Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, korupsi menjadi kata yang sangat terkenal dan menjadi
perbincangan mulai dari tingkat keluarga hingga negara. Hampir setiap menit
masyarakat bawah hingga pejabat tinggi tidak lepas dari kata tersebut. Diberbagai
media massa, baik cetak maupun elektronik, korupsi sudah menjadi pemberitaan
umum. Bahkan kalangan yang terlibat sangat beragam, mulai dari masyarakat
biasa, tokoh, agamawan, sampai pejabat. Hampir semua kalangan mengatakan
korupsi di Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai budaya. Sebagian
masyarakat kita mempunyai pemahaman dan keyakinan bahwa untuk menjadi kaya
dapat dilakukan melalui jalan pintas, yaitu korupsi. Budaya korupsi seakan
memperoleh lahan yang subur karena sifat sebagian besar masyarakat yang lunak,
sehingga permisif terhadap berbagai penyimpangan moral dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Keadaan yang demikian menyebabkan
persoalan korupsi dianggap sebagai perkara biasa yang wajar terjadi dalam
kehidupan masyarakat.
Melansir dari data yang dikeluarkan oleh The World Ecnomic Forum, inilah
daftar negara paling korup di dunia. Banyaknya kasus korupsi ditunjukkan dengan skala
0-100. Negara dengan nilai 100 berarti sangat bersih dari korupsi sementara nilai 0 (atau
nilai yang rendah) menunjukkan negara itu melakukan korupsi paling banyak. Data
tersebut adalah sebagai berikut;

1. 1. Yaman dengan skor 16


2. Venezuela dengan skor 18
3. Angola dengan skor 19
4. Chad dengan skor 20
5. Tajikistan dengan skor 21
6. Kamboja dengan skor 21
7. Kongo dengan skor 21
8. Zimbabwe dengan skor 22
9. Burundi dengan skor 22
10. Haiti dengan skor 22
11. Mozambik dengan skor 25
12. Kamerun dengan skor 25
13. Nicaragua dengan skor 26
14. Uganda dengan skor 26
15. Nigeria dengan skor 27
2

16. Guinea dengan skor 27


17. Kenya dengan skor 28
18. Lebanon dengan skor 28
19. Mauritania dengan skor 28
20. Bangladesh dengan skor 28
21. Guatemala dengan skor 28
22. Rusia dengan skor 29
23. Honduras dengan skor 29
24. Republik Dominika dengan skor 29
25. Kyrgiztan dengan skor 29
26. Laos dengan skor 29
27. Meksiko dengan skor 29
28. Paraguay dengan skor 29
29. Gambia dengan skor 30
30. Ukraina dengan skor 30
31. Iran dengan skor 30
32. Sierra Leone dengan skor 30

Dari 32 negara tersebut, tidak ada nama Indonesia atau Malaysia yang baru-baru ini
dikabarkan nyaris bangkrut terlilit utang yang dikorupsi pejabat pemerintahan sebelumnya. Lalu
bagaimana tingkat korupsi di Indonesia dan Malaysia? Masih berdasarkan data dari WEF,
Indonesia memilik skor indeks korupsi sebesar 37 dan berada di peringkat 80 dunia (jika
diurutkan dari negara paling bersih ke paling korup). Ini tentu masih sangat buruk, apalagi jika
skor sempurna ada di poin 100. Sementara itu tetangga kita, Malaysia rupanya masih punya poin
yang tinggi sebesar 47 poin. Selain data diatas, juga terdapat banyak sinyalemen dan fakta
bahwa sikap dan tindak koruptif masih ada dan terus terjadi dimana-mana yang sebagian bekerja
secara sistematis dan terstruktur dalam sistem kekuasaan dan sistem sosial masyarakat:
Pemberantasan korupsi masih kerap dijadikan sebagai sekedar jargon politik dari suatu
kekuasaan oleh sebagian kalangan, meskipun sebagian lainnya menjadikan pemberantasan
korupsi benar-benar sebagai prioritas yang secara serius perlu-dilakukan untuk membangun tata
pemerintahan yang baik (good governance) melalui gerakan reformasi atau perbaikan tata kelola
pemerintahan. Konteks yang menarik dalam persoalan korupsi di Indonesia dan upaya
pemberantasannya adalah ketika justru pada saat yang sama tersinyalir bahwa perilaku dan
tindak korupsi kian meningkat. Fakta ini mengakibatkan dua hal sekaligus. Pertama, berkembang
sikap fatalis yang menyimpulkan bahwa korupsi memang sulit diberantas dan sulit ditangani,
sehingga sikap permisif untuk ikut melakukan korupsi meningkat. Kedua, terdapat berbagai
upaya kreatif untuk tetap membangun gerakan antikorupsi di dalam sistem sosial masyarakat
dengan membentuk zona-zona antikorupsi. Dalam situasi saat ini perlu ada perlawanan korupsi
sedini mungkin dari tingkat lebih kecil hingga yang besar, dari keluarga hingga negara.
3

Korupsi adalah masalah serius di banyak negara dibagian dunia ini, korupsi
telah menjadi gaya hidup dengan versi lokalnya sendiri dari istilah tersebut dan
manifestasi dari berbagai bentuk praktik korupsi. Korupsi seperti kanker yang menimpa
semua negara dan bukan hanya monopoli bagi negara-negara berkembang saja.
Misalnya, di Amerika Serikat, korupsi adalah masalah bahkan sebelum Watergate.
Skandal yang melibatkan korupsi juga telah digali di negara-negara maju lainnya,
termasuk beberapa negara Eropa dan Jepang. "Epidemi" skandal korupsi di negara-
negara maju belum hanya menghancurkan mitos bahwa hanya negara-negara
berkembang yang dirundung korupsi, tetapi juga mendorong lebih banyak penelitian
tentang dinamika perilaku korupsi di negara-negara maju. Akibatnya, penelitian tentang
korupsi tidak lagi terbatas pada negara-negara berkembang, tetapi juga mencakup
semua negara tersebut (maju atau berkembang) di mana masalahnya ada.

Di sisi lain, di beberapa negara seperti Singapura; korupsi ada di Singapura,


tetapi Singapura bukan masyarakat yang korup. Ini tidak berarti bahwa Singapura
sepenuhnya bebas dari korupsi, seperti yang diperdebatkan oleh Lord Shawcross dari
Inggris satu dekade yang lalu. Sekarang dan kemudian, ada insiden perilaku korupsi di
Singapura, tetapi kasus-kasus seperti itu merupakan pengecualian daripada aturan dan
merupakan contoh korupsi individu daripada korupsi sistemik . Selanjutnya, mereka yang
dinyatakan bersalah atas perilaku korup dihukum sesuai tanpa memandang posisi atau
status mereka dalam masyarakat. Misalnya, Menteri Pembangunan Nasional, Teh
Cheang Wan, bunuh diri pada 14 Desember 1986, dua belas hari setelah dia diinterogasi
oleh dua petugas senior Biro Investigasi Praktik Korupsi (CPIB) mengenai pengaduan
korupsi yang dilakukan terhadapnya oleh kontraktor bangunan . Singkatnya, korupsi
bersifat insidental dan tidak melembaga di Singapura.

Begitupun di Hongkong; Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong


atau Hong Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC) disebut-sebut
sebagai lembaga tersukses di dunia memberantas korupsi. Tony Kwok, Deputi
Komisioner dan Kepala Operasi ICAC sepanjang 1996-2002, mengakui bahwa
lembaganya itu gigih berhadapan dengan korupsi. Saat ICAC dibentuk, menurut Tony,
hanya sedikit yang optimis lembaga ini bisa membawa perubahan. Kebanyak menilai
sebagai “Mission Impossible”. Namun, dalam waktu tiga tahun, kami sukses menghukum
247 pejabat pemerintah, termasuk 143 polisi. Dalam Millenium Survey teranyar, pendirian
ICAC menempati posisi ke-6 peristiwa terpenting sepanjang 150 tahun sejarah Hong
Kong. Jadi apa rahasia kisah sukses ini? Untuk melihat fenomena tersebut kami tertarik
membahasnya dengan judul makalah; How to Curb Corruption & Enhance Trust in
Government; Lesson From Singapore & Hongkong berdasarkan artikel Jurnal Quah
(2010).
4

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diulas sebelumnya, maka rumusan
masalah yang akan didalami adalah melaui pernyataan-pernyataan berikut ini:
1. Sejarah perkembangan Korupsi di Indonesia dari masa ke masa rezim yang
berkuasa
2. Sejarah perkembangan dan pola korupsi di Asia beberapa tahun terakhir
3. Belajar kepada Singapura dan Hongkong bagaimana cara memberantas korupsi
dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah.
5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sejarah Singkat Korupsi di Indonesia

Persoalan korupsi tidak dapat dipisahkan dalam dinamika politik kekuasaan


sebuah rezim. Kekuasaan politik menurut David Easton merupakan satu-satunya bentuk
kekuasaan yang memiliki daya paksa yang sah kepada masyarakat secara luas dan
ketundukkan masyarakat akan terealisir karena memang rakyat memiliki kepentingan
untuk menutupi keterbatasannya. Disamping itu, bentuk kekuasaan juga merupakan
sesuatu hal yang memiliki tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara
bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif yang melingkupi rakyat dalam koridor negaranya.
Senada dengan hal tersebut, Lord Acton mengemukakan pendapat bahwa power tends
to corrupt, absolut power corrupts absolutely yang artinya kekuasan lebih memberikan
kesempatan untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Konteks pemahaman
tersebut memberikan gambaran bahwa korupsi terjadi dalam lingkungan kekuasaan yang
dimiliki oleh kekuasaan politik suatu rezim yang berkuasa pada saat tertentu. Sebagai
sebuah persoalan besar yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa serta
bagian dari kejahatan yang terorganisir, hampir semua orang berupaya untuk melawan
korupsi, mulai dari pejabat, akademisi, aktivis, tokoh, agamawan, sampai masyarakat
umum. Upaya tersebut walaupun seringkali hanya menjadi retorika politik tetapi sebagai
bangsa kita tetap wajib untuk berusaha melawan korupsi.

Sejarah membuktikan bahwa gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia


sudah lama dilakukan oleh para penguasa, yaitu sejak pemerintahan Orde Lama.
Berbagai upaya dan strategi sudah diupayakan dalam pemberantasan korupsi antara
lain-ditetapkannya peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi,
munculnya lembaga anti korupsi sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, baik yang didirikan
oleh Pemerintah, Lembaga Studi Perguruan Tinggi, NGO/LSM, maupun Ptikat baik para
akademisi, lembaga keagamaan, kyai/ustad dan tokoh masyarakat. Namun, banyaknya
aturan perundangan dan badan anti korupsi tersebut ternyata tidak cukup menjamin
bangsa ini terbebas dari korupsi. Justru yang terjadi adalah “patah tumbuh hilang
berganti, mati satu tumbuh seribu” seperti sel kanker ganas karena akarnya yang telah
meluas. Semakin dibabat semakin cepat penyebarannya. Jangankan untuk membasmi
korupsi, untuk menekan laju pertumbuhan korupsi saja tidak signifikan. Sikap pesimis
dan sinis kerap mewarnai penilaian masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam
memberantas korupsi.
6

Pada masa pemerintahan Orde Lama, gerakan perlawanan anti-korupsi


dilaksanakan dengan mulai disahkannya “Undang-Undang Keadaan Bahaya” pada awal
tahun 60-an. Undang-Undang tersebut melahirkan Komisi Pemberantas Korupsi yang
disebut dengan PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara). Lembaga ini diketuai oleh
Jenderal A.H. Nasution dengan dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani.
Salah satu poin pentingnya adalah semua pejabat negara diwajibkan mengisi Daftar
Kekayaan Pejabat Negara. Namun apa yang terjadi kemudian adalah kondisi dimana
ikhtiar tersebut akhirnya kandas tanpa hasil apa-apa (http://wwwkpk.go.id). Pada masa
ini, setidaknya terdapat empat faktor penyebab kegagalan dalam pemberantasan
korupsi. Pertama, faktor belum adanya kebijakan derivasi (kebijakan turunan) yang
memungkinkan agen pelaksana kebijakan bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Kedua, faktor adanya resistensi dari para pejabat negara (terutama yang diindikasikan
korup) dengan cara menolak menyerahkan daftar kekayaannya kepada PARAN. Mereka
hanya mau menye- rahkan kepada Presiden, meskipun dalam kenyataannya sampai saat
PARAN bubar mereka tidak pernah menyerahkan daftar kekayaannya ke Presiden.
Ketiga, faktor tidak berkaitnya secara langsung antara strategi pemberantasan korupsi
dengan sistem administrasi publik yang dipraktekkan. Keempat, tidak adanya komitmen
negara khususnya para pejabat untuk melawan dan memberantas korupsi. Setelah
lembaga yang diberi nama PARAN dibubarkan, Pemerintah Orde Lama selanjutnya
mengeluarkan kebijakan baru yang dikemas dalam Keppres No.275 Tahun 1963 tentang
pemberantasan korupsi. Untuk melaksanakan Keppres tersebut Peme- rintah menunjuk
lagi Jenderal A.H. Nasution sebagai ketuanya dengan tugas yang lebih berat, yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja hijau (http:// www.kpk.go.id). Jendral A.H.
Nasution melakukan tugasnya dengan sandi “OPERASI BUDHI”. Sasarannya adalah
BUMN dan lembaga-lembaga negara yang dianggap rawan korupsi, misalnya Pertamina
(KPK, 2007). Tetapi Keppres 275/1963 sebagai landasan pemberantasan korupsi juga
tidak dilaksanakan secara efektif.MPenyebab dari kegagalan Keppres tersebut antara
lain adalah, adanya resistensi birokrasi dan pejabat negara yang dekat dan kong
kalingkong dengan Presiden. Akhirnya pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi
yang diback-up Keppres tersebut gagal. Sampai Pemerintah Orde Lama tumbang,
pemberantasan korupsi tidak membuahkan hasil yang berarti. (http://www.kpk.go.id).

Selanjutnya pengalaman Orde Baru dalam pemberantasan korupsi juga


tidak jauh dari Orde Lama. Bahkan pada masa Orde Baru korupsi malah justru semakin
merajalela dan merasuk ke semua lini kehidupan dan pemerintahan. Pemberantasan
korupsi tidak lebih dari sekedar retorika politik belaka. Retorika itu diawali dengan pidato
Soeharto (sebagai Presiden) di depan DPR/MPR pada tanggal 16 agustus 1967 yang
menyatakan akan membasmi korupsi hingga ke akar-akarnya.
7

Kemudian dibentuklah TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Tetapi, seperti yang diduga
oleh banyak kalangan. TPK tidak memiliki keberanian untuk membongkar korupsi yang
sudah mewabah, hingga akhirnya terjadi demontrasi mahasiswa dan pelajar secara
besar-besaran di tahun 1970, yang menuntut dan mendesak Soeharto memenuhi
janjinya untuk lebih serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina, Bulog, dan
Departemen Kehutanan. Hal inilah yang kemudian memunculkan inisiatif dibentuknya
lembaga “Komite Empat”. Lembaga Komite Empat ini juga tidak mampu menjalankan
tugasnya, sehingga pemerintah Orde Baru menggerakkan operasi yang diberi nama
“OPSTIB” (Operasi Tertib) yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo. Kegagalan
pemberantasan korupsi yang semakin nyata di era rezim Orde Baru diwarnai oleh
lahirnya berbagai peraturan perundangan yang sengaja dibuat untuk melindungi tindakan
para koruptor agar bebas dari jeratan hukum. Pola pemerintahan Orde Baru yang
melindungi koruptor ini dapat dipahami dengan jelas melalui pendekatan ekonomi politik
korupsi. Karena sikap pemerintah Orde Baru yang demikian itulah maka negara
Indonesia dikenal oleh para pengamat asing sebagai negara kleptokratik (Rose-
Ackerman, 2006), yaitu suatu istilah untuk menyebut “negara para maling”.

Kegagalan pemberantasan korupsi di masa Orde Baru secara nyata juga


mencerminkan belum adanya strategi dan kebijakan pemberantasan korupsi yang
komprehensif (seperti Orde Lama), sehingga penanganan yang dipraktekkan seakan-
akan tidak memiliki nilai yang dapat mencegah potensi terjadinya korupsi di tubuh
birokrasi. Lebih dari itu, strategi pemberantasan korupsi yang dibuat tidak didasarkan
pada kebijakan yang jelas, yaitu kebijakan yang menitikberatkan upaya pencegahan
potensi terjadinya korupsi birokrasi, tetapi lebih diwarnai oleh kepentingan politik jangka
pendek. Berdasarkan pengalaman historis pemberantasan korupsi di masa Orde Lama
dan Orde Baru, pemerintah di era reformasi (yang dilahirkan dari gerakan massa secara
nasional untuk menyelamatkan Indonesia dari praktek KKN), didesak untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan korupsi secara lebih serius.

Hamilton- Hart (2001) dalam tulisannya tentang Anti-Corruption Strategies


in Indonesia mencatat bahwa sejak reformasi 1998 berbagai upaya untuk memerangi
korupsi memang telah dilakukan secara mendasar oleh pemerintah, antara lain melalui:
Political Reform, Social and Press Freedoms, Fiscal Transparency and Financial
Monitoring, Legal Reform, Direct Strategies Against Corruption, Foreign involuement in
the Reform Process, and Civil Service Reform.

Di era Pemerintahan B.J. Habibie, gerakan anti-korupsi ditandai dengan


dikeluarkannya Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas KKN. Berdasarkan Undang-Undang tersebut dibentuklah
berbagai badan anti-korupsi, antara lain) “KPKPN”, “KPPU” dan “KOMISI
OMBUSDMAN”. Akan tetapi kelembagaan-kelembagaan tersebut belum dapat
menunjukkan kinerjanya sebagai badan anti-korupsi yang efektif.
8

Di era pemerintahan K.H. Abdurrachman Wachid (Gus Dur), gerakan


pemberantasan korupsi diwujudkan dengan membentuk sebuah badan anti- korupsi
yang diberi nama “Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” (TGPTPK)
yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun
sayang, lembaga yang diketuai oleh Hakim Agung Andi Andojo tersebut akhirnya harus
dibubarkan karena menurut Mahkamah Agung (melalui Judicial Review) keberadaan dan
struktur lembaga tersebut tidak lazim. Hingga Gus Dur dilengserkan dari jabatan
Presiden, pemberantasan korupsi tetap tidak menunjukkan hasil yang signifikan.(Ulul
Albab, 2007).

Di era Presiden Megawati, komitmen untuk tetap memerangi korupsi juga


terus digalakkan. Pada masa inilah pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Struktur dan kelembagaan
KPK tidak dipengaruhi oleh kekuasaan manapun. Begitu dibentuk, KPK langsung bekerja
ekstra keras. Sehingga, meskipun sebagai lembaga baru, KPK menunjukkan diri sebagai
lembaga yang berwibawa dan ditakuti oleh para pejabat. Tidak sedikit pejabat dan politisi,
terutama DPR/DPRD, yang diseret ke pengadilan atas tuduhan korupsi. Walaupun
banyak pejabat dan politisi yang terjerat hukum karena kasus korupsi, namun tetap saja
era Megawati juga menyuburkan korupsi, terbukti dengan banyaknya mantan pejabat
yang masuk bui (Ulul Albab, 2007).

Kemudian, di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), disamping


melanjutkan gebrakan presiden sebelumnya, SBY juga melakukan gebrakan dengan
membentuk TimTasTipikor (Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi) berda- sarkan
Keppres No.61 Tahun 2005. Lembaga ini mengemban misi melakukan pemberantasan
korupsi di lingkungan pemerintahan. Eksistensi dan kedudukannya berada di bawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, maka di era
pemerintahan SBY, Indonesia pernah memiliki 2 kelem- bagaan anti-korupsi, yaitu KPK
dan TimTasTipikor. Namun dalam perkem- bangannya pada pertengahan tahun 2007,
lembaga TimTasTipikor dibubarkan dan fungsinya dijalankan oleh lembaga peradilan
umum. (Ulul Albab, 2007).

Kinerja KPK untuk memberantas korupsi sangat menonjol, bahkan telah


mulai membawa efek jera. Sampai dengan akhir tahun 2006, banyak pejabat negara
yang korup diseret ke meja hijau. Beberapa kasus korupsi besar yang berhasil diungkap
oleh KPK antara lain: kasus penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN, kasus
penyalahgunaan fasilitas preshibment dan placement deposito dari Bl kepada PT
Texmaco Group melalui Bank BNI, kasus penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian
Keuangan Dirjen Perhubungan Laut dalam pembelian tanah, kasus pengadaan Busway
pada Pemda OKI Jakarta, kasus pengadaan buku dan bacaan SD, SLTP yang dibiayai
9

oleh Bank Dunia, kasus pengadaan Helikopter jenis MI- 2 Merk Pie Rostov Rusia milik
Perda NAD dengan tersangka Ir. H. Abduflah Puteh, kasus di KBRI Malaysia, kasus Theo
Toemion, kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, kasus
penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, kasus korupsi di KPU,
kasus penyuapan anggota KPU, kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu
hektare untuk perkebunan kelapa sawit, kasus pembelian alat berat senilai Rp 185,63
miliar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kasus Rokhmin Dahuri mantan Menteri
Kelautan dan Perikanan, kasus pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian, kasus
pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004, kasus mantan Gubernur Kalimantan
Selatan H.M. Sjachriel Darham dengan dugaan korupsi penggunaan uang taktis, kasus
korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003-2005 senilai Rp 47 miliar, kasus Bupati Kutai
Kartanegara Syaukani H.R. dengan dugaan korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan
merugikan negara sebanyak Rp 15,9 miliar, kasus BLBI dan kasus BI, kasus buku ajar di
Sleman yang saat ini ditangani KPK (http:/ /www.kpk.go.id, 2007).

Berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penguasa sejak Orde Lama
hingga SBY-JK secara kasat mata belum menunjukkan hasil yang gemilang, hal ini
muncul kewajaran apabila korupsi dikaitkan dengan sistem politik dan birokrasi yang
korup, sehingga membentuk budaya di tengah masyarakat yang menganggap korupsi
adalah masalah biasa, bukan sebagai kejahatan atau bencana tbe root of all evils bagi
negara. Upaya kesadaran korupsi sebagai kejahatan baru sadari sejak era reformasi
1998 dengan disahkannya Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Berdasarkan Undang-Undang
tersebut, dibentuklah berbagai badan anti-korupsi, antara lain “KPKPN”, “KPPU” dan
“KOMISI OMBUSDMAN” dan kemudian disahkannya Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang pemberantasan korupsi dan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai awal yang baik untuk memulai upaya
pemberantasan korupsi pada era saat ini dibutuhkan kerja keras semua pihak, tidak
hanya KPK tetapi juga semua elemen bangsa untuk terlibat langsung dalam
pemberantasan korupsi. Hal ini diharapkan dapat menghilangkan pemahaman bahwa
korupsi merupakan warisan sejarah dan budaya masyarakat Indonesia.

Sejarah Panjang Korupsi di Indonesia & Upaya Pemberantasannya Upaya


Pemberantasan Korupsi Max Weber, seorang peletak dasar metodologi Ilmu Sosial,
mengatakan bahwa orang tidak boleh memulai dari suatu definisi, melainkan perlu
menurunkan indikator-indikator definisi itu sesuai contoh-contoh khusus. Bagaimanapun
juga tak akan pernah menjadi definisi akhir, namun yang ada adalah sebuah definisi yang
dicocokkan dengan maksud-maksud atau peristiwa yang sedang dihadapi. Perilaku
korupsi bisa diindikasikan dari berbagai perspektif atau pendekatan.
10

Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya


mengatakan bahwa korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya.
Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang
yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya
dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan
atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri (Syafuan Rozi, 2006).

Dalam perspektif teori, bentuk-bentuk korupsi dapat berupa Fraud, Political


Bargains, Embegglement, Bribery, Favoritism, Extortion, Abuse of Discretion, and Con-
Jict of Interest (Hutchinson (2005). Sedangkan Anwar Shah (2006), merumuskan korupsi
ke dalam 4 (empat) bentuk. Pertama, Petty, administrative or bureaucratic corruption.
Kedua, grand corruption. Ketiga, state or regulatory capture and influence ped- dling.
Keempat, patronage/ paternalism and being a “team player”. Sedangkan Spector (2003)
merumuskan bentuk korupsi kedalam 6 (enam) kategori yaitu, Embeggle- ment,
Nepotism, Bribery, Extortion, Influence Peddling, dan Fraud. Bentuk-bentuk korupsi
tersebut hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam penanggulangan maupun dalam
pemberantasannya, sehingga perbincangan tentang korupsi yang lebih penting adalah
strategi penanggulangan atau pemberantasannya, bukan sekedar merumuskannya.
Korupsi yang secara lebih populer dirumuskan sebagai penyalahgunaan kekuasaan
untuk kepentingan pribadi (the abuse of public power for private gain), dalam bentuk yang
paling sederhana dan populer seringkali dapat dilihat sebagai tindak penyuapan (4ribery).
Berdasarkan bentuk-bentuk korupsi sebagaimana dikutip di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa “Korupsi” dan “Suap” harus dipandang sebagai dua sisi dari satu
mata uang, meskipun per-definisi kedua term tersebut bisa dibedakan. Hal ini menjadi
penting karena praktek “penyuapan” di beberapa wilayah budaya masyarakat di suatu
negara tertentu dianggap bukan “korupsi” (Ulul Albab, 2007).

2.2 Sejarah Singkat Korupsi di Asia

Hampir empat belas tahun yang lalu, Far Eastern Economic Review (FEER)
yang berbasis di Hong Kong menampilkan berita utama tentang "Korupsi: Pelumas Asia."
Sebuah tim koresponden mensurvei tingkat korupsi di sepuluh negara Asia dan
menyimpulkan bahwa:
11

"Jika Anda ingin membeli tank Sherman, selimut Palang Merah, atau
sekadar mempercepat pemasangan telepon, mungkin tidak ada
tempat yang lebih mudah di dunia untuk melakukan hal itu daripada di
Asia - jika Anda mau berpisah dengan uang tunai, yaitu, Dengan
sedikit pengecualian [Cina dan Singapura], negara-negara di kawasan
ini sangat diliputi korupsi sehingga pembayaran 'uang teh' hampir
menjadi cara hidup.”

Gambaran umum korupsi lainnya yang menyebar di Asia ini didukung oleh
potret individu korupsi di banyak negara Asia. Misalnya, di Burma dilaporkan bahwa:

“Cara Burma menuju sosialisme,' seperti merek India, telah memupuk


iklim korupsi. Pembayaran di bawah meja diperlukan untuk membujuk
pegawai pemerintah yang dibayar rendah untuk memproses aplikasi,
mengeluarkan lisensi, atau menindaklanjuti segala bentuk kertas resmi
Lisensi untuk orang Burma dijual ke pedagang Cina dan India, yang
menggunakan orang Burma sebagai front untuk
memperolehnya.Pengusaha asing menghadapi penundaan lama dalam
pembelian bahan baku, kecuali mereka melumuri telapak tangan
pejabat resmi di perusahaan ekspor pemerintah Seorang pembeli kayu
jati Jerman yang menolak untuk 'meminyaki' melihat kayu jatinya
membusuk di dermaga Rangoon selama lebih dari setahun. Ketika dia
menuntut pembebasannya, dia diberitahu bahwa dia harus membayar
harga yang lebih tinggi untuk kayu gelondongan, satu tahun biaya
penyimpanan, dan biaya ekspor baru berdasarkan biaya tambahan. Dia
menyerah dengan jijik. "

Korupsi juga ada di Republik Rakyat Tiongkok (RRC), tetapi sampai saat
ini, korupsi belum mencapai tingkat tinggi yang ditunjukkan di negara-negara Asia
lainnya. Menurut Harry Harding:

"Seperti halnya inefisiensi, korupsi mungkin merupakan salah satu


dari delapan patologi organisasi yang paling gigih yang telah kita
bahas dalam studi ini. Ada kecenderungan kronis kader untuk
menggunakan posisi resmi mereka untuk memperoleh hak istimewa
khusus untuk diri mereka sendiri, keluarga mereka, dan mereka.
teman-teman. Meskipun demikian, korupsi, penggelapan, dan
penyuapan tampaknya tidak mencapai tingkat yang sama di Tiongkok
seperti di banyak negara Dunia Ketiga lainnya. "
12

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, insiden perilaku korupsi yang dilaporkan telah
meningkat pesat. Sebagai contoh, Alan Liu mengidentifikasi enam belas jenis tindakan
korupsi di RRC berdasarkan 275 laporan media dari tahun 1977 hingga 1980. Hampir
sepertiga dari 304 kasus korupsi yang dilaporkan melibatkan "ketidakberaturan
perumahan" dan "pesta tidak sah". 21 Menurut bagi pengamat Tiongkok lainnya, tingkat
korupsi birokrasi di RRC disembunyikan ketika Mao berkuasa. Namun, setelah kematian
Mao, "korupsi telah menguasai banyak sektor masyarakat Cina.

Di sisi lain, korupsi lazim di negara-negara seperti India dan Indonesia. Memang, India
memberikan contoh yang baik tentang masyarakat yang sarat korupsi. Dalam kata-kata
seorang penulis India:

"Korupsi adalah elemen tunggal terbesar yang ditemukan di India.


Semua jalan, dari rumah sakit bersalin ke krematorium, berbau
korupsi. Tidak ada individu yang bebas darinya, tidak ada area yang
dapat ditemukan di mana korupsi bukan ritual."

Vonisnya sama di Indonesia, di mana korupsi telah mencapai proporsi epidemi, seperti
yang ditunjukkan oleh Richard Robison:

"Semua bukti menunjukkan bahwa korupsi adalah hal yang lazim di


Indonesia pada 1980-an seperti pada dekade sebelumnya. Kepala
Dewan Audit Keuangan, Umar Wirahadikusuma, secara terbuka
mengakui pada tahun 1981 bahwa tidak ada departemen yang bersih
dari korupsi, sedangkan wakil presiden, Adam Malik, berbicara tentang
korupsi yang mencapai proporsi epidemi.Sebuah survei Tempo pada
tahun yang sama menemukan bahwa banyak responden (43,8 persen)
menganggap korupsi sebagai ancaman terbesar bagi negara - lebih
banyak, misalnya, daripada mereka yang paling takut akan kembalinya
PKI (21,6 persen). "

Seperti RRC, negara sosialis Laos juga dilanda "malaise" korupsi yang
berkembang. Pada 1974, koresponden FEER yang tidak disebutkan namanya
melaporkan bahwa:

"Korupsi telah lama menjadi endemik di Laos. Di semua lapisan


masyarakat, di semua lapisan masyarakat (kecuali barangkali
biarawan Budha) suap, hadiah, suap dan apa yang secara halus
digambarkan sebagai ngerm kah sah (uang teh) pembayaran telah
menjadi bagian dari tatanan alamiah. Deputi Majelis Nasional telah
membeli jalan mereka ke Parlemen, perwira militer telah membayar
gaji mereka yang sedikit dengan menciptakan batalyon hantu, orang-
orang pabean menjadi gemuk dengan cara memungut tugas pribadi
mereka sendiri pada barang-barang yang masuk dan birokrat
regional dan panglima perang militer memiliki , untuk rake-off yang
13

sesuai, memungkinkan kepentingan kayu Thailand untuk memotong


secara ilegal hampir setiap batang kayu berharga di wilayah mereka
.... Hal-hal dapat berubah secara dramatis di tahun-tahun mendatang,
tetapi saat ini, korupsi masih hidup dan berkembang di Laos. "

Pada tahun 1984, beberapa pejabat dari Kementerian Perdagangan dan


Kementerian Keuangan ditangkap dan didakwa melakukan korupsi. Menurut Martin
Stuart-Fox, sistem perlindungan klan tradisional di Laos telah bertahan bahkan di bawah
pemerintahan komunis karena kebutuhan ekonomi. Selain itu, reformasi ekonomi yang
diperkenalkan oleh Resolusi Ketujuh Desember 1979 juga memunculkan peluang dan
godaan baru untuk korupsi. Gaji pegawai negeri sangat rendah sehingga mereka dipaksa
untuk menambah pendapatan resmi mereka dari remitansi yang dicatat dari anggota
keluarga di luar negeri, menyewakan rumah mereka kepada orang asing, dan anggota
keluarga berdagang di pasar terbuka atau berpartisipasi dalam korupsi. "Memang,
korupsi kecil telah menjadi begitu luas di Laos sehingga semuanya dilembagakan."

Meskipun korupsi di Malaysia belum mencapai proporsi epidemi, korupsi


terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Tren ini telah diamati oleh Profesor Syed
Hussein Alatas, yang menulis:

"Terlepas dari Singapura, dari semua negara berkembang di Asia, korupsi


adalah pandemi paling sedikit di Malaysia. Ketakutan adalah bahwa ia
tumbuh - Sejak tahun 1957, tahun kemerdekaan, korupsi telah berkembang
di Malaysia. Kami melihat banyak tokoh politik dan yang lain
mengumpulkan kekayaan melalui jabatannya. Ini adalah pengetahuan
umum bahwa ada banyak korupsi yang terjadi di bea cukai, polisi jalan raya,
imigrasi, pengadilan, kantor pertanahan, unit-unit pengadaan pasokan dari
berbagai kementerian, departemen agama di negara-negara federasi, dan
kantor transportasi jalan. [Tetapi] korupsi di Malaysia belum mencapai
proporsi Indonesia dan India pada tingkat keganasan sistemik. "

Thailand adalah satu-satunya negara ASEAN yang tidak dijajah. Namun,


kebebasan dari dominasi kolonial tidak mengimunisasi suatu negara dari penyakit
korupsi. Memang, dalam kasus Thailand korupsi adalah penyakit endemik dan, seperti di
negara-negara lain yang disebutkan di atas, berbagai langkah anti-korupsi telah
dilembagakan sebagai respons terhadap masalah besar ini. Menurut seorang sarjana
Thailand:
14

"Korupsi adalah masalah utama pembangunan nasional, terutama di


Thailand. Praktek ini lazim di setiap tingkat, apakah itu politik atau
administratif; pejabat tingkat atas atau bawah. Selain itu, praktik
korupsi di birokrasi Thailand terjadi di banyak kementerian, biro, dan
departemen. Namun masalah korupsi di negara ini lebih luas dari hari
ke hari. Solusi mendesak diperlukan untuk memastikan
kelangsungan hidup sistem administrasi yang ada. "

Akhirnya, sejumlah besar "korupsi resmi" yang dipraktikkan oleh Presiden


Ferdinand Marcos, keluarga dan teman-temannya selama dua dasawarsa berkuasa baru
ditemukan setelah kejatuhannya pada Februari 1986. Penjarahan kekayaan Filipina oleh
mantan orang nomor 1 di Filipina tersebut dan keluarganya telah didokumentasikan oleh
Carmen Navarro Pedrosa dalam biografinya tentang Imelda Marcos. Dia menulis:

"Ketika para penyelidik pemerintah Aquino mengobrak-abrik ribuan dokumen keuangan


yang ditinggalkan Marcos, mereka menemukan harta rampasan melebihi asumsi
mereka. Dokumen-dokumen itu menguraikan formula Marcos untuk penjarahan secara
sistematis. Mereka telah mengumpulkan kekayaan mereka melalui pengambilan suap
dan sogokan, dari monopoli kroni, melalui pengalihan pinjaman dan kontrak pemerintah,
melalui keuntungan dari barang-barang dan konstruksi yang dinilai terlalu tinggi, melalui
pendapatan pemerintah yang tidak diaudit, biasanya dinaikkan dari pajak, dan melalui
cara mengambil alih bisnis dengan keputusan dan pengalihan dari lebih banyak lagi dana
dari entitas yang dikendalikan pemerintah. Tidak ada yang diselamatkan. Bahkan
pembayaran bunga segar dikirim setiap hari ke rumah Imee, Irene, dan Ferdinand
Marcos, Jr., dicairkan dari dana pemerintah. Imelda dan Marcos dan kroni mereka
tampaknya telah merancang setiap cara yang mungkin menghasilkan uang melalui
penggunaan kekuatan absolut sejak deklarasi darurat militer pada tahun 1972. Com misi
yang telah ditugaskan untuk memulihkan kekayaan Marcos masih tidak tahu berapa
banyak uang yang mereka curi, tetapi perkiraan awal berkisar antara $ 5 miliar dan $ 10
miliar, sebagian besar sudah tersimpan di luar negeri, di real estat AS dan rekening bank
Swiss. Lebih banyak akun Marcos dengan nama palsu telah ditemukan oleh otoritas
Swiss. Angka yang direvisi adalah mengejutkan $ 15 miliar, lebih dari setengah dari
seluruh hutang nasional Filipina. "

Tidak seperti negara-kota Singapura, koloni Inggris di Hong Kong telah


mengalami tingkat korupsi yang relatif lebih tinggi. Namun, tidak seperti India atau
Indonesia, korupsi di Hong Kong bukanlah pandemi. Dalam hubungan ini, David Clark
telah mengamati dengan benar bahwa:
15

"Korupsi di Hong Kong, meskipun serius, belum pada tahun 1973-1974


mencapai proporsi epidemi. Hong Kong tidak begitu korup sehingga
seluruh masyarakat terserang olehnya. Ini adalah poin penting karena itu
berarti bahwa pemerintah dapat mengandalkan dukungan publik yang
signifikan terutama dari generasi muda yang idealistik. Ini menopang
pemerintah selama krisis pada tahun 1977 dan ikut bertanggung jawab
untuk memberikan dorongan yang mengubah pikiran pemerintah tentang
keseriusan masalah pada tahun 1973. Hal ini juga memungkinkan ICAC
[Komisi Independen Anti Korupsi] menerima begitu banyak laporan dan
dengan demikian menyediakan basis informasi untuk penyelidikan. "

Selanjutnya, seperti yang akan dibahas pada bagian selanjutnya,


pengalaman kedua negara kota ini dalam memerangi korupsi menunjukkan bahwa
adalah mungkin untuk meminimalkan atau mengurangi tingkat korupsi di suatu negara
melalui penerapan langkah-langkah anti-korupsi yang efektif yang didukung oleh
kepemimpinan politik. Sebuah studi perbandingan dua tahun tentang korupsi birokrasi di
tujuh negara Asia mengidentifikasi lima pola yang muncul berdasarkan data yang
dikumpulkan dalam dua puluh dua studi kasus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
berikut:

1. Seberapa mirip atau berbeda bentuk dan tujuan korupsi birokrasi dalam fungsi
peningkatan pendapatan, pengeluaran pendapatan, dan regulasi?
2. Siapa pegawai atau pejabat publik yang cenderung lebih rentan terhadap korupsi
di masing-masing fungsi ini?
3. Siapa yang biasanya melakukan langkah pertama untuk menggerakkan proses
korupsi?
4. Berapa banyak uang yang sedang dalam proses? Apakah ada bentuk lain dari
imbalan materi yang berpindah tangan saat melakukan tindakan korupsi?
5. Berapa banyak risiko yang diambil para aktor ketika mereka memutuskan untuk
terlibat dalam korupsi? Berapa ganjarannya? Apakah risiko hanya sekedar saldo-
saldo berubah ketika satu bergeser dari satu fungsi ke fungsi lainnya?

Pola pertama adalah bahwa suap adalah jenis korupsi birokrasi yang paling
umum di tujuh negara yang diteliti. Lebih lanjut, alasan-alasan suap berbeda menurut
fungsi lembaga. Menurut Ma. Concepcion P. Alfiler:
16

"Di antara agen-agen peningkatan pendapatan, alasan yang berlaku untuk


penyuapan adalah untuk pengurangan pajak dan pengumuman barang yang
melewati bea cukai. Dalam agen-agen pengeluaran pendapatan, khususnya dalam
proyek-proyek konstruksi, sebuah suap ditawarkan baik untuk memastikan bahwa
kontraktor diberikan proyek konstruksi atau ketika konstruksi sedang berlangsung,
untuk mencegah insinyur lapangan dari pemerintah menegakkan standar
pengawasan yang ketat. Suap untuk petugas polisi biasanya diberikan untuk mencari
perlindungan karena terlibat dalam kegiatan ilegal atau memintanya untuk
memperbaiki pelanggaran lalu lintas atau pelanggaran serupa. "

Pola kedua adalah bahwa pegawai negeri sipil yang korup adalah mereka
yang memiliki kontak teratur dengan klien dan yang memiliki keleluasaan untuk
menyelesaikan masalah mengenai pengiriman barang atau jasa. Namun, ini tidak berarti
bahwa pejabat senior yang tidak memiliki kontak rutin dengan klien tidak terlibat dalam
perilaku korupsi. Memang, ditemukan bahwa "pejabat tinggi juga berbagi dalam uang
korupsi yang dikumpulkan, dan bahwa di mana para pemimpin puncak terlibat, budaya
korupsi cenderung berkembang di lembaga tersebut." Selain itu, tingkat pejabat yang
terlibat dalam korupsi tergantung pada konsesi yang dibutuhkan oleh klien. Misalnya,
kontraktor swasta yang mengajukan penawaran untuk proyek-proyek konstruksi besar
akan mendekati pejabat senior dan bukan junior. Dalam kasus agen kepolisian, para
petugas yang terus-menerus berhubungan dengan publik lebih cenderung menjadi
korup.

Ketiga, tidak ada pola yang jelas tentang siapa yang memulai tindakan
korupsi. Karena baik pegawai negeri dan klien mendapat manfaat dari transaksi, salah
satu dari mereka dapat mengambil inisiatif tergantung pada minat siapa yang lebih
terpengaruh secara langsung. Misalnya, seorang kontraktor dengan kontrak besar yang
dipertaruhkan akan mendekati seorang pejabat senior di sebuah agen pengeluaran
pendapatan.

Pola keempat adalah bahwa jumlah uang korupsi bergantung pada sejauh
mana tindakan korupsi itu dilarang dan apakah kegiatan itu merupakan bagian utama
dari bisnis klien. Sebagai contoh, jumlah uang korup yang terlibat dalam perlindungan
kegiatan ilegal oleh petugas polisi tinggi karena petugas tersebut mengambil risiko yang
relatif lebih besar. Selain itu, lebih banyak uang korup akan dibutuhkan untuk menyuap
para petugas ini untuk memastikan perlindungan berkelanjutan dari kegiatan illegal.

Pola terakhir yang diidentifikasi adalah bahwa risiko yang terlibat dalam
tindakan korupsi terkait dengan sejauh mana individu yang korup ditangkap, dituntut dan
dihukum. Di Singapura, korupsi terlepas dari jenis lembaga yang dianggap berisiko tinggi
dan rendah. urusan hadiah.
17

Korupsi di Hong Kong adalah kegiatan berisiko rendah di agen-agen pengeluaran


pendapatan, tetapi merupakan kegiatan berisiko tinggi bagi petugas kepolisian, terutama
setelah pembentukan ICAC. Akhirnya, korupsi birokrasi dalam peningkatan pendapatan,
pengeluaran pendapatan, dan badan-badan pengatur di Filipina dan Thailand dipandang
sebagai kegiatan berisiko rendah tetapi sangat bermanfaat. Akibatnya, tidak
mengherankan bahwa korupsi di kedua negara ini cenderung berulang dan sistemik.

2.3 Belajar dari Pengalaman Singapura dan Hongkong Dalam Mengatasi Korupsi

2.3.1 Belajar dari Singapura

Fakta bahwa korupsi bukan cara hidup di Singapura merupakan indikasi


efektivitas strategi anti-korupsi yang diadopsi oleh pemerintah Partai Aksi Rakyat (PAP)
setelah mengambil alih kekuasaan pada Juni 1959. Namun, perlu dicatat bahwa korupsi
adalah cara hidup selama periode kolonial di Singapura, terutama setelah Perang Dunia
Kedua. Inflasi yang merajalela selama pendudukan Jepang memunculkan korupsi yang
meluas karena pegawai negeri merasa sulit untuk hidup dengan gaji tetap mereka.
Kondisi memburuk setelah perang dan berkontribusi pada peningkatan korupsi lebih
lanjut. Gaji rendah dan biaya hidup yang meningkat dengan cepat selama periode pasca-
perang menyumbang kebutuhan birokrat untuk menjadi korup; dan pengawasan yang
tidak memadai terhadap pegawai negeri sipil menciptakan banyak peluang untuk korupsi
di pihak mereka dengan sedikit kemungkinan tertangkap. Dalam Laporannya tahun 1950,
Komisaris Polisi menunjukkan bahwa korupsi sudah marak di instansi-instansi
pemerintah.

Pemerintah PAP yang baru terpilih bertekad untuk memberantas korupsi di


Singapura pada umumnya dan pada layanan sipil pada khususnya. Strateginya dalam
menangani masalah korupsi menekankan perlunya mengurangi peluang dan kebutuhan
korupsi. Ini bergantung pada Undang-Undang Pencegahan Korupsi (POCA) dan Biro
Investigasi Praktik Korupsi (CPIB) untuk mempelopori strategi anti-korupsi. Tujuan POCA
dan CPIB adalah untuk mengekang korupsi dengan mengurangi peluang korupsi dan
dengan meningkatkan harga yang harus dibayar untuk perilaku korupsi jika tertangkap.

Selain mengurangi peluang untuk korupsi, strategi anti-korupsi pemerintah


PAP juga bergantung pada pengurangan kebutuhan untuk korupsi di antara pegawai
negeri sipil dengan terus meningkatkan gaji dan kondisi kerja mereka. Asumsinya di sini
adalah bahwa korupsi menjadi masalah serius di negara-negara di mana pegawai negeri
umumnya dibayar dengan gaji yang sangat rendah dan di mana ada distribusi kekayaan
yang tidak merata. Gaji pegawai negeri Singapura cukup tinggi menurut standar Asia
18

untuk mencegah mereka meninggalkan pekerjaan sektor swasta dan terlibat dalam
kegiatan korupsi. Sebagai hasil dari kenaikan gaji terakhir pada bulan April 1982, tiga
nilai teratas dalam Layanan Administrasi memerintahkan gaji bulanan sebesar US $
9.864 (atau US $ 11.415 termasuk tunjangan) untuk Staf Tingkat III, US $ 8.545 (atau US
$ 9.889 termasuk tunjangan) untuk Tingkat Staf II, dan US $ 7.227 (atau US $ 8.364
termasuk tunjangan) untuk Staf Kelas I.

Mungkin justifikasi yang paling fasih dari pendekatan pemerintah PAP


untuk memberantas korupsi dengan mengurangi kebutuhan korupsi dengan menaikkan
gaji para pemimpin politik (dan pegawai negeri) diberikan oleh Perdana Menteri Lee Kuan
Yew di Parlemen pada 22 Maret 1985 ketika dia menjelaskan mengapa gaji para menteri
kabinet harus ditingkatkan. Dia berpendapat bahwa para pemimpin politik harus dibayar
gaji tertinggi yang mereka layak untuk memastikan pemerintahan yang bersih dan jujur.
Jika mereka dibayar rendah, mereka akan menyerah pada godaan dan melakukan
tindakan korupsi. Dia berkata:

"Bagaimana Anda memastikan bahwa sekelompok pria yang kebetulan


kebetulan murni yang datang pada tahun 1959 dan setelah dua puluh enam tahun
menjabat ... tetap tahan karat? ... Setiap anggota tahu bahwa tidak ada uang yang mudah
untuk diambil. Begitulah kita. Tidak ada yang percaya bahwa kita menghabiskan uang
untuk masuk ke rumah ini ... Saya salah satu yang terbaik yang dibayar dan mungkin
salah satu yang termiskin dari Perdana Menteri Dunia Ketiga ... Ada banyak cara dan
cara melakukan hal-hal. Dan saya menyarankan cara kita, bergerak dengan pasar,
adalah sistem yang jujur, terbuka, dapat dipertahankan, dan bisa diterapkan. Anda
meninggalkan ini karena kemunafikan, Anda akan berakhir dengan bermuka dua dan
korupsi. Pilih pilihan Anda. "

Baru-baru ini, ia menjelaskan bagaimana Singapura dapat mengekang


korupsi dengan cara berikut:

"Efektivitas sistem kami untuk memeriksa atau menghukum korupsi


terletak: pertama, pada hukum melawan korupsi yang terkandung dalam Undang-
Undang Pencegahan Korupsi; kedua, pada publik yang waspada untuk memberikan
informasi tentang semua dugaan korupsi, dan ketiga, pada CPIB yang merupakan teliti,
teliti, dan tak kenal takut dalam penyelidikannya.

Agar hal ini terjadi, CPIB harus mendapat dukungan penuh dari Perdana
Menteri di bawah portofolio siapa itu berasal. Penangkal terkuat adalah dalam opini publik
yang mengecam dan mengutuk orang yang korup, dengan kata lain, dalam sikap yang
membuat korupsi begitu tidak dapat diterima sehingga stigma korupsi tidak bisa
dihilangkan dengan menjalani hukuman penjara. "
19

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari pengalaman Singapura dalam


memberantas korupsi? Untuk menghilangkan korupsi bukanlah tugas yang mudah,
terutama di negara-negara di mana itu adalah cara hidup. Namun, kasus Singapura
menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk meminimalkan jika tidak menghilangkan
masalah korupsi. Negara-negara yang tertarik menjadikan korupsi sebagai fakta
kehidupan dan bukan cara hidup harus memperhatikan lima pelajaran berikut yang bisa
dipetik dari strategi anti-korupsi Singapura.

Pelajaran paling penting untuk diingat adalah perlunya kepemimpinan


politik untuk berkomitmen pada pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, mereka harus
tulus dan ingin menghilangkan korupsi sendiri. Ini menyiratkan bahwa mereka harus
menunjukkan contoh yang baik dan tidak boleh melakukan korupsi sendiri. Selain itu,
siapa pun yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi harus dihukum, terlepas dari
status atau kedudukannya di masyarakat. Jika orang kaya dan berkuasa dilindungi dari
penuntutan atas perilaku korup, strategi anti korupsi menjadi rusak karena ia
mendiskriminasi mereka yang miskin dan lemah. Dengan demikian seharusnya tidak ada
standar ganda dalam penegakan hukum anti-korupsi. Apakah seseorang adalah "ikan
besar" atau "ikan kecil" seharusnya tidak menjadi faktor penting dalam menentukan
kesalahan dan hukuman seseorang atas korupsi. Akhirnya, para pemimpin politik dan
keluarga mereka tidak boleh hidup mewah jika mereka serius memberantas korupsi di
negara mereka. Contoh terbaik untuk menggambarkan hal ini adalah kasus mantan
Presiden Ferdinand Marcos dan istrinya, Imelda Marcos, dari Filipina. Gaya hidup mewah
mereka (tiga ribu pasang sepatu Imelda dan dua ribu gaun pesta60) dan keterlibatan
penuh mereka dalam kegiatan korupsi telah dipublikasikan oleh pemerintahan baru
Presiden Corazon Aquino.

Pelajaran kedua yang bisa diambil dari pengalaman Singapura adalah


pentingnya mengadopsi pendekatan komprehensif daripada pendekatan sedikit demi
sedikit atau tambahan. Korupsi adalah masalah serius yang membutuhkan operasi besar
dan bukan operasi kecil. Langkah-langkah anti-korupsi harus komprehensif untuk
mencegah celah dan harus terus ditinjau untuk tujuan memperkenalkan amandemen
lebih lanjut bila diperlukan.

Pelajaran ketiga yang harus dipelajari adalah prasyarat bahwa lembaga


antikorupsi itu sendiri haruslah tidak rusak. Itu harus dikontrol atau diawasi oleh seorang
pemimpin politik yang dirinya tidak korup. Tentu saja harus diambil untuk merekrut dan
memilih pria dan wanita yang kompeten dan jujur sebagai staf agen anti-korupsi.
20

Untuk menjaga agar ukuran staf lembaga anti korupsi tetap terkendali, semua
departemen dan kementerian pemerintah harus diarahkan oleh pemerintah yang
berkuasa untuk memberikan bantuan dan kerja sama bagi upaya-upaya lembaga anti-
korupsi dalam memerangi korupsi. Jelas, setiap anggota staf lembaga anti-korupsi yang
bersalah atas korupsi harus dihukum dan dikeluarkan dari dinas sipil.

Pelajaran keempat yang harus dikumpulkan adalah perlunya mengurangi


peluang korupsi. Departemen pemerintah yang rentan terhadap kegiatan korupsi (seperti
Departemen Bea Cukai, Departemen Imigrasi, Departemen Pendapatan Internal, dan
Polisi Lalu Lintas) harus meninjau prosedur mereka secara berkala untuk mengurangi
peluang korupsi. Mereka yang dinyatakan bersalah atas perilaku korup harus dihukum
untuk mencegah orang lain meniru pada perilaku tersebut.

Pelajaran terakhir yang harus diperhatikan adalah pentingnya mengurangi


kebutuhan korupsi dengan menaikkan gaji pegawai negeri dan pemimpin politik. Jika gaji
pegawai negeri rendah, dia lebih rentan terhadap korupsi. Karena itu, untuk mengurangi
atau meminimalkan kebutuhannya akan korupsi, gajinya harus ditingkatkan. Tentu saja,
revisi gaji adalah langkah yang harus diambil dan akan tergantung pada apakah
pemerintah yang bersangkutan mampu melakukannya. Namun, dalam jangka panjang,
jika gaji tetap rendah, pegawai negeri sipil yang cakap akan meninggalkan dinas sipil
untuk bergabung dengan sektor swasta untuk mendapatkan gaji yang lebih tinggi;
sementara yang kurang mampu akan tetap dalam dinas sipil karena kebutuhan dan
akibatnya melakukan kegiatan korupsi untuk menambah gaji mereka yang sedikit.

Singkatnya, Singapura telah berhasil meminimalkan masalah korupsi


karena strategi anti-korupsi dicirikan oleh fitur-fitur berikut:

1. Komitmen para pemimpin politik, terutama Perdana Menteri Lee Kuan Yew, terhadap
penghapusan korupsi baik di dalam maupun di luar birokrasi publik;
2. Adopsi langkah-langkah anti-korupsi komprehensif yang dirancang untuk mengurangi
peluang dan kebutuhan korupsi; dan
3. Pembentukan dan pemeliharaan lembaga anti-korupsi yang tidak korup yang memiliki
personil yang jujur dan kompeten untuk menyelidiki kasus-kasus korupsi dan untuk
menegakkan undang-undang anti-korupsi.

Pengalaman Singapura dalam memberantas korupsi menunjukkan


pentingnya memiliki para pemimpin politik yang tidak korup yang berkomitmen untuk
memberantas korupsi dengan memberlakukan undang-undang anti-korupsi yang
komprehensif dan dengan membentuk badan anti-korupsi yang tidak korup untuk
menegakkan undang-undang tersebut. Gabungan bobot dari ketiga faktor ini diperlukan
21

untuk mengikis masalah korupsi. Kalau tidak, korupsi akan tetap menjadi cara hidup alih-
alih fakta kehidupan. Dengan demikian, Singapura telah menunjukkan kepada negara-
negara lain bahwa adalah mungkin untuk menyelesaikan masalah korupsi dengan
mengambil langkah-langkah anti-korupsi yang tepat untuk memastikan bahwa korupsi
tidak perlu menjadi cara hidup.

2.3.1 Belajar dari Hongkong

Komisi Pemberantasan Korupsi Hong Kong atau Hong Kong Independent


Commission Against Corruption (ICAC) disebut-sebut sebagai lembaga tersukses di
dunia memberantas korupsi. Tony Kwok, Deputi Komisioner dan Kepala Operasi ICAC
sepanjang 1996-2002, mengakui bahwa lembaganya itu gigih berhadapan dengan
korupsi.

ICAC didirikan tahun 1974, saat korupsi di Hong Kong demikian masif. Saat itu, Tony
mengatakan, bisa jadi Hong Kong adalah kota terkorup di dunia. Demikian masifnya, di
Hong Kong ada hubungan yang erat antara aparat penegak hukum dengan sindikat
kejahatan terorganisasi. Sebut saja perjudian dan narkoba yang saat itu mendapat
perlindungan dari oknum-oknum penegak hukum.

Saat ICAC dibentuk, menurut Tony, hanya sedikit yang optimis lembaga ini bisa
membawa perubahan. Kebanyak menilai sebagai “Mission Impossible”. Namun, dalam
waktu tiga tahun, kami sukses menghukum 247 pejabat pemerintah, termasuk 143 polisi.
Dalam Millenium Survey teranyar, pendirian ICAC menempati posisi ke-6 peristiwa
terpenting sepanjang 150 tahun sejarah Hong Kong. Jadi apa rahasia kisah sukses ini?

“Buat saya, ada lima faktor yang bisa mendorong ICAC sukses memberantas korupsi,”
ujar Tony saat berkunjung ke Jakarta, Selasa (10/2).

Pertama, ICAC independen dan langsung bertanggung jawab kepada posisi tertinggi di
Hong Kong. Hal ini menurut Tony, memastikan mereka bebas intervensi saat melakukan
investigasi. Dengan demikian, lembaga itu bisa menginvestigasi orang atau lembaga
tanpa kecurigaan dan rasa takut.

Kedua, ICAC mendapat sokongan finansial yang kuat. Anggaran tahunan bisa mencapai
AS$90 miliar, sekitar AS$15 per kapita. Mungkin hanya ICAC komisi pemberantasan
korupsi yang anggarannya paling besar di dunia ini.
22

Ketiga, mereka memiliki kewenangan yang luar biasa luas untuk melakukan investigasi.
ICAC tak hanya bisa melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan di
lembaga negara dan swasta. Akan tetapi, juga bisa menyelidiki semua tindak pidana
yang berkaitan dengan korupsi. ICAC berwenang untuk melakukan penyelidikan akun
bank, bisa meminta saksi memberi keterangan di bawah sumpah, menyita harta
tersangka yang berasal dari tindak pidana korupsi, sampai mencekal tersangka.

“Tetapi saya harus buru-buru menambahkan bahwa ada sistem check and balance untuk
mencegah penyalahgunaan wewenang super itu,” imbuhnya.

Lebih lanjut Tony mengatakan, faktor keempat adalah profesionalitas. Ia dengan bangga
menyebut lembaganya merupakan yang pertama kali melakukan interview semua
tersangka yang terdokumentasi dalam video. Ia mengatakan, setidaknya ada 120 orang
yang bekerja dengan terlebih dulu mengikuti pelatihan khusus.
“Kami juga punya sejumlah ahli terkait perlindungan saksi, forensik
teknologi, dan penyelidikan keuangan. Saya perlu sampaikan, ahli-ahli kami mendapat
training dari FBI National Academy,” ujarnya.

Tak kalah pentingnya, menurut Tony adalah faktor kelima yang ia sebut “tiga-mata
garpu”. Ketiganya adalah investigasi, pencegahan, dan pendidikan. Ia mengingatkan,
pendidikan merupakan kunci penting agar publik bisa ikut berpartisipasi melawan korupsi.

Di sisi lain, salah satu anggota Tim Perumus UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang
juga guru besar FH Unpad, Romli Atmasasmita, menegaskan bahwa ada hal lain yang
harus diteladani dari ICAC. Ia menyebut, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia (KPK), jangan hanya berhenti pada lima strategi itu. Ia mengatakan, relasi
antar-lembaga yang dibangun ICAC juga penting diperhatikan.

“Sehebat apapun ICAC di Hong Kong yang dikenal keberhasilannya, tidak ada satu
langkah pun yang berani bertentangan dengan seorang Gubernur Hong Kong,” tegasnya.
23

BAB III

UPAYA PENCEGAHAN KORUPSI APBN/ APBD DI INDONESIA

OLEH APARATUR NEGARA

3.1 Faktor Penyebab Korupsi oleh MenpaRB RI

Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti


penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar,
pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara
untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi
dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-
usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik
korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya
lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya.

Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang


diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999,
telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4
(empat) aspek, yaitu:

1. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang


melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi
godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan
hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras,
serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar ;
2. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi
yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem
pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang
terjadi dalam organisasi ;
3. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana individu
dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk
terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya
praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi,
serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat
ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian-pengertian dalam
budaya bangsa Indonesia.
24

4. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan perundang-


undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau
kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang
memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan,
penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi
dan revisi peraturan perundang-undangan.

3.2 Sistem Pengendalian Manajemen Dalam Pengelolaan Anggaran Negara/Daerah

Gerakan pemberantasan korupsi dalam pengelolaan anggaran


negara/daerah tidak dapat dilakukan hanya dengan melibatkan pejabat pengelola
anggaran saja, melainkan juga mencakup semua pihak termasuk yang
bertanggungjawab dalam penyusunan dan pelaksanaan Sistem Pengendalian
Manajemen (SPM), perangkat pengawasan internal serta masyarakat. Salah satu usaha
yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi dalam pengelolaan anggaran
negara/daerah adalah menyusun buku mengenai upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan korupsi yang dapat digunakan sebagai panduan bagi pimpinan instansi
pemerintah dan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) dalam mencegah
terjadinya korupsi, mendeteksi perbuatan korupsi yang terjadi serta memproses
perbuatan korupsi yang telah dideteksi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Upaya-
upaya tersebut merupakan upaya minimal yang perlu dilakukan dalam rangka
pemberantasan korupsi di bidang pengelolaan anggaran negara/daerah, sehingga untuk
menunjang semangat gerakan pemberantasan korupsi diperlukan langkah-langkah
pengembangan yang diperlukan pada masing-masing instansi.

Secara umum, salah satu upaya pencegahan terjadinya korupsi dapat


dilakukan dengan melakukan penataan sistem pengendalian manajemen, yaitu:

1. Penataan kembali organisasi dengan mempedelas visi, misi, tujuan, sasaran dan
strategi organisasi dalam pencapaian tujuan yang disertai dengan indikator
keberhasilan dalam rangka pemenuhan akuntanbilitas publik;
2. Penyederhanaan dan penyusunan kebijakan;
3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward and
punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja;
4. Penyempurnaan sistem dan prosedur kegiatan;
5. Perbaikan metode, prasarana dan sarana kerja;
6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan
sebagai alat pengendalian dan pertanggungJawaban; dan
7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal.
25

Berdasarkan temuan-temuan hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan


Fungsional Pemerintah (APFP) dan pandangan masyarakat luas diketahui bahwa
korupsi yang terjadi dalam pengelolaan anggaran negarafflaerah mencakup kebocoran
baik pada sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Kebocoran yang terjadi pada sisi
penerimaan terutama karena tidak seluruh penerimaan anggaran masuk ke Rekening
Kas Negara/Daerah, sedangkan pada sisi pengeluaran terjadi karena adanya
pengeluaran anggaran yang lebih besar dari jumlah seharusnya.

Pengendalian pada sisi anggaran penerimaan antara lain dilakukan sebagai berikut:

1. Penganggaran pendapatan harus didahului dengan perhitungan potensi pendapatan


yang dilakukan melalui survey/pengkajian potensi, yang didukung dengan data yang
dapat dipertanggungjawabkan;
2. Penetapan target pendapatan negara/daerah dalam APBN/D mengacu kepada
potensi yang ada secara terukur dan rasional dapat dicapai untuk setiap sumber
pendapatan;
3. Target dievaluasi secara berkala, dan dilakukan revisi, jika terjadi perubahan kondisi
yang didukung dengan data yang akurat;
4. Setiap Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen/ Perangkat Daerah yang
mempunyai tugas memungut atau menerima pendapatan negara/daerah wajib
melaksanakan intensifikasi pemungutan pendapatan negara/daerah tersebut;
5. Seluruh penerimaan anggaran negara/daerah harus disetor sepenuhnya dan tepat
pada waktunya ke Rekening Kas Negara/Daerah; serta dilaporkan kepada pihak
yang berwenang/ terkait.
6. Penerimaan negara/daerah dibukukan menurut ketentuan yang ditetapkan Menteri
Keuangan/Kepala Daerah;
7. Penjualan Barang Milik Negara/Daerah harus berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan dan penyewaan Barang Milik Negara/Daerah harus berdasarkan
Keputusan Pejabat yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku; 8
8. Bendaharawan penerima pungutan Negara/Daerah wajib menyetor ke Rekening Kas
Negara/Daerah seluruh penerimaan anggaran yang dipungutnya pada kesempatan
pertama sesuai ketentuan yang berlaku;
9. Bendaharawan penerima dilarang menyimpan uang dalam penguasaannya atas
nama pribadi, atau orang lain.
26

Pengendalian pada sisi pengeluaran anggaran antara lain dilakukan sebagai berikut:

1. Jumlah yang dimuat dalam Anggaran Belanja Negara/Daerah merupakan batas


tertinggi untuk tiap-tiap pengeluaran;
2. Instansi Pemerintah pusat/daerah tidak diperkenankan melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran negara/daerah, jika dana untuk
membiayai kegiatan tersebut tidak cukup tersedia dalam anggaran negara/daerah;
3. Pimpinan dan atau pejabat pada instansi Pemerintah pusat/daerah tidak
diperkenankan melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja negara/daerah
untuk tujuan lain dari yang ditetapkan dalam anggaran belanja negara/daerah;
4. Pengeluaran atas beban anggaran belanja negara/daerah dilakukan berdasarkan
bukti atau hak yang sah untuk memperoleh pembayaran;
5. Pengeluaran atas beban anggaran belanja negara/daerah didasarkan pada Surat
Keputusan Otorisasi (SKO) atau dokumen lain yang diberlakukan sebagai SKO;
6. Perjanjian/kontrak pelaksanaan pekerjaan atas beban anggaran belanja
negara/daerah untuk masa lebih dari satu tahun anggaran dilakukan atas persetujuan
Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional bagi APBN, atau atas persetujuan Kepala Daerah setelah
mendengar pertimbangan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Provinsi/ Kabupaten/Kota bagi APBD;
7. Pengelolaan atas beban anggaran belanja negara/daerah harus melalui evaluasi
kewajaran harga dengan terlebih dahulu menetapkan perkiraan biaya berdasarkan
Harga Perhitungan Sendiri (HPS) yang realistis;
8. Pelaksanaan pelelangan pengadaan barang/ jasa dilakukan secara
terbuka/transparan, adil serta dapat dipertanggungjawabkan (akuntabel).

Di samping pengendalian pada sisi penerimaan dan pengeluaran anggaran tersebut di


atas, dalam kegiatan pengadaan barang/jasa Instansi Pemerintah (termasuk perencana,
pelaksana dan pengawas), penyedia barang/jasa dan para pihak yang terkait dalam
pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika pengadaan barang/jasa,
yaitu:

1. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai
sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/ jasa;
2. Bekerja secara profesional, mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga
kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;
27

3. Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung, untuk


mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat;
4. Menerima dan bertanggung jawab segala keputusan yang ditetapkan sesuai
dengan kesepakatan para pihak;
5. Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang
terkait langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang dan
jasa;
6. Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan
negara dalam pengadaan barang dan jasa;
7. Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan atau melakukan
kegiatan bersama dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak
lain secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
8. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau
menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau
patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
28

BAB IV

CONTOH KASUS PENYELEWENGAN PENGELOLAAN APBN/ APBD

DATA DARI BPKP

Berikut daftar kasus ataupun penyimpangan pada pengelolaan Anggaran


dan Pendapatan Belanja Negara dan/ ataupun Anggaran Pendapantan dan Belanja
Daerah yang terangkum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan oleh Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan :
No. Uraian
PADA ANGGARAN PENDAPATAN NEGARA/DAERAH
A. Penerimaan Perpajakan
1. Pajak Non Migas
1) Rendahnya anggaran penerimaan pajak, PBB, Bea Cukai, Retribusi dan pajak-pajak daerah
dibanding potensi tersedia, sehingga realisasi penerimaan menjadi kurang optimal, dan
membuka peluang terjadi
penerimaan yang tidak dilaporkan.
2) Manipulasi restitusi pajak dengan cara meninggikan/memperbesar jumlah kredit pajak oleh
Wajib Pajak melalui pemalsuan dokumen faktur
pajak dan atau pelaporan transaksi pembelian fiktif.
3) Penghasilan Kena Pajak yang dilaporkan pada SPT PPh Pasal 21 tidak mencakup seluruh
penghasilan pegawai dan mengenakan tarif yang lebih rendah dari seharusnya, antara lain
dengan cara membukukan uang honor, uang rapat dan pendapatan pegawai lainnya ke
perkiraan
lain-lain.
4) Penghasilan Kena Paiak yang dilaporkan pada SPT PPh Pasal 21 memperhitungkan iuran
pensiun dan iuran jamsostek sebagai faktor pengurang dalam biaya jabatan, namun tidak
memperhitungkan premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan sebagai faktor penambah
penghasilan.

5) PPh Pasal 22 yang dilaporkan dalam SPT lebih besar dari yang sebenarnya dengan cara
merekayasa (memperbesar) daftar pemotongan, yang berakibat tingginya jumlah PPh Pasal
22 yang
dikreditkan pada SPT Badan/Perorangan tahun berjalan.
6) Pajak dilaporkan lebih kecil dalam SPT PPh Pasal 23 dengan cara mengalihkan pembukuan
biaya sewa ke biaya lainnya, membukukan pembayaran deviden sebagai biaya operasi, tidak
melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas biaya yang dibayarkan dan atau
melakukan pemotongan tetapi tidak menyetorkannya.

7) Fasilitas kredit tanpa bunga (KLBI) yang diterima, dipinjamkan kembali untuk membangun
sarana usaha tanpa memperhitungkan biaya bunga
selama masa pemanfaatan untuk menghindari PPh Pasal 23.
8) Menghindarkan PPh Pasal 23 atas pembayaran imbalan jasa penjaminan kredit yang dilakukan
Wajib Pajak kepada perusahaan agen dengan membebankan biaya jasa jaminan kredit ke
perkiraan biaya lain-lain. Atas imbalan yang diberikan kepada perusahaan agen tidak dipotong
PPh Pasal 23.

9) Pembagian deviden pada perusahaan grup yang disamarkan dalam bentuk pembayaran
bunga bank dan atau pembayaran biaya lain-lain
untuk menghindari PPh Pasal 23.
10) Manipulasi PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa yang dilakukan Wajib Pajak dengan cara
membayar uang sewa rumah untuk masa 3 tahun tetapi membebankan biaya sewa dalam
pembukuan untuk masa 1 tahun dan sisanya dibukukan sebagai biaya pemeliharaan
selanjutnya pajak
yang disetorkan hanya untuk masa 1 tahun.
11) Penghasilan Kena Pajak yang dicantumkan dalam SPT PPh Pasal 25 lebih kecil dari jumlah
sebenarnya yang dilakukan Wajib Pajak dengan
membebankan seluruh biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (overhead
cost) pada harga pokok penjualan (metode Direct
29

Costing) tanpa mengurangkan direct cost dan overhead cost yang terkandung dalam
persediaan akhir tahun.
12) Penghasilan Kena Pajak yang dicantumkan dalam SPT PPh Pasal 25 lebih kecil dari jumlah
sebenamya yang dilakukan dengan tidak melaporkan
produksi yang digunakan perusahaan afiliasi.
13) Penghasilan Kena Pajak yang dicanturrikan dalam SPT PPh Pasal 25 lebih kecil dari jumlah
sebenarnya yang dilakukan dengan cara mengurangkan
biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan (non-deductable).
14) PPh pasal 26 yang dilaporkan pada SPT PPh pasal 26 lebih kecil dari seharusnya dengan tidak
membayar royalti kepada perusahaan induk di luar negeri sebagaimana mestinya tetapi
dibayarkan melalui selisih harga bahan baku (transfer pricing) serta tidak membukukan
pembayaran royalti tersebut sebagai biaya royalti.

15) Penghasilan Kena Pajak yang dilaporkan dalam SPT PPh Pasal 26 lebih kecil dari seharusnya
yaitu sebagian tenaga kerja asing/ekspatriat yang bekerja pada Wajib Pajak tidak dilaporkan
serta tarif PPh Pasal 26 diterapkan lebih rendah dari tarif yang telah ditetapkan.

16) Pengisian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih kecil dan seharusnya yang dilakukan
Wajib Pajak dengan cara membukukan biaya angkut sebagai faktor pengurang nilai penjualan,
namun penggantian biaya angkut tersebut tidak dibukukan sebagai pendapatan penjualan.
Dengan demikian, atas pendapatan yang diperoleh dari penggantian
biaya angkut tersebut tidak dikenakan PPN.

17) PPN dilaporkan lebih kecil dengan tidak mengenakan PPN keluaran atas produk barang sisa
(scrap), produk yang langsung dipergunakan sendiri atau didistribusikan ke afiliasi.

2. Pajak Minyak dan Gas Alam


1) Pengurangan ETBS dengan memperkecil volume produksi minyak mentah (lifting) dan atau
gas alam dalam Pertamina Quarterly Report (PQR) dilakukan dengan cara menghitung
volume lifting pada titik serah terima (delivery point) yang berbeda dan metode perhitungan
yang tidak
sama.
2) Pengurangan ETBS dengan melaporkan biaya operasi tahun berjalan yang lebih besar dari
biaya sebenarnya dengan membebankan pemakaian peralatan operasi atas kontrak lain milik
perusahaan pada
kontrak yang bersangkutan.
3) Pembebanan biaya operasi dengan membebankan biaya mobilisasi peralatan melalui cost
recovery.
4) Pembebanan biaya operasi dengan biaya tenaga kerja asing (expatriate) tidak sesuai dengan
kualifikasi yang ditentukan dan atau tidak diperlukan dalam kegiatan.

5) Meningkatkan biaya operasi dengan membebankan biaya pemakaian barang/aktiva yang


sebenarnya tidak dipergunakan atas sumur dry hole
(diabandon) melalui cost recovery.
6) Pajak atas Bunga, Deviden dan Royalti (PBDR) tidak dibayar oleh kontraktor dengan dalih
telah dibayar di negara asal kontraktor.
7) Pengurangan perhitungan bonus produksi yang menjadi bagian pemerintah dengan menunda
pelaporan volume minyak mentah yang diproduksi.

3. Bea Dan Cukai.


1) Bahan baku/barang jadi asal impor yang menggunakan fasilitas impor tidak ditemukan pada
persediaan serta tidak ada realisasi ekspor atas impor yang menggunakan fasilitas, dan terjadi
penjualan lokal atas
barang fasilitas.
2) Transaksi realisasi impor yang jenis barangnya tidak sesuai dengan izin SKEP Fasilitas dan
Rencana Impor Barang (RIB) serta kuantitas transaksi impor melebihi izin SKEP fasilitas, impor
dilakukan sebelum tanggal masa
berlakunya SKEP fasilitas.
3) Pengenaan denda keterlambatan re-ekspor terhadap Surat Keputusan
Pembebasan Bea Masuk (SKPBM) impor sementara atas peralatan-peralatan
yang dibatalkan tidak dilakukan.
4) Pemberitahuan Impor Barang (PIB) sementara telah jatuh tempo namun belum dilakukan re-
ekspor dan penagihan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) yang terhutang serta
denda Administrasi belum
dilakukan.
30

5) Pengenaan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) kurang dikenakan karena
kesalahan pengenaan tarip pada uraian barang yang sama, kesalahan menetapkan nilai pabean
di mana nilai insurance belum
dimasukkan dan kesalahan perhitungan matematis.
6) Kewajiban kepabeanan atas impor dengan fasilitas penangguhan (voormitslag) yang telah
jatuh tempo tidak diselesaikan (ditagih).
7) Pembongkaran impor mobil yang tidak sesuai dengan tujuan bongkar TPT (Tempat
Pendaftaran Type) Impornya, dan diindikasikan TPT tersebut digunakan lagi pada tujuan
semula.
8) Izin pembongkaran impor mobil seharusnya dikeluarkan bila memiliki TPT untuk keperluan
impor mobil, tetapi izin tersebut dikeluarkan
dengan TPT untuk keperluan uji type.
9) Kekurangan pengenaan Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) karena
kesalahan penetapan nilai pabean dengan cara memalsukan dokumen pabean berupa invoice
yang berbeda antara invoice yang dilampirkan dalam PIB dengan yang dilampirkan pada
packing barang.

10) Hasil penyelidikan (pengawasan intelijen) terhadap importir yang diindikasikan melakukan
penyimpangan, yang kemudian terbukti menimbulkan adanya tambah bayar, tidak
ditindaklanjuti.
11) Penjualan kendaraan impor di dalam negeri tanpa dilengkapi dengan pembayaran kewajiban
kepabeanan, dengan cara memperoleh surat keputusan fasilitas pembebasan kewajiban
kepabeanan atas impor barang mewah oleh Pejabat Negara atas dasar koneksi dan dengan
dalih untuk kegiatan yang terkait dengan program pemerintah, pertemuan
kenegaraan, keolahragaan dan lain-lain.

4. Pendapatan Daerah
1) Pajak tontonan, restribusi terminal, restribusi pasar, restribusi wisata atau restribusi parkir
tidak seluruhnya disetorkan ke Kas Daerah yang dilakukan dengan cara mencetak karcis palsu,
menjual kembali karcis
yang telah terjual atau dipungut tetapi karcis tidak diberikan.
2) Penyetoran Pajak Hiburan, Pajak Restoran dan Hotel (PPI) bukan berdasarkan realisasi
penerimaan tetapi ditetapkan dengan cara
negosiasi dengan petugas terkait.
3) Pajak reklame, disetorkan lebih kecil dari seharusnya dengan cara merendahkan/menurunkan
tarip lokasi, luas tampilan reklame pada kontrak perjanjian, lama waktu reklame diperpanjang
tanpa addendum kontrak tetapi dibayarkan langsung dengan tarip negosiasi kepada
petugas pengawas lapangan.

4) Restribusi IMB disetorkan bukan berdasarkan penerimaan sebenarnya tetapi berdasarkan


negosiasi tarip kelas bangunan dan volume yang lebih rendah serta penyimpangan yang
diketahui dari hasil pengawasan
lapangan tidak dikenakan denda dan tidak disetorkan ke Kas Daerah
tetapi dipungut untuk kepentingan petugas.
5) Rekayasa jumlah hari pemakaian alat berat untuk memperoleh dana taktis dan atau untuk
kepentingan pribadi yang mengakibatkan berkurangnya potensi penerimaan daerah.

B. Penerimaan Negara Bukan Pajak


1. Pendapatan Pertambangan Umum
1) Penentuan tarif royalti dalam kontrak perjanjian penambangan dan ekspor pasir laut lebih
rendah dari ketentuan tarif royalti yang berlaku.
2) Volume produksi pengerukan pasir laut yang dilaporkan lebih kecil dari yang sebenarnya.

3) Penetapan tarif royalti tidak memperhatikan adanya kandungan mineral pasir. Pada
kenyataannya, pasir laut yang ditambang dan dijual mengandung pasir kwarsa dimana tarif
royalti pasir kwarsa lebih tinggi
dari tarif royalti pasir laut.
4) Perusahaan menyetorkan hasil penjualan batubara bagian pemerintah ke
rekening kas negara sesudah dikurangi dengan biaya penjualan yang tidak wajar.

5) Hasil penjualan batubara bagian pemerintah yang dilaporkan hanya sebesar harga menurut
kontrak (long-term contract) tanpa melaporkan kenaikan harga penjualan spot dan atau
penyesuaian harga akibat kualitas batubara yang lebih baik.

6) Sebagian hasil produksi perusahaan dipakai sendiri oleh perusahaan untuk bahan bakar
pembangkit listrik (PLTU) dan atas pemakaian
tersebut tidak dilaporkan dalam laporan produksi.
31

7) Sebagian batubara milik pemerintah dijual tanpa persetujuan pemerintah karena secara fisik
batubara bagian pemerintah tidak dipisahkan dengan batubara perusahaan. Hasil penjualan
tersebut tidak diperhitungkan
dalam perhitungan bagi hasil pemerintah.
2. Pendapatan Kehutanan
1) Pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melakukan penebangan di luar blok
tebangan dan atau menampung kayu-kayu hasil curian yang dilakukan dengan cara melakukan
mark-up potensi hutan dan membuat laporan inventarisasi yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

2) Tidak melaporkan seluruh produksi kayu bulat dan tidak melengkapi laporan produksi dengan
Surat Angkut Kayu Bulat (SAKB)/Daftar Kayu
Bulat (DKB).
3) Melakukan manipulasi pembayaran DR dan PSDH dengan tidak melaporkan produksi kayu
bulat yang dipergunakan sendiri, menghitung DR dan atau PSDH dengan tarif yang lebih kecil,
memanipulasi laporan hasil produksi kayu bulat dengan merubah jenis, diameter, dan asal serta
menunda penyetoran DR dan PSDH.

4) Pemanfaatan kayu hasil tebangan oleh kontraktor pelaksana Pembukaan Lahan Transmigrasi
tanpa memilikii Izin Penebangan Kayu (IPK) dari Dinas setempat dan tidak membayar IHH
(Iuran Hasil Hutan) dan DR
(Dana Reboisasi).
3. Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya
1) Penerimaan hasil sewa atau penjualan aktiva milik Negara/Daerah tidak disetor ke rekening
kas negara atau rekening kas daerah.
2) Penjualan aset pemerintah tanpa persetujuan pejabat yang berwenang
3) Penerimaan selisih kurs mata uang asing yang tidak disetor ke Rekening Kas Negara/Kas
Daerah.
4) Penerimaan komisi dan atau discount atas pengadaan barang dan jasa
dari pihak ketiga tidak disetor ke Rekening Kas Negara/Kas Daerah.
5) Pelaksanaan Tukar-Bangun/Ruilslaag yang tidak benar yang dilakukan dengan cara
merendahkan nilai aset milik negara dan menaikkan nilai aset milik investor, memasukkan biaya
pematangan tanah sebagai unsur penambah nilai aset investor pada tanah yang sebenarnya
telah matang, jenis, kelas dan peruntukan tanah aset pengganti dari investor tidak sesuai
dengan yang dipersyaratkan, status kepemilikan tanah pengganti belum diurus
pengalihannya, luas tanah pengganti tidak sesuai/lebih
kecil.

6) Pemanfaatan tanah milik negara untuk tujuan pribadi/tertentu.


7) Terdapat penerimaan yang berpotensi sebagai PNBP, namun tidak dilaporkan oleh instansi
terkait sebagai PNBP. Penerimaan tersebut, dengan sepengetahuan pejabat berwenang
dikelola oleh badan usaha koperasi/yayasan/perusahaan perorangan yang ditunjuk oleh
pejabat
yang bersangkutan.
8) Penjualan aset milik negara dilakukan tanpa lelang melainkan penunjukkan
langsung kepada pegawai dengan harga murah melalui
manipulasi kondisi barang yang akan dijual.

PADA ANGGARAN BELANJA NEGARA/DAERAH


A. Anggaran Belanja Pemerintah Pusat
1. Pengeluaran Rutin
1) Pembayaran ganda pejabat yang ditugaskan/dikaryakan ke lembaga lain dilakukan dengan cara
memberi gaji dan tunjangan sesuai kedudukannya pada lembaga tempatnya diperbantukan,
tanpa mencabut
gaji dan tunjangan di mana dia bekerja sebelumnya.
2) Perjalanan dinas fiktif dan atau dinas yang tidak diperlukan dilakukan dengan cara menerbitkan
surat perintah perjalanan dinas pejabat/pegawai ke suatu tempat/instansi tertentu yang
pertanggung-jawabannya dibuat dengan memaLsukan stempel, tanda tangan pejabat yang
berwenang menyetujui waktu tiba ke dan
berangkat dari instansi tempat yang dituju.

3) Pengeluaran belanja barang/jasa fiktif dilakukan dengan cara melakukan


pembelian barang/jasa untuk suatu kegiatan unit tertentu yang sebenarnya tidak ada.

4) Pengeluaran rutin dilakukan tidak berdasarkan jenis mata anggarannya.


5) Pengeluaran biaya pemeliharaan dan perbaikan rumah dinas, kendaraan dinas, dan peralatan
kantor fiktif atau digunakan untuk perbaikan kendaraan atau peralatan pribadi.
32

6) Pengalihan biaya perbaikan gedung kantor untuk keperluan perbaikan


rumah jabatan yang akan dijual kepada pejabat.
2. Pengeluaran Pembangunan
Tahap Perencanaan
1) Konsultan perencana dalam membuat spesifikasi mengarah kepada produk/kontraktor
tertentu.
2) Desain konstruksi yang tidak mencerminkan keadaan lapangan yang
sebenarnya, yang dapat mengakibatkan perubahan jadwal waktu penyelesaian serta volume
dan harga kontrak.
3) Rencana pengadaan yang "digelembungkan (mark up)" terutama dari segi biaya dan atau
diarahkan untuk kepentingan produk atau pemenang
lelang tertentu.
Tahap Persiapan Lelang/Tender
4) Harga Perkiraan Sendiri (HPS) tidak akurat atau cenderung ditinggikan karena sumber dan
waktu penyusunannya tidak jelas.
5) Dokumen lelang mengenai Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) serta
perhitungan volume yang akan dikerjakan tidak sesuai gambar.
6) Kualifikasi rekanan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya, dilakukan dengan cara
pencantuman jumlah kekayaan bersih yang tidak benar, mencantumkan tenaga ahli yang
bukan pegawai tetap calon rekanan, peralatan yang diajukan bukan milik sendiri, serta
pengalaman kerja dan reputasi calon rekanan yang direkayasa agar memenuhi persyaratan
dalam DRT.

7) Dalam lelang serentak untuk beberapa paket, satu rekanan memenangkan beberapa paket
pekerjaan sehingga melebihi Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang mengakibatkan rekanan
kesulitan
menyelesaikan pekerjaan.
8) Tenaga ahli lokal atau barang-barang yang seluruh atau sebagian komponennya berasal dari
dalam negeri ditawarkan dalam mata uang
asing.
Tahap pelaksanaan Lelang/Tender
9) Pengumuman lelang dilakukan kurang transparan untuk membatasi jumlah rekanan sehingga
peserta lelang hanya diikuti oleh kelompok
tertentu.
10) Pelelangan pengadaan barang/jasa bersifat formalitas, peserta pelelangan merupakan
perusahaan pinjam bendera, aanwijzing penawaran harga dilakukan hanya untuk satu rekanan
(rekanan lain
menandatangani Berita Acara Aanwijzing tanpa menghadiri).
11) Adanya pungutan liar dalam proses penerimaan berkas yang dilakukan dengan cara
pembatasan waktu dan pendistribusian dokumen (dengan sengaja agar kelompok tertentu
yang memperoleh).
12) Hubungan antara metode kerja dengan tenaga ahli asing yang diajukan rekanan tidak selaras,
kualifikasi tenaga ahli asing yang diajukan telah ada di dalam negeri, dan dalam kontrak
pekerjaan lanjutan masih
terdapat biaya mendatangkan tenaga ahli asing.
13) Pengurangan lingkup pekerjaan setelah pembukaan lelang dengan
maksud mengubah urutan pemenang atau mengusulkan pemenang bukan dari urutan
terendah nilai penawarannya.
14) Pada pengusulan calon pemenang ditemui adanya penawar yang lulus terbaik dari evaluasi
administrasi teknis, namun tidak diusulkan sebagai pemenang dengan alasan pekerjaan calon
rekanan pada proyek lain tidak baik.

15) Penetapan pemenang hanya memperhatikan penawar terendah tanpa


memperhatikan pengutamaan penggunaan produksi dalam negeri.
16) Kurang memberi kesempatan sanggahan atas keputusan pemenang lelang karena
pengumuman pemenang tidak dilakukan secara luas atau
tenggang waktunya singkat.
17) Pemenang pertama cenderung akan mengundurkan diri apabila perbedaan penawarannya
jauh lebih rendah dari pemenang kedua dan nilai jaminan penawarannya lebih rendah dari
perbedaan tersebut.
18) Panitia lelang memberikan keistimewaan/berpihak pada pihak-pihak
tertentu yang didasarkan pada kesepakatan tidak tertulis guna meluluskannya
dalam proses lelang.
19) Rekayasa oleh peserta lelang untuk mengarahkan pemenang tender kepada pihak tertentu
secara bergantian/ tender arisan. Hal ini didukung pula oleh sikap panitia lelang untuk
menciptakan kondisi yang kondusif terjadi tender arisan.

20) Dalam kontrak pekerjaan lanjutan masih terdapat biaya mobilisasi.


33

21) Kecenderungan kontraktor memenangkan lelang dengan tujuan untuk memperoleh uang
muka yang akan digunakan untuk kegiatan di luar
proyek.
22) Pengadaan barang dan jasa yang seharusnya melalui pelelangan dilaksanakan dengan
pemilihan langsung/ penunjukan langsung dengan menunda-nunda pelelangan sehingga
waktunya terdesak dan membuat alasan pekerjaan spesifik.

23) Melakukan proses penunjukan langsung setelah pelelangan pertama


gagal dengan alasan waktu yang mendesak.
24) Pekerjaan yang menurut nilainya harus dilaksanakan dengan lelang, ternyata diserahkan
kepada rekanan tertentu dengan penunjukan langsung.

Tahap Pelaksanaan Pekerjaan


25) Sebagian atau seluruh pekerjaan yang diborongkan dilaksanakan oleh pihak intern pemberi
kerja.
26) Pemberian perpanjangan waktu pelaksanaan kontrak/pekerjaan dan pembuatan Berita Acara
Penyelesaian Pekerjaan yang tidak benar/fiktif dengan tujuan untuk memperoleh pembayaran
dan atau menghindari
denda.
27) Dalam kontrak harga satuan, terdapat upaya untuk mendapatkan pekerjaan tambah untuk
jenis pekerjaan yang unit price-nya tinggi dan upaya mendapatkan pekerjaan kurang untuk
jenis pekerjaan yang unit
price-nya rendah dengan maksud menaikkan nilai realisasi kontrak.
28) Pekerjaan yang dicantumkan dalam kontrak tidak dilaksanakan, tetapi dalam Berita Acara
dianggap selesai sehingga terjadi pembayaran fiktif.
29) Pengadaan barang yang dilakukan melalui perantara (tidak langsung kepada agen tunggal
produk yang dibeli) sehingga harganya terlalu
mahal.
30) Konsultan menawarkan tenaga ahli asing, dan tenaga ahli asing yang ditawarkan
menggunakan alamat suatu negara yang tidak benar agar tarifnya tinggi.

31) Pelaksanaan pekerjaan terhambat disebabkan ketidakmampuan konsultan melaksanakan


kontraknya, pelimpahan pekerjaan kepada konsultan lain, pelaksanaan pekerjaan yang tidak
sesuai dengan TOR-nya, dan tenaga ahli yang tercantum dalam dokumen usulan temyata tidak
ada.

32) Permintaan eskalasi harga dari rekanan didukung dengan analisis harga
satuan item yang dieskalasi dengan rekayasa.
33) Pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal (mundur) akan tetapi dalam perhitungan
eskalasi menggunakan indeks harga pada waktu pelaksanaan.

34) Prosedur pemberian kredit dalam rangka pelaksanaan Jaring Pengaman


Sosial (JPS) yang tidak tepat.
35) Pencantuman pos biaya contingencies untuk menampung kenaikan
harga yang mungkin terjadi selama pelaksanaan pekerjaan yang seharusnya tidak
diperbolehkan.
36) Dalam pemberian dana JPS dan PPD PSE bidang pengangkutan dan kredit mikro atau modal
bergulir terjadi fiktif atau pemotongan oleh
oknum pengelola program.
37) Pengadaan buku dilakukan dengan penunjukan langsung pada perusahaan di Jakarta, tetapi
pelaksanaannya di sub kontrakkan ke perusahaan lain di daerah-daerah dengan harga lebih
rendah dari
kontrak.
38) Program SLTP terbuka, Paket Kejar A dan Kejar B yang siswanya kosong tidak dilakukan
peninjauan kembali sedangkan honor dan pengadaan buku tetap dilakukan.

39) Pemanfaatan kelemahan administrasi pengawasan anggaran yang mengakibatkan realisasi


pengeluaran lebih besar dari pada Daftar Isian Proyek (DIP)/ Daftar Isian Proyek Daerah
(DIPDA) dan Petunjuk
Operasional (PO).
B. Dana Perimbangan
1) Adanya "percaloan" dalam pengurusan Dana Alokasi Umum (DAU), di mana oknum tertentu
melobi pejabat yang berwenang menentukan alokasi dana agar mendapatkan alokasi yang
besar. Untuk itu daerah yang menginginkan mendapat imbalan yang besar, memberikan
imbalan
kepada "calo" sebesar jumlah yang disepakati kedua belah pihak.
34

2) Dana Alokasi Umum (DAU) tidak ditempatkan pada rekening kas daerah dengan maksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi berupa bunga/jasa giro atau pada suatu bank dengan
memperoleh komitmen
fee dari bank yang bersangkutan.
3) Dana Alokasi Umum digunakan untuk pengadaan kendaraan kepentingan eksekutif dan
legislatif.
4) Manipulasi data tingkat kebutuhan dan potensi ekonomi daerah yang
akan digunakan sebagai parameter untuk mendapatkan porsi DAU yang lebih besar dari yang
seharusnya.
PADA PEMBIAYAAN DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

A. Privatisasi
1) Pemilihan underwriter, penasehat keuangan, penasehat hukum dan akuntan publik sebagai
profesi penunjang tidak transparan, dilakukan
melalui penunjukan langsung sehingga biayanya cenderung tinggi.
2) Tidak dibentuk panitia pelaksana Beauty Contest pada pemilihan
penasehat keuangan internasional dan profesi penunjang lainnya, melainkan ditunjuk
perusahaan tertentu sebagai pelaksana, hal ini dapat menimbulkan keputusan yang bersifat
subyektif.
3) Dalam pemilihan penasehat keuangan internasional tidak ditentukan
kriteria penilaian dan tidak dilakukan negosiasi fee.
4) Terdapat perusahaan tertentu ditunjuk sebagai global coordinator namun tidak diuraikan secara
jelas lingkup kerjanya dan tidak dapat dipisahkan secara jelas dengan fungsi financial advisor
yang mendapat fee dalam persentase dan gross cash proceed received.

5) Terdapat pemenang proses seleksi mitra strategis yaitu bukan perusahaan yang diundang,
tidak mengikuti prakualifikasi, penawaran dan negosiasi privatisasi serta bukan bergerak di
bidang usaha sejenis.
6) Penjualan saham milik negara dengan block sale dan merupakan
perdagangan pasar sekunder non reguler tetapi masih menggunakan jasa underwriter (standby
underwriter), dan underwriter agreement disusun setelah terjadi negosiasi mengenai harga dan
jumlah yang akan dijual oleh placement agent.

7) Nilai transaksi penyertaan dibawah nilai proposal penawaran dengan alasan terdapat
penerimaan non kas seperti; perbaikan dan
pemeliharaan sistem serta pembayaran biaya asuransi.
8) Privatisasi BUMN disamarkan dengan cara menjual anak perusahaan
yang baru dibentuk, sehingga hasil privatisasi tidak masuk ke negara (APBN) melainkan
sebagai penerimaan perusahaan induk.
9) Harga penjualan saham block sale lebih rendah dari pasar reguler dengan alasan
memberikan diskon pada investor sehingga terjadi
opportunity lost yang cukup besar sehingga penerimaan negara berkurang.

10) Terdapat pengeluaran biaya-biaya di luar privatisasi seperti biaya


persiapan Initial Public Offering (IPO) tahun sebelumnya, biaya operasional koperasi/yayasan dan
biaya lainnya tetapi dibebankan dalam
biaya privatisasi dan dipotongkan langsung pada hasil privatisasi.
11) Terdapat anggota penasehat keuangan yang tidak berfungsi menjalankan tugas
sesuai engagement letter tetapi fee dibayarkan
sehingga terjadi pemborosan keuangan negara.
B. Restrukturisasi Perbankan
1) Penjualan aset yang diserahkan pemegang saham dalam program PKPS melalui penjualan
langsung (direct sales) kepada mitra strategis secara tertutup/ tidak transparan sehingga
berpotensi penetapan harga penjualan yang lebih rendah dari yang seharusnya.

2) Penurunan nilai aset perusahaan dalam rangka program Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham (PKPS) melalui skema Master Settlement Acquitions Agreement (MSAA) dilakukan
oleh manajemen perusahaan untuk kepentingan pemegang saham lama (terjadi kolusi) yang
berakibat penurunan harga jual perusahaan.

C. Pinjaman Luar Negeri


1) Proyek yang diusulkan untuk dibiayai dengan Pinjaman/ Hibah Luar Negeri (PHLN) bukan
merupakan proyek yang dibutuhkan dan mempunyai prioritas tinggi sesuai kebijakan, sasaran
dan program
pembangunan.
2) Volume, spesiflkasi dan harga proyek yang diusulkan untuk dibiayai dengan PHLN lebih tinggi
dari kebutuhan sebenarnya.
35

3) Terdapat pekerjaan yang pada dasarnya tidak memerlukan konsultan asing (internasional)
karena telah dapat dikerjakan oleh konsultan lokal.
4) Realisasi proyek PHLN digunakan untuk biaya project incremental
recurring cost (biaya-biaya pegawai untuk operasi proyek) dengan tidak wajar.

5) Tender pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari PHLN direkayasa, sehingga usulan
pemenangnya tidak disetujui oleh lender, selanjutnya hasil tender yang ditolak lender diusulkan
untuk dibiayai dengan dana rupiah murni, tanpa tender ulang, melainkan hanya dengan
mengkonversi harga valuta asing ke harga rupiah dan menambahkan beban pajak-pajak terkait.

6) Perhitungan nilai local ingredient dalam kontrak dengan rekanan asing pada proyek yang
dibiayai dari PHLN dihitung dengan menggunakan
foreign currency (tidak menggunakan nilai rupiah/kurs tetap), sehingga bila terjadi kenaikan
kurs merugikan keuangan negara.
7) Terdapat pekerjaan konsultan yang tidak dibutuhkan karena telah pernah dan atau telah
selesai dilaksanakan proyek, namun karena
merupakan ketentuan dari lender, tetap dimasukkan dalam kontrak.
8) Pekerjaan yang dihasilkan konsultan banyak yang bersifat lender oriented, yakni ditujukan
untuk mengatasi permasalahan yang penting menurut konsultan tetapi bukan prioritas bagi pihak
proyek.
9) Konsultan cenderung menawarkan personal dengan kualifikasi (pengalaman profesional, strata
pendidikan) di atas kualifikasi yang sebenarnya sehingga nilai kontrak menjadi jauh lebih tinggi
dari yang
seharusnya.
10) Program pengadaan barang yang dibiayai dana PHLN dirancang oleh pusat tanpa melibatkan
daerah, meliputi jenis barang, jumlah dan harga satuannya sehingga daerah sebagai pelaksana
mengalami kesulitan mencari pemasok. Akibatnya terjadi kemahalan harga dan terdapat jenis
barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
36

DAFTAR PUSTAKA

Asian Journal Of Public Administration, QUAN; 2010

Sejarah Panjang Korupsi Di Indonesia dan Upaya Pemberantasannya; Suraji Direktur


Eksekutif Matapena Institute Yogyakarta Email: faiz attagifdyahoo.co.id; 2010
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54db4fff7d855/ini-lima-jurus-kpk-hong-kong-sukses-
berantas-korupsi/

Anda mungkin juga menyukai