Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Akalasia esofagus adalah gangguan motorik pada otot polos esofagus,


yang memiliki karakteristik berupa kegagalan sfingter esofagus bawah untuk
berelaksasi dan tidak adanya gerakan peristaltik pada esofagus. 1

Akalasia dideskripsikan pertama kali pada tahun 1674 oleh Sir Thomas
Willis. Mula-mula diduga penyebabnya adalah sumbatan di esofagus distal
sehingga dia melakukan dilatasi dengan tulang ikan paus dan mendorong
makanan masuk kelambung. Pada tahun 1881, Von Mikulicz mendeskripsikan
penyakit ini sebagai suatu kardiospasme, dimana gejalanya lebih disebabkan oleh
suatu gangguan fungsional daripada suatu gangguan mekanik. Pada tahun 1908,
Henry Plummer melakukan dilatasi esofagus dengan kateter balon. Pada tahun
1913, Heller melakukan pembedahan dengan cara kardiotomi, cara yang terus
dianut sampai sekarang. Pada tahun 1929, Hurt dan Rake menyatakan bahwa
penyakit tersebut disebabkan oleh kegagalan sfingter esofagus bawah untuk
berelaksasi. Namun penyebab dari akalsia ini masih belum diketahui dengan pasti.
Teori-teori atas penyebab akalasia pun mulai bermunculan seperti suatu proses
yang melibatkan infeksi, kelainan atau yang diwariskan (genetik), sistem imun
yang menyebabkan tubuh sendiri untuk merusak esofagus (penyakit autoimun)
dan proses penuaan (proses degeneratif). 2

Akalasia merupakan salah satu penyakit yang jarang terjadi. Prevalensi


akalasia esofagus sekitar 10:100.000 dimana resiko kejadian penyakit ini sama
antara laki-laki dengan perempuan yaitu antara 1:1. Menurut penelitian, distribusi
umur pada akalasia biasanya sering terjadi antara umur kelahiran sampai dekade
ke-9, tapi jarang terjadi pada 2 dekade pertama (kurang dari 5% kasus didapatkan
pada anak-anak. Umur rata-rata pada pasien dewasa adalah 25-60 tahun, dan
tersering pada usia 40 tahun. 2

Diagnosis esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinis, gambaran


radiologik, esofagoskopidan pemeriksaan manometri. Semua terapi akalasia
bersifat paliatif karena proses peristaltik tidak dapat kembali. Tujuan utama

1
penatalaksanaannya adalah menurunkan tahanan sfingter esofagus bagian bawah,
sehingga bolus makanan dapat turun kedalam lambung karena gravitasi.
Penurunan tahanan sfingter dapat dicapai dengan dilatasi balon dan bedah
esofagotomi. 2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Esofagus


Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang
kurang lebih 25 cm dan rata-rata diameter 2 cm (pada keadaan yang paling lebar)
pada orang dewasa, yang memanjang dari faring sampai lambung. Esofagus
dimulai dari batas atas bawahkartilago krikoidea kira-kira setinggi vertebra
servical VI. Dari batas tadi, esogfagus terbagi menjadi tiga bagian yaitu pars
cervical, pars thoracal, dan pars abdominal. Esofagus kemudian akan berakhir di
orifisium kardia gaster setinggi vertebra thoracal XI. Dinding esofagus terdiri dari
3 lapisan yaitu mukosa yang merupakan epitel skuamosa, submukosa yang terbuat
dari jaringan fibrosa elastis dan merupakan lapisan yang terkuat dari dinding
esofagus, otot-otot esofagus yang terdiri dari otot sirkuler bagian dalam dan
longitudinal bagian luar dimana 2/3 bagian bawahnya merupakan otot polos. 3.4.5

Gambar 1 Anatomi Esofagus 4

3
Terdapat tiga penyempitan fisiologis pada esofagus yaitu penyempitan
sfingter krikofaringeal, terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara
faring dan esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos.
Penyempitan kedua terletak dirongga dada bagian tengah, pada persilangan aorta
(arkus aorta) dan bronkus utama kiri. Penyempitan ketiga pada diafragma (hiatus
esofagus). 4

Gambar 2 Daerah penyempitan esofagus 4

Pada bagian leher, esofagus menerima darah dari a. karotis interna dan
trunkus tyroservical. Pada bagian mediastinum, esofagus disuplai oleh a. esofagus
dan cabang dari a. bronkial. Setelah masuk kedalam hiatus esofagus, esofagus
menrima darah dari a. phrenicus inferior dan bagian yang berdekatan dengan
gaster disuplai oleh a. gastrica sinistra. 4

Pembuluh vena dimulai sebagai pleksus di submukosal esofagus. Di


esofagus bagian atas dan tengah, aliran vena dari pleksus esofagus berjalan
melalui v. esofagus ke v. azigos, dan v. hemiazigos untuk kemudian masuk ke v.
cava superior. Di esofagus bagian bawah, semua pembuluh vena masuk kedalam
v. koronaria, yaitu cabang v. porta sehingga terjadi hubungan langsung antara
sirkulasi v. esofagus bagian bawah melalui vena lambung tersebut. 4

4
Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus didalam mukosa,
submukosa, lapisan otot dan tunika adventia. Dibagian sepertiga kranial,
pembuluh ini berjalan secara longitudinal bersama dengan pembulu limfe dari
faring ke kelenjar di leher, sedangkan dari bagian dua pertiga kaudal dialirkan ke
kelenjar seliakus, seperti pembuluh limfe dari lambung. Ductus thoracicus
berjalan didepan tulang belakang. 4

Esofagus di inervasi oleh persarafan simpatis dan parasimpatis melalui


nervus vagus dan truncus symphaticus. Pada bagian bawah dalam perjalanannya
di rongga thorak esophagus dikelilingi oleh plexus esophagus atau yang biasa
disebut pleksus mienterik Auerbach yang terletak diantara otot longitudinal dan
otot sirkuler sepanjang esofagus. 6

Gambar 2.3. Vaskularisasi Esofagus 4

5
2.2. Fisiologi Esofagus
Fungsi utama esophagus adalah menyalurkan makanan dan minuman dari
mulut ke lambung. Proses ini mulai dengan pendorongan makanan oleh lidah ke
belakang, penutupan glotis dan nasofaring. Serta relaksasi spingter faring
esofagus. Proses ini diatur oleh otot serat melintang di daerah faring. 4
Di dalam esofagus, makanan akan didorong ke lambung oleh gerakan
peristaltik primer. Kekuatan kontraksi peristaltik tergantung kepada besarnya
bolus makanan yang masuk ke esofagus. Gerakan peristaltik esofagus terdiri dari
gerakan peristaltik primer dan gerakan peristaltik sekunder. Gerak peristaltik
primer adalah gerak peristaltik yang merupakan lanjutan dari gerakan peristaltik
pada faring yang menyebar ke esofagus. Gerakan ini berlangsung dengan
kecepatan 3-4 cm/detik, dan membutuhkan waktu 8-9 detik untuk mendorong
makanan ke lambung. Sesudah gerakan peristaltik primer dan masih ada makanan
pada esofagus yang merangsang reseptor regang pada esofagus, maka akan terjadi
gelombang peristaltik sekunder. Esofagus dipisahkan dari rongga mulut oleh
sfingter esofagus proksimal atau sfingter atas esofagus (Upper Esophageal
Sphincter / UES), dan dipisahkan dengan lambung oleh sfingter esofagus distal
atau sfingter bawah esofagus (Lower Esophageal Sphincter / LES). Sfingter
esofagus proksimal terdiri dari otot rangka dan diatur oleh n. Vagus yang
menghasilkan asetilkolin. 4
Fungsi kedua ialah mencegah regurgitasi involunter isi lambung. Proses
muntah terjadi karena tekanan didalam rongga perut dan lambung eningkat serta
terjadi relaksasi sementara sfingter esofagokardia sehingga secara reflex makanan
dan cairan dari dalam lambung dan esophagus naik ke fraing dn dikeluarkan
melalui mulut. 4,7

Mekanisme menelan (Deglutasi)


Menelan merupakan suatu aksi fisiologi kompleks, dimana makanan atau
cairan berjalan dari mulut ke lambung. Dalam proses menelan ini diperlukan kerja
sama yang baik dari 6 saraf kranial, 4 saraf servikal dan lebih dari 30 pasang otot
menelan. 3

6
Secara klinis terjadinya gangguan pada deglutasi disebut disfagia yaitu terjadi
kegagalan memindahkan bolus makanan dari rongga mulut sampai ke lambung.
Proses menelan dibagi dalam 3 fase, yaitu:
1) Fase volunter / fase oral 3,7,8
Pada fase oral ini akan terjadi proses pembentukan bolus makanan yang
dilaksanakan oleh gigi geligi, lidah, palatum mole, otot-otot pipi dan saliva untuk
menggiling dan memebentuk bolus dengan konsistensi dan ukuran untuk siap
ditelan. Proses ini berlangsung secara disadari. Pada fase oral ini perpindahan
bolus dari rongga mulut ke faring segera terjadi, setelah otot-otot bibir dan pipi
berkontraksi meletakkan bolus ke atas lidah. Otot instriksi lidah berkontraksi
menyebabkan lidah terangkat mulai dari bagian anterior ke posterior. Bagian
anterior lidah menekan palatum durum sehingga bolus terdorong ke faring.
Bolus menyentuh bagian arkus faring anterior, uvula dan dinding posterior
faring sehingga menimbulkan refleks faring. Arkus faring terangakat ke atas
akibat kontraksi m. Palatofaringeus (N. IX, N. X, dan N. XII). Jadi pada fase oral
ini secara garis besar bekrja saraf kranial N.V2 (maksilaris) dan N. V3 (lingualis)
sebagia serabut afferen (sensorik) dan N.V, N. VII, N. IX, N. X, N. XI, N. XII
sebagai serabut efferen (motorik).

2) Fase faringeal 3,7,8


Fase ini dimulai ketika bolus makanan menyentuh arkus faring anterior (arkus
palatoglosus) dan refleks menelan segera timbul. Pada fase faringeal ini
terjadi:
a. M. Tensor veli palatini (N. V) dan M. Levator veli palatini (N. IX, N. X,
dan N. XI) berkontraksi menyebabkan palatum mole terangkat, kemudain
vulva tertarik ke atas dan ke posterior sehingga menutup daerah
nasofaring.
b. M. Genioglosus (N. XII, Servical I), M. Ariepiglotika (N. IX, N. X), M.
Krikoaritenoid lateral (N. IX, N. X) berkontraksi menyebabkan aduksi pita
suara sehingga laring tertutup.

7
c. Laring dan tulang hyoid terangkat ke atas ke arah dasar lidah karena
kontraksi M. Stilohyoid (N. VII), M. Geniohyoid (N. XII dan N. Cervical
I).
d. Kontraksi M. Konstriktor faring seperior (N. IX, N. X, N. XI), M.
Konstriktor faring intermedius (N. IX, N. X, N. XI) dan konstriktor faring
inferior (N. X, N. XI) menyebabkan faring tertekan kebawah yang diikuti
oleh relaksasi M. Kringkorafing (N. X).
e. Pergerakan laring ke atas dan ke depan, relaksasi dari introitus esofagus
dan dorongan otot-otot faring ke inferior menyebabkan bolus makanan
turun ke bawah dan masuk kedalam servical esofagus. Proses ini hanya
berlangsung sekitar satu detik untuk menelan cairan dan lebih lama bila
menelan makanan padat.

Pada fase faringeal ini saraf yang bekerja saraf kranial N. V2, N. V3 dan
N. X sebagai serabut afferen dan N.V, N.VII, N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII sebagai
serabut efferen. 3,7,8
Bolus dengan viskositas yang tinggi akan memperlambat fase faringeal,
meningkatkan waktu gelombang peristaltik dan memperpanjang waktu
pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Bertambahnya volume bolus
menyebabkan lebih cepatnya waktu pergerakan pangkal lidah, pergerakan palatum
mole dan pergerakan laring serta pembukaan sfingter esofagus bagian atas. Waktu
pharyngeal transit juga bertambah sesuai dengan umur. 3,7,8
Kecepatan gelombang peristaltik faring rata-rata 12 cm/detik. Mc. Connel
dalam penelitiannya melihat adanya 2 sistem pompa yang bekerja yaitu: 3,7,8
a. Oropharyngeal Propulsion Pomp (OPP) adalah tekanan yang ditimbulkan
tenaga lidah 2/3 depan yang mendorong bolus ke orofaring yang disertai
tenaga kontraksi dari m. konstriktor faring.
b. Hypopharingeal Suction Pomp (HSP) adalah merupakan tekanan negatif
akibat terangkatnya laring ke atas menjauhi dinding posterior faring,
sehingga bolus terhisap ke arah sfingter esofagus bagian atas. Sfingter
esofagus bagian atas dibentuk oleh m. konstriktor faring inferior, m.
krikofaring dan serabut otot logitudinal esofagus bagian superior.

8
3) Fase Esofageal 3,7,8
Pada fase esofageal proses menelan berlangsung tanpa disadari. Bolus
makanan turun lebih lambat dari fase faringeal yaitu 3-4 cm. Fase ini
terdiri dari beberapa tahapan:
a. Dimulai dengan terjadinya relaksasi m. krikofaring. Gelombang
peristaltik primer terjadi akibat kontraksi otot longitudinal dan otot
sirkuler dinding esofagus bagian proksimal. Gelombang peristaltik
pertama ini akan diikuti oleh gelombang peristaltik kedua yang
merupakan respon akibat regangan dinding esofagus.
b. Gerakan peristaltik tengah esofagus dipengaruhi oleh serabut saraf
pleksus mienterikus yang terletak diantara otot longitudinal dan otot
sirkuler dinding esofagus dan gelombang ini bergerak seterusnya
secara teratur menuju distal esofagus.

Cairan biasanya turun akibat gaya berat dan makanan padat turun karena
gerak peristaltik dan berlangsung selama 8-20 detik. Esophagal transit time
bertambah pada lansia akibat dari berkurangnya tonus otot-otot rongga mulut
untuk merangsang gelombang peristaltik primer. 3,7,8

Gambar 4 Fase menelan 16

9
Gambar 5 Peristaltik esofagus 17

Peranan Sistem Saraf dalam Proses Menelan


Proses menelan diatur oleh sistem saraf yang dibagi dalam 3 tahap: 3
1. Tahap afferen/sensorium dimana begitu ada makanan masuk kedalam
orofaring langsung akan berespon dan menyampaikan perintah.
2. Perintah diterima oleh pusat menelan di medula oblongata pada truncus
solitarius dibagian dorsal (berfungsi untuk mengatur fungsi motorik proses
menelan) dan nukleus ambigius yang berfungsi mengatur distribusi impuls
motorik ke motor neuron yang berhubungan dengan proses menelan.
3. Tahap efferen/motorik yang menjalankan perintah.

2.3. Definisi Akalasia Esofagus


Istilah “achalasia” dalam bahasa Yunani berarti “lack of relaxation”,
pertama kali di kenalkan oleh Arthur Hurst di awal tahun 1972. Akalasia
didefinisikan sebagai gangguan motilitas esofagus ditandai dengan aperistaltik
atau gangguan peristaltik esofagus dan relaksasi yang inadekuat pada sfingter
esofagus bagian bawah (Lower Esophageal Sphincter/LES) yang disebabkan
karena kerusakan pleksus myenterikus. 2

10
Akalasia adalah :
 Suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristaltik korpus
esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus yang bagian bawah yang
hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna
pada waktu menelan makanan.
 Gagal melemas; menandakan relaksasi inkomplit sfingter esofagus
bawah sebagai respon terhadap menelan yang menimbulkan obstruksi
fungsional esofagus yang menyebabkan esofagus lebih proksimal
mengalami dilatasi.
 Gangguan motolitas berupa hilangnya peristaltik esofagus dan gagalnya
sfingter esofagokardia berelaksasi sehingga makanan tertahan di esofagus.
Akibatnya, terjadi hambatan masuknya makanan ke dalam lambung
sehingga esofagus berdilatasi membentuk megaesofagus. 2,9,10

Gambar 6 Akalasia Esofagus 3

2.4. Epidemiologi
Akalsia merupakan kasus yang jarang. Insidensi akalasia sekitar 1-10 :
100.000 penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada
predileksi berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian
dari lahir sampai deakde 3-7 dan puncak kejadian pada umur 30-50 tahun.
Menurut spesialis esofagus (gastroenterologist dan ahli bedah gastroenterologi) di
USA, ditemukan lebih kurang 10 kasus akalasia dalam setahun. 2,5,10

11
2.5. Etiopatogenesis

1. Akalasia primer

Etiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis


menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan
neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya
ganglia pleksus myentericus di esofagus, meskipun tedapat kemungkinan bahwa
teori-teori tersebut terjadi bersamaan. 10

a. Teori genetika

Kasus akalasia pada anak dan karena keturunan sangat jarang. Sehingga
teori genetika tidak mendukung sebagai penyebab akalasia primer. Beberapa
kasus akalasia lahir dari orangtua atau kerabat dengan akalasia yang telah
dilaporkan. 2,3,10

b. Teori hipotesis viral

Sebuah penelitian mengaitkan agen virus dalam patogenesis akalasia.


Etiologi ini tampaknya masuk akal mengingat distribusi usia pasien akalasia
seragam. Selain itu, penyakit chagas merupakan contoh patogen menular yang
dapat menyebabkan akalasia. Sebuah laporan awal mencatat peningkatan
signifikan secara statistik pada titer antibodi terhadap virus campak pada pasien
dengan akalasia dibandingkan dengan kontrol, namun penelitian ini belum
dibuktikan. Virus lain yang diduga berkaitan dengan akalasia adalah virus
varicella-zoster. 2,3,10

c. Teori hipotesis autoimun

Adanya infiltrasi inflamasi di esofagus yang tekena akalasia menimbulkan


spekulasi adanya patogenesis autoimun. Infiltrasi inflamasi pada pleksus
myentericus terdapat pada 100% spesimen. Adanya infiltrasi sel
imunohistokimiawi ditandai dengan adanya sel T positif CD3 dan CD8. Infiltrasi
eosinofilik yang signifikan juga dibuktikan pada beberapa pasien akalasia. Storch
et al menunjukkan adanya antibodi yang melawan pleksus myentericus di serum

12
37 dari 58 pasien akalasia dan hanya ada empat dari 58 kontrol pada serum pasien
sehat. Penelitian ini gagal mendeteksi antibodi dalam serum pasien dengan
penyakit Hirschprung atau kanker esofagus dan hanya satu dari 11 pasien dengan
penyakit esofagitis peptikum. Namun karena defek dalam akalasia primer cukup
spesifik di esofagus, makna antibodi yang beredar mempunyai target tidak hanya
esofagus tetapi juga neuron di usus. Namun derajat immunostaining pada serum.
2,3,10

ditunjukkan oleh 8 dari 16 pasien dengan penyakit gastroesophageal


reflux. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi antineuronal terdeteksi mungkin
merupakan fenomena yang tidak spesifik atau fenomena sekunder yang tidak
memainkan peran dalam patogenesis akalasia. 2,3,10

d. Teori hipotesis neurodegenerasi

Neurodegenerasi merupakan hipotesis ketiga yang diusulkan sebagai


etiologi akalsia primer. Pada akalasia disebutkan terjadi hilangnya neuron dalam
inti motorik vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari serabut saraf vagal. Lesi
ynag dibuat secara eksperimental dibatang otak dan saraf vagus pada hewan
menghasilkan kelainan motilitas esofagus yang menyerupai akalasia. Sehingga
peneliti berspekulasi tempat yang berkaitan dengan akalasia primer adalah di inti
motorik dorsal dan saraf vagus yang menyebabkan kelainan myentericus
sekunder. Mayoritas penelitian patologis menemukan kelainan dominan akalasia
didalam pleksus myentericus dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak
adanya sel ganglion serta adanya infiltrasi inflamasi pleksus myentericus. Defek
persarafan vagal diperkirakan menyebabkan kelainan klinis diluar esofagus
termasuk gangguan pengosongan lambung, yang jarang terjadi pada pasien
akalasia. Sangat mungkin adanya perubahan neurodegeneratif di akalasia
merupakan sekunder dari adanya virus atau kerusakan karena autoimun di ganglia
enterik. 2,3,10

2. Akalasia Sekunder / Pseudoakalasia

Pseudoakalasia adalah sindrom klinis yang mirip dengan akalasia.


Kejadian pseudoakalasia sekitar 2-4% dari pasien dengan curiga akalasia. Secara

13
umum pasien dengan pseudoakalasia lebih tua dengan riwayat disfagia lebih
singkat dan disertai penurunan berat badan. Namun, tiga tanda ini memiliki
spesifitas yang rendah. Penyebab umum pseudoakalasia adalah keganasan yang
menginfiltrasi gastroesophageal junction. Oleh karena itu pasien dengan dugaan
akalasia perlu berhati-hati dalam melakukan tindakan endoskopi gastrointestinal
bagian atas, khususnya didekat kardia dan gastroesophageal junction. Jika masih
dicurigai pseudoakalasia, USG endoskopik dengan probe 20 mHz atau CT-scan
dada dapat membantu penegakan diagnosis. 2,3,10

Penyebab patologi selain keganasan yang diyakini menyebabkan akalasia


sekunder antara lain penyakit chagas, juvenille sjogren’s, amyloidosis, chronic
idiopathic intestinal, sarcoidosis, dan scleroderma. 2,3,10

2.6. Gejala Klinis

Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau sekunder


mempunyai gejala klinis yang hampir sama. Gejalanya antara lain kelainan
menelan/disfagia progresif, odinofagia, regurgitasi, nyeri dada, dan penurunan
berat badan. Diagnosis akalasia harusnya disuspekkan pada tiap pasien yang
mempunyai keluhan disfagia makanan padat dan cair disertai regurgitasi makanan
dan saliva. Terjadinya disfagia biasanya bertahap, awalnya digambarkan sebagai
“rasa penuh di dada” atau “sticking sensation” dan terjadi setiap hari dan setiap
kali makan. Awalnya, disfagia terutama pada makanan padat, namun seiring
waktu terjadi disfagia pada makanan padat dan cair terutama minuman dingin.
Adanya “power swallow” dan minuman berkarbonasi meningkatkan tekanan intra
esofageal dan dapat meningkatkan pengosongan esofagus.

Regurgitasi menjadi masalah seiring dengan perkembangan penyakit,


terutama saat esofagus melebar. Regurgitasi, makanan yang tertahan dan
akumulasi air liur, kadang-kadang salah didiagnosis dengan postnasal dahak atau
bronkitis. Biasanya terjadi ketika setelah makan pada malam hari pasien sering
terbangun karena batuk dan tersedak. Aspirasi pneumonia merupakan masalah
yang jarang.

14
Nyeri dada didapatkan 30% kasus yang bisanya tidak begitu dirasakan
oleh pasien. Sifat nyeri dengan lokasi substernal dan dapat menjalar ke belakang
bahu , rahang dan tangan yang biasanya dirasakan bila minumair dingin.

Heartburn atau rasa seperti terbakar di dada merupakan keluhan yang


sering terjadi di akalasia, meskipun faktanya akalasia tidak berhubungan dengan
peningkatan episode refluks asam. Penyebab gejala ini adalah spekulatif, mungkin
berhubungan dengan retensi minuman asam seperti soda atau minuman buah dan
beberapa kasus disebabkan karena produksi asam laktat dari makanan yang
tertahan dalam esofagus yang melebar. Rasa terbakar di daerah substernal dapat
dirasakan paa stadium permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri
hebat di daerah epigstrium. 10,11

.2.7. Diagnosa

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan radiologi,


pemeriksaan monometrik esofagus, dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis akalasia
esofagus, seringkali tidak dilakukan karena tidak memiliki kontribusi yang
bermakna. 12,13

1. Pemeriksaan Radiologi

Secara sederhana, foto toraks dapat menunjukkan bahwa seseorang


dicurigai menderita akalasia esofagus. Pada akalasia esofagus, foto toraks
memperlihatkan gelombang peristaltic yang normal hanya terlihat pada daerah
sepertiga proksimal esophagus, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal
esophagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal atau hilang sama sekali
serta gambaran penyempitan di bagian distal esophagus menyeruppa ekor tikus. 11

15
Gambar 7 Gambaran foto toraks pada akalasia esophagus 10

2. Pemeriksaan esofagografi

Pemeriksaan esofagografi dengan barium, memiliki akurasi sekitar 95%


dalam mendiagnosis akalasia esofagus, dan secara khas menunjukkan bagian
esofagus yang berdilatasi yang terdapat juga bagian yang menyempit yang
menyerupai paruh burung (bird-beak appereance) atau menyerupai ekor tikus
(mouse tail appereance) akibat kontraksi sfingter esofagus bawah secara
persisten. 11

Gambar 8 Pemeriksaan esofagografi pada penderita akalasia esofagus 12

16
3. Manometri Esofagus

Manometri esofagus adalah pemeriksaan yang terbaik (gold standar)


untuk mendiagnosis akalasia esofagus. Guna pemeriksaan manometri adalah
untuk menilai fungsi motorik esofagus dengan melakukan pemeriksaan tekanan
didalam lumen dan sfingter esofagus. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan
kelainan motilitas secara kuantitatif maupun kualitatif. Pemeriksaan dilakukan
dilakukan dengan memasukkan pipa untuk pemeriksaan manometri melalui mulut
atau hidung. 1

Hal-hal yang dapat ditunjukkan pada pemeriksaan manometri esophagus,


antara lain: 1

 Relaksasi sfingter esofagus bawah yang tidak sempurna.


 Tidak ada peristaltik yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi
esofagus secara simultan sebagai reaksi dari proses menelan.
 Tanda klasik akalasia esofagus yang dapat terlihat adalah tekanan
yang tinggi pada sfingter esofagus bawah (tekanan sfingter
esofagus bawah saat istirhat lebih besar dari 45 mmHg), dan
tekanan esofagus bagian proksimal dan media saat istirahat
(relaksasi) melebihi tekanan dilambung saat (relaksasi). 1

Gambar 9 Teknik pemeriksaan manometri esofagus 18

17
4. Pemeriksaan Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi direkomendasikan pada penderita akalasia


esofagus, untuk menyingkirkan penyebab malignansi pada esophagogastric
junction. Pada akalasia esofagus primer, pemeriksa melihat esofagus yang
berdilatasi dan mengandung sisa-sisa makanan dan sfingter esofagus tidak
membuka secara spontan. Jika akalasia esophagus disebabkan oleh neoplasma
atau striktur fibrosis esofagus, sfingter biasanya dapat dibuka dengan sedikit
memberikan tekanan pada saat melakukan tindakan endoskopi. 1,14

2.8. Diagnosa Banding

Ada beberapa penyakit yang dapat menyebabkan manifestasi klinis yang


serupa dengan akalasia esofagus.

Tabel 1 Diagnosa Banding 21

Jenis penyakit Perbedaan gejala dan tanda Pemeriksaaan yang dilakukan


untuk menegakkan diagnosa
Karsinoma  Disfagia pada Pemeriksaaan esofagografi
esofgus disfagia makanan-makanan dan endoskopi menunjukkan
padat terjadi lebih adanya obstruksi pada
awal, meskipun esofagus akibat adanya
kesulitan untuk tumor.
menelan makanan cair
dapat terjadi jika
progresifitas penyakit
sudah lanjut.
 Kehilangan berat
badan dengan cepat
Esofagitis  Disfagia dapat terjadi  Pemeriksaan
refluks akibat adanya endoskopi

18
pembengkakan menunjukkan
ataupun striktur esofagitis refluks,
fibrosis peptikum, dengan atau tanpa
dengan atau tanpa striptur peptikum.
kelainan pada Mungkin terdapat
endoskopi. hernia hiatus yang
 Wpasien biasanya terletak di bawah
mengeluhkan hearth striktur.
burn dan atau  Pemeriksaan
regurgitasi sebaga esofagografi memiliki
gejala tambahan dari sensitifitas yang
disfagia. rendah.
 Terdapat perbedaan
PH pada esophagus
distal jika terjadi
refluks.
Penyakit Terdapat nyeri pada otot dan Pemerikasaan antibody anti
jaringan konektif sendi, raynaunds nuclear, factor rheumatoid,
(misalnya: phenomenom dan perubahan dan keratin kinase dapat
sklerosis pad kulit ( rash, pemengkakan menjadikan kontraksi
sistemik) kulit) esophagus dengan amplitude
yang tinggi, di bandingkan
dengan gambaran aperistaltik
yang ditunjukan pada
akalasia esophagus.
Spsme esofagus Gejala nyeri dada ebih meninji Pemeriksaan manmertri
dari pada gejala disfagia esophagus menunjukan
kontraksi esophagus dengan
amplitude yang tinggi
dibandingkan dengan
gambaran aperistaltik yng
ditunjukkan pada akalasia

19
esophagus.
Esofagitis e Gejala klinis berupa disfagia Biopsy esophagus
intermitten, lebih sering terjadi menunjukan infiltrasi
pada laki-laki muda dengan eosinofil (>15 eosinofil
riwayat atopi perlapangan pandang)
pseudoachalasia  Gejala klinis serupa  Biopsy gstroskopi pda
dengan akalasia gastroesophageal
esofagusidiopatik junction dan kardia
(tidak dapat dibedakan menunjukkan suatu
secara klinis) malignansi
 Penyakit ini  Hasil pemeriksaan
disebabkan oleh endoskopi,
malignansi esofagografi, dan
 Penderita biasanya manometri esophagus
berusia lebih tua, dan mungkin tidak
kehilangan berat badan menunjukkan
terjadi lebih besar dan perbedaan
cepat dibandingkan dengan
kalsia esogagus
idiopatik.
Penyakit chagas Merupakan penyakit endemic Pemeriksaan mikroskopik
di ameriak tengah dan selatan, pada darah segar
terdapat menifestasi klinis menunjukkan ada nya
pada berbagai organ berupa trypanosomaruzi.
atoniakilon, miiokarditis, dan Pewarna angiemsa pada
pembengkakan kelopak mata sediaan apusan daraha tepi
pad afaseakut menunjukkan adanya parasit.

2.9. Penatalaksanaan

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik


esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi

20
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (Operasi Heller).

1. Terapi Non-Bedah

a. Medikamentosa
Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti
nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga methacholine, dapat
membuat sfingter esofagus bawah berelaksasi sehingga membantu membedakan
antara suatu striktur esofagus distal dan suatu kontraksi sfingter esofagus bawah.
Selain itu, dapat juga diberikan Calcium Channel Blockers (nifedipine 10-30 mg
sublingual), dimana dapat mengurangi tekanana pada sfingter esofagus bawah.
Namun demikian, hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi ini.
Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lanjut usia yang mempunyai
kontraindikasi terhadap pneumatic dilatation atau tindakan pembedahan. 10,12
b. Injeksi botulinum Toksin

Suatu injeksi botulinum toksin intra-sfingter dapat digunakan untuk


menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus bawah, yang
kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmitter eksitatorik
dan inhibitorik. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan
memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan kedalam dinding esofagus dengan
sudut kemiringan 45ᵒ, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm
diatas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan ini terletak tepat diatas
batas proksimal dari sfingter esofagus bawah dan toksin tersebut diinjeksi secara
kaudal kedalam sfingter. Dosis efektif yang digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang
dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari sfingter
esofagus bawah. Injeksi diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai
penilaian yang terbatas, dimana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak
merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi, persentasi ini selanjutnya turun menjadi
30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua setengah tahun kemudian.
Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian
gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi

21
lebih sulit. Terapi ini sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang
mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan
pembedahan. Baru-baru ini, injeksi intra-sfingter dari toksin botulinum
neurotoksin telah berhasil digunakan pada pasien dengan akalasia. Aman dan
efektif pada kebanyakan pasien, sangat efektif pada orangtua dan telah
mendapatkan tempat dalam penatalaksanaan pasien yang dianggap tidak sesuai
untuk dilakukan terapi dilatasi atau miotomi. Prosedur ini melibatkan suntikan
pada sfingter esofagus bagian bawah yang menyebabkan denervasi kimiawi dari
sfingter. 20-25 unit toksin botulinum disuntikkan ke setiap kaudran dari sfingter
esofagus bagian bawah dengan jarum skleroterapi menggunakan teknik
endoskopi. Meskipun yang paling aman dari teknik yang tersedia, injeksi toksin
botulinum memiliki durasi efek terbatas, yang berlangsung rata-rata 1 tahun.
Pengobatan harus diulangi diperlukan untuk menjaga efek relaksasi pada sfingter
esofagus bagian bawah. Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri dada ringan
dan terdapat ruam kulit setelah perawatan. 10,12

Gambar 10 Teknik injeksi intrasphincter pada akalasia 19

c. Pneumatic dilation

Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-


tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction yang
bertujuan untuk merupturkan seraat otot dan membuat mukosa menjadi intak.
Persentasi keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun
menjadi 50% pada 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilakukan

22
dilatasi. Rasio terjadinya perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera
dibawa keruang operasi untuk ppenutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan
dengan cara thorakotomi kiri. Insidens dari refluks gastroesophageal yang
abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang gagal dalam penanganan pneumatic
dilation biasanya diterapi dengan miotomi Heller. 10,12

Gambar 11 Teknik pneumatic dilation pada akalasia 20

2. Terapi Bedah

Suatu laparoskopi miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu


prosedur pilihan untuk akalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suaatu pemisahan
serat otot (miotomi) dari sfingter esofagus bawah (5 cm) dan bagian proksimal
lambung (2cm), yang diikuti oleh partial fundoplication untuk mencegah refluks.
Pasein dirawat dirumah sakit selama 24-48 jam, dan kembali beraktivitas sehari-
hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara efektif, terapi pembedah ni berhasil
mengurangi gejala sekitar 85-95% dari pasien, dan insidens refluks post operatif
adalah antara 10% dan 15%. Oleh karena keberhasilan yang sangat baik,
perawatan rumah sakit yang tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka
terapi ini dianggap sebagai terapi utama dalam penanganan akalasia esofagus.
Pasien yang gagal dalam menjalani terapi ini, mungkin akan membutuhkan
tindakan dilatasi, operasi kedua, atau pengangkatan esofagus (esofagektomi). 10,12

23
2.1.0.Prognosa

Prognosa akalasia esofagus bergantung pada durasi penyakit dan banyak


sedikitnya gangguan motilitas. Semakin singkat durasi penyakit dan semakin
seedikit gangguan motilitasnya, maka prognosa untuk kembali ke ukuran esofagus
yang normal setelah pembedahan (miotomi Heller) memberikan hasil yang sangat
baik. Pemberian memberikan hasil yang lebih baik dalam menghilangkan gejala
pada sebagian besar pasien dan memberikan hasil yang lebih baik dari pada
tindakan pneumatic dilation. Obat-obatan dan toksik botulinum sebaiknya
digunakan hanya pada pasien yang tidak dapat menjalani pneumatic dilation dan
laparoskopik miotomi Heller. 15

24
BAB III

KESIMPULAN

Akalasia adalah ketidakmampuan bagian distal esofagus untuk relaksasi


dan peristaltik esofagus berkurang, karena diduga terjadi inkoordinasi
neuromuskular. Akibatnya bagian proksimal dari tempat penyempitan akan
melebar dan disebut megaesophagus.

Diagnosis akalasia esofagus ditegakkan berdasarkan gejala klinik,


gambaran radiologi, esofagoskopi dan pemeriksaan manometri. Pada pemeriksaan
radiologi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga distal esofagus dengan
gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran penyempitan dibagian distal
esofagus dan esophagogastric junction yang menyerupai seperti bird-beak like
appereance.

Sifat terapi pada akalasia hanyalah paliatif, karena fungsi peristaltik


esofagus tidak dapat dipulihkan kembali. Terapi dapat dilakukan dengan memberi
diet tinggi kalori, medikamentosa, tindakan dilatasi, psikoterapi, dan operasi
esofagokardiotomi (operasi Heller). Pembedahan memberikan hasil yang lebih
baik dalam menghilangkan gejala pada sebagian besar pasien dan seharusnya
lebih baik dilakukan dari pada pneumatic dilation apabila ada ahli bedah yang
tersedia.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. http://.www.americanjournalofsurgery.com Diunduh tanggal 28


September 2016
2. http://.www.scirp.org/journal/paperinformation. Diunduh tanggal 28
September 2016
3. Price, Sylvia A.2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi VI. Jakarta: EGC
4. Sjamsuhidajat, R. J. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.
5. Jacob, John. 1997. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher.
Jilid II. Jakarta: Binarupa Aksara.
6. Snell S. Richard. 2006. Anatomi Klinik untu Mahasiswa Kedokteran.
Edisi VI. Jakarta: EGC.
7. Sodeman. 1995. Patofisiologi Mekanisme Penyakit. Edisi VII. Jilid II.
Jakarta: Hipokrates.
8. Thane D.R. Cody, 1990. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. Jakarta:
EGC.
9. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi VII. Jakarta: EGC.
10. Sudoyo, Aru W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing.
11. Arsyad, Efiaty, S, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Ed. VI.
Jakarta: FKUI.
12. http://.www.jmedicalcasereport.com. Diunduh tanggal 28 September 2016
13. http://.www.journal.frontiersin.org. Diunduh tanggal 29 September 2016
14. http://.www.casesjournals.com. Diunduh tanggal 29 September 2016
15. Hay, William W, dkk. 2003. Currennt Pediatric Diagnosis and Treatment.
16th Edition. United States of America.
16. http://.www.efisioterapia.net.com Diunduh tanggal 29 September 2016
17. http://.www.rimanuriman.wordpress.com Diunduh tanggal 29 September
2016
18. http://.www.medicastore.com. Diunduh tanggal 29 September 2016
19. http://.www.sydneynwgastro.com Diunduh tanggal 29 September 2016

26
20. http://.www.gi.jhsps.org.com Diunduh tanggal 29 September 2016
21. http://.www.scribd.achalasiaesofagus.com Diunduh tanggal 29 September
2016

27

Anda mungkin juga menyukai