Anda di halaman 1dari 10

KUALITAS PERIWAYAT DAN

PERSAMBUNGAN SANAD
Mata Kuliah : ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu: Drs. Dahrun Sadjadi, MA

DISUSUN OLEH:

Daly Saputra (3120180025)


Iis nur wulandari (3120180019)
Nurafifah Az-Zahra (3120180077)
Apriani Lulu Atun Nafisah (3120180107)
Putri Fadillah Maulida (3120180084)
Srinova (3120180061)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM AS-SYAFI’IYAH

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “ KUALITAS PERIWAYAT DAN
PERSAMBUNGAN SANAD ” ini dengan lancar dan tanpa halangan yang berarti . Sholawat
serta salam tak lupa kami haturkan kehadirat junjungan nabi Muhammad SAW .Ucapan
terima kasih tak lupa juga kami sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah Ulumul Hadits yakni bapak Drs. Dahrun Sadjadi, MA atas bimbingannya. Serta kepada
teman teman jurusan Pendidikan Agama Islam dan Komunikasi Penyiaran Islam 2018 atas
dukungan dan kerjasamanya. Tak lupa juga kepada orang tua kami di rumah yang kami yakin
tak pernah luput doanya untuk kami. Dalam penulisan makalah ini, kami yakin bahwa banyak
sekali kekurangan, Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sehingga akan membawa perbaikan untuk kedepannya.

Dan yang terakhir kami berharap makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Terimakasih.

Jakarta , 27 april 2019

Penyusun

2
KUALITAS PERIWAYAT DAN PERSAMBUNGAN SANAD
Bagian – bagian sanad hadits yang menjadi sasaran peneliti ulama hadits adalah para periwayat
dalam sanad itu dan rangkaian sambungannya mulai mulai dari periwayat yang disandandari oleh
peng-hadits atau al- mukhorij sampai kepada nabi. Ini berarti suatu sanad yang seluruh
periwayatnya bersifat tsiqqah (adil dan dhabith) tapi rangkaian para periwayat itu tidak
tersambung, maka sanad dimaksud tidak dapat dikatakan berkualitas shahih, dalam hal ini shahih
bil dzatih. Demikian pula sebaliknya , rangkaian periwayat suatu sanad yang tampak bersambung,
tetapi salah seorang dari periwayatnya ada yang tidak tsiqqah maka sanad tersebut tidak dapat
dinyatakan berkualitas shahih.
Jumlah dan keadaan periwayat yang terlibat dalam sanad cukup banyak dan beragam. Hal ini
dapat dimengerti , karena satu generasi saja memungkingkan lebih dari satu periwayat yang
terlibat dalam suatu hadits. Walaupun jumlah periwayat yang terlibat dalam sanad cukup banyak
dan beragam, tetapi dilihat dari peran para periwayat sebagai saksi atas peristiwa terjadinya
hadits, mereka pasti masuk ke dalam dari salah satu kemungkinan, yakni periwayat yang
pertama , yaitu periwayat yang langsung menyaksikan atau mengallami terjadinya suatu hadits
nabi. Atau mungkin berperan bukan sebagai periwayat pertama, yaitu periwayat yang tidak
langsung menyaksikan atau mengalami hadits nabi.

1. Kualitas Periwayat dalam sanad


a) Periwayat yang berstatus saksi primer

Seperti telah dibahas, bahwa periwayat yang dapat diterima riwayatnya adalah periwayat yang
bersifat adil dan dhabith. Menurut qaidah ke shahihan sanad hadits yang telah disepakati oleh
mayoritas ulama hadits, jumlah periwayat tidak menjadi persyaratan. Ini berarti , periwayat yang
hanya satu orang saja asal dia bersifat adil dan dhabith telah dapat diterima riwayatnya. Adanya
shahid atau mutabi tidak menjadi syarat utama keabsahan periwayat. Fungsi shahid dan mutabi
adalah sebagai penguat semata. Ketentuan dasar yang diikuti oleh ilmu sejarah berbeda dengan
yang diikuti oleh ilmu hadits tersebut.

3
Dilihat dari segi ini , tampak prinsip dasar ilmu sejarah lebih berhati-hati daripada ilmu hadits,
walaupun pada akhirnya apa yang dianut oleh ilmu hadits tersebut dapat dibenarkan juga oleh
ilmu sejarah. Kemudian dari segi yang lain , ilmu hadits juga sejalan dengan ilmu sejarah, yakni
sama sama menilai lebih kuat terhadap saksi (periwayat) yang memiliki dukugan berupa saksi lain
(shahid dan atau mutabi’) daripada saksi yang sendirian ( fard atau ghorib). Periwayat yang
berstatus sahabat nabi oleh mayoritas ulama hadits dinilai bersifat adil semua. Hal ini tidak
berarti bahwa semua sahabat nabi terlepas dari kritik tentang ke dhabith-an. Abu abdillah
Muhammad bin Ahmad Al-dzahabiy menyatakan bahwa sahabat nabi tidak terlepas dari
kekeliruan yang telah terjadi sangat sedikit dan tidak membahayakan. Pendapat ini cukup
beralasan karena pada zaman sahabat , dari kalangan sahabat sendiri melakukan kritik terhadap
sahabat lain mengenai ke dhabith_an mereka dalam menyampaikan matan hadits tersebut.
Missal pada contoh berikut: Abdurrahman bin haris bin hisyam bin al-mughirah melaporkan
kepada Marwan bin al-hakam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah dan Ummu salamah :
‘Aisyah dan Ummu salamah memberitahukan bahwa Rasulullah mendapati waktu fajar dalam
keadaan berhadats besar. Kemudian beliau mandi dan berpuasa pada hari itu (HR. Bukhari).
Setelah mendengar laporan mengenai hadits ini, Marwan al-hakam yang ketika itu menjabat
sebagai gubernur kota Madinah segera menyuruh Abdurrahman menemui Abu Hurairah. Sebab
waktu itu Abu Hurairah pernah menyampaikan hadits nabi yang maksudnya bahwa apabila
seseorang pada waktu subuh masih dalam keadaaan junub karena pada malam hari berhubungan
suami istri maka nabi menyuruh orang tersebut “membuka“ puasanya. Pada waktu Abdurrahman
bertemu dengan Abu Hurairah dan menyampaikan hadits tersebut, lalu Abu Hurairah
menyatakan bahwa hadits tersebut berasal dari Fadl bin abbas, dan fadl bin abbas yang lebih
mengetahui apa yang diriwayatkannya.
Ibnu hajar mengemukakan berbagai sanad hadits itu baik yang melalui ‘Aisyah dan Ummu
salamah maupun yang melalui Abu Hurairah. Dalam hal ini kalangan ulama ada yang
berpendapat bahwa hadits riwayat ‘Aisyah dan Ummu salamah lebih kuat sanadnya daripada
Abu Hurairah dengan alasan:
1. Hadits yang disebut pertama diriwayatkan oleh dua orang sahabat , sedangkan yang kedua
hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja.

4
2. Hadits yang disebutkan pertama diriwayatkan langsung oleh istri-istri nabi. Istri nabi lebih
mengetahui apa yang dilakukan oleh nabi berkenaan dengan hubungan suami istri daripada
orang lain.
Ulama hadits berpendapat bahwa hadits yang disebut kedua (riwayat Abu Hurairah) telah
Mansukh (dihapus) oleh hadits yang disebut pertama. Alasannya karena hadits yang disebut
pertama terjadi pada tahun ke enam hijriah, sedang hadits yang disebut kedua terjadi setahun
sebelumnya. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa hadits kedua berisi sekedar petunjuk
mengenai keutamaan amal saja, sedangkan yang pertama berisi hukum pokoknya. Dilihat dari
konteksnya, pendapat yang di kemukakan terakhir tersebut tidak mempunyai alasan yang kuat.
Menurut ilmu hadits, ‘Aisyah dan Ummu salamah dalam hal ini dinilai lebih kuat riwayatnya
dibanding dengan Al-Fadl. Karena ‘Aisyah dan Ummu salamah keduanya adalah istri nabi, pasti
mengetahui hal hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri daripada orang lain, walaupun
masih ada hubungan kekekluargaan dengan nabi. Dalam kaitan ini ketentuan kritik sumber dalam
ilmu hadits juga sejalan dengan ketentuan kritik sumber dalam ilmu sejarah yakni dekatnya saksi
primer dengan peristiwa mempengaruhi kredibilitas kesaksiannya. Makin dekat hubungan saksi
dengan peristiwa yang dilaporkan makin lebih baik daripada yang jauh.

b) Periwayat yang berstatus bukan primer

Periwayat yang berstatus bukan saksi primer mungkin berasal dari kalangan sahabat nabi dan
mungkin tidak berasal dari kalangan sahabat nabi. Periwayat yang bukan dari sahabat nabi
mungkin berkedudukan sebagai al-mukharij dan mungkin bukan sebagai al-mukharij. Hadits yang
disampaikan oleh sahabat nabi yang tidak berstatus sebagai saksi primer mungkin berasal dari
riwayat yang dikemukakan oleh sahabat nabi dan mungkin berasal dari riwayat tabi’in. Bila
sahabat yang tanpa terlebih dulu menyebut nama periwayatnya yang telah menyampaikan hadits
kepadanya maka hadits tersebut dinamakan hadits mursal sahabiy. Sebagian ulama hadits
berpendapat bahwa hadits ini bersambung sanadnya dari sahabat yang bukan saksi primer itu
kepada nabi.

Sanad hadits yang mereka kemukakan ada yang memiliki mutabi’ atau shahid dan ada pula
yang tidak memilikinya. Sanad yang memiliki mutabi’ lebih kuat kedudukannya daripada yang

5
tidak mempunyai mutabi’ asalkan semua periwayatnya sama sama berkualitas tsiqqah. Karena
ketentuan yang menyatakan riwayat isnain tuqoddam ala riwayat wahid berlaku juga untuk
periwayat yang berstatus bukan sahabat nabi. Ketentuan ini pun sejalan dengan ketentuan dalam
ilmu sejarah yang menyatakan saksi yang memiliki corroborator (dukungan) berupa saksi yang
lebih kuat daripada saksi yang tidak memiliki corroborator (dukungan).
Keadaan periwayat yang diteliti menurut qaidah ke shahihan sanad hadits adalah keadilan
dank e dhabit-annya trhadap para periwayat yang tidak berstatus sahabat nabi. Cara mengetahui
keadilan periwayat ialah berdasarkan pada:
1) Popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadits
2) Penilaian dara para kritikus periwayat hadits
3) Penerepan qaidah al – jarhwa al – ta’dil. Al- Jarh menurut istilah dalam ilmu hadits al-
Jarh berarti terdapatnya suatu sifat pada seorang perawi yang menyebabkan
ternodanya keadilannya, atau merusak hafalan dan kecermatannya dalam memelihara
hadis sehingga mengakibatkan riwayat yang disampaikannya menjadi gugur, lemah
atau ditolak.
At-Ta’dil artinya menurut istilah dalam ilmu hadits At-Ta’dil berarti orang yang tidak
terlihat (terjadi) pada dirinya sesuatu yang merusak keberagamannya dan
kepribadiannya, sehingga berita dan kesaksian yang disampaikannya dapat diterima,
apabila syarat-syarat lain yang berkaitan dengan keduanya terpenuhi.
Sedangkan mengetahui ke-dhabith-an periwayat ialah berdasarkan:

1) Kesaksian ulama hadits


2) Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayatnya yang
dikenal ke-dhabit-annya
3) Sekiranya terjadi kesalahan, maka kesalahan itu hanya sesekali atau jarang terjadi.
2. Kualitas persambungan sanad
a. Hubungan para periwayat yang terdekat.

Hadits yang terhimpun dalam kitab kitab hadits, misalnya dalam kutub al-kharusah terdiri dari
matan dan sanad. Dalam sanad hadits termuat nama nama periwayat dan kata-kata atau

6
singkatan yang menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan periwayat lain. Matan
hadits yang shahih belum tentu shahih sanadnya, sebab boleh jadi dalam sanad hadits terdapat
periwayat yang tidak tsiqqah. Suatu sanad yang memuat nama periwayat yang tsiqqah belum
tentu sanadnya shahih. Sebab boleh jadi dalam rangkaian periwayat yang tsiqqah terdapat
keterputusan hubungan periwayatan. Ini berarti terpenuhinya qaidah sanad bersambung bukan
hanya ditentukan oleh terjadinya hubungan periwayatan secara sah antara masing-masing
periwayat dengan periwayat yang terdekat dengan sanad tersebut.

b. Kata kata yang menghubungkan nama nama periwayat

Dalam uraian yang telah disinggung , bahwa persambungan sanad ditentukan juga oleh kata
kata, singkatan kata- kata , atau harf pada sanad yang menghubungkan masing masing periwayat
dengan periwayat terdekat sebelumnya. Kata-kata yang dimaksud merupakan “lambang”
mengenai tata cara yang telah ditempuh oleh periwayat tatkala menerima riwayat hadits
tersebut. Menurut ketentuan bila periwayat menerima hadits dengan cara al-sama (mendengar),
maka dalam sanad sebelum dia menyebutkan nama periwayat yang telah menyampaikan hadits
kepadanya , maka terlebih dulu dia menyebut sami’na atau haddatsani atau haddatsana. Kata-
kata yang terletak antara masing masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya tidak
memberikan petunjuk mengenai persambungan sanad, bila periwayat yang mengemukakan kata-
kata itu tidak bersifat tsiqqah. Jadi penolakan terhadap periwayat yang lemah bukan hanya di
bidang riwayat hadits yang di kemukakan saja, melainkan juga kata-kata yang dipakainya dalam
penyandaran riwayat haditsnya. Masing masing cara penerimaan riwayat itu memiliki bobot
akurasi yang tidak sama. Periwayat dengan car acara al-sama, al-qiraah, al- ijazat al- maqrunah
bi al-munawalah dan al-mukatabah, kualitasnya lebih tinggi daripada cara- cara selainnya.
Berbagai macam cara periwayatan hadits yang tertentu merupakan bentuk kehati-hatian
ulama hadits dalam melakukakan periwayatan hadits. Hal ini tidak dijumpai dalam ketetuan ilmu
sejarah. Ilmu sejarah hanya menentukan pentingnya kredibilitas saksi dan kejelasan ungkapan
yang dikemukakan sumber berita. Ilmu hadits selain memperhatikan kedua hal yang
dikemukakan ilmu sejarah juga memperhatikan cara-cara yang dipakai oleh periwayat tatkala

7
menerima riwayat. Dilihat dari sisi ini, qaidah ke shahihan sanad hadits, khususnya yang
berkenaan dengan persambungan sanad tampak lebih teliti daripada ketentuan sejarah.
Khusus berkenaan denga kata-kata atau harf yang menghubungkan antara sahabat nabi
dengan isi berita yang disampaikannya, bentuknya cukup beragam. Diantara bentuk itu ada yang
diperselisihi ulama mengenai kepastiannya sebagai hadits nabi. Misalnya kata kata min al-sunnah
dan kunna naf’al kadza. Tapi dilihat secara keseluruhan, kata-kata yang dipakai oleh sahabat
untuk menyampaikan hadits nabi cukup cermat. Salah satu bukti kecermatan dapat dilihat dari
kejelasan jenis hadits yang disampaikan oleh sahabat. Jenis-jenis hadits itu ada yang bersifat
sabda, perbuatan, taqrir (pengakuan) dan keadaan nabi SAW. Hadits nabi berupa perbuatan tidak
diperkenankan diriwayatkan dalam bentuk sabda. Bila ini terjadi periwayatan yang menyalahi
ketentuan ini, maka hadits ini dinilai sebagai hadits dha’if. Disamping itu, terjadinya periwayatan
hadits secara makna, walaupun dalam prakteknya banyak terlihat, tapi cukup ketat persyaratan
yang harus terpenuhi oleh periwayat dalam melakukan periwayatan hadits secara makna
tersebut. Penyelisihan terhadap persyaratan itu akan segera dapat diketahui oleh periwayat lain,
baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan periwayat yang bukan sahabat. Karena
periwayat yang bersikap hati hati dan sangat kritis dalam periwayatan hadits selalu meneliti
hadits yang sampai kepada mereka. Penelitian itu bukan hanya terhadap para periwayat dan
persambungan sanadnya, melainkan terhadap matan-nya juga.

8
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya
terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut
kapan saja manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar
secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu menyampaikannya kepada
orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.

Hadits mursal shahabi yaitu pemberitaan sahabat disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat
Rasulullah masih hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam agama islam. Dan yang
termasuk semacam ini adalah hadits-hadits yang banyak karena masih kecilnya sahabat seperti
Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair dan yang lainnya. Hadis mursal shahabi dianggap shahih karena pada
Galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari pada sahabat. Hukum Hadits Mursal Shahabi Jumhur
muhadditsiin dan ulama ushul fiqih berpendapat bahwa mursal shahabi adalah shahih dan dapat
dijadikan hujjah. Yaitu apa yang dikhabarkan oleh seorang shahabat tentang sesuatu yang telah
dikerjakan oleh Nabi atau semisalnya, yang menunjukkan bahwa dia tidak menyaksikan secara
langsung karena faktor usianya yang masih kecil, atau karena faktor keterlambatan masuk Islam.
Contoh : Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa dalam Shahih Bukhari dan
Muslim, ia mengatakan : “Awal mula wahyu datang kepada Rasulullah Saw adalah mimpi yang
benar. Maka tatkala beliau melihat sebuah mimpi melainkan datang dalam wujud seperti bintang
di shubuh hari. Lalu kemudian beliau dibuat senang menyendiri, sehingga beliau sering
menyendiri di Gua Hira’ dimana beliau bertahannuts (beribadah) selama beberapa malam
sebelum kemudian kembali menemui keluarganya……..”. (sampai akhir hadits) Dalam hal ini,
‘Aisyah dilahirkan empat atau lima tahun setelah kenabian. Lalu dimanakah posisi dia pada saat
wahyu diturunkan? Maka pendapat ini dalah pendapat yang benar (yaitu mursal shahabi adalah
maqbul), karena semua shahabat adalah ‘adil. Dan pada dhahirnya, seorang shahabat tidak
memursalkan sebuah hadits kecuali dia telah mendengarnya dari Rasulullah Saw, atau dari
seorang shahabat lain yang telah mendengar dari Rasulullah Saw. Oleh karena itu, para ulama
hadits menganggap mursal shahabi sama hukumnya dengan hadits yang bersambung sanadnya.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat banyak hadits yang seperti itu. Ada yang mengatakan

9
bahwa mursal shahabi itu sama hukumnya dengan mursal-mursal yang lain. Namun pendapat ini
adalah lemah dan ditolak.

10

Anda mungkin juga menyukai