Anda di halaman 1dari 8

Preseptor: Feni Dwi Dayanti, S.Farm., Apt dan Chusnullia Farida, S. Farm.

, Apt
Nafi’ah Ema Suryani (kelompok 2)

MAKALAH
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Penyakit tidak menular (PTM) diketahui sebagai faktor utama penyebab kematian
tahun 2012. Secara global, diperkirakan 56 juta orang meninggal karena PTM. Saat ini
angka kejadian penyakit PTM terus menningkat, diantaranya yaitu penyakit Lupus.
Berdasarkan artikel yang dikutip dari DetikNews (2014) diketahui peneliti dari
Australian National University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan untuk
pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Penyakit ini dikenal sebagai
peradangan kronis yang terjadi ketika sistem imun tubuh justru menyerang organ dan
jaringan tubuh. Dr Julia Ellyard yang memimpin penelitian ini di ANU menjelaskan,
timnya menggunakan obat khusus untuk mengidentifikasi penyebab penyakit
autoimmune ini pada seorang pasien perempuan berusia 10 tahun. Penyakit lupus bisa
menyerang kulit dan persendian penderita, namun juga bisa menyerang organ utama.
Selama ini penyebab lupus diketahui berkaitan dengan faktor genetika, namun
tidak diketahui pasti apa yang memicu serangan lupus. Dengan pendekatan yang
digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti berhasil mengidentifikasi penyebab
khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya
peningkatan jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-alpha. Selain faktor
genetik, faktor lain yang menyebabkan seseorang terjangkit penyakit lupus adalah
faktor lingkungan, hormon dan penyakit.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan systemic lupus erythematosus (SLE)?
2. Bagaimana dignosis dan terapi yang digunakan untuk menangani systemic
lupus erythematosus (SLE)?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari systemic lupus erythematosus (SLE)?
2. Mengetahui dignosis dan terapi yang digunakan untuk menangani systemic
lupus erythematosus (SLE)?

BAB II
Pembahasan

A. Definisi systemic lupus erythematosus (SLE)


Lupus berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala,
sedangkan erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Istilah
lupus erythematosus pernah digunakan pada zaman Yunani kuno untuk
menyatakan suatu penyakit kulit kemerahan di sekitar pipi yang disebabkan oleh
gigitan anjing hutan.
Menurut para ahli reumatologi Indonesia, Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi
terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Dari kedua pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa lupus eritematosus sistemik (Systemic Lupus
Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit autoimun kronis yang berhubungan
dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai dengan adanya autoantibodi
terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.
Penyakit autoimun adalah istilah yang digunakan saat sistem imun atau
kekeblan tubuh seseorang menyerang tubuhnya sendiri. Sistem kekebalan tubuh
penderita Lupus akan menyerang sel, jaringan dan organ yang sehat. Sistem
kekebalan tubuh pada pasien penyaklit Lupus akan mengalami kehilangan
kemampuan untuk membedakan antara substansi asing (non-self) dengan sel dan
jaringan tubuh sendiri (self). Lupus dapat menyerang bagian tubuh, misalnya kulit,
sendi, sel arah, paru-paru, dan jantung.
Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang
berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan
sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis
antibodi yang muncul dan organ yang terlibat.

B. Diagnosis SLE
Menurut Kambayana (2014) diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan.
Selain dapat menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga
terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul
berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar limfe
yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital lainnya. SLE
pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain misalnya artritis
reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya. Oleh karena itu,
ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk diperhatikan, mengingat
gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.

C. Terapi SLE
Perhimpunan Reumatologi Indonesia dalam bukunya yang berjudul Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik menyatakan bahwa perjalanan penyakit SLE
yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan
aktivitas penyakitnya. Evaluasi aktivitas penyakit ini berguna sebagai panduan dalam
pemberian terapi. Batasan operasional pengelolaan SLE dapat diartikan sebagai
digunakannya atau diterapkannya prinsip-prinsip umum pengelolaan SLE yang bukan
hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan yang lebih holistik
yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-sosial. Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara
bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan terapi dapat tercapai.
Tujuan khusus pengobatan SLE diantaranya adalah mendapatkan masa remisi
yang panjang, menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin serta mengurangi rasa
nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna
mencapai kualitas hidup yang optimal.
Menurut Syamsi dhuha (2014 : 4) penilaian klinis aktivitas penyakit sama
pentingnya dengan hasil tes laboratorium. Pemantauan aktifitas penyakit sangat
diperlukan untuk menentukan agresifitas penatalaksanaan lupus dan dosis obat yang
dibutuhkan. Hal ini dapat dimonitor dari banyaknya organ tubuh pasien yang terkena dan
tes laboratorium yang sesuai untuk memantau aktifitas penyakit misalnya pemeriksaan
tes fungsi ginjal,atau fungsi paru, jumlah sel darah putih(leukosit), sel darah merah
(hemoglobin) atau bahkan Laju Endap Darah (LED).Berbagai indeks penilaian derajat
penyakit telah dikembangkan dan digunakan oleh para spesialis, namun aktivitas
penyakit yang terus berubah dan kerusakan jaringan yang terjadi menyulitkan untuk
membedakan pengaruh dari peradangan aktif atau akibat kerusakan yang
terbentuk. Sehingga pada prakteknya, lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul :
1. Lupus Ringan
Syamsi dhuha (2014 : 4-5) menyatakan bahwa manifestasi yang umum adalah
nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s
syndrome (perubahan warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan
kelelahan. Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi
paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya
digunakan dalam gejala ini. Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang
terkadang menjadi alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang
tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut.
Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul cenderung
lebih besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat
keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang
dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat dan olah
raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan
2. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang selaput
jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau leukopenia.
Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan
dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian menguranginya menjadi
dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk menstandarisasi dosis, namun
pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol dengan 20mg prednisolon per hari, kelainan
darah membutuhkan dosis 40mg atau lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai
tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti:
Azathioprine, dan Methotrexate. Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam
pengobatan trombositopenia, tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan
merusak fungsi ginjal harus digunakan secara hati-hati. Obatobat immunosupresan ini
membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul,sehingga dalam periode tersebut
steroid masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika
pasien sudah dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera
diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit. (Syamsi dhuha, 2014 : 5)
3. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat termasuk ke
dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat
immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan
untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate
dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid yang
diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu: induksi awal dimana penyakit
aktif dikendalikan, dan fase pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol. (Syamsi dhuha,
2014 : 5)
Syamsi dhuha (2014 : 5) menambahkan bahwa pengobatan tambahan yang
digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan
antibodi monoclonal (agen biologi) mengalami penurunaan penggunaannya
dibandingkan waktu yang lalu tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan
tersebut sangat membantu pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang
mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan dan
cenderung memainkan bagian penting dalam pengelolaan penyakit sedang dan berat.

Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011
: 10-11) :
1. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh pasien
SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu diketahui
oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara
mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar
matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan
diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
2. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh pasien
SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi dengan
modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain. (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011 : 10-11)
3. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen adalah
cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan imunomodulator dan
mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau rekayasa genetika inhibitor sitokin
inflamasi (anticytokines), atau sitokin anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu
adanya kebutuhan besar untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika
memungkinkan dengan efek samping yang rendah. Dengan perkembangan yang sedang
berlangsung, berikut adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan pada penyakit
lupus erythematosus :

BAB III
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan mengenai Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dapat
disimpulkan bahwa (Systemic Lupus Erythematosus atau SLE) merupakan penyakit
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dengan ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan
disregulasi sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh yang belum
jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan
penyakit yang beragam. Faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE
adalah faktor genetik, imunologi, hormonal dan lingkungan.
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat menimbulkan
kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat sangat bervariasi dan
tidak sama pada setiap penderita. Pengetahuan mekanisme SLE dapat digunakan untuk
memilih obat lebih baik yang ditujukan pada target. Target terhadap sel B dan sel T
akan memperbaiki hasil induksi remisi. Manifestasi tertentu SLE seperti penyakit kulit
yang refrakter dan nefritis berhasil diatasi dengan baik dengan antagonis TNF-α dan anti IL-
6.

DAFTAR PUSTAKA
DetikNews. Peneliti Australia Berhasil Identifikasi Penyebab Genetik Penyakit
Lupus.http://news.detik.com/read/2014/08/19/161523/2666565/1513/peneliti-
australia-berhasil-identifikasi-penyebab-genetik-penyakit-lupus. (Online).
Kambayana, dkk. 2014. Target Terapi Imunosupresan pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Denpasar : Universitas Udayana.
Krishnamurthy S, Subramanian M. 2011. Systemic Lupus Erythematosus: Recent
Concepts in Genomics, Pathogenetic Mechanisms, and Therapies.
10.5402/2011/868964.
Musai Musdianto. 2010. Terapi Lupus Eritematosus Sistemik dengan Penghambatan
Kostimulasi Sel T. Palembang : Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2004. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Indonesia : Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Postal M, Costallat LT, Appenzeller S. 2012. Biological therapy in systemic lupus
erythematosus. 2012:578-641.
Redaksi Media in Health. 2013. Media in Health. Jakarta : PT. Asuransi Jiwa in Health
Indonesia.
Syamsi dhuha. 2012. Lupus dan Penatalaksanaannya. Syamsi dhuha foundation.

Anda mungkin juga menyukai