BAB I
PENDAHULUAN
Dari 32 negara tersebut, tidak ada nama Indonesia atau Malaysia yang baru-baru ini
dikabarkan nyaris bangkrut terlilit utang yang dikorupsi pejabat pemerintahan sebelumnya. Lalu
bagaimana tingkat korupsi di Indonesia dan Malaysia? Masih berdasarkan data dari WEF,
Indonesia memilik skor indeks korupsi sebesar 37 dan berada di peringkat 80 dunia (jika
diurutkan dari negara paling bersih ke paling korup). Ini tentu masih sangat buruk, apalagi jika
skor sempurna ada di poin 100. Sementara itu tetangga kita, Malaysia rupanya masih punya poin
yang tinggi sebesar 47 poin. Selain data diatas, juga terdapat banyak sinyalemen dan fakta
bahwa sikap dan tindak koruptif masih ada dan terus terjadi dimana-mana yang sebagian bekerja
secara sistematis dan terstruktur dalam sistem kekuasaan dan sistem sosial masyarakat:
Pemberantasan korupsi masih kerap dijadikan sebagai sekedar jargon politik dari suatu
kekuasaan oleh sebagian kalangan, meskipun sebagian lainnya menjadikan pemberantasan
korupsi benar-benar sebagai prioritas yang secara serius perlu-dilakukan untuk membangun tata
pemerintahan yang baik (good governance) melalui gerakan reformasi atau perbaikan tata kelola
pemerintahan. Konteks yang menarik dalam persoalan korupsi di Indonesia dan upaya
pemberantasannya adalah ketika justru pada saat yang sama tersinyalir bahwa perilaku dan
tindak korupsi kian meningkat. Fakta ini mengakibatkan dua hal sekaligus. Pertama, berkembang
sikap fatalis yang menyimpulkan bahwa korupsi memang sulit diberantas dan sulit ditangani,
sehingga sikap permisif untuk ikut melakukan korupsi meningkat. Kedua, terdapat berbagai
upaya kreatif untuk tetap membangun gerakan antikorupsi di dalam sistem sosial masyarakat
dengan membentuk zona-zona antikorupsi. Dalam situasi saat ini perlu ada perlawanan korupsi
sedini mungkin dari tingkat lebih kecil hingga yang besar, dari keluarga hingga negara.
3
Korupsi adalah masalah serius di banyak negara dibagian dunia ini, korupsi
telah menjadi gaya hidup dengan versi lokalnya sendiri dari istilah tersebut dan
manifestasi dari berbagai bentuk praktik korupsi. Korupsi seperti kanker yang menimpa
semua negara dan bukan hanya monopoli bagi negara-negara berkembang saja.
Misalnya, di Amerika Serikat, korupsi adalah masalah bahkan sebelum Watergate.
Skandal yang melibatkan korupsi juga telah digali di negara-negara maju lainnya,
termasuk beberapa negara Eropa dan Jepang. "Epidemi" skandal korupsi di negara-
negara maju belum hanya menghancurkan mitos bahwa hanya negara-negara
berkembang yang dirundung korupsi, tetapi juga mendorong lebih banyak penelitian
tentang dinamika perilaku korupsi di negara-negara maju. Akibatnya, penelitian tentang
korupsi tidak lagi terbatas pada negara-negara berkembang, tetapi juga mencakup
semua negara tersebut (maju atau berkembang) di mana masalahnya ada.
BAB II
LANDASAN TEORI
Kemudian dibentuklah TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Tetapi, seperti yang diduga
oleh banyak kalangan. TPK tidak memiliki keberanian untuk membongkar korupsi yang
sudah mewabah, hingga akhirnya terjadi demontrasi mahasiswa dan pelajar secara
besar-besaran di tahun 1970, yang menuntut dan mendesak Soeharto memenuhi
janjinya untuk lebih serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina, Bulog, dan
Departemen Kehutanan. Hal inilah yang kemudian memunculkan inisiatif dibentuknya
lembaga “Komite Empat”. Lembaga Komite Empat ini juga tidak mampu menjalankan
tugasnya, sehingga pemerintah Orde Baru menggerakkan operasi yang diberi nama
“OPSTIB” (Operasi Tertib) yang dipimpin oleh Laksamana Sudomo. Kegagalan
pemberantasan korupsi yang semakin nyata di era rezim Orde Baru diwarnai oleh
lahirnya berbagai peraturan perundangan yang sengaja dibuat untuk melindungi tindakan
para koruptor agar bebas dari jeratan hukum. Pola pemerintahan Orde Baru yang
melindungi koruptor ini dapat dipahami dengan jelas melalui pendekatan ekonomi politik
korupsi. Karena sikap pemerintah Orde Baru yang demikian itulah maka negara
Indonesia dikenal oleh para pengamat asing sebagai negara kleptokratik (Rose-
Ackerman, 2006), yaitu suatu istilah untuk menyebut “negara para maling”.
oleh Bank Dunia, kasus pengadaan Helikopter jenis MI- 2 Merk Pie Rostov Rusia milik
Perda NAD dengan tersangka Ir. H. Abduflah Puteh, kasus di KBRI Malaysia, kasus Theo
Toemion, kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara Probosutedjo, kasus
penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, kasus korupsi di KPU,
kasus penyuapan anggota KPU, kasus ijin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu
hektare untuk perkebunan kelapa sawit, kasus pembelian alat berat senilai Rp 185,63
miliar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, kasus Rokhmin Dahuri mantan Menteri
Kelautan dan Perikanan, kasus pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian, kasus
pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004, kasus mantan Gubernur Kalimantan
Selatan H.M. Sjachriel Darham dengan dugaan korupsi penggunaan uang taktis, kasus
korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003-2005 senilai Rp 47 miliar, kasus Bupati Kutai
Kartanegara Syaukani H.R. dengan dugaan korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan
merugikan negara sebanyak Rp 15,9 miliar, kasus BLBI dan kasus BI, kasus buku ajar di
Sleman yang saat ini ditangani KPK (http:/ /www.kpk.go.id, 2007).
Berbagai upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penguasa sejak Orde Lama
hingga SBY-JK secara kasat mata belum menunjukkan hasil yang gemilang, hal ini
muncul kewajaran apabila korupsi dikaitkan dengan sistem politik dan birokrasi yang
korup, sehingga membentuk budaya di tengah masyarakat yang menganggap korupsi
adalah masalah biasa, bukan sebagai kejahatan atau bencana tbe root of all evils bagi
negara. Upaya kesadaran korupsi sebagai kejahatan baru sadari sejak era reformasi
1998 dengan disahkannya Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Berdasarkan Undang-Undang
tersebut, dibentuklah berbagai badan anti-korupsi, antara lain “KPKPN”, “KPPU” dan
“KOMISI OMBUSDMAN” dan kemudian disahkannya Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang pemberantasan korupsi dan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai awal yang baik untuk memulai upaya
pemberantasan korupsi pada era saat ini dibutuhkan kerja keras semua pihak, tidak
hanya KPK tetapi juga semua elemen bangsa untuk terlibat langsung dalam
pemberantasan korupsi. Hal ini diharapkan dapat menghilangkan pemahaman bahwa
korupsi merupakan warisan sejarah dan budaya masyarakat Indonesia.
Hampir empat belas tahun yang lalu, Far Eastern Economic Review (FEER)
yang berbasis di Hong Kong menampilkan berita utama tentang "Korupsi: Pelumas Asia."
Sebuah tim koresponden mensurvei tingkat korupsi di sepuluh negara Asia dan
menyimpulkan bahwa:
11
"Jika Anda ingin membeli tank Sherman, selimut Palang Merah, atau
sekadar mempercepat pemasangan telepon, mungkin tidak ada
tempat yang lebih mudah di dunia untuk melakukan hal itu daripada di
Asia - jika Anda mau berpisah dengan uang tunai, yaitu, Dengan
sedikit pengecualian [Cina dan Singapura], negara-negara di kawasan
ini sangat diliputi korupsi sehingga pembayaran 'uang teh' hampir
menjadi cara hidup.”
Gambaran umum korupsi lainnya yang menyebar di Asia ini didukung oleh
potret individu korupsi di banyak negara Asia. Misalnya, di Burma dilaporkan bahwa:
Korupsi juga ada di Republik Rakyat Tiongkok (RRC), tetapi sampai saat
ini, korupsi belum mencapai tingkat tinggi yang ditunjukkan di negara-negara Asia
lainnya. Menurut Harry Harding:
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, insiden perilaku korupsi yang dilaporkan telah
meningkat pesat. Sebagai contoh, Alan Liu mengidentifikasi enam belas jenis tindakan
korupsi di RRC berdasarkan 275 laporan media dari tahun 1977 hingga 1980. Hampir
sepertiga dari 304 kasus korupsi yang dilaporkan melibatkan "ketidakberaturan
perumahan" dan "pesta tidak sah". 21 Menurut bagi pengamat Tiongkok lainnya, tingkat
korupsi birokrasi di RRC disembunyikan ketika Mao berkuasa. Namun, setelah kematian
Mao, "korupsi telah menguasai banyak sektor masyarakat Cina.
Di sisi lain, korupsi lazim di negara-negara seperti India dan Indonesia. Memang, India
memberikan contoh yang baik tentang masyarakat yang sarat korupsi. Dalam kata-kata
seorang penulis India:
Vonisnya sama di Indonesia, di mana korupsi telah mencapai proporsi epidemi, seperti
yang ditunjukkan oleh Richard Robison:
Seperti RRC, negara sosialis Laos juga dilanda "malaise" korupsi yang
berkembang. Pada 1974, koresponden FEER yang tidak disebutkan namanya
melaporkan bahwa:
1. Seberapa mirip atau berbeda bentuk dan tujuan korupsi birokrasi dalam fungsi
peningkatan pendapatan, pengeluaran pendapatan, dan regulasi?
2. Siapa pegawai atau pejabat publik yang cenderung lebih rentan terhadap korupsi
di masing-masing fungsi ini?
3. Siapa yang biasanya melakukan langkah pertama untuk menggerakkan proses
korupsi?
4. Berapa banyak uang yang sedang dalam proses? Apakah ada bentuk lain dari
imbalan materi yang berpindah tangan saat melakukan tindakan korupsi?
5. Berapa banyak risiko yang diambil para aktor ketika mereka memutuskan untuk
terlibat dalam korupsi? Berapa ganjarannya? Apakah risiko hanya sekedar saldo-
saldo berubah ketika satu bergeser dari satu fungsi ke fungsi lainnya?
Pola pertama adalah bahwa suap adalah jenis korupsi birokrasi yang paling
umum di tujuh negara yang diteliti. Lebih lanjut, alasan-alasan suap berbeda menurut
fungsi lembaga. Menurut Ma. Concepcion P. Alfiler:
16
Pola kedua adalah bahwa pegawai negeri sipil yang korup adalah mereka
yang memiliki kontak teratur dengan klien dan yang memiliki keleluasaan untuk
menyelesaikan masalah mengenai pengiriman barang atau jasa. Namun, ini tidak berarti
bahwa pejabat senior yang tidak memiliki kontak rutin dengan klien tidak terlibat dalam
perilaku korupsi. Memang, ditemukan bahwa "pejabat tinggi juga berbagi dalam uang
korupsi yang dikumpulkan, dan bahwa di mana para pemimpin puncak terlibat, budaya
korupsi cenderung berkembang di lembaga tersebut." Selain itu, tingkat pejabat yang
terlibat dalam korupsi tergantung pada konsesi yang dibutuhkan oleh klien. Misalnya,
kontraktor swasta yang mengajukan penawaran untuk proyek-proyek konstruksi besar
akan mendekati pejabat senior dan bukan junior. Dalam kasus agen kepolisian, para
petugas yang terus-menerus berhubungan dengan publik lebih cenderung menjadi
korup.
Ketiga, tidak ada pola yang jelas tentang siapa yang memulai tindakan
korupsi. Karena baik pegawai negeri dan klien mendapat manfaat dari transaksi, salah
satu dari mereka dapat mengambil inisiatif tergantung pada minat siapa yang lebih
terpengaruh secara langsung. Misalnya, seorang kontraktor dengan kontrak besar yang
dipertaruhkan akan mendekati seorang pejabat senior di sebuah agen pengeluaran
pendapatan.
Pola keempat adalah bahwa jumlah uang korupsi bergantung pada sejauh
mana tindakan korupsi itu dilarang dan apakah kegiatan itu merupakan bagian utama
dari bisnis klien. Sebagai contoh, jumlah uang korup yang terlibat dalam perlindungan
kegiatan ilegal oleh petugas polisi tinggi karena petugas tersebut mengambil risiko yang
relatif lebih besar. Selain itu, lebih banyak uang korup akan dibutuhkan untuk menyuap
para petugas ini untuk memastikan perlindungan berkelanjutan dari kegiatan illegal.
Pola terakhir yang diidentifikasi adalah bahwa risiko yang terlibat dalam
tindakan korupsi terkait dengan sejauh mana individu yang korup ditangkap, dituntut dan
dihukum. Di Singapura, korupsi terlepas dari jenis lembaga yang dianggap berisiko tinggi
dan rendah. urusan hadiah.
17
2.3 Belajar dari Pengalaman Singapura dan Hongkong Dalam Mengatasi Korupsi
untuk mencegah mereka meninggalkan pekerjaan sektor swasta dan terlibat dalam
kegiatan korupsi. Sebagai hasil dari kenaikan gaji terakhir pada bulan April 1982, tiga
nilai teratas dalam Layanan Administrasi memerintahkan gaji bulanan sebesar US $
9.864 (atau US $ 11.415 termasuk tunjangan) untuk Staf Tingkat III, US $ 8.545 (atau US
$ 9.889 termasuk tunjangan) untuk Tingkat Staf II, dan US $ 7.227 (atau US $ 8.364
termasuk tunjangan) untuk Staf Kelas I.
Agar hal ini terjadi, CPIB harus mendapat dukungan penuh dari Perdana
Menteri di bawah portofolio siapa itu berasal. Penangkal terkuat adalah dalam opini publik
yang mengecam dan mengutuk orang yang korup, dengan kata lain, dalam sikap yang
membuat korupsi begitu tidak dapat diterima sehingga stigma korupsi tidak bisa
dihilangkan dengan menjalani hukuman penjara. "
19
Untuk menjaga agar ukuran staf lembaga anti korupsi tetap terkendali, semua
departemen dan kementerian pemerintah harus diarahkan oleh pemerintah yang
berkuasa untuk memberikan bantuan dan kerja sama bagi upaya-upaya lembaga anti-
korupsi dalam memerangi korupsi. Jelas, setiap anggota staf lembaga anti-korupsi yang
bersalah atas korupsi harus dihukum dan dikeluarkan dari dinas sipil.
1. Komitmen para pemimpin politik, terutama Perdana Menteri Lee Kuan Yew, terhadap
penghapusan korupsi baik di dalam maupun di luar birokrasi publik;
2. Adopsi langkah-langkah anti-korupsi komprehensif yang dirancang untuk mengurangi
peluang dan kebutuhan korupsi; dan
3. Pembentukan dan pemeliharaan lembaga anti-korupsi yang tidak korup yang memiliki
personil yang jujur dan kompeten untuk menyelidiki kasus-kasus korupsi dan untuk
menegakkan undang-undang anti-korupsi.
untuk mengikis masalah korupsi. Kalau tidak, korupsi akan tetap menjadi cara hidup alih-
alih fakta kehidupan. Dengan demikian, Singapura telah menunjukkan kepada negara-
negara lain bahwa adalah mungkin untuk menyelesaikan masalah korupsi dengan
mengambil langkah-langkah anti-korupsi yang tepat untuk memastikan bahwa korupsi
tidak perlu menjadi cara hidup.
ICAC didirikan tahun 1974, saat korupsi di Hong Kong demikian masif. Saat itu, Tony
mengatakan, bisa jadi Hong Kong adalah kota terkorup di dunia. Demikian masifnya, di
Hong Kong ada hubungan yang erat antara aparat penegak hukum dengan sindikat
kejahatan terorganisasi. Sebut saja perjudian dan narkoba yang saat itu mendapat
perlindungan dari oknum-oknum penegak hukum.
Saat ICAC dibentuk, menurut Tony, hanya sedikit yang optimis lembaga ini bisa
membawa perubahan. Kebanyak menilai sebagai “Mission Impossible”. Namun, dalam
waktu tiga tahun, kami sukses menghukum 247 pejabat pemerintah, termasuk 143 polisi.
Dalam Millenium Survey teranyar, pendirian ICAC menempati posisi ke-6 peristiwa
terpenting sepanjang 150 tahun sejarah Hong Kong. Jadi apa rahasia kisah sukses ini?
“Buat saya, ada lima faktor yang bisa mendorong ICAC sukses memberantas korupsi,”
ujar Tony saat berkunjung ke Jakarta, Selasa (10/2).
Pertama, ICAC independen dan langsung bertanggung jawab kepada posisi tertinggi di
Hong Kong. Hal ini menurut Tony, memastikan mereka bebas intervensi saat melakukan
investigasi. Dengan demikian, lembaga itu bisa menginvestigasi orang atau lembaga
tanpa kecurigaan dan rasa takut.
Kedua, ICAC mendapat sokongan finansial yang kuat. Anggaran tahunan bisa mencapai
AS$90 miliar, sekitar AS$15 per kapita. Mungkin hanya ICAC komisi pemberantasan
korupsi yang anggarannya paling besar di dunia ini.
22
Ketiga, mereka memiliki kewenangan yang luar biasa luas untuk melakukan investigasi.
ICAC tak hanya bisa melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan di
lembaga negara dan swasta. Akan tetapi, juga bisa menyelidiki semua tindak pidana
yang berkaitan dengan korupsi. ICAC berwenang untuk melakukan penyelidikan akun
bank, bisa meminta saksi memberi keterangan di bawah sumpah, menyita harta
tersangka yang berasal dari tindak pidana korupsi, sampai mencekal tersangka.
“Tetapi saya harus buru-buru menambahkan bahwa ada sistem check and balance untuk
mencegah penyalahgunaan wewenang super itu,” imbuhnya.
Lebih lanjut Tony mengatakan, faktor keempat adalah profesionalitas. Ia dengan bangga
menyebut lembaganya merupakan yang pertama kali melakukan interview semua
tersangka yang terdokumentasi dalam video. Ia mengatakan, setidaknya ada 120 orang
yang bekerja dengan terlebih dulu mengikuti pelatihan khusus.
“Kami juga punya sejumlah ahli terkait perlindungan saksi, forensik
teknologi, dan penyelidikan keuangan. Saya perlu sampaikan, ahli-ahli kami mendapat
training dari FBI National Academy,” ujarnya.
Tak kalah pentingnya, menurut Tony adalah faktor kelima yang ia sebut “tiga-mata
garpu”. Ketiganya adalah investigasi, pencegahan, dan pendidikan. Ia mengingatkan,
pendidikan merupakan kunci penting agar publik bisa ikut berpartisipasi melawan korupsi.
Di sisi lain, salah satu anggota Tim Perumus UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang
juga guru besar FH Unpad, Romli Atmasasmita, menegaskan bahwa ada hal lain yang
harus diteladani dari ICAC. Ia menyebut, Komisi Pemberantasan Korupsi Republik
Indonesia (KPK), jangan hanya berhenti pada lima strategi itu. Ia mengatakan, relasi
antar-lembaga yang dibangun ICAC juga penting diperhatikan.
“Sehebat apapun ICAC di Hong Kong yang dikenal keberhasilannya, tidak ada satu
langkah pun yang berani bertentangan dengan seorang Gubernur Hong Kong,” tegasnya.
23
BAB III
1. Penataan kembali organisasi dengan mempedelas visi, misi, tujuan, sasaran dan
strategi organisasi dalam pencapaian tujuan yang disertai dengan indikator
keberhasilan dalam rangka pemenuhan akuntanbilitas publik;
2. Penyederhanaan dan penyusunan kebijakan;
3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward and
punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja;
4. Penyempurnaan sistem dan prosedur kegiatan;
5. Perbaikan metode, prasarana dan sarana kerja;
6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan
sebagai alat pengendalian dan pertanggungJawaban; dan
7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal.
25
Pengendalian pada sisi anggaran penerimaan antara lain dilakukan sebagai berikut:
Pengendalian pada sisi pengeluaran anggaran antara lain dilakukan sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai
sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/ jasa;
2. Bekerja secara profesional, mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga
kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dirahasiakan
untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;
27
BAB IV
5) PPh Pasal 22 yang dilaporkan dalam SPT lebih besar dari yang sebenarnya dengan cara
merekayasa (memperbesar) daftar pemotongan, yang berakibat tingginya jumlah PPh Pasal
22 yang
dikreditkan pada SPT Badan/Perorangan tahun berjalan.
6) Pajak dilaporkan lebih kecil dalam SPT PPh Pasal 23 dengan cara mengalihkan pembukuan
biaya sewa ke biaya lainnya, membukukan pembayaran deviden sebagai biaya operasi, tidak
melakukan pemotongan PPh pasal 23 atas biaya yang dibayarkan dan atau
melakukan pemotongan tetapi tidak menyetorkannya.
7) Fasilitas kredit tanpa bunga (KLBI) yang diterima, dipinjamkan kembali untuk membangun
sarana usaha tanpa memperhitungkan biaya bunga
selama masa pemanfaatan untuk menghindari PPh Pasal 23.
8) Menghindarkan PPh Pasal 23 atas pembayaran imbalan jasa penjaminan kredit yang dilakukan
Wajib Pajak kepada perusahaan agen dengan membebankan biaya jasa jaminan kredit ke
perkiraan biaya lain-lain. Atas imbalan yang diberikan kepada perusahaan agen tidak dipotong
PPh Pasal 23.
9) Pembagian deviden pada perusahaan grup yang disamarkan dalam bentuk pembayaran
bunga bank dan atau pembayaran biaya lain-lain
untuk menghindari PPh Pasal 23.
10) Manipulasi PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa yang dilakukan Wajib Pajak dengan cara
membayar uang sewa rumah untuk masa 3 tahun tetapi membebankan biaya sewa dalam
pembukuan untuk masa 1 tahun dan sisanya dibukukan sebagai biaya pemeliharaan
selanjutnya pajak
yang disetorkan hanya untuk masa 1 tahun.
11) Penghasilan Kena Pajak yang dicantumkan dalam SPT PPh Pasal 25 lebih kecil dari jumlah
sebenarnya yang dilakukan Wajib Pajak dengan
membebankan seluruh biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (overhead
cost) pada harga pokok penjualan (metode Direct
29
Costing) tanpa mengurangkan direct cost dan overhead cost yang terkandung dalam
persediaan akhir tahun.
12) Penghasilan Kena Pajak yang dicantumkan dalam SPT PPh Pasal 25 lebih kecil dari jumlah
sebenamya yang dilakukan dengan tidak melaporkan
produksi yang digunakan perusahaan afiliasi.
13) Penghasilan Kena Pajak yang dicanturrikan dalam SPT PPh Pasal 25 lebih kecil dari jumlah
sebenarnya yang dilakukan dengan cara mengurangkan
biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan (non-deductable).
14) PPh pasal 26 yang dilaporkan pada SPT PPh pasal 26 lebih kecil dari seharusnya dengan tidak
membayar royalti kepada perusahaan induk di luar negeri sebagaimana mestinya tetapi
dibayarkan melalui selisih harga bahan baku (transfer pricing) serta tidak membukukan
pembayaran royalti tersebut sebagai biaya royalti.
15) Penghasilan Kena Pajak yang dilaporkan dalam SPT PPh Pasal 26 lebih kecil dari seharusnya
yaitu sebagian tenaga kerja asing/ekspatriat yang bekerja pada Wajib Pajak tidak dilaporkan
serta tarif PPh Pasal 26 diterapkan lebih rendah dari tarif yang telah ditetapkan.
16) Pengisian SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih kecil dan seharusnya yang dilakukan
Wajib Pajak dengan cara membukukan biaya angkut sebagai faktor pengurang nilai penjualan,
namun penggantian biaya angkut tersebut tidak dibukukan sebagai pendapatan penjualan.
Dengan demikian, atas pendapatan yang diperoleh dari penggantian
biaya angkut tersebut tidak dikenakan PPN.
17) PPN dilaporkan lebih kecil dengan tidak mengenakan PPN keluaran atas produk barang sisa
(scrap), produk yang langsung dipergunakan sendiri atau didistribusikan ke afiliasi.
5) Pengenaan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) kurang dikenakan karena
kesalahan pengenaan tarip pada uraian barang yang sama, kesalahan menetapkan nilai pabean
di mana nilai insurance belum
dimasukkan dan kesalahan perhitungan matematis.
6) Kewajiban kepabeanan atas impor dengan fasilitas penangguhan (voormitslag) yang telah
jatuh tempo tidak diselesaikan (ditagih).
7) Pembongkaran impor mobil yang tidak sesuai dengan tujuan bongkar TPT (Tempat
Pendaftaran Type) Impornya, dan diindikasikan TPT tersebut digunakan lagi pada tujuan
semula.
8) Izin pembongkaran impor mobil seharusnya dikeluarkan bila memiliki TPT untuk keperluan
impor mobil, tetapi izin tersebut dikeluarkan
dengan TPT untuk keperluan uji type.
9) Kekurangan pengenaan Bea Masuk (BM) dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) karena
kesalahan penetapan nilai pabean dengan cara memalsukan dokumen pabean berupa invoice
yang berbeda antara invoice yang dilampirkan dalam PIB dengan yang dilampirkan pada
packing barang.
10) Hasil penyelidikan (pengawasan intelijen) terhadap importir yang diindikasikan melakukan
penyimpangan, yang kemudian terbukti menimbulkan adanya tambah bayar, tidak
ditindaklanjuti.
11) Penjualan kendaraan impor di dalam negeri tanpa dilengkapi dengan pembayaran kewajiban
kepabeanan, dengan cara memperoleh surat keputusan fasilitas pembebasan kewajiban
kepabeanan atas impor barang mewah oleh Pejabat Negara atas dasar koneksi dan dengan
dalih untuk kegiatan yang terkait dengan program pemerintah, pertemuan
kenegaraan, keolahragaan dan lain-lain.
4. Pendapatan Daerah
1) Pajak tontonan, restribusi terminal, restribusi pasar, restribusi wisata atau restribusi parkir
tidak seluruhnya disetorkan ke Kas Daerah yang dilakukan dengan cara mencetak karcis palsu,
menjual kembali karcis
yang telah terjual atau dipungut tetapi karcis tidak diberikan.
2) Penyetoran Pajak Hiburan, Pajak Restoran dan Hotel (PPI) bukan berdasarkan realisasi
penerimaan tetapi ditetapkan dengan cara
negosiasi dengan petugas terkait.
3) Pajak reklame, disetorkan lebih kecil dari seharusnya dengan cara merendahkan/menurunkan
tarip lokasi, luas tampilan reklame pada kontrak perjanjian, lama waktu reklame diperpanjang
tanpa addendum kontrak tetapi dibayarkan langsung dengan tarip negosiasi kepada
petugas pengawas lapangan.
3) Penetapan tarif royalti tidak memperhatikan adanya kandungan mineral pasir. Pada
kenyataannya, pasir laut yang ditambang dan dijual mengandung pasir kwarsa dimana tarif
royalti pasir kwarsa lebih tinggi
dari tarif royalti pasir laut.
4) Perusahaan menyetorkan hasil penjualan batubara bagian pemerintah ke
rekening kas negara sesudah dikurangi dengan biaya penjualan yang tidak wajar.
5) Hasil penjualan batubara bagian pemerintah yang dilaporkan hanya sebesar harga menurut
kontrak (long-term contract) tanpa melaporkan kenaikan harga penjualan spot dan atau
penyesuaian harga akibat kualitas batubara yang lebih baik.
6) Sebagian hasil produksi perusahaan dipakai sendiri oleh perusahaan untuk bahan bakar
pembangkit listrik (PLTU) dan atas pemakaian
tersebut tidak dilaporkan dalam laporan produksi.
31
7) Sebagian batubara milik pemerintah dijual tanpa persetujuan pemerintah karena secara fisik
batubara bagian pemerintah tidak dipisahkan dengan batubara perusahaan. Hasil penjualan
tersebut tidak diperhitungkan
dalam perhitungan bagi hasil pemerintah.
2. Pendapatan Kehutanan
1) Pengusaha pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melakukan penebangan di luar blok
tebangan dan atau menampung kayu-kayu hasil curian yang dilakukan dengan cara melakukan
mark-up potensi hutan dan membuat laporan inventarisasi yang tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
2) Tidak melaporkan seluruh produksi kayu bulat dan tidak melengkapi laporan produksi dengan
Surat Angkut Kayu Bulat (SAKB)/Daftar Kayu
Bulat (DKB).
3) Melakukan manipulasi pembayaran DR dan PSDH dengan tidak melaporkan produksi kayu
bulat yang dipergunakan sendiri, menghitung DR dan atau PSDH dengan tarif yang lebih kecil,
memanipulasi laporan hasil produksi kayu bulat dengan merubah jenis, diameter, dan asal serta
menunda penyetoran DR dan PSDH.
4) Pemanfaatan kayu hasil tebangan oleh kontraktor pelaksana Pembukaan Lahan Transmigrasi
tanpa memilikii Izin Penebangan Kayu (IPK) dari Dinas setempat dan tidak membayar IHH
(Iuran Hasil Hutan) dan DR
(Dana Reboisasi).
3. Penerimaan Negara Bukan Pajak Lainnya
1) Penerimaan hasil sewa atau penjualan aktiva milik Negara/Daerah tidak disetor ke rekening
kas negara atau rekening kas daerah.
2) Penjualan aset pemerintah tanpa persetujuan pejabat yang berwenang
3) Penerimaan selisih kurs mata uang asing yang tidak disetor ke Rekening Kas Negara/Kas
Daerah.
4) Penerimaan komisi dan atau discount atas pengadaan barang dan jasa
dari pihak ketiga tidak disetor ke Rekening Kas Negara/Kas Daerah.
5) Pelaksanaan Tukar-Bangun/Ruilslaag yang tidak benar yang dilakukan dengan cara
merendahkan nilai aset milik negara dan menaikkan nilai aset milik investor, memasukkan biaya
pematangan tanah sebagai unsur penambah nilai aset investor pada tanah yang sebenarnya
telah matang, jenis, kelas dan peruntukan tanah aset pengganti dari investor tidak sesuai
dengan yang dipersyaratkan, status kepemilikan tanah pengganti belum diurus
pengalihannya, luas tanah pengganti tidak sesuai/lebih
kecil.
7) Dalam lelang serentak untuk beberapa paket, satu rekanan memenangkan beberapa paket
pekerjaan sehingga melebihi Sisa Kemampuan Nyata (SKN) yang mengakibatkan rekanan
kesulitan
menyelesaikan pekerjaan.
8) Tenaga ahli lokal atau barang-barang yang seluruh atau sebagian komponennya berasal dari
dalam negeri ditawarkan dalam mata uang
asing.
Tahap pelaksanaan Lelang/Tender
9) Pengumuman lelang dilakukan kurang transparan untuk membatasi jumlah rekanan sehingga
peserta lelang hanya diikuti oleh kelompok
tertentu.
10) Pelelangan pengadaan barang/jasa bersifat formalitas, peserta pelelangan merupakan
perusahaan pinjam bendera, aanwijzing penawaran harga dilakukan hanya untuk satu rekanan
(rekanan lain
menandatangani Berita Acara Aanwijzing tanpa menghadiri).
11) Adanya pungutan liar dalam proses penerimaan berkas yang dilakukan dengan cara
pembatasan waktu dan pendistribusian dokumen (dengan sengaja agar kelompok tertentu
yang memperoleh).
12) Hubungan antara metode kerja dengan tenaga ahli asing yang diajukan rekanan tidak selaras,
kualifikasi tenaga ahli asing yang diajukan telah ada di dalam negeri, dan dalam kontrak
pekerjaan lanjutan masih
terdapat biaya mendatangkan tenaga ahli asing.
13) Pengurangan lingkup pekerjaan setelah pembukaan lelang dengan
maksud mengubah urutan pemenang atau mengusulkan pemenang bukan dari urutan
terendah nilai penawarannya.
14) Pada pengusulan calon pemenang ditemui adanya penawar yang lulus terbaik dari evaluasi
administrasi teknis, namun tidak diusulkan sebagai pemenang dengan alasan pekerjaan calon
rekanan pada proyek lain tidak baik.
21) Kecenderungan kontraktor memenangkan lelang dengan tujuan untuk memperoleh uang
muka yang akan digunakan untuk kegiatan di luar
proyek.
22) Pengadaan barang dan jasa yang seharusnya melalui pelelangan dilaksanakan dengan
pemilihan langsung/ penunjukan langsung dengan menunda-nunda pelelangan sehingga
waktunya terdesak dan membuat alasan pekerjaan spesifik.
32) Permintaan eskalasi harga dari rekanan didukung dengan analisis harga
satuan item yang dieskalasi dengan rekayasa.
33) Pelaksanaan pekerjaan tidak sesuai dengan jadwal (mundur) akan tetapi dalam perhitungan
eskalasi menggunakan indeks harga pada waktu pelaksanaan.
2) Dana Alokasi Umum (DAU) tidak ditempatkan pada rekening kas daerah dengan maksud untuk
memperoleh keuntungan pribadi berupa bunga/jasa giro atau pada suatu bank dengan
memperoleh komitmen
fee dari bank yang bersangkutan.
3) Dana Alokasi Umum digunakan untuk pengadaan kendaraan kepentingan eksekutif dan
legislatif.
4) Manipulasi data tingkat kebutuhan dan potensi ekonomi daerah yang
akan digunakan sebagai parameter untuk mendapatkan porsi DAU yang lebih besar dari yang
seharusnya.
PADA PEMBIAYAAN DEFISIT ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
A. Privatisasi
1) Pemilihan underwriter, penasehat keuangan, penasehat hukum dan akuntan publik sebagai
profesi penunjang tidak transparan, dilakukan
melalui penunjukan langsung sehingga biayanya cenderung tinggi.
2) Tidak dibentuk panitia pelaksana Beauty Contest pada pemilihan
penasehat keuangan internasional dan profesi penunjang lainnya, melainkan ditunjuk
perusahaan tertentu sebagai pelaksana, hal ini dapat menimbulkan keputusan yang bersifat
subyektif.
3) Dalam pemilihan penasehat keuangan internasional tidak ditentukan
kriteria penilaian dan tidak dilakukan negosiasi fee.
4) Terdapat perusahaan tertentu ditunjuk sebagai global coordinator namun tidak diuraikan secara
jelas lingkup kerjanya dan tidak dapat dipisahkan secara jelas dengan fungsi financial advisor
yang mendapat fee dalam persentase dan gross cash proceed received.
5) Terdapat pemenang proses seleksi mitra strategis yaitu bukan perusahaan yang diundang,
tidak mengikuti prakualifikasi, penawaran dan negosiasi privatisasi serta bukan bergerak di
bidang usaha sejenis.
6) Penjualan saham milik negara dengan block sale dan merupakan
perdagangan pasar sekunder non reguler tetapi masih menggunakan jasa underwriter (standby
underwriter), dan underwriter agreement disusun setelah terjadi negosiasi mengenai harga dan
jumlah yang akan dijual oleh placement agent.
7) Nilai transaksi penyertaan dibawah nilai proposal penawaran dengan alasan terdapat
penerimaan non kas seperti; perbaikan dan
pemeliharaan sistem serta pembayaran biaya asuransi.
8) Privatisasi BUMN disamarkan dengan cara menjual anak perusahaan
yang baru dibentuk, sehingga hasil privatisasi tidak masuk ke negara (APBN) melainkan
sebagai penerimaan perusahaan induk.
9) Harga penjualan saham block sale lebih rendah dari pasar reguler dengan alasan
memberikan diskon pada investor sehingga terjadi
opportunity lost yang cukup besar sehingga penerimaan negara berkurang.
2) Penurunan nilai aset perusahaan dalam rangka program Penyelesaian Kewajiban Pemegang
Saham (PKPS) melalui skema Master Settlement Acquitions Agreement (MSAA) dilakukan
oleh manajemen perusahaan untuk kepentingan pemegang saham lama (terjadi kolusi) yang
berakibat penurunan harga jual perusahaan.
3) Terdapat pekerjaan yang pada dasarnya tidak memerlukan konsultan asing (internasional)
karena telah dapat dikerjakan oleh konsultan lokal.
4) Realisasi proyek PHLN digunakan untuk biaya project incremental
recurring cost (biaya-biaya pegawai untuk operasi proyek) dengan tidak wajar.
5) Tender pengadaan barang/jasa yang dibiayai dari PHLN direkayasa, sehingga usulan
pemenangnya tidak disetujui oleh lender, selanjutnya hasil tender yang ditolak lender diusulkan
untuk dibiayai dengan dana rupiah murni, tanpa tender ulang, melainkan hanya dengan
mengkonversi harga valuta asing ke harga rupiah dan menambahkan beban pajak-pajak terkait.
6) Perhitungan nilai local ingredient dalam kontrak dengan rekanan asing pada proyek yang
dibiayai dari PHLN dihitung dengan menggunakan
foreign currency (tidak menggunakan nilai rupiah/kurs tetap), sehingga bila terjadi kenaikan
kurs merugikan keuangan negara.
7) Terdapat pekerjaan konsultan yang tidak dibutuhkan karena telah pernah dan atau telah
selesai dilaksanakan proyek, namun karena
merupakan ketentuan dari lender, tetap dimasukkan dalam kontrak.
8) Pekerjaan yang dihasilkan konsultan banyak yang bersifat lender oriented, yakni ditujukan
untuk mengatasi permasalahan yang penting menurut konsultan tetapi bukan prioritas bagi pihak
proyek.
9) Konsultan cenderung menawarkan personal dengan kualifikasi (pengalaman profesional, strata
pendidikan) di atas kualifikasi yang sebenarnya sehingga nilai kontrak menjadi jauh lebih tinggi
dari yang
seharusnya.
10) Program pengadaan barang yang dibiayai dana PHLN dirancang oleh pusat tanpa melibatkan
daerah, meliputi jenis barang, jumlah dan harga satuannya sehingga daerah sebagai pelaksana
mengalami kesulitan mencari pemasok. Akibatnya terjadi kemahalan harga dan terdapat jenis
barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
36
DAFTAR PUSTAKA