Anda di halaman 1dari 34

1

BAB XI
FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

Bab ini akan membahas tentang pengertian filsafat pendidikan


matematika, tujuan pendidikan matematika, ideologi pendidikan matematika, dan
aliran filsafat pendidikan.

A. Pengertian Filsafat Pendidikan Matematika


1. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri atas dua
kata yakni philos (cinta) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Secara etimologi, filsafat berarti
cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Pythagoras (527-497 SM) adalah filosof
pertama yang menggunakan kata filsafat, dia mengemukakan bahwa manusia
dapat dibagi ke dalam tiga tipe: yaitu mereka yang mencintai kesenangan, mereka
yang mencintai kegiatan, dan mereka yang mencintai kebijaksanaan. Tujuan
kebijaksanaan dalam pandangannya menyangkut kemajuan menuju kesalamatan
dalam hal keagamaan.1
Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa objek filsafat adalah penemuan
kenyataan atau kebenaran absolute (keduanya sama dalam pandangannya), lewat
“dialektika”. Sementara menurut Aristoteles (384-332 SM), tokoh utama filosof
klasik, mengatakan bahwa filsafat menyelidiki sebab dan asas segala terdalam dari
wujud. Karena itu, ia menamakan filsafat dengan “teologi” atau filsafat pertama.
Aristoteles sampai pada kesimpulan bahwa setiap gerak di ala mini digerak oleh
yang lain.2 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan filsafat
merupakan suatu pemikiran secara mendalam terhadap sesuatu sampai kepada inti
persoalan.

1
Amsal Bakhtiar. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
2
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
2

2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari bahasa Latin, educare, yang dapat diartikan
“pembimbingan berkelanjutan (to lead forth)”.3 Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengadilan diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.4 Menurut John Dewey (dalam Isjoni,
2015), pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar
secara intelektual dan emosional sesama manusia.5
Suparlan Suhartono (2009), makna pendidikan dapat dilihat dari dua
perspektif yakni arti luas dan arti sempit pendidikan. Pendidikan dalam arti luas
adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam
segala situasi kehidupan. Dalam kegiatan pembelajaran itu, individu mampu
mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang.
Dalam arti luas, pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, kapan
saja, dan di mana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak
asasi manusia pada umumnya. Berarti pendidikan memang harus berlangsung
disetiap jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan, mulai dari lingkungan individual,
sosial keluarga, lingkungan masyarakat luas, dan berlangsung sepanjang waktu.6
Pendidikan dalam arti sempit adalah seluruh kegiatan belajar yang
direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan terjadwal dalam sistem
pengawasan, dan diberkan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan.
Kegiatan belajar seperti itu dilaksanakan dilembaga pendidikan sekolah. tujuan
utamanya adalah mengembangkan potensi intelektual dalam bentuk penguasaan

3
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
4
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5
Isjoni. 2015. Perencanaan Strategi Pendidikan. Pekanbaru: Cendikia Insani.
6
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
3

bidang khusus dan kecakapan merakit sistem teknologi.7 Berdasarkan pendapat


para ahli tersebut, dapat disimpulkan pendidikan adalah suatu upaya untuk
mengembangkan kemampuan yang dimiliki, sikap dan tingkah laku kearah yang
lebih baik.

3. Pengertian Matematika
Haryono (2014) mengungkapkan bahwa istilah matematika berasal dari
bahasa Yunani yaitu máthema yang berarti sains, ilmu pengetahuan, atau belajar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika berarti ilmu tentang
bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan
dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.8 Menurut Elia Tinggih (1972),
matematika adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini
dimaksudkan bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan
tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio
(penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan hasil observasi atau
eksperimen disamping penalaran. Menurut Ruseffendi (1980), matematika
terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses,
dan penalaran. Pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia
dalam dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia
kemudian pengalaman tersebut diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis
dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif, sehingga sampai kepada
suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika.9 Berdasarkan pendapat para
ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia.
Berdasarkan pengertian filsafat, pendidikan, dan matematika dapat
disimpulkan bahwa filsafat pendidikan matematika merupakan filsafat yang
menelusuri dan menyelediki hakekat pelaksanaan pendidikan matematika. Filsafat
pendidikan matematika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang menelaah
tujuan, latar belakang, cara, dan hasilnya. Pendidikan matematika mengacu pada
7
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
8
Jujun S. Suriasumantri.1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan
9
Suherman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.
4

masalah belajar dan mengajar di sekolah. Pemikiran filsafat memiliki peran yang
sangat penting dalam proses pembelajaran. Filsafat turut berperan dalam
menciptakan suatu pembelajaran matematika yang memungkinkan siswa untuk
membangun logika pikirnya serta membangun pengetahuanya. Filsafat ilmu
pendidikan matematika dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu:10
1. Aspek Ontologi
Ontologi merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat
yakni hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk didalamnya hakekat peserta
didik. Ontologi secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam
pendidikan. Peserta didik berinteraksi dengan dunia sekitarnya, sehingga ia
memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang
ada. Seorang guru seharusnya mengetahui hakekat manusia, khususnya
hakekat peserta didik. Hakekat manusia adalah makhluk jasmani, rohani,
individual, bebas, dan menyejarah. Dalam proses belajar mengajar
matematika harus juga diterapkan unsur pendidikan karakter yang dapat
membentuk karakter peserta didik sebagai individu yang berkepribadian baik.
2. Aspek Epitemologi
Epistimologi adalah segala sesuatu tentang metode, yang berkaitan
dengan pertanyaan bagaimana. Fenomena yang terjadi dalam proses belajar
mengajar matematika bagi seorang guru adalah bagaimana mengajarkan ilmu
matematika sehingga mudah dipahami siswa. Pertama guru harus
menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru
harus menentukan alat dan metode yang paling tepat untuk membawa muatan
bagi siswa. Sebagai pendidik hendaknya tidak hanya mengetahui bagaimana
siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar.
Meliputi pula pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan
bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga
bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aspek Aksiologi

10
Anonim. 2015. Filsafat Ilmu Pendidikan Matematika. http://dokumen.tips/documents/filsafat-
ilmu-pendidikan-matematika.html
5

Aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan


dalam seseorang mengembangkan ilmu. Aksiologi menyoroti fakta bahwa
pada proses belajar mengajar di sekolah tujuannya tidak hanya pada kuantitas
pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan
yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat
memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan
pengetahuan untuk kebaikan. Jadi dari aspek aksiologi, fenomena yang ada
adalah kegiatan belajar mengajar matematika di sekolah tidak hanya
merupakan transfer ilmu pengetahuan tetapi juga mengutamakan etik estetika
dan juga sopan santun agar pengetahuan matematika yang didapat digunakan
untuk tujuan kebaikan.

B. Tujuan Pendidikan Matematika


Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai proses perubahan baik
kognitif, afektif, dan kognitif kearah kedewasaan sesuai dengan kebenaran logika.
Tujuan pendidikan matematika adalah niatan yang mendasari pendidikan
matematika dan lembaga-lembaga yang melaluinya pendidikan tersebut
terpengaruh. Tujuan tersebut mewakili salah satu komponen dari tujuan umum
pendidikan, dan bergabung dengan tujuan lainnya untuk membentuk tujuan
keseluruhan. Akibatnya, tujuan pendidikan matematika harus konsisten dengan
tujuan umum pendidikan. Berikut tujuan pendidikan matematika menurut Paul
Ernest (2004).11
1. Terdapat tujuan penting yang harus menjadi bagian penting dari pernyataan
maksud umum dalam pengajaran matematika.
2. Matematika sebagai unsur penting dari komunikasi.
3. Matematika sebagai alat yang ampuh.
4. Apresiasi hubungan dalam matematika.
5. Kesadaran akan daya tarik matematika.
6. Imajinasi, inisiatif dan fleksibilitas pemikiran dalam matematika.
7. Bekerja dengan cara yang sistematis

11
Paul Ernest. 2004. The Philosophycal of Mathematics Education. Francis e-Library
6

8. Bekerja secara independen.


9. Bekerja secara kooperatif.
10. Pembelajaran matematika yang mendalam.
11. Kepercayaan diri murid atas kemampuan matematika.
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, inovatif dan kreatif, serta kemampuan
bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk hidup
lebih baik pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan sangat kompetitif.
Dalam melaksanakan pembelajaran matematika, diharapkan bahwa peserta didik
harus dapat merasakan kegunaan belajar matematika. Terdapat kaitan antara
penguasaan matematika dengan ketinggian, keunggulan dan kelangsungan hidup
suatu peradaban. Penguasaan matematika tidak cukup hanya dimiliki oleh
sebagian orang dalam suatu peradaban.
Setiap individu perlu memiliki penguasaan matematika pada tingkat
tertentu. Penguasaan individual demikian pada dasarnya bukanlah penguasaan
terhadap matematika sebagai ilmu, melainkan penguasaan akan kecakapan
matematika (mathematical literacy) yang diperlukan untuk dapat memahami
dunia di sekitarnya serta untuk berhasil dalam kehidupan atau kariernya.
Kecakapan matematika yang ditumbuhkan pada siswa merupakan sumbangan
mata pelajaran matematika kepada pencapaian kecakapan hidup yang ingin
dicapai melalui kurikulum matematika. Berikut tujuan pendidikan matematika
berdasarkan kurikulum 2013.12
1. Memahami konsep matematika, merupakan kompetensi dalam menjelaskan
keterkaitan antarkonsep dan menggunakan konsep maupun algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Indikator-
indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:
a. Menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari.

12
Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/
Madrasah Tsanawiyah.
7

b. Mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya


persyaratan yang membentuk konsep tersebut.
c. Mengidentifikasi sifat-sifat operasi atau konsep.
d. Menerapkan konsep secara logis.
e. Memberikan contoh atau contoh kontra (bukan contoh) dari konsep yang
dipelajari.
f. Menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi
matematis (tabel, grafik, diagram, gambar, sketsa, model matematika,
atau cara lainnya).
g. Mengaitkan berbagai konsep dalam matematika maupun di luar
matematika.
h. Mengembangkan syarat perlu dan/atau syarat cukup suatu konsep.
Dalam kecakapan ini juga termasuk adalah melakukan algoritma atau
prosedur, yaitu kompetensi yang ditunjukkan saat bekerja dan menerapkan
konsep-konsep matematika seperti melakukan operasi hitung, melakukan
operasi aljabar, melakukan manipulasi aljabar, dan keterampilan melakukan
pengukuran dan melukis/ menggambarkan/ merepresentasikan konsep
keruangan. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:
a. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur/algoritma
b. Memodifikasi atau memperhalus prosedur
c. Mengembangkan prosedur
d. Menggunakan matematika dalam konteks matematika seperti melakukan
operasi matematika yang standar ataupun tidak standar (manipulasi
aljabar) dalam menyelesaikan masalah matematika
2. Menggunakan pola sebagai dugaan dalam penyelesaian masalah, dan mampu
membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada. Indikator-
indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:
a. Mengajukan dugaan (conjecture).
b. Menarik kesimpulan dari suatu pernyataan.
c. Memberikan alternatif bagi suatu argumen.
d. Menemukan pola pada suatu gejala matematis.
8

3. Menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik


dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam
pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun diluar matematika
(kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi) yang meliputi kemampuan memahami
masalah, membangun model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperolehtermasuk dalam rangka memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata). Masalah ada yang
bersifat rutin maupun yang tidak rutin.
Masalah tidak rutin adalah masalah baru bagi siswa, dalam arti
memiliki tipe yang berbeda dari masalah-masalah yang telah dikenal siswa.
Untuk menyelesaikan masalah tidak rutin, tidak cukup bagi siswa untuk
meniru cara penyelesaian masalah-masalah yang telah dikenalnya, melainkan
ia harus melakukan usaha-usaha tambahan, misalnya dengan melakukan
modifikasi pada cara penyelesaian masalah yang telah dikenalnya, atau
memecah masalah tidak rutin itu ke dalam beberapa masalah yang telah
dikenalnya, atau merumuskan ulang masalah tidak rutin itu menjadi masalah
yang telah dikenalnya. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini,
meliputi:
a. Memahami masalah.
b. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam
mengidentifikasi masalah.
c. Menyajikan suatu rumusan masalah secara matematis dalam berbagai
bentuk.
d. Memilih pendekatan dan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah.
e. Menggunakan atau mengembangkan strategi pemecahan masalah.
f. Menafsirkan hasil jawaban yang diperoleh untuk memecahkan masalah.
g. Menyelesaikan masalah.
4. Mengkomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti
matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Indikator-indikator
pencapaian kecakapan ini, meliputi:
9

a. Memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran suatu pernyataan.


b. Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture).
c. Memeriksa kesahihan atau kebenaran suatu argumen dengan penalaran
induksi.
d. Menurunkan atau membuktikan rumus dengan penalaran deduksi.
e. Menduga dan memeriksa kebenaran dugaan (conjecture).
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:
a. Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi.
b. Bersikap penuh perhatian dalam belajar matematika.
c. Bersikap antusias dalam belajar matematika.
d. Bersikap gigih dalam menghadapi permasalahan.
e. Memiliki penuh percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah.
6. Memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika
dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten, menjunjung tinggi
kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi,
ulet, tangguh, kreatif, menghargai kesemestaan (konteks, lingkungan),
kerjasama, adil, jujur, teliti, cermat, bersikap luwes dan terbuka, memiliki
kemauan berbagi rasa dengan orang lain.
7. Melakukan kegiatan–kegiatan motorik yang menggunakan pengetahuan
matematika.
8. Menggunakan alat peraga sederhana maupun hasil teknologi untuk
melakukan kegiatan-kegiatan matematika.
Kecakapan atau kemampuan-kemampuan tersebut saling terkait erat, yang
satu memperkuat sekaligus membutuhkan yang lain. Sekalipun tidak
dikemukakan secara eksplisit, kemampuan berkomunikasi muncul dan diperlukan
di berbagai kecakapan, misalnya untuk menjelaskan gagasan pada Pemahaman
Konseptual, menyajikan rumusan dan penyelesaian masalah, atau mengemukakan
argumen pada penalaran.
10

C. Ideologi Pendidikan Matematika


Williams (1977) menelusuri satu penggunaan pada Napoleon Bonaparte,
dimana hal ini ditandai dengan pemikiran revolusioner, mengemukakan ideologi
adalah sebagai teori fanatik atau teori masyarakat tidak praktis. Menurut Giddens
(1983), ideologi adalah suatu filsafat yang bernilai kaya atau pandangan dunia
yang menyeluruh, suatu sistem ide dan keyakinan yang saling mengunci satu
dengan lainnya. Menurut Meighan (1986), ideologi oleh penganutnya sering
dilihat sebagai “cara yang sebenar-benarnya dari semua hal”, karena hal tersebut
sering merupakan substratum yang tak terlihat untuk hubungan antara kekuasaan
dan dominasi dalam masyarakat.13 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat
disimpulkan ideologi pendidikan adalah suatu gagasan yang mengarahkan dan
menggerakkan tindakan dalam pendidikan dan dipandang sebagai sistem nilai
atau keyakinan yang mengarahkan dan menggerakkan tindakan sosial.
Paul Ernest (2004) mengemukakan lima ideologi pendidikan yaitu pelatih
industri, pragmatis teknologi, old humanist, pendidik progresif, dan pendidik
masyarakat. Berikut tabel lima ideologi pendidikan berdasarkan aspek tinjauan.
Ideologi Pendidikan
Aspek
Pelatih Pragmatis Old Pendidik Pendidik
Tinjauan
Industri Teknologi Humanist Progresif Masyarakat
Ideologi Radikal Meritokratik, Konservatif, Liberal Sosialis,
Politik kanan, konservatif liberal Demokratik
Kanan Baru
Pandangan Sekumpulan Bangunan Bangunan Pandangan Konstrustiv
tentang Kebenara Pengetah Pengetahuan proses: isme sosial
Matematika n dan uan murni yang personali
Aturan bermanfaat terstruktur sasi
yang tidak matematika
perlu
dipertanyakan
Nilai-nilai Authorita Utiliarian, Keadilan Berpusat Keadilan
Moral rian pragmatism, ‘buta’, pada sosial,
‘victorian expediency, struktur seseorang, kebebasan,
’values , ‘penciptaan yang peduli kesamaan,
pilihan, kekayaan’, berpusat (caring), persaudaraan,
usaha, pengembangan aturan, empati, kepedulian
menolong teknologis hirarki, nilai-nilai sosial,

13
Paul Ernest. 2004. The Philosophycal of Mathematics Education. Francis e-Library
11

diri, pandangan kemanusiaan, keterlibatan


kerja, ‘klasik’ memelihara, dan kewarganeg
kelemahan kaum maternalistik, araan
moral, kita- paternalistik pandangan
baik, ‘romantis
mereka-
jelek
Teori Hirarki Hirarki Elitis, klas Hirarki Hirarki adil,
Masyarakat yang ketat, meritokratik terstratifikasi lembut, perlu reform
market wilayah
place kesejahteraan
Teori anak Tradisi Anak: ’kapal dilute Berpusat anak, Pandangan
sekolah kosong’ dan elementary pandangan kondisi sosial:
dasar: ‘alat yang school view progresif ‘tanah liat
anak tumpul’ character anak: dibentuk
‘malaikat pekerja atau building ‘bunga lingkungan’,
jatuh’ dan manajer masa cultur tarnes yang tumbuh’ ‘raksasa yang
‘kapal depan dan ‘liar tanpa sedang tidur’
kosong’ dosa’
Teori Tertentu Kemampuan Warisan Bervariasi Produk
kemampuan dan warisan warisan buatan dari tetapi perlu kultural:
terealisasi pikiran penghargaan tidak tetap
oleh usaha
Tujuan ‘Kembali Math Menyebarkan Kreatifitas, Kesadaran
matematis ke dasar’: berguna bangunan realisasi kritis dan
numerasi pada level pengetahuan diri melalui kewarganegaraan
dan yang cocok math math demokratis
pelatihan dan sertifikasi (berpusat (berpusat
sosial dalam (berpusat math) anak)
ketaatan industri)
Teori Kerja keras, Kemahiran Pemahaman Aktivitas, Mempertanyakan,
belajar usaha, ketrampilan, dan bermain, pembuatan
latihan, pengalaman penerapan eksplorasi keputusan,
hafalan praktis negosiasi
Teori Transmisi Instruktur Menjelaskan, Memfasilitasi Diskusi, konflik,
mengajar otoriter, keterampilan, memotivasi, pribadi, mempertanyakan
matematika dril memotivasi lulus pada eksplorasi, isi dan pedagogi
melalui struktur mencegah
pekerjaan kegagalan
relevansi
Teori Kapur dan Tangan, Bantuan Kaya Relevan secara
sumber daya hanya micro visual untuk peralatan sosial autentik
bicara anti komputer memotivasi untuk
kalkulator eksplorasi
Teori Uji Menghindari Pemeriksaan Guru Berbagai
asesmen eksternal kecurangan, eksternal dipimpin mode,
dalam dasar yang uji eksternal berdasarkan penilaian penggunaan
matematika sederhana dan sertifikasi, hirarki internal, isu-isu sosial dan
profil menghindari konten
keterampilan kegagalan
12

Teori Sekolah Bervariasi Bervariasi Memanusiakan Akomodasi


keberagaman dibedakan kurikulum kurikulum matematika keanekaragaman
sosial menurut oleh dengan netral untuk sosial dan budaya
kelas, occpations kemampuan semua: suatu kebutuhan
criptorasis, masa saja menggunakan
monocult depan (matematika budaya
uralist -netral) lokal

Ideologi pendidikan telah banyak dikemukakan para ahli, salah satunya


diungkapkan oleh O’Neil (2001). Pemetaan paham ideologi pendidikan yang
disampaikan O’Neil ini sebenarnya merupakan koreksi atas pemetaan yang telah
dibuat oleh Theodore Brameld dalam bukunya Toward a Reconstructed
Philosophy of Education, (1956). Oleh karena itu O’Neil (2001) membuat
penggolongan baru yang lebih longgar yang meliputi tiga macam ideologi
pendidikan, yaitu:14
1. Ideologi Konservatif
Paham ideologi ini memandang, bahwa ketidaksederajatan masyarakat
merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa
dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi
penganut paham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena
perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam
bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa
masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau paling
tidak mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu.
Dengan demikian, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki
kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Menurut pandangan kaum ini, mereka yang menderita seperti mereka
yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas, gelandangan menjadi
demikian disebabkan karena kurang beruntung. Kaum miskin dan kurang
beruntung tadi haruslah bersabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran

14
Arif Rohman. 2014. Akar Filosofis dan Ideologis Kebijakan Kurikulum Pendidikan.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132107030/penelitian/akar ideologiskebijakanmakalah
seminarnasional.pdf
13

mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai
kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat menjunjung tinggi
harmoni serta menghindari konflik.
2. Ideologi Liberal
Penganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam
masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan pendidikan, namun
masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan
politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas
sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan
politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi
eksternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah internal
melalui mereformasi diri secara “kosmetik‟.
Misalnya melalui pengadaan sarana prasarana yang memadai
(ketercukupan ruang kelas, perpustakaan, laboratorium yang canggih, dan
peralatan komputer yang komplit), menyeimbangkan rasio murid-guru,
inovasi metode pembelajaran baru (CBSA, modul, remedial teaching,
learning by doing, experiental learning, dan lain-lain), penataan manajemen
sekolah (MBS, competency based leadership, dan sebagainya).
Penganut ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa
pendidikan adalah apolitik dan kemajuan haruslah merupakan target utama
pendidikan. Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan pendidikan dalam
struktur kelas dan dominasi politik, budaya, serta gender. Pendidikan menurut
fungsionalisme struktural (salah satu aliran dalam ideologi liberal) merupakan
sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masyarakat. Pendidikan
merupakan media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai tata susila
dan keyakinan agar sistem masyarakat secara luas berfungsi baik.
Liberalisme berakar pada cita-cita individualisme barat. Menurut cita-
cita ini gambaran manusia ideal adalah manasia rasionalis liberal. Semua
manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, baik tatanan alam maupun
sosial dapat ditangkap oleh akal, serta individu-individu di dunia adalah
14

atomistik dan otonom. Ideologi liberalisme ini juga dipengaruhi oleh


positivisme. Seperti pendewaan terhadap “scientific method‟ serta adanya
pemisahan antara fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
3. Ideologi Kritis
Pendidikan bagi kaum kritis ini merupakan arena perjuangan politik.
Jika bagi kaum konservatif, pendidikan diarahkan untuk menjaga status quo,
sedangkan kaum liberal pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat,
maka ideologi kritis ini menghendaki pendidikan sebagai sarana perubahan
struktural secara fundamental dalam politik, ekonomi, serta gender. Bagi
kaum kritis, diskriminasi kelas serta gender dalam masyarakat tercermin pula
dalam dunia pendidikan. Kaum kritis memiliki kehendak berbeda dengan
kaum liberal, bagi kaum liberal pendidikan harus terlepas dari persoalan kelas
dan gender dalam masyarakat, namun kaum kritis menghendaki melekat
dengannya.
Paham kritis melihat perhatian utama pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap “the dominant ideology‟ ke arah transformasi sosial.
Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak
untuk selalu kritis terhadap keadaan sistem serta struktur yang tidak adil dan
menindas. Pendidikan tidak mungkin bisa bersikap netral, obyektif, dan
mengambil jarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan
kritik terhadap sistem dominan beserta kelas dominan yang ada sebagai
perwujudan atas pemihakan terhadap rakyat kecil, kelompok miskin, atau
kelas tertindas umumnya dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang
lebih adil.

D. Aliran Filsafat Pendidikan


Aristoteles (384-322 SM) menuliskan pandangannya diatas lebih dari
2.300 tahun silam dan saat ini pada edukator masih memperdebatkan perkara-
perkara yang sama seperti dikemukakannya. Pendekatan-pendekatan berbeda
untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan perkara-perkara fundamental lainnya
telah menimbulkan aliran-aliran pikiran berbeda dalam filsafat pendidikan. Oleh
15

karena itu akan dibahas lima aliran filsafat pendidikan yaitu esensialisme,
progresivisme, perennialisme, eksistensialisme, dan behaviorisme.15
1. Esensialisme
Esensialisme menunjuk pada pendekatan pendidikan tradisional atau black
to the basic. Aliran ini dinamakan demikian karena filsafatnya berupaya
menanamkan kepada siswa hal-hal esensial dari pengetahuan akademik dan
perkembangan karakter. Istilah esensialisme sebagai sebuah filsafat pendidikan
pada awalnya dipopulerkan pada tahun 1930-an oleh seorang edukator Amerika
Serikat yang bernama William Bagley (1874-1946). Namun demikian, filsafat ini
sendiri telah menjadi pendekatan pendidikan yang dominan di Amerika Serikat
sejak permulaan sejarah Amerika Serikat. Pada awal abad ke-20, esensialisme
dikecam karena dianggap terlalu kaku untuk mempersiapkan siswa secara
memadai untuk kehidupan dewasa, tetapi dengan peluncuran Sputnik pada tahun
1957, minat terhadap esensialisme hidup kembali. Pendukung dari pandangan ini
diantaranya adalah anggota-anggota dari The President’s Commission on
Excellence in Education.
1) Landasan Filosofis
Esensialisme didasarkan pada pada suatu filsafat konservatif yang
menerima struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Amerika. Aliran ini
berpandangan bahwa sekolah-sekolah tidak seharusnya mencoba untuk secara
radikal membentuk kembali masyarakat. Menurut para esensialis, sekolah-sekolah
di Amerika Serikat seharusnya mentransmisikan nilai-nilai moral dan
pengetahuan intelektual tradisional yang diperlukan oleh siswa untuk menjadi
warga negara teladan. Para esensialis berpandangan bahwa guru seharusnya
menanamkan nilai-nilai luhur tradisional Amerika sebagai penghargaan bagi
otoritas, ketekunan, kesetiaan pada tugas, pertimbangan terhadap orang lain, dan
praktikalitas.
Esensialisme cenderung menerima pandangan-pandangan filosofis yang
terkait dengan elemen-elemen konservatif tradisional dari masyarakat Amerika
dengan merefleksikan filsafat konservatifnya. Misalnya, kebudayaan Amerika

15
Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.
16

secara tradisional telah memberikan penekanan besar pada nilai penting sentral
dari dunia nyata dan pemahaman dunia melalui eksperimentasi sains. Oleh karena
itu, untuk menyampaikan pengatahuan penting tentang dunia, edukator esensialis
menekankan pengajaran sains alam, bukan ilmu-ilmu non sains seperti filsafat
atau agama komparatif.
2) Ruang Kelas Esensialis
Para esensialis menegaskan agar keterampilan-keterampilan akademik dan
pengetahuan yang paling esensialis atau mendasar diajarkan kepada semua siswa.
Disiplin-disiplin ilmu tradisional seperti matematika, sains alam, sejarah, bahasa
asing, dan sastra membentuk pondasi dari kurikulum esensialis. Para esensialis
tidak menyukai mata pelajaran-mata pelajaran vokasional.
Siswa sekolah dasar menerima pengajaran dalam keterampilan-
keterampilan seperti menulis, membaca, pengukuran, dan komputer. Bahkan saat
mempelajari seni dan musik, mata pelajaran-mata pelajaran yang seringkali
dikaitkan dengan pengembangan kreativitas, siswa dituntut untuk menguasai
kumpulan informasi dan teknik-teknik dasar, secara bertahap bergerak dari
keterampilan-keterampilan dan rincian pengetahuan sederhana ke yang lebih
kompleks. Hanya dengan menguasai materi yang disyaratkan untuk tingkat kelas
mereka, siswa dapat naik ke tingkat kelas selanjutnya.
Program-program esensialis adalah ketat secara akademik, baik bagi siswa
yang lambat maupun yang cepat. Laporan A Nation at Risk merefleksikan
penekanan esensialis akan ketelitian. Ini menuntut lebih banyak syarat pokok hari
sekolah yang lebih lama, tahun akademik yang lebih panjang, dan buku teks-buku
teks yang lebih menantang. Lebih lanjut, para esensialis memandang bahwa ruang
kelas harus diorientasikan di sekitar guru yang secara ideal bertindak sebagai
model peran intelektual dan moral bagi siswa. Guru dan administrator
memutuskan apa yang paling penting untuk dipelajari oleh siswa dan
menempatkan sedikit penekanan pada minat-minat siswa, terutama saat minat-
minat itu mengalihkan waktu dan perhatian dari kurikulum akademik. Guru-guru
esensialis sangat berfokus pada skor-skor tes pencapaian sebagai alat untuk
mengevaluasi kemajuan.
17

Siswa di dalam ruang kelas esensialis diajarkan untuk menjadi culturally


literate yaitu memiliki pengetahuan yang bekerja berkenaan dengan manusia,
peristiwa, gagasan, dan lembaga yang telah membentuk masyarakat Amerika.
Dengan merefleksikan penekanan esensialis pada literasi teknologis, A Nation at
Risk menganjurkan agar semua siswa sekolah menengah menuntaskan sedikitnya
satu semester sains komputer. Pada esensialis berharap bahwa saat siswa-siswa
meninggalkan sekolah, mereka akan memiliki tidak hanya keterampilan dasar dan
kumpulan pengetahuan yang luas, tetapi juga pikiran-pikiran praktis yang
berdisiplin yang sanggup menerapkan pelajaran-pelajaran rumah dan sekolah
dalam dunia nyata.

2. Progresivisme
Tokoh yang berperan besar atas keberhasilan progresivisme adalah John
Dewey (1859-1952). Dewey memasuki bidang kependidikan sebagai seorang
reformis sosial liberal dengan latar belakang filsafat dan psikologi. Pada tahun
1896, saat menjadi profesor di Universitas Chicago, Dewey mendirikan The
Laboratory Shcool yang terkenal sebagai lahan pengujian untuk ide-ide
pendidikannya. Tulisan-tulisan Dewey dan kerjanya dengan The Laboratory
Shcool merintis gerakan pendidikan progresiv yang dimulai pada tahun 1920-an
telah menghasilkan inovasi-inovasi penting yang bertahan lama dalam pendidikan
di Amerika Serikat.
Gerakan progresivis merangsang sekolah-ssekolah untuk memperluas
kurikula mereka, menjadikan pendidikan lebih relevan dengan kebutuhan-
kebutuhan dan minat-minat siswa. Pengaruhnya mengalami penurunan pada tahun
1950-an, terutama setelah peluncuran Sputnik oleh Uni Soviet pada tahun 1957
membawa sekolah-sekolah untuk menekankan pengajaran tradisional dalam
matematika, sains, bahasa-bahasa asing, dan mata pelajaran-mata pelajaran
lainnya yang terkait dengan pertahanan. Pada tahun 1960 dan 1970-an dengan
tabir pendidikan kewarganegaraan dan relevansi pendidikan, banyak dari gagasan
Dewey yang kembali populer kemudian mengalami kemunduran lagi pada
gerakan reformasi pendidikan di tahun 1980-an.
18

1) Akar-akar Progresivisme: Filsafat John Dewey


Dewey menganggap semesta fisik sebagai real dan fundamental. Dia juga
berpendapat bahwa satu kebenaran yang konstan tentang alam semesta adalah
eksistensi perubahan. Bagi dewey, perubahan bukanlah suatu kekuatan yang tidak
dapat dikendalikan, perubahan dapat diarahkan oleh intelegensi manusia. Dia
menjelaskan bahwa saat kita mengubah hubungan dengan lingkungan kita, maka
kita sendiri dijadikan berbeda oleh pengalaman.
Dewey tidak hanya meyakini eksistensi perubahan, tetapi juga
menyambutnya. Dia memandang prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan yang
dijunjung di Amerika mewakili kemajuan besar dari gagasan-gagasan politik pada
masa-masa sebelumnya. Namun demikian, Dewey menemukan banyak hal yang
salah dalam masyarakat Amerika, dan pandangannya tidak sejalan dengan
pendekatan pendidikan tradisional di Amerika. Dia berharap bahwa reformasi
sekolah akan mengubah tatanan sosial Amerika, membuatnya menjadi sebuah
bangsa yang lebih demokratis dengan warga negaranya yang cerdas dan
berpikiran bebas.
Dewey mengajarkan bahwa manusia adalah hewan-hewan sosial yang
belajar dengan baik melalui interaksi dengan manusia-manusia lain dan bahwa
belajar kita meningkat saat kita terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang bermakna
bagi kita. Menurut Dewey belajar menggunakan buku tidak dapat menggantikan
“melakukan” hal-hal secara sebenarnya. Gagasan yang fundamental bagi
epistemologi Dewey adalah bahwa pengetahuan diperoleh dan diperluas saat kita
menerapkan pengalaman-pengalaman kita yang telah lalu untuk memecahkan
permasalahan bermakna yang baru. Menurut Dewey pendidikan adalah
rekonstruksi pengalaman, suatu kesempatan untuk menerapkan pengalaman-
pengalaman sebelumnya dalam cara-cara baru. Dengan bersandar pada metode
ilmiah, Dewey mengajukan sebuah metode lima langkah untuk memecahkan
permasalahan, yaitu:
a) Menyadari masalah;
b) Mendefinisikan atau merumuskan masalah;
c) Mengajukan berbagai hipotesis untuk memecahkannya;
19

d) Mengkaji konsekuensi-konsekuensi dari tiap hipotesis berdasarkan


pengalaman yang telah lalu; dan
e) Menguji permasalahan yang paling mungkin.
2) Progresivisme dalam The Schoolhouse (Rumah-Sekolah)
Manusia belajar sebaik-baiknya dari apa yang mereka anggap paling
relevan dengan kehidupan mereka. Para progresivis memusatkan kurikulum di
sekitar pengalaman-pengalaman, minat-minat, serta kemampuan-kemampuan
siswa. Guru merencanakan pelajaran-pelajaran yang menimbulkan keingintahuan
dan mendorong siswa ketingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Selain membaca
buku teks, siswa harus belajar dengan melakukan (doing). Seringkali siswa
meninggalkan ruang kelas untuk melakukan perjalanan lapangan dimana mereka
berinteraksi dengan alam atau masyarakat. Guru merangsang minat siswa melalui
permainan-permainan yang memicu berpikir. Misalnya, bentuk-bentuk modifikasi
permainan papan monopolli telah digunakan untuk mengilustrasikan prinsip-
prinsip kapitalisme dan sosialisme.
Siswa di sekolah progresivis didorong untuk berinteraksi satu sama lain
dan mengembangkan nilai-nilai luhur sosial seperti koperasi dan toleransi untuk
cara-cara pandang yang berbeda. Guru tidak merasakan paksaan untuk
memusatkan perhatian siswa pada satu disiplin ilmu tertentu pada waktu tertentu,
siswa bertanggungjawab untuk mempelajari pelajaran-pelajaran yang
menggabungkan beberapa bidang studi atau subjek yang berbeda.
Para progresivisme dalam kurikulum mereka menekankan studi sains alam
dan sosial. Guru menghadapkan siswa kepada berbagai perkembangan sains,
teknologi, dan sosial yang baru, merefleksikan gagasan progresivis bahwa
kemajuan dan perubahan bersifat fundamental. Siswapun dihadapkan pada suatu
kurikulum lebih demokratis yang mengakui pencapaian kaum wanita dan
kelompok minoritas selain kaum pria kulit putih. Selain itu, siswa juga
memecahkan masalah di ruang kelas yang serupa dengan masalah-masalah yang
akan mereka hadapi di luar rumah atau sekolah, mereka belajar untuk menjadi
pemecah masalah yang fleksibel.
20

Para progresivis meyakini bahwa pendidikan hendaknya menjadi suatu


proses pengayaan yang terus menerus pada perkembangan yang sedang
berlangsung, bukan sekedar persiapan bagi kehidupan dewasa kelak. Mereka
menolak keyakinan esensialis bahwa studi bidang tradisional cocok untuk semua
siswa, tanpa memperhatikan minat dan pengalaman pribadi. Dengan memasukkan
pengajaran dalam seni industri dan ilmu ekonomi rumah tangga, para progresivis
berupaya untuk menjadikan persekolahan bersifat menatik sekaligus bermanfaat.
Idealnya, rumah, dunia kerja, dan rumah-sekolah terpadukan untuk
membangkitkan suatu pengalaman belajar yang kontinu dan memuaskan dalam
kehidupan. Sebuah impian progresivis adalah penyelenggaraan runag kelas yang
suram dan tampak tidak relevan yang diingat oleh banyak orang dewasa dari masa
kecil mereka suatu saat nanti hanya menjadi kenangan kejadian masa silam.

3. Perennialisme
Perennial berarti “abadi” seperti bunga perennial yang muncul dari tahun
ke tahun selanjunya. Perennialisme menegaskan bahwa gagasan-gagasan ini
seharusnya menjadi fokus pendidikan. Menurut para perennialis, saat siswa larut
dalam studi tentang gagasan-gagasan yang besar dan abadi, mereka akan
mengapresiasi belajar untuk belajar sendiri dan menjadi keum intelektual sejati.
Akar dari perennialisme tertanam dalam filsafat Plato dan Aristoteles,
berikut dalam filsafat St. Thomas Aquinas, seorang berkebangsaan Italia yang
hidup pada abad ke-13, yang gagasannya terus membentuk sifat dari sekolah-
sekolah Khatolik di seluruh dunia. Kaum perennialis secara umum dibagi menjadi
dua kelompok, pendukung pendekatan keagamaan pada pendidikan seperti yang
diadopsi oleh Aquinas, dan pengikut pendekatan sekuler yang dirumuskan di
Amerika pada abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Robert Hutchins dan Mortimer
Adler. Aliran perennialisme berupaya untuk membangun kemampuan bernalar
dan memandang pelatihan dalam humanitas sangatlah esnsial bagi perkembangan
daya-daya resional.
21

1) Kesamaan Perennialisme dan Esensialisme


Hutchins dan Adler memandang perennialisme sebagai alternatif yang
sangat diperlukan untuk esensialisme, dimana kedua filsafat ini memiliki banyak
kesamaan. Keduanya bertujuan untuk secara ketat membangun kekuatan
intelektual siswa dan membangun kualitas moral. Selain itu, keduanya
mendukung ruang kelas yang berpusat pada guru untuk mencapai tujuan. Guru
tidak membiarkan minat atau pengalaman siswa untuk secara substansial
menentukan apa yang mereka ajarkan. Mereka menerapkan teknik-teknik kreatif
dan metode-metode yang benar yang diyakini paling kondusif untuk
mendisiplinkan pikiran siswa.
Perennialisme dan esensialisme hanya menerima sedikit fleksibilitas dalam
kurikulum. Misalnya, dalam program Paideia, yang dipublikasikan pada tahun
1982. Mortimer Adler merekomendasikan sebuah kurikulum tunggal untuk
sekolah dasar dan sekolah menengah bagi semua siswa, dilengkapi dengan tahun-
tahun pendidikan prasekolah dalam kasus kekurangan pendidikan. Dia tidak
memberikan pilihan-pilihan kurikuler kecuali dalam pilihan bahasa kedua.
Pada perennialis mendukung kurikulum universal berdasarkan pandangan
bahwa semua manusia memiliki nature (fitrah, sifat, pembawaan, adanya) esensial
yang sama. Kita semua adalah rational animals (hewan yang berpikir). Mereka
berpandangan bahwa membiarkan siswa mengambil mata pelajaran-mata
pelajaran vokasional atau life adjusment (penyesuaian hidup) akan menjauhkan
mereka dari kesempatan untuk sepenuhnya membangun daya-daya rasional.
Menurut Plato, jika kita mengabaikan keterampilan-keterampilan bernalar
(reasoning skills) siswa, kita menjauhkan mereka dari kemampuan untuk
menggunakan kemampuan-kemampuan lebih tinggi untuk mengendalikan yang
lebih rendah (passions dan appetites).
2) Perbedaan Perennialisme dan Esensialisme
Perennialisme berbeda dari esensialisme karena tidak berakar pada suatu
waktu atau tempat tertentu. Penekanan Amerika yang sangat mencolok pada nilai
eksperimentasi ilmiah atau sains untuk memperoleh pengetahuan tercerminkan
dalam esensialisme, tetapi tidak demikian halnya dalam perennialisme.
22

Esensialisme merefleksikan pandangan Amerika tradisional bahwa dunia nyata


adalah dunia fisik yang kita alami dengan indera-indera kita, sedangkan
perennialisme lebih terbuka pada gagasan bahwa bentuk-bentuk spiritual universal
seperti yang dikemukakan oleh Plato atau para filsuf teologis adalah sama-sama
nyata.
Kaum perennialis berupaya membantu siswa menemukan gagasan-gagasan
yang paling berwawasan dan abadi dalam memahami kondisi-kondisi manusiawi.
Studi filsafat dengan demikian merupakan bagian penting dari kurikulum
perennialis. Perennialis berpandangan bahwa esensialisme dan pandangannya
bahwa pengetahuan tumbuh terutama dari temuan-temuan empirik para ilmuwan,
merendahkan nilai penting kapasitas kita untuk bernalar sebagai individu untuk
berpikir secara dalam, analitis, fleksibel, dan imaginatif.
Para perennialis mengajarkan tentang proses-proses dimana kebenaran-
kebenaran ilmiah telah ditemukan. Namun demikian, mereka menekankan bahwa
siswa seharusnya tidak diajarkan informasi yang dapat segera menjadi usang atau
terbukti tidak benar dengan temuan sains dan teknologi pada masa yang akan
datang. Perennialis tidak akan seberminat esensialis, misalnya dalam mengajarkan
siswa bagaimana menggunakan bentuk-bentuk teknologi komputer saat ini.
Para perennialis mengkritik sedemikian informasi faktual diskrit yang
secara tradisional menuntut para edukator untuk diserapo oleh siswa. Para
perennialis menganjurkan sekolah-sekolah agar menggunakan lebih banyak waktu
untuk mengajarkan tentang kosep-konsep dan menjelaskan bagaimana konsep-
konsep bermakna bagi siswa. Terutama di tingkat sekolah menengah dan
perguruan tinggi, kaum perennialis mengkritik ketergantungan pada buku teks dan
ceramah untuk mengkomunikasikan gagasan. Mereka menganjurkan agar
penekanan lebih besar ditempatkan pada seminar-seminar yang dibimbing oleh
guru, dimana siswa dan guru terlibat dalam dialog-dialog sokratik, atau sesi-sesi
inkuiri mutual, untuk membangun pemahaman yang diperkuat tentang konsep-
konsep yang paling abadi dalam sejarah. Selain itu, kaum perennialis
merekomendasikan agar siswa belajar secara langsung dari membaca dan
menganalisis buku-buku besar (The Great Books). Buku ini adalah karya kreatif
23

oleh para pemikir dan penulis terbaik dalam sejarah, yang kaum perennialis
anggap besar, indah, dan bermakna.
Para perennialis menyesalkan perubahan peran bagi universitas yang
selama berabad-abad mahasiswa dan dosen mengejar kebenaran untuk kebenaran
itu sendiri dan sekedar menjadi tempat pelatihan untuk karier mahasiswa. Oleh
karena itu, mahasiswa universitas mempelajari beberapa pohon tutur para
perennialis, tetapi banyak diantara mereka yang sangat awam tentang hutan atau
pertanyaan filosofis yang abadi.

4. Eksistensialisme
1) Eksistensialisme sebagai suatu Istilah Filosofis
Gerakan eksistensialisme dalam pendidikan didasarkan pada suatu sikap
intelektual yang para filsuf istilahkan sebagai eksistensialisme. Eksistensialisme
dirintis di Eropa pada abad ke-19 dikaitkan dengan pemikir-pemikir berbeda
seperti Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1811-1900). Para
eksistensialisme tidak sepakat mengenai banyak perkara filosofis yang mendasar,
namun mereka sama-sama menjunjung tinggi individualisme. Mereka
berpandangan bahwa pendekatan-pendekatan filsafat tradisional tidak cukup
menghargai pertimbangan-pertimbangan unik dari tiap individu.
Formulasi eksistensialisme klasik dari Jean Paul Sartre bahwa eksistensi
mendahului esensi yang berarti bahwa tidak ada nature manusia yang bersifat
bawaan lahir dan universal. Kita lahir dan ada kemudian kita sendirilah yang
secara bebas menentukan esensi kita. Beberapa filsuf yang biasa dikaitkan dengan
tradisi eksistensialis tidak pernah sepenuhnya mengadopsi prinsip eksistensi
mendahului esensi. Namun demikian, prinsip tersebut bersifat fundamental bagi
gerakan eksistensialis dalam pendidikan.
2) Eksistensialisme sebagai suatu Filsafat Pendidikan
Eksistensialisme pendidikan muncul dari penolakan kuat terhadap
pendekatan pendidikan esensialis tradisional. Eksistensialisme menolak eksistensi
sumber apapun untuk kebenaran otoritatif objektif tentang metafisika,
epistemologi, dan etika. Para eksistensialis berpandangan bahwa individu
24

bertanggungjawab untuk menentukan sendiri apa yang benar atau salah, indah
atau buruk, dan sebagainya. Bagi mereka tidak terdapat bentuk nature manusiawi
yang universal, masing-masing dari kita memiliki kehendak bebas untuk
berkembang sesuai kecocokan kita sendiri.
Eksistensialis di dalam ruang kelas, pokok bahasan (subject matter) berada
pada tempat kedua untuk membantu siswa memahami dan mengapresiasi diri
mereka sendiri sebagai individu-individu yang menerima tanggungjawab
sepenuhnya atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka sendiri. Peran guru
adalah membantu siswa menentukan esensi mereka sendiri dengan menghadapkan
mereka pada berbagai jalur yang dapat mereka ambil dalam kehidupan dan
menciptakan lingkungan dimana mereka dapat bebas menentukan cara yang
mereka pilih. Para eksistensialis menghendaki pendidikan diri secara utuh bukan
hanya untuk pikiran karena perasaan tidak lepas dari penalaran dalam pembuatan
keputusan. Edukator eksistensialis memberikan struktur kurikuler tertentu, namun
eksistensialisme memberikan siswa kebebasan besar untuk memilih mata
pelajaran mereka sendiri. Di dalam kurikulum eksistensialisme, siswa diberi
rentang pilihan yang luas.
Mata pelajaran humaniora (humanities) diberikan penekanan sangat besar
dalam kurikulum. Humaniora digali sebagai alat untuk memberi siswa vicarious
experience yang akan membantu mereka untuk bebas berkreativitas dan
mengeskpresikan diri. Misalnya, daripada menekankan peristiwa-peristiwa
sejarah, eksistensialis lebih berfokus pada tindakan-tindakan dari para tokoh
sejarah yang dapat menjadi teladan bagi perilaku siswa sendiri. Disisi lain dari
humaniora, matematika dan sains dalam tidak diberi penekanan besar karena mata
pelajarannya dianggap dingin, kering, dan objektif, sehingga kurang bermanfaat
bagi kesadaran diri. Selain itu, pendidikan vokasional dipandang sebagai suatu
cara untuk mengajarkan kepada siswa tentang diri mereka sendiri dan potensi
mereka daripada sebagai pengajaran mereka mencari nafkah. Dalam mengajarkan
seni, eksistensialisme mendorong kreativitas dan imajinasi individual daripada
sekedar menjiplak dan meniru model-model yang telah mapan.
25

Metode eksistensialis berfokus pada individu. Belajar memiliki kecepatan


dan arah sesuai masing-masing individu dan meliputi banyak kontak individu
dengan guru yang memiliki hubungan terbuka dan jujur dengan tiap siswa.
Meskipun elemen-elemen eksistensialisme sekali-kali muncul di sekolah-sekolah
negeri, namun filsafat ini telah lebih diterima di sekolah-sekolah swasta dan
sekolah-sekolah negeri alternatif yang didirikan pada akhir 1960-an dan awal
1970-an.

5. Behaviorisme
Eksistensialisme pendidikan didasarkan pada gagasan bahwa kita memiliki
kehendak bebas untuk membentuk nature terdalam kita, sedangkan behaviorisme
diambil dari keyakinan bahwa kehendak bebas hanyalah sebuah ilusi. Menurut
behavioris murni, manusia dibentuk sepenuhnya oleh lingkungan eksternal
mereka. Jika kita mengubah lingkungan seseorang, maka kita akan mengubah
pikiran-pikirannya. Bersyaratkan penguatan positif saat siswa menampilkan
perilaku yang diinginkan, mereka akan belajar untuk menampilkan perilaku itu
sendiri.
Behaviorisme memiliki akar-akar pada awal 1900-an dalam kerja seorang
psikolog eksperimental Rusia yang bernama Ivan Pavlov (1848-1936) dan
psikolog dari Amerika yang bernama John Watson (1878-1958). B.F Skinner
(1904-1989) seorang profesor dari Harvard dengan menyempurnakan studi
terdahulunya telah menjadi daya utama penyebaran behaviorisme dalam kultur
Amerika Modern. Skinner mengembangkan Skinner-Box yang digunakannya
untuk melatih hewan-hewan kecil dengan teknik behavioral. Dia juga
menciptakan sistem misil Perang Dunia II yang menggunakan merpati untuk
memandu lintasan peluru, sebuah tempat tidur udara yang kontroversial untuk
memelihara bayi-bayi dalam sebuah lingkungan yang dikendalikan berdasarkan
iklim atau suasana, dan belajar terprogram.
Landasan filosofis behaviorisme menegaskan bahwa satu-satunya realitas
adalah dunia fisik yang kita kenali melalui observasi ilmiah yang seksama.
Manusia dan hewan dipandang sebagai kombinasi materi kompleks yang hanya
26

bertindak sebagai respon bagi stimuli fisik yang timbul secara internal atau
eksternal. Misalnya, kita belajar untuk menghindari panas berlebihan melalui
impuls-impuls rasa sakit yang dikirimkan oleh saraf ke otak. Belajar yang
kompleks seperti memahami materi juga ditentukan oleh stimuli.
Fitrah manusia menurut behaviorisme tidaklah baik atau buruk, tetapi
semata hasil dari lingkungan manusia. Bukan fitrah manusia, melainkan
lingkungan yang buruklah yang bertanggungjawab atas kerusakan yang orang
perbuat kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Menurut behaviorisme,
kehendak bebas atau orang yang bertindak secara otonom hanyalah omong
kosong dan gagasan-gagasan tersebut hanyalah mitos yang membuat kita lebih
baik, tetapi tidak berhubungan dengan observasi ilmiah. Para behavioris
berkenaan dengan apresiasi estetik berpandangan bahwa pemahaman kita tentang
keindahan terbentuk oleh lingkungan.
27

DAFTAR PUSTAKA

Amsal Bakhtiar. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Anonim. 2015. Filsafat Ilmu Pendidikan Matematika.


http://dokumen.tips/documents/filsafat-ilmu-pendidikan-matematika.html.
Diakses tanggal: 12 Mei 2017.

Arif Rohman. 2014. Akar Filosofis dan Ideologis Kebijakan Kurikulum


Pendidikan. http://staffnew.uny.ac.id/upload/132107030/penelitian/akar
ideologiskebijakanmakalah seminarnasional.pdf . Diakses tanggal: 13 April
2014.

Didi Haryono. 2014. Filsafat Matematika. Makassar: Alfabeta

Isjoni. 2015. Perencanaan Strategi Pendidikan. Pekanbaru: Cendikia Insani.

Jujun S. Suriasumantri.1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:


Sinar Harapan

Paul Ernest. 2004. The Philosophycal of Mathematics Education. Francis e-


Library.

Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah


Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah.

Suherman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.


Bandung: UPI.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.

Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali


Pers.
28

HASIL DISKUSI KELOMPOK

1. Putri Aulia Susanti (Kelompok VIII)


Jelaskan hubungan filsafat pendidikan matematika dari aspek ontologi,
epistemologi, dan aksiologi serta beri masing-masing contoh!
Jawab:
Filsafat ilmu pendidikan matematika dapat dibedakan dalam tiga macam
yaitu:16
a. Aspek Ontologi
Ontologi merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat
yakni hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk didalamnya hakekat peserta
didik. Ontologi secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam
pendidikan. Peserta didik berinteraksi dengan dunia sekitarnya, sehingga ia
memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang
ada. Seorang guru seharusnya mengetahui hakekat manusia, khususnya
hakekat peserta didik. Hakekat manusia adalah makhluk jasmani, rohani,
individual, bebas, dan menyejarah. Dalam proses belajar mengajar
matematika harus juga diterapkan unsur pendidikan karakter yang dapat
membentuk karakter peserta didik sebagai individu yang berkepribadian baik.
b. Aspek Epitemologi
Epistimologi adalah segala sesuatu tentang metode, yang berkaitan
dengan pertanyaan bagaimana. Fenomena yang terjadi dalam proses belajar
mengajar matematika bagi seorang guru adalah bagaimana mengajarkan ilmu
matematika sehingga mudah dipahami siswa. Pertama guru harus
menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru
harus menentukan alat dan metode yang paling tepat untuk membawa muatan
bagi siswa. Sebagai pendidik hendaknya tidak hanya mengetahui bagaimana
siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar.
Meliputi pula pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan

16
Anonim. 2015. Filsafat Ilmu Pendidikan Matematika. http://dokumen.tips/documents/filsafat-
ilmu-pendidikan-matematika.html
29

bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga


bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
c. Aspek Aksiologi
Aksiologi yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan
dalam seseorang mengembangkan ilmu. Aksiologi menyoroti fakta bahwa
pada proses belajar mengajar di sekolah tujuannya tidak hanya pada kuantitas
pengetahuan yang diperoleh siswa melainkan juga dalam kualitas kehidupan
yang dimungkinkan karena pengetahuan. Pengetahuan yang luas tidak dapat
memberi keuntungan pada individu jika ia tidak mampu menggunakan
pengetahuan untuk kebaikan. Jadi dari aspek aksiologi, fenomena yang ada
adalah kegiatan belajar mengajar matematika di sekolah tidak hanya
merupakan transfer ilmu pengetahuan tetapi juga mengutamakan etik estetika
dan juga sopan santun agar pengetahuan matematika yang didapat digunakan
untuk tujuan kebaikan.

2. Novita Sari (Kelompok II)


Jelaskan hubungan filsafat dengan ideologi pendidikan menurut Paul Ernest!
Jawab:
Berikut hubungan filsafat dengan ideologi pendidikan menurut Paul Ernest.17
a. Pelatih Industri
Pengetahuan berasal dari Otoritas, baik itu Alkitab, atau dari para ahli.
Pengetahuan benar adalah pasti, dan di atas pertanyaan. Matematika,
seperti tempat bersandar (the rest ) pengetahuan, adalah bangunanfakta
kebenaran, keterampilan dan teori. Fakta-fakta dan keterampilan harus
dipelajari dengan benar tetapi teori adalah kompleks dan harus disediakan
untuk lebih mampu, elit masa depan.
b. Pragmatisi Teknologi
Ini mencontohkan sudut pandang epistemologis keseluruhan. Matematika
murni diterima mutlak, sehingga filosofi matematika adalah absolut.
Tetapi tidak ada metode terbaik untuk aplikasi, melainkan tergantung

17
Paul Ernest. 2004. The Philosophycal of Mathematics Education. Francis e-Library.
30

pada pengetahuan dan keterampilan para ahli profesional yang


menerapkannya. Pilihan antara pendekatan yang dibuat tidak berdasarkan
prinsip-prinsip, tetapi atas dasar utilitarian pragmatis.
c. Old Humanist
Kemutlakan ideologi ini berarti bahwa matematika terlihat sebagai sebuah
bagian ilmu pengetahuan objektif yang murni, berdasarkan penalaran dan
logika, bukan karangan. Jadi hal ini adalah bagian ilmu pengetahuan yang
secara logika, cenderung memiliki pandangan bahwa matematika sebagai
hirarkis. Hal ini juga merupakan sistem kekakuan, kemurnian, dan
kecantikan, sehingga netral dan bernilai budaya, meskipun hal ini
memiliki estetika tersendiri. Penerapan matematika, sebaliknya, terlihat
sebagai sebuah barang remeh, hanya tehnik belaka, dan bayangan
keduniawian abadi, bagian surga kebenaran. Akar dari pandangan tersebut
bermula pada Plato, yang memandang ilmu matematika pada kemutlakan,
istilah yang sukar dipahami sebagai kemurnian, benar dan baik (Brent,
1978).
d. Pendidik Progresif
Filsafat matematika adalah absolut, melihat kebenaran matematika
sebagai kemutlakan dan dapat dipercaya. Dalam hal ini adalah
kemutlakan progresif karena nilai besar yang melekat pada peran individu
yang akan datang untuk mengetahui kebenaran ini. Manusia dipandang
maju dan semakin dekat pada kebenaran matematika sempurna. Dengan
demikian pandangan matematika adalah absolut progresif yang
didasarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan terhubung.
e. Pendidik Masyarakat
Filsafat matematika dari ideologi ini adalah konstruktivisme sosial.
Seperti yang telah kita lihat, ini memerlukan suatu pandangan
pengetahuan matematika sebagai yang dapat dibenarkan dan quasi-
empiris; pembubaran batas-batas subjek yang kuat, dan penerimaan nilai
sosial dan pandangan sosio-historis dari subjek, dengan matematika
dipandang sebagai terikatbudaya (culturebound) dan sarat-nilai
31

(valueladen). Ini adalah pandangan perubahan konsep pengetahuan


(Confrey, 1981).

3. Nur Atika (Kelompok V)


Jelaskan perbedaan ideologi pendidikan dengan filsafat pendidikan!
Jawab:
Secara etimologis, ideologi berasal dari kata “ideo” dan “logos”. Ideo berarti
gagasan-gagasan, sementara logos adalah ilmu. Jadi, secara etimologis (asal-
usul bahasa) ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang
mempelajari asal-usul ide. Ideologi pendidikan adalah kumpulan gagasan-
gagasan, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang menyeluruh
dan sistematis yang berorientasi pada pendidikan.
Omar Mohammad (1979) menyebutkan bahwa filsafat pendidikan adalah
pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah filsafat dalam bidang
pengalaman kemanusiaan yang disebut dengan pendidikan.18

4. Delva Nora (Kelompok X)


Jelaskan ideologi pendidikan menurut O’Neil dan berikan masing-masing
contoh!
Jawab:
Berikut ideologi pendidikan menurut O’Neil (2001).19
a. Ideologi Konservatif
Paham ideologi ini memandang, bahwa ketidaksederajatan masyarakat
merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa
dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi
penganut paham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena
perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam
bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa

18
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 35
19
Arif Rohman. 2014. Akar Filosofis dan Ideologis Kebijakan Kurikulum Pendidikan.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132107030/penelitian/akar ideologiskebijakanmakalah
seminarnasional.pdf
32

masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau paling


tidak mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu.
Dengan demikian, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki
kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Contohnya menurut pandangan kaum ini, mereka yang menderita
seperti mereka yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas,
gelandangan menjadi demikian disebabkan karena kurang beruntung. Kaum
miskin dan kurang beruntung tadi haruslah bersabar dan belajar untuk
menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua
orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat
menjunjung tinggi harmoni serta menghindari konflik.
b. Ideologi Liberal
Penganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam
masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan pendidikan, namun
masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan
politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas
sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan
politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi
eksternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah internal
melalui mereformasi diri secara “kosmetik‟.
Misalnya melalui pengadaan sarana prasarana yang memadai
(ketercukupan ruang kelas, perpustakaan, laboratorium yang canggih, dan
peralatan komputer yang komplit), menyeimbangkan rasio murid-guru,
inovasi metode pembelajaran baru (CBSA, modul, remedial teaching,
learning by doing, experiental learning, dan lain-lain), penataan manajemen
sekolah (MBS, competency based leadership, dan sebagainya).
c. Ideologi Kritis
Paham kritis melihat perhatian utama pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap “the dominant ideology‟ ke arah transformasi sosial.
33

Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak


untuk selalu kritis terhadap keadaan sistem serta struktur yang tidak adil dan
menindas. Pendidikan tidak mungkin bisa bersikap netral, obyektif, dan
mengambil jarak dengan masyarakat. Visi pendidikan adalah melakukan
kritik terhadap sistem dominan beserta kelas dominan yang ada sebagai
perwujudan atas pemihakan terhadap rakyat kecil, kelompok miskin, atau
kelas tertindas umumnya dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang
lebih adil. Misalnya mereka yangg tertinggal dalam pendidikan terus berjuang
dan belajar untuk mendapatkan ilmu demi kehidupan mereka yang lebih baik.

5. Uswatun Hasanah (Kelompok II)


Jelaskan hubungan filsafat, filsafat pendidikan, dan filsafat matematika!
Jawab:
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia yang terdiri atas dua
kata yakni philos (cinta) dan sophos (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Secara etimologi, filsafat
berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran.20
Omar Mohammad (1979) menyebutkan bahwa filsafat pendidikan adalah
pelaksanaan pandangan filsafat dan kaidah-kaidah filsafat dalam bidang
pengalaman kemanusiaan yang disebut dengan pendidikan.21
Howard W Eves and Carro V Newsom mengatakan bahwa filsafat
matematika secara dasarnya adalah rekonstruksi pengetahuan matematika
yang berantakan dan terkumpul dalam waktu yang lama dan diberikan sebuah
makna dan ketersusunan. William dan Howar menitik beratkan filsafat
matematika sebagai bentuk penyusunan dan mengurutkan bahagian dari
pengetahuan matematika yang terus berkembang.22
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan filsafat pendidikan
matematika adalah merupakan filsafat yang menelusuri dan menyelediki hakekat
pelaksanaan pendidikan matematika.

20
Amsal Bakhtiar. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
21
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 35
22
The Liang Gie.1980.Filsafat Matematika. Yogyakarta: Super
34

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA

OLEH:
KELOMPOK XI
FADRIATI NINGSIH
NIM. 1610247897

DOSEN PENGAMPU:
Dr. NAHOR MURANI HUTAPEA, M.Pd

PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA


FKIP UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
Juni, 2017

Anda mungkin juga menyukai