BAB XI
FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
1
Amsal Bakhtiar. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
2
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
2
2. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari bahasa Latin, educare, yang dapat diartikan
“pembimbingan berkelanjutan (to lead forth)”.3 Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengadilan diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.4 Menurut John Dewey (dalam Isjoni,
2015), pendidikan merupakan suatu proses pembentukan kecakapan mendasar
secara intelektual dan emosional sesama manusia.5
Suparlan Suhartono (2009), makna pendidikan dapat dilihat dari dua
perspektif yakni arti luas dan arti sempit pendidikan. Pendidikan dalam arti luas
adalah segala kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam
segala situasi kehidupan. Dalam kegiatan pembelajaran itu, individu mampu
mengubah dan mengembangkan diri menjadi semakin dewasa, cerdas dan matang.
Dalam arti luas, pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi siapa saja, kapan
saja, dan di mana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak
asasi manusia pada umumnya. Berarti pendidikan memang harus berlangsung
disetiap jenis, bentuk, dan tingkat lingkungan, mulai dari lingkungan individual,
sosial keluarga, lingkungan masyarakat luas, dan berlangsung sepanjang waktu.6
Pendidikan dalam arti sempit adalah seluruh kegiatan belajar yang
direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan terjadwal dalam sistem
pengawasan, dan diberkan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan.
Kegiatan belajar seperti itu dilaksanakan dilembaga pendidikan sekolah. tujuan
utamanya adalah mengembangkan potensi intelektual dalam bentuk penguasaan
3
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
4
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
5
Isjoni. 2015. Perencanaan Strategi Pendidikan. Pekanbaru: Cendikia Insani.
6
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
3
3. Pengertian Matematika
Haryono (2014) mengungkapkan bahwa istilah matematika berasal dari
bahasa Yunani yaitu máthema yang berarti sains, ilmu pengetahuan, atau belajar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, matematika berarti ilmu tentang
bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan
dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.8 Menurut Elia Tinggih (1972),
matematika adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar. Hal ini
dimaksudkan bukan berarti ilmu lain diperoleh tidak melalui penalaran, akan
tetapi dalam matematika lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio
(penalaran), sedangkan dalam ilmu lain lebih menekankan hasil observasi atau
eksperimen disamping penalaran. Menurut Ruseffendi (1980), matematika
terbentuk sebagai hasil pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses,
dan penalaran. Pada tahap awal matematika terbentuk dari pengalaman manusia
dalam dunianya secara empiris, karena matematika sebagai aktivitas manusia
kemudian pengalaman tersebut diproses dalam dunia rasio, diolah secara analisis
dan sintesis dengan penalaran di dalam struktur kognitif, sehingga sampai kepada
suatu kesimpulan berupa konsep-konsep matematika.9 Berdasarkan pendapat para
ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari hasil pemikiran manusia.
Berdasarkan pengertian filsafat, pendidikan, dan matematika dapat
disimpulkan bahwa filsafat pendidikan matematika merupakan filsafat yang
menelusuri dan menyelediki hakekat pelaksanaan pendidikan matematika. Filsafat
pendidikan matematika merupakan salah satu cabang ilmu fisafat yang menelaah
tujuan, latar belakang, cara, dan hasilnya. Pendidikan matematika mengacu pada
7
Zaprulkhan. 2012. Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
8
Jujun S. Suriasumantri.1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan
9
Suherman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI.
4
masalah belajar dan mengajar di sekolah. Pemikiran filsafat memiliki peran yang
sangat penting dalam proses pembelajaran. Filsafat turut berperan dalam
menciptakan suatu pembelajaran matematika yang memungkinkan siswa untuk
membangun logika pikirnya serta membangun pengetahuanya. Filsafat ilmu
pendidikan matematika dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu:10
1. Aspek Ontologi
Ontologi merupakan bagian filsafat yang mempelajari masalah hakekat
yakni hakekat dunia, hakekat manusia, termasuk didalamnya hakekat peserta
didik. Ontologi secara praktis akan menjadi persoalan utama dalam
pendidikan. Peserta didik berinteraksi dengan dunia sekitarnya, sehingga ia
memiliki dorongan yang kuat untuk memahami tentang segala sesuatu yang
ada. Seorang guru seharusnya mengetahui hakekat manusia, khususnya
hakekat peserta didik. Hakekat manusia adalah makhluk jasmani, rohani,
individual, bebas, dan menyejarah. Dalam proses belajar mengajar
matematika harus juga diterapkan unsur pendidikan karakter yang dapat
membentuk karakter peserta didik sebagai individu yang berkepribadian baik.
2. Aspek Epitemologi
Epistimologi adalah segala sesuatu tentang metode, yang berkaitan
dengan pertanyaan bagaimana. Fenomena yang terjadi dalam proses belajar
mengajar matematika bagi seorang guru adalah bagaimana mengajarkan ilmu
matematika sehingga mudah dipahami siswa. Pertama guru harus
menentukan apa yang benar mengenai muatan yang diajarkan, kemudian guru
harus menentukan alat dan metode yang paling tepat untuk membawa muatan
bagi siswa. Sebagai pendidik hendaknya tidak hanya mengetahui bagaimana
siswa memperoleh pengetahuan, melainkan juga bagaimana siswa belajar.
Meliputi pula pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak dan
bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut, begitu juga
bagaimana cara menyampaikan pengetahuan tersebut.
3. Aspek Aksiologi
10
Anonim. 2015. Filsafat Ilmu Pendidikan Matematika. http://dokumen.tips/documents/filsafat-
ilmu-pendidikan-matematika.html
5
11
Paul Ernest. 2004. The Philosophycal of Mathematics Education. Francis e-Library
6
12
Permendikbud Nomor 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Pertama/
Madrasah Tsanawiyah.
7
13
Paul Ernest. 2004. The Philosophycal of Mathematics Education. Francis e-Library
11
14
Arif Rohman. 2014. Akar Filosofis dan Ideologis Kebijakan Kurikulum Pendidikan.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132107030/penelitian/akar ideologiskebijakanmakalah
seminarnasional.pdf
13
mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai
kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat menjunjung tinggi
harmoni serta menghindari konflik.
2. Ideologi Liberal
Penganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam
masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan pendidikan, namun
masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan
ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan
politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas
sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan
politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi
eksternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah internal
melalui mereformasi diri secara “kosmetik‟.
Misalnya melalui pengadaan sarana prasarana yang memadai
(ketercukupan ruang kelas, perpustakaan, laboratorium yang canggih, dan
peralatan komputer yang komplit), menyeimbangkan rasio murid-guru,
inovasi metode pembelajaran baru (CBSA, modul, remedial teaching,
learning by doing, experiental learning, dan lain-lain), penataan manajemen
sekolah (MBS, competency based leadership, dan sebagainya).
Penganut ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa
pendidikan adalah apolitik dan kemajuan haruslah merupakan target utama
pendidikan. Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan pendidikan dalam
struktur kelas dan dominasi politik, budaya, serta gender. Pendidikan menurut
fungsionalisme struktural (salah satu aliran dalam ideologi liberal) merupakan
sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masyarakat. Pendidikan
merupakan media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai tata susila
dan keyakinan agar sistem masyarakat secara luas berfungsi baik.
Liberalisme berakar pada cita-cita individualisme barat. Menurut cita-
cita ini gambaran manusia ideal adalah manasia rasionalis liberal. Semua
manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, baik tatanan alam maupun
sosial dapat ditangkap oleh akal, serta individu-individu di dunia adalah
14
karena itu akan dibahas lima aliran filsafat pendidikan yaitu esensialisme,
progresivisme, perennialisme, eksistensialisme, dan behaviorisme.15
1. Esensialisme
Esensialisme menunjuk pada pendekatan pendidikan tradisional atau black
to the basic. Aliran ini dinamakan demikian karena filsafatnya berupaya
menanamkan kepada siswa hal-hal esensial dari pengetahuan akademik dan
perkembangan karakter. Istilah esensialisme sebagai sebuah filsafat pendidikan
pada awalnya dipopulerkan pada tahun 1930-an oleh seorang edukator Amerika
Serikat yang bernama William Bagley (1874-1946). Namun demikian, filsafat ini
sendiri telah menjadi pendekatan pendidikan yang dominan di Amerika Serikat
sejak permulaan sejarah Amerika Serikat. Pada awal abad ke-20, esensialisme
dikecam karena dianggap terlalu kaku untuk mempersiapkan siswa secara
memadai untuk kehidupan dewasa, tetapi dengan peluncuran Sputnik pada tahun
1957, minat terhadap esensialisme hidup kembali. Pendukung dari pandangan ini
diantaranya adalah anggota-anggota dari The President’s Commission on
Excellence in Education.
1) Landasan Filosofis
Esensialisme didasarkan pada pada suatu filsafat konservatif yang
menerima struktur sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Amerika. Aliran ini
berpandangan bahwa sekolah-sekolah tidak seharusnya mencoba untuk secara
radikal membentuk kembali masyarakat. Menurut para esensialis, sekolah-sekolah
di Amerika Serikat seharusnya mentransmisikan nilai-nilai moral dan
pengetahuan intelektual tradisional yang diperlukan oleh siswa untuk menjadi
warga negara teladan. Para esensialis berpandangan bahwa guru seharusnya
menanamkan nilai-nilai luhur tradisional Amerika sebagai penghargaan bagi
otoritas, ketekunan, kesetiaan pada tugas, pertimbangan terhadap orang lain, dan
praktikalitas.
Esensialisme cenderung menerima pandangan-pandangan filosofis yang
terkait dengan elemen-elemen konservatif tradisional dari masyarakat Amerika
dengan merefleksikan filsafat konservatifnya. Misalnya, kebudayaan Amerika
15
Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Bandung: UPI.
16
secara tradisional telah memberikan penekanan besar pada nilai penting sentral
dari dunia nyata dan pemahaman dunia melalui eksperimentasi sains. Oleh karena
itu, untuk menyampaikan pengatahuan penting tentang dunia, edukator esensialis
menekankan pengajaran sains alam, bukan ilmu-ilmu non sains seperti filsafat
atau agama komparatif.
2) Ruang Kelas Esensialis
Para esensialis menegaskan agar keterampilan-keterampilan akademik dan
pengetahuan yang paling esensialis atau mendasar diajarkan kepada semua siswa.
Disiplin-disiplin ilmu tradisional seperti matematika, sains alam, sejarah, bahasa
asing, dan sastra membentuk pondasi dari kurikulum esensialis. Para esensialis
tidak menyukai mata pelajaran-mata pelajaran vokasional.
Siswa sekolah dasar menerima pengajaran dalam keterampilan-
keterampilan seperti menulis, membaca, pengukuran, dan komputer. Bahkan saat
mempelajari seni dan musik, mata pelajaran-mata pelajaran yang seringkali
dikaitkan dengan pengembangan kreativitas, siswa dituntut untuk menguasai
kumpulan informasi dan teknik-teknik dasar, secara bertahap bergerak dari
keterampilan-keterampilan dan rincian pengetahuan sederhana ke yang lebih
kompleks. Hanya dengan menguasai materi yang disyaratkan untuk tingkat kelas
mereka, siswa dapat naik ke tingkat kelas selanjutnya.
Program-program esensialis adalah ketat secara akademik, baik bagi siswa
yang lambat maupun yang cepat. Laporan A Nation at Risk merefleksikan
penekanan esensialis akan ketelitian. Ini menuntut lebih banyak syarat pokok hari
sekolah yang lebih lama, tahun akademik yang lebih panjang, dan buku teks-buku
teks yang lebih menantang. Lebih lanjut, para esensialis memandang bahwa ruang
kelas harus diorientasikan di sekitar guru yang secara ideal bertindak sebagai
model peran intelektual dan moral bagi siswa. Guru dan administrator
memutuskan apa yang paling penting untuk dipelajari oleh siswa dan
menempatkan sedikit penekanan pada minat-minat siswa, terutama saat minat-
minat itu mengalihkan waktu dan perhatian dari kurikulum akademik. Guru-guru
esensialis sangat berfokus pada skor-skor tes pencapaian sebagai alat untuk
mengevaluasi kemajuan.
17
2. Progresivisme
Tokoh yang berperan besar atas keberhasilan progresivisme adalah John
Dewey (1859-1952). Dewey memasuki bidang kependidikan sebagai seorang
reformis sosial liberal dengan latar belakang filsafat dan psikologi. Pada tahun
1896, saat menjadi profesor di Universitas Chicago, Dewey mendirikan The
Laboratory Shcool yang terkenal sebagai lahan pengujian untuk ide-ide
pendidikannya. Tulisan-tulisan Dewey dan kerjanya dengan The Laboratory
Shcool merintis gerakan pendidikan progresiv yang dimulai pada tahun 1920-an
telah menghasilkan inovasi-inovasi penting yang bertahan lama dalam pendidikan
di Amerika Serikat.
Gerakan progresivis merangsang sekolah-ssekolah untuk memperluas
kurikula mereka, menjadikan pendidikan lebih relevan dengan kebutuhan-
kebutuhan dan minat-minat siswa. Pengaruhnya mengalami penurunan pada tahun
1950-an, terutama setelah peluncuran Sputnik oleh Uni Soviet pada tahun 1957
membawa sekolah-sekolah untuk menekankan pengajaran tradisional dalam
matematika, sains, bahasa-bahasa asing, dan mata pelajaran-mata pelajaran
lainnya yang terkait dengan pertahanan. Pada tahun 1960 dan 1970-an dengan
tabir pendidikan kewarganegaraan dan relevansi pendidikan, banyak dari gagasan
Dewey yang kembali populer kemudian mengalami kemunduran lagi pada
gerakan reformasi pendidikan di tahun 1980-an.
18
3. Perennialisme
Perennial berarti “abadi” seperti bunga perennial yang muncul dari tahun
ke tahun selanjunya. Perennialisme menegaskan bahwa gagasan-gagasan ini
seharusnya menjadi fokus pendidikan. Menurut para perennialis, saat siswa larut
dalam studi tentang gagasan-gagasan yang besar dan abadi, mereka akan
mengapresiasi belajar untuk belajar sendiri dan menjadi keum intelektual sejati.
Akar dari perennialisme tertanam dalam filsafat Plato dan Aristoteles,
berikut dalam filsafat St. Thomas Aquinas, seorang berkebangsaan Italia yang
hidup pada abad ke-13, yang gagasannya terus membentuk sifat dari sekolah-
sekolah Khatolik di seluruh dunia. Kaum perennialis secara umum dibagi menjadi
dua kelompok, pendukung pendekatan keagamaan pada pendidikan seperti yang
diadopsi oleh Aquinas, dan pengikut pendekatan sekuler yang dirumuskan di
Amerika pada abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Robert Hutchins dan Mortimer
Adler. Aliran perennialisme berupaya untuk membangun kemampuan bernalar
dan memandang pelatihan dalam humanitas sangatlah esnsial bagi perkembangan
daya-daya resional.
21
oleh para pemikir dan penulis terbaik dalam sejarah, yang kaum perennialis
anggap besar, indah, dan bermakna.
Para perennialis menyesalkan perubahan peran bagi universitas yang
selama berabad-abad mahasiswa dan dosen mengejar kebenaran untuk kebenaran
itu sendiri dan sekedar menjadi tempat pelatihan untuk karier mahasiswa. Oleh
karena itu, mahasiswa universitas mempelajari beberapa pohon tutur para
perennialis, tetapi banyak diantara mereka yang sangat awam tentang hutan atau
pertanyaan filosofis yang abadi.
4. Eksistensialisme
1) Eksistensialisme sebagai suatu Istilah Filosofis
Gerakan eksistensialisme dalam pendidikan didasarkan pada suatu sikap
intelektual yang para filsuf istilahkan sebagai eksistensialisme. Eksistensialisme
dirintis di Eropa pada abad ke-19 dikaitkan dengan pemikir-pemikir berbeda
seperti Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1811-1900). Para
eksistensialisme tidak sepakat mengenai banyak perkara filosofis yang mendasar,
namun mereka sama-sama menjunjung tinggi individualisme. Mereka
berpandangan bahwa pendekatan-pendekatan filsafat tradisional tidak cukup
menghargai pertimbangan-pertimbangan unik dari tiap individu.
Formulasi eksistensialisme klasik dari Jean Paul Sartre bahwa eksistensi
mendahului esensi yang berarti bahwa tidak ada nature manusia yang bersifat
bawaan lahir dan universal. Kita lahir dan ada kemudian kita sendirilah yang
secara bebas menentukan esensi kita. Beberapa filsuf yang biasa dikaitkan dengan
tradisi eksistensialis tidak pernah sepenuhnya mengadopsi prinsip eksistensi
mendahului esensi. Namun demikian, prinsip tersebut bersifat fundamental bagi
gerakan eksistensialis dalam pendidikan.
2) Eksistensialisme sebagai suatu Filsafat Pendidikan
Eksistensialisme pendidikan muncul dari penolakan kuat terhadap
pendekatan pendidikan esensialis tradisional. Eksistensialisme menolak eksistensi
sumber apapun untuk kebenaran otoritatif objektif tentang metafisika,
epistemologi, dan etika. Para eksistensialis berpandangan bahwa individu
24
bertanggungjawab untuk menentukan sendiri apa yang benar atau salah, indah
atau buruk, dan sebagainya. Bagi mereka tidak terdapat bentuk nature manusiawi
yang universal, masing-masing dari kita memiliki kehendak bebas untuk
berkembang sesuai kecocokan kita sendiri.
Eksistensialis di dalam ruang kelas, pokok bahasan (subject matter) berada
pada tempat kedua untuk membantu siswa memahami dan mengapresiasi diri
mereka sendiri sebagai individu-individu yang menerima tanggungjawab
sepenuhnya atas pikiran, perasaan, dan tindakan mereka sendiri. Peran guru
adalah membantu siswa menentukan esensi mereka sendiri dengan menghadapkan
mereka pada berbagai jalur yang dapat mereka ambil dalam kehidupan dan
menciptakan lingkungan dimana mereka dapat bebas menentukan cara yang
mereka pilih. Para eksistensialis menghendaki pendidikan diri secara utuh bukan
hanya untuk pikiran karena perasaan tidak lepas dari penalaran dalam pembuatan
keputusan. Edukator eksistensialis memberikan struktur kurikuler tertentu, namun
eksistensialisme memberikan siswa kebebasan besar untuk memilih mata
pelajaran mereka sendiri. Di dalam kurikulum eksistensialisme, siswa diberi
rentang pilihan yang luas.
Mata pelajaran humaniora (humanities) diberikan penekanan sangat besar
dalam kurikulum. Humaniora digali sebagai alat untuk memberi siswa vicarious
experience yang akan membantu mereka untuk bebas berkreativitas dan
mengeskpresikan diri. Misalnya, daripada menekankan peristiwa-peristiwa
sejarah, eksistensialis lebih berfokus pada tindakan-tindakan dari para tokoh
sejarah yang dapat menjadi teladan bagi perilaku siswa sendiri. Disisi lain dari
humaniora, matematika dan sains dalam tidak diberi penekanan besar karena mata
pelajarannya dianggap dingin, kering, dan objektif, sehingga kurang bermanfaat
bagi kesadaran diri. Selain itu, pendidikan vokasional dipandang sebagai suatu
cara untuk mengajarkan kepada siswa tentang diri mereka sendiri dan potensi
mereka daripada sebagai pengajaran mereka mencari nafkah. Dalam mengajarkan
seni, eksistensialisme mendorong kreativitas dan imajinasi individual daripada
sekedar menjiplak dan meniru model-model yang telah mapan.
25
5. Behaviorisme
Eksistensialisme pendidikan didasarkan pada gagasan bahwa kita memiliki
kehendak bebas untuk membentuk nature terdalam kita, sedangkan behaviorisme
diambil dari keyakinan bahwa kehendak bebas hanyalah sebuah ilusi. Menurut
behavioris murni, manusia dibentuk sepenuhnya oleh lingkungan eksternal
mereka. Jika kita mengubah lingkungan seseorang, maka kita akan mengubah
pikiran-pikirannya. Bersyaratkan penguatan positif saat siswa menampilkan
perilaku yang diinginkan, mereka akan belajar untuk menampilkan perilaku itu
sendiri.
Behaviorisme memiliki akar-akar pada awal 1900-an dalam kerja seorang
psikolog eksperimental Rusia yang bernama Ivan Pavlov (1848-1936) dan
psikolog dari Amerika yang bernama John Watson (1878-1958). B.F Skinner
(1904-1989) seorang profesor dari Harvard dengan menyempurnakan studi
terdahulunya telah menjadi daya utama penyebaran behaviorisme dalam kultur
Amerika Modern. Skinner mengembangkan Skinner-Box yang digunakannya
untuk melatih hewan-hewan kecil dengan teknik behavioral. Dia juga
menciptakan sistem misil Perang Dunia II yang menggunakan merpati untuk
memandu lintasan peluru, sebuah tempat tidur udara yang kontroversial untuk
memelihara bayi-bayi dalam sebuah lingkungan yang dikendalikan berdasarkan
iklim atau suasana, dan belajar terprogram.
Landasan filosofis behaviorisme menegaskan bahwa satu-satunya realitas
adalah dunia fisik yang kita kenali melalui observasi ilmiah yang seksama.
Manusia dan hewan dipandang sebagai kombinasi materi kompleks yang hanya
26
bertindak sebagai respon bagi stimuli fisik yang timbul secara internal atau
eksternal. Misalnya, kita belajar untuk menghindari panas berlebihan melalui
impuls-impuls rasa sakit yang dikirimkan oleh saraf ke otak. Belajar yang
kompleks seperti memahami materi juga ditentukan oleh stimuli.
Fitrah manusia menurut behaviorisme tidaklah baik atau buruk, tetapi
semata hasil dari lingkungan manusia. Bukan fitrah manusia, melainkan
lingkungan yang buruklah yang bertanggungjawab atas kerusakan yang orang
perbuat kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Menurut behaviorisme,
kehendak bebas atau orang yang bertindak secara otonom hanyalah omong
kosong dan gagasan-gagasan tersebut hanyalah mitos yang membuat kita lebih
baik, tetapi tidak berhubungan dengan observasi ilmiah. Para behavioris
berkenaan dengan apresiasi estetik berpandangan bahwa pemahaman kita tentang
keindahan terbentuk oleh lingkungan.
27
DAFTAR PUSTAKA
16
Anonim. 2015. Filsafat Ilmu Pendidikan Matematika. http://dokumen.tips/documents/filsafat-
ilmu-pendidikan-matematika.html
29
17
Paul Ernest. 2004. The Philosophycal of Mathematics Education. Francis e-Library.
30
18
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 35
19
Arif Rohman. 2014. Akar Filosofis dan Ideologis Kebijakan Kurikulum Pendidikan.
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132107030/penelitian/akar ideologiskebijakanmakalah
seminarnasional.pdf
32
20
Amsal Bakhtiar. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
21
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 35
22
The Liang Gie.1980.Filsafat Matematika. Yogyakarta: Super
34
OLEH:
KELOMPOK XI
FADRIATI NINGSIH
NIM. 1610247897
DOSEN PENGAMPU:
Dr. NAHOR MURANI HUTAPEA, M.Pd