme ini, yang dianggap penting dalam
penyembuhan luka, yang dimulai beberapa jam setelah cedera, tetapi
menyajikan aktivitas yang lebih jelas dalam fase proliferasi penyembuhan
luka, dan berlanjut hingga fase remodeling matriks ekstraseluler.
Faktor pertumbuhan lain yang melibatkan aktivitas proses
penyembuhan adalah faktor pertumbuhan fibroblast (FGF), yang telah
dilaporkan memainkan peran penting dalam proses penyembuhan luka. FGF
dikeluarkan oleh keratinosit, fibroblas, sel endotel, sel otot polos, kondrosit,
dan sel mast. Selama proses luka akut, didapatkan peningkatan produksi
FGF-2 dan mereka bertanggung jawab dalam pembentukan jaringan
granulasi, reepitelisasi, dan remodeling jaringan (Jaefrian et.al., 2017).
Selain itu, fungsi seperti sintesis, pengendapan berbagai konstituen dari
matriks ekstraseluler, dan peningkatan motilitas keratinosit diatur oleh FGF-
2.
Peran Transforming growth factor type-β (TGF-β) dalam proses
penyembuhan merupakan salah satu protein dengan spektrum aktivitas
terbesar, dengan efek pada proliferasi sel, diferensiasi dan produksi matriks
ekstraseluler, dan modulasi imunologis. Selain itu, TGF-β memiliki banyak
aktivitas biologis dan dianggap sebagai kontributor penting untuk fibrosis,
angiogenesis, dan perbaikan jaringan. Faktor pertumbuhan ini juga dapat
mempengaruhi sel T, termasuk sel Th17 dan Treg, serta sel B, sel dendritik,
sel NK, neutrofil, dan eosinophil.

1) Epidermal Growth Factor (EGF)


Mungkin faktor pertumbuhan terbaik dalam penyembuhan luka
adalah faktor-faktor dari keluarga EGF. Ligan-ligan tersebut meliputi:
EGF, heparin binding EGF (HB-EGF), transforming growth factor-
alpha (TGF-α), epiregulin, amphiregulin, betacellulin, epigen,
neuregulin-1 (NRG-1), NRG-2, NRG-3 , NRG-4, NRG-5, dan NRG-6.

17
Anggota utama yang terlibat dalam penyembuhan luka meliputi: EGF,
TGF-α, dan EGF-HB. Ligan-ligan ini berikatan dengan reseptor EGF
(EGFR), protein transmembran tirosin kinase, yang menghasilkan
reseptor polimerisasi, autofosforilasi, dan fosforilasi tirosin protein hilir.
menonjol di lapisan basal. Ada juga ligan untuk reseptor lain, seperti
agonis β-AR (katekolamin), angiotensin II, dan antimikroba hCAP18,
yang dapat mentransaktivasi EGFR. Pada akhirnya jalur pensinyalan ini
mengarah pada aktivasi dari sejumlah jalur konvergen yang
mempromosikan migrasi dan proliferasi sel (Barrientos et al., 2014).
Dalam studi in vitro, menunjukkan bahwa aktivasi EGFR
memainkan peran penting dalam reepitelisasi dengan meningkatkan
proliferasi keratinosit dan migrasi sel pada luka akut. Ligan yang
mengikat EGFR disintesis sebagai bentuk berlabuh membran, yang
diproses secara proteolitik menjadi bioaktif bentuk larut. Namun,
pelepasan ligan EGFR sangat penting untuk migrasi keratinosit dan
telah ditetapkan bahwa EGF mempercepat migrasi keratinosit sehingga
mempromosikan reepitelisasi. Ini adalah mitogen kuat untuk keratinosit
dan bentuk transmembran mampu merangsang pertumbuhan keratinosit
dalam sebuah juxtacrine (Behm et al., 2012).

2) Fibroblast Growth Factor (FGF)


Keluarga FGF terdiri dari 23 anggota. Dari jumlah tersebut, tiga
anggota paling penting yang terlibat dalam penyembuhan luka kulit
adalah FGF-2, FGF-7, dan FGF-10. FGF diproduksi oleh keratinosit,
fibroblast, sel endotel, sel otot polos, kondrosit, dan sel mast. Keluarga
high-affinity FGF receptor (FGFR), yang memediasi respons seluler
terhadap FGF, terdiri dari empat anggota FGFR1-4. Reseptor ini adalah
protein transmembran tirosin kinase, yang bekerja sangat mirip dengan
EGFR. Penting untuk aktivasi reseptor, FGF harus mengikat

18
proteoglikan, seperti heparin, yang menggabungkan beberapa ligan
bersama di web.
FGF-2, atau FGF dasar, meningkat pada luka akut dan berperan
dalam pembentukan jaringan granulasi, reepitelisasi, dan remodeling
jaringan. Penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa FGF-2 mengatur
sintesis dan pengendapan berbagai komponen ECM, meningkatkan
motilitas keratinosit selama reepitelisasi, dan mempromosikan migrasi
fibroblast dan merangsang mereka untuk memproduksi kolagenase.
Tingkat FGF-2 menurun pada luka kronis. Uji klinis menggunakan
FGF-2 dalam pengobatan DFU telah gagal. Ini terutama karena
ketidakmampuan FGF-2 untuk mempertahankan kemanjurannya pada
pasien-pasien ini. Data yang menjanjikan telah diperoleh dari pasien-
pasien yang menderita ulkus tekan yang dirawat dengan FGF-
menunjukkan kecenderungan penutupan luka yang lebih cepat
(Barrientos et al., 2010).

3) Transforming Growth Factor-β (TGF-β)


Keluarga TGF-β termasuk anggota berikut: TGF β1-3, protein
morfogenik tulang (BMP), dan aktivin. TGF- β1, TGF- β2, dan TGF-
β3 adalah bentuk utama yang ditemukan pada mamalia, tetapi TGF- β1
mendominasi dalam penyembuhan luka kulit. Mereka diproduksi oleh
makrofag, fibroblast, keratinosit, dan trombosit dan bekerja dengan
mengikat kompleks reseptor heteromer yang terdiri dari satu tipe I dan
satu tipe II reseptor, keduanya serin-treonin kinase. Selain itu, mereka
berikatan dengan reseptor tipe III nonsignaling, yang berfungsi dalam
menghadirkan TGF- β ke reseptor tipe II. Setelah reseptor menjadi
autofosforilasi, mereka mengaktifkan molekul pensinyalan hilir milik
keluarga Smad dari faktor transkripsi (Hocking, 2015).

19
Dalam penyembuhan luka, TGF- β1 penting dalam peradangan,
angiogenesis, reepithelialization, dan regenerasi jaringan ikat. Hal ini
terbukti memiliki peningkatan ekspresi dengan timbulnya cedera. TGF-
β1 memfasilitasi perekrutan sel inflamasi tambahan dan menambah
debridemen jaringan yang dimediasi makrofag. Menarik juga untuk
dicatat bahwa sekali bidang luka disterilkan, TGF- β1 mungkin dapat
menonaktifkan produksi superoksida dari makrofag in vitro. Ini
membantu melindungi jaringan sehat di sekitarnya dan mempersiapkan
luka untuk pembentukan jaringan granulasi. Studi-studi in vitro
menunjukkan bahwa TGF- β1 membantu memulai pembentukan
jaringan granulasi dengan meningkatkan ekspresi gen yang terkait
dengan pembentukan ECM termasuk fibrodektin, reseptor bronektin,
dan penghambat kolagen dan protease. Ini juga terlibat dalam mengatur
VEGF faktor pertumbuhan angiogenik. Selain itu, studi in vitro
menunjukkan TGF- β1 berperan dalam kontraksi luka dengan
memfasilitasi kontraksi fibroblast dari matriks kolagen (Landen et al.,
2016).
Selama reepithelialization, TGF- β1 menggeser ekspresi integrin
keratinosit menuju fenotip yang lebih bermigrasi.62 Ada data yang
bertentangan mengenai peran TGF- β1 dalam proliferasi keratinosit.
Beberapa penelitian baik in vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa
TGF- β1 menghambat proliferasi keratinosit. Selain itu, penelitian pada
hewan in vivo menunjukkan bahwa tikus Smad3-null (Smad3ex8 / ex8)
telah mempercepat penyembuhan luka kulit dibandingkan dengan tikus
tipe liar, yang ditandai dengan peningkatan laju reepitelisasi dan secara
signifikan mengurangi infiltrasi monosit lokal. Namun, penelitian lain
menunjukkan bahwa overekspresi TGF- β1 meningkatkan fenotip
proliferasi keratinosit terutama selama tahap akhir penyembuhan luka.
Ini menggambarkan kompleksitas pensinyalan yang diperlukan untuk

20
mengoordinasikan proses seluler yang berpartisipasi dalam
penyembuhan luka, menekankan pentingnya kontrol spatio-temporal
yang ketat, di mana perubahan kecil dalam kadar dan waktu faktor
pertumbuhan apa pun dapat memiliki hasil yang sama sekali berbeda.
Akhirnya, dalam fase pembentukan dan fase remodelling penyembuhan
luka, TGF- β1 terlibat dalam produksi kolagen (terutama tipe I dan III).
Ini juga merupakan inhibitor poten dari metaloproteinase MMP-1,
MMP-3, dan MMP-9 dan promotor penghambat jaringan sintesis
metaloproteinase TIMP-1, sehingga menghambat kerusakan kolagen
(Qing, 2017).

4) Platelet Derived Growth Factor (PDGF)


PDGF terdiri dari keluarga faktor pertumbuhan homo atau
heterodimerik termasuk PDGF-AA, PDGF-AB, PDGFBB, PDGF-CC,
dan PDGF-DD. PDGF diproduksi oleh trombosit, makrofag,
endotelium vaskular, fibroblast, dan keratinosit. Ligan ini berikatan
dengan dua reseptor tirosin kinase transmembran yang berbeda (alfa dan
beta). Ikatan ligan menyebabkan dimerisasi reseptor, yang mengarah
pada autofosforilasi reseptor. Ini menciptakan situs docking untuk
molekul pensinyalan yang mengandung domain SH2 (Src homology 2),
di mana beberapa jalur pensinyalan kemudian diaktifkan (Portou et al.,
2015).
PDGF berperan dalam setiap tahap penyembuhan luka. Setelah
cedera, PDGF dilepaskan dari platelet degranulasi dan hadir dalam
cairan luka. Ini menstimulasi mitogenisitas dan kemotaksis neutrofil,
makrofag, fibroblast, dan sel otot polos ke tempat luka. Ini juga
merangsang makrofag untuk menghasilkan dan mensekresi faktor
pertumbuhan seperti TGF-β. Sama seperti TGF-β, PDGF juga
menambah debridemen jaringan yang dimediasi makrofag dan

21
pembentukan jaringan granulasi. Efek PDGF pada penginduksian
angiogenesis tergantung pada organ. Sebagai contoh, produksi PDGF
dalam sel mikrovaskular jantung mengarah pada induksi VEGF dan
VEGF-reseptor-2 yang menunjukkan peran penting dalam angiogenesis
jantung. Berkenaan dengan luka, telah ditunjukkan secara in vitro
bahwa PDGF bekerja secara sinergis dengan hipoksia untuk
meningkatkan ekspresi VEGF seperti terlihat pada cedera iskemik.
PDGF sangat penting dalam pematangan pembuluh darah. Selain itu,
penelitian in vivo menunjukkan bahwa PDGF dalam kombinasi dengan
VEGFE tidak hanya meningkatkan rekrutmen pericyte tetapi juga sel-
sel otot polos yang semakin meningkatkan integritas kapiler. Namun
perlu dicatat bahwa efek angiogenik PDGF lebih lemah daripada FGF
dan VEGF dan tampaknya tidak penting untuk pembentukan awal
pembuluh darah. PDGF juga berperan dalam reepitelisasi dengan
meningkatkan pengaturan IGF-1 dan trombospondin-1 secara in vitro.
IGF-1 telah terbukti meningkatkan motilitas keratinosit dan
trombospondin-1 menunda degradasi proteolitik dan mendorong
respons proliferatif pada luka secara in vitro. PDGF juga telah terbukti
meningkatkan proliferasi fibblast dan dengan demikian menghasilkan
ECM. Selain itu, ia menstimulasi fibroblast untuk mengerut matriks
kolagen dan menginduksi fenotip miofibblast dalam sel-sel ini. Selama
remodeling jaringan, PDGF membantu memecah kolagen lama dengan
mengatur metaloproteinase matriks (Sorg et al., 2017).

5) Vascular Endotelial Growth Factor (VEGF)


Anggota keluarga VEGF meliputi: VEGF-A, VEGF-B, VEGF-C,
VEGF-D, VEGF-E, dan faktor pertumbuhan plasenta. VEGF-A
diproduksi oleh sel endotel, keratinosit, sel otot polos fibrosa, trombosit,
neutrofil, dan makrofag. Ia berikatan dengan reseptor permukaan tirosin

22
kinase Flt-1 (VEGF receptor-1) dan KDR (VEGF receptor-2 [VEGFR-
2]) yang terlokalisasi pada permukaan endotel pembuluh darah.
Reseptor ini memiliki fungsi yang berbeda. KDR adalah mediator
penting dari kemotaksis dan proliferasi sel endotel in vitro. Ini juga
bertanggung jawab untuk menginduksi diferensiasi sel endotel. Sebagai
perbandingan, Flt-1 diperlukan untuk pengaturan pembuluh darah. Flt-
1 juga dapat terlibat dalam memediasi permeabilitas pembuluh darah,
ekspresi MMP dalam sel otot polos pembuluh darah, dan induksi protein
anti-apoptosis (Hocking, 2015).
VEGF-A penting dalam penyembuhan luka karena
mempromosikan kejadian awal dalam angiogenesis, khususnya migrasi
dan proliferasi sel endotel seperti yang terlihat dalam beberapa studi in
vitro. Transkripsi dan sekresi VEGF-A bersama dengan VEGFR
meningkat pada luka akut. Setelah cedera, trombosit teraktivasi
melepaskan VEGF-A. Selain itu, makrofag melepaskan VEGFA selama
penyembuhan luka serta melepaskan TNF-a, yang menginduksi
ekspresi VEGF-A dalam keratinosit dan fibrosa. Sitokin dan faktor
pertumbuhan lain yang bertindak sebagai faktor peningkat peningkatan
ekspresi VEGF-A termasuk TGF-b1, EGF, TGF-a, KGF, bFGF, PDGF-
BB, dan IL-1b. Stimulus utama untuk pelepasan VEGF-A dalam
pengaturan luka akut adalah hipoksia karena gangguan metabolisme di
lingkungan luka. Angiogenesis yang dihasilkan mengembalikan perfusi
jaringan, membangun kembali mikrosirkulasi, dan meningkatkan
tekanan oksigen di lokasi luka. Secara khusus, hipoksia meningkatkan
ekspresi VEGFA dalam monosit, fibroblast, keratinosit, miosit, dan sel
endotel. Ini juga meningkatkan ekspresi reseptor Flt-1 pada sel endotel.
Akibatnya, ada gradien ekspresi VEGF-A yang paralel dengan gradien
hipoksia. Selain efek angiogeniknya, VEGF-A berperan dalam
limfangiogenesis selama penyembuhan luka. Satu studi in vitro

23
mengusulkan bahwa VEGF-A mempromosikan pembentukan
pembuluh darah limfatik melalui aktivasi VEGFR-2 (Behm et al., 2012).

6) Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF)


GM-CSF telah terbukti meningkat pada epidermis pada kulit yang
terluka. Hal ini sangat penting selama tahap peradangan penyembuhan
luka meningkatkan jumlah neutrofil dan meningkatkan fungsinya di
lokasi luka. Studi in vitro menunjukkan GM-CSF meningkatkan
proliferasi keratinosit dan dengan demikian meningkatkan
reepithelialization. Telah disarankan bahwa GM-CSF bekerja secara
langsung pada keratinosit tetapi juga secara tidak langsung dengan
meningkatkan pengaturan IL-6. Selain itu, penelitian in vitro telah
menunjukkan faktor pertumbuhan ini untuk meningkatkan migrasi dan
proliferasi sel endotel yang menunjukkan peran dalam angiogenesis.
Pada pasien dengan DFU, injeksi subkutan GM-CSF menghasilkan
resolusi selulit yang lebih cepat, kecenderungan penyembuhan ulkus
dan insidensi amputasi yang lebih rendah. GM-CSF yang diaplikasikan
secara lokal pada luka kemungkinan memiliki manfaat signifikan bagi
pasien untuk luka kronis. Studi lebih lanjut dalam DFU dan atau PU
akan berpotensi sangat berguna, dan berdasarkan data eksperimental
dan klinis ini mungkin modalitas terapi lain yang potensial untuk ulkus
kronis (Barrientos et al., 2014).

2. Penyembuhan Luka Abnormal


Penyembuhan luka yang buruk setelah trauma, pembedahan, penyakit
akut, atau kondisi penyakit kronis memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia
setiap tahun dan merupakan konsekuensi dari unsur-unsur yang tidak diatur
dengan baik dari respons perbaikan jaringan yang sehat, termasuk peradangan,
angiogenesis, deposisi matriks, dan perekrutan sel. Kegagalan satu atau

24
beberapa dari proses seluler ini umumnya dikaitkan dengan kondisi klinis yang
mendasarinya, seperti penyakit pembuluh darah, diabetes, atau penuaan, yang
semuanya sering dikaitkan dengan patologi penyembuhan.
Penyembuhan luka melibatkan komunikasi yang luas antara seluler yang
berbeda dari kompartemen kulit yang berbeda dan matriks ekstraselulernya
(ECM). Dalam kondisi fisiologis normal, pemulihan luka penghalang epidermis
fungsional sangat efisien, sedangkan perbaikan postnatal dari lapisan kulit yang
lebih dalam kurang begitu dan menghasilkan pembentukan bekas luka dengan
hilangnya substansial struktur dan fungsi jaringan asli. Ketika respons
perbaikan normal salah, ada dua hasil utama: cacat kulit ulseratif (luka kronis)
atau pembentukan bekas luka yang berlebihan (bekas luka hipertrofik atau
keloid).
Luka kronis didefinisikan sebagai cacat penghalang yang belum diproses
melalui perbaikan yang teratur dan tepat waktu untuk mendapatkan kembali
integritas struktural dan fungsional. Pada prinsipnya, lesi kulit pun berpotensi
menjadi kronis, dan karenanya, luka kronis diklasifikasikan berdasarkan
penyebab mendasarnya. Insufisiensi vaskular, diabetes mellitus, dan efek
tekanan lokal adalah penyebab utama dan kategori luka kulit yang tidak
sembuh, meskipun faktor sistemik, termasuk status nutrisi atau imunologis
yang dikompromikan, usia lanjut, tekanan mekanis kronis, dan penyakit
penyerta lainnya, berkontribusi pada penyembuhan luka yang buruk.

a. Respon Inflamasi
Sejalan dengan hemostasis, respon inflamasi awal memobilisasi
respon pertahanan lokal dan sistemik ke lokasi luka. Peradangan terjadi lebih
lama pada luka kronis, sehingga diyakini bahwa luka ini mungkin
terperangkap dalam keadaan inflamasi kronis yang gagal membaik. Secara
khusus, studi terbaru dari jaringan luka kronis dan cairan luka menunjukkan
persaingan antara sinyal inflamasi dan antiinflamasi yang menyebabkan

25
ketidakseimbangan lingkungan untuk penyembuhan luka yang tepat terjadi
(Eming et.al., 2010)
Telah ditunjukkan bahwa peningkatan infiltrat seluler proinflamasi
yang sebagian besar terdiri dari neutrofil dan makrofag berkontribusi pada
keterlambatan penyembuhan ulkus kronis. Akibatnya, deregulasi beberapa
sitokin proinflamasi utama, seperti IL-1β dan tumor necrosis factor-α
(TNFα), memperpanjang fase inflamasi dan menunda penyembuhan. IL-1β
dan TNFα meningkat pada luka kronis, dan peningkatan ini telah terbukti
menyebabkan peningkatan metalloproteinase yang secara berlebihan
mendegradasi ECM lokal dan dengan demikian mengganggu migrasi sel.
Studi terbaru telah mengimplikasikan inflammasome, sebuah kompleks
multiprotein dari sistem imun bawaan yang bertanggung jawab untuk
aktivasi dan pelepasan IL-1β dari beberapa tipe sel kulit, dalam
pengembangan luka kronis (Stojadinovic et.al., 2010). Selain itu, terus
adanya beban bakteri yang tinggi dalam luka mengakibatkan masuknya sel
pro-inflamasi yang berkelanjutan dan peningkatan inflamasi juga
menyebabkan penyembuhan yang tertunda (Eming SA et al, 2014).

b. Angiogenesis dan Vaskulogenesis


Pertumbuhan pembuluh darah merupakan komponen penting dari
perbaikan jaringan, karena pembuluh mendukung sel di lokasi luka dengan
nutrisi dan oksigen. Baik angiogenesis (tumbuh kapiler dari pembuluh darah
yang ada) dan vasculogenesis (mobilisasi progenitor endotel yang
diturunkan dari sumsum tulang) berkontribusi pada pembentukan pembuluh
darah baru selama perbaikan jaringan. Angiogenesis lokal yang tidak
adekuat dianggap sebagai kontributor yang sangat mungkin terhadap
gangguan penyembuhan. Protein dengan sifat antiangiogenik, seperti
myeloperoxidase, menunjukkan tingkat ekspresi yang lebih tinggi pada luka
kronis pasien diabetes dibandingkan dengan luka akut, sedangkan stimulator

26
angiogenik, seperti superoksida dismutase ekstraseluler, umumnya
menurun. Mengurangi angiogenesis menyebabkan kematian sel yang
meningkat, seperti yang diungkapkan oleh ekspresi dari penanda sel
apoptosis akhir annexin A5, yang secara eksklusif ditemukan pada eksudat
luka diabetes dan diyakini melaporkan kekurangan pasokan nutrisi luka.
Kurangnya faktor proangiogenik, seperti faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), oleh degradasi proteolitik dan gangguan selanjutnya
dengan bioaktivitas dalam lingkungan luka telah ditemukan sebagai
penyebab mendasar yang mendasari. Dalam ulkus tekan, tingkat ekspresi
ligan kemokin (motif C-X-C) gagal meningkat seperti pada luka
penyembuhan yang sehat, yang mengarah ke penghambatan kemotaksis sel
endotel pada tahap proliferasi angiogenesis dan angiogenesis yang
menyimpang (Eming SA, Martin P, dan Tomic-Canic M, 2014).

27
DAFTAR PUSTAKA

Agyare C, Osafo N, Boakye YD. 2018. Biomarkers of wound healing. Intech Open.
DOI: 10.5772/intechopen.80222

Barrientos S, Brem H, Stojadinovic O, Tomic-Canic M. (2014). Clinical application of


growth factors and cytokines in wound healing. The International Journal of
Tissue Repair and Regeneration. 22 (5): 569-578.

Barrientos S, Stojadinovic O, Golinko MS, Tomic-CAnic M. (2010). Perspective


Article: Growth factors and cytokines in wound healing. The International
Journal of Tissue Repair and Regeneration. 16 (5): 585-601.

Behm B, Babilas P, Landthaler M, Schremi S. (2012). Cytokines, chemokines, and


growth factors in wound healing. Journal of the European Academy of
Dermatology and Venereology. 26 (7): 812-820.

Bessera FP, Gushiken LFS, Hussni MF, Pellizon CH. 2018. Regulatory Mechanisms
and Chemical Signaling of Mediators Involved in the Inflammatory Phase of
Cutaneous Wound Healing. Intech Open.

Eming SA, Koch M, Krieger A, Brachvogel B, Kreft S, Bruckner-Tuderman L, Krieg


T, Shannon JD, Fox JW. Differential proteomic analysis distinguishes tissue
repair biomarker signatures in wound exudates obtained from normal healing and
chronic wounds. J. Proteome Res. 2010; 9:4758–4766. [PubMed: 20666496]

Eming SA, Martin P, dan Tomic-Canic M. 2014. Wound repair and regeneration:
Mechanisms, signaling, and translation. Sci Transl Med. 6(265)

Hocking AM. (2015). The Role of Chemokines in Mesenchymal Cell Homing to


Wounds. Advances in Wound Care. 4(11): 623-630.

28
Honnegowda TM. Kumar P, Udupa EGP, Kumar S, Kumar U, Rao P. 2015. Role of
angiogenesis and angiogenic factors in acute and chronic wound healing. Plastic
and Aesthetic Research. 2015;2:243-9. DOI: 10.4103/2347-9264.165438

Huang SP, Hsu CC, Chang SC, Wang CH, Deng SC, Dai NT, et al. 2012. Adipose-
derived stem cells seeded on acellular dermal matrix grafts enhance wound
healing in a murine model of a full-thickness defect. Annals of Plastic Surgery.
69:656-662. 


Jaferian S, Soleymaninejad M, Negahdari B, Eatemadi A. 2017. Stem cell, biomaterials


and growth factors therapy for hepatocellular carcinoma. Biomedicine and
Pharmacotherapy. 88:1046-1053. DOI: 10.1016/j.biopha.2017.01.154 


Kim HR, Lee JH, Kim KW, Kim BM, Lee SH. 2016. The relationship between synovial
fluid VEGF and serum leptin with ultrasonographic findings in knee
osteoarthritis. Interna- tional Journal of Rheumatic Diseases. 19:233-240. 


Kim YS, Sung DK, Kong WH, Kim H, Hahn SK. 2018. Synergistic effect of
hyaluronate – epidermal
growth factor conjugate patch on chronic wound healing. Biomaterial Sciences.
2018;00:1-3. DOI: 10.1039/C8BM00079D

Kolaczkowska E, Kubes P. 2013. Neutrophil recruitment and function in health and


inflamma- tion. Nature Reviews. Immunology.13:159-175. DOI:
10.1038/nri3399 


Koria P. 2012. .Delivery of growth factors for tissue regeneration and wound
healing.Bio Drugs.26:163-175. DOI: 10.2165/11631850-000000000-00000 


Landen NX, Li D, Stahle M. (2016). Transition from inflammation to proliferation step


during wound healing. Cellular and Molecular Life Sciences. 73(20): 861-885.

29
Mardani M, Asadi Samani M , Rezapour S, Rezapour P. 2016. Evaluation of bred fish
and sea water fish in terms of nutritional value, and heavy metals. Journal of
Chemical and Pharmaceutical Sciences. 9:1277-1283 


Mardani M, Mahmoud B, Moradmand JS, Salehi A, Davoodi M, Ghobadi S, et al.


2016. Comparison of the descurainia sophia and levostatin effect on the ldl
cholesterol reduction, a clinical trial study. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Sciences.9:1329-1333 


Mirza RE and Koh TJ. (2015). Contributions of cell subsets to cytokine production
during normal and impaired wound healing. Cytokines. 71 (2): 409-412.

Nakayama T, Watanabe Y, Oiso N, Higuchi T, Shigeta A, Mizuguchi N, etal. 2010.


Eotaxin-3/CC chemokine ligand 26 is a functional ligand for CX3CR1. Journal
of Immunology. 185: 6472-6479. DOI: 10.4049/jimmunol.0904126 


Portou MJ, Baker D, Abraham D, Tsui J. (2015). The innate immune system, toll-like
receptors and dermal wound healing: A review. Vascular Pharmacology. 71:
31-36.

Qing C. (2017). The molecular biology in wound healing and non healing wound.
Chinese Journal of Traumatology. 20 (4): 189-193.

Saraiva M, O’Garra A. 2010. The regulation of IL-10 production by immune cells.


Nature Reviews. Immunology. 10:170-181. DOI: 10.1038/nri2711 


Scheller J,Chalaris A,Schmidtarras D, Rosejohn S. 2011. The pro and anti-


inflammatory properties of the cytokine interleukin-6. Biochimica et Biophysica
Acta. 1813:878-888. DOI: 10.1016/j.bbamcr.2011.01.034 


Sho Yamakawa, Kenji Hayashida. 2019. Advances in surgical applications of growth


factors for wound healing. Burns & Trauma. 2019; 7(10). DOI: 10.1186/s41038-

30
019-0148-1.

Song SH, Lee MO, Lee JS, Jeong HC, Kim HG, Kim WS, et al. 2012. Genetic
modification of human adipose-derived stem cells for promoting wound healing.
Journal of Dermatolog- ical Science. 66:98-107. DOI:
10.1016/j.jdermsci.2012.02.010 


Sorg H, Tilkorn DJ, Hager S, Hauser J, Mirastschijski U. (2017). Skin Wound Healing:
An Update on the Current Knowledge and Concepts. European Surgical
Research. 58: 81-94.

Steed DL. 1997. The role of growth factor in woud healing. Surgical Clinics of North
America. 1997;77(3):0039-6109.

Stojadinovic O, Minkiewicz J, Sawaya A, Bourne JW, Torzilli P, de Rivero Vaccari


JP, Dietrich WD, Keane RW, Tomic-Canic M. Deep tissue injury in development
of pressure ulcers: A decrease of inflammasome activation and changes in human
skin morphology in response to aging and mechanical load. PLOS One. 2013;
8:e69223.

Sugaya M. 2015. Chemokines and skin diseases. Archivum Immunologiae et Therapiae


Exp- erimentalis (Warsz).63:109-115. DOI: 10.1007/s00005-014-0313-y 


Zubaidi AM, Hussain T, Alzoghaibi MA. 2015. The time course of cytokine
expressions plays a determining role in faster healing of intestinal and colonic
anastomatic wounds. Saudi Journal of Gasroenterology. 2015;21:412-7. DOI:
10.4103/1319-3767.170949

31

Anda mungkin juga menyukai