1.1.1 Definisi Efusi Pleura Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana penumpukan cairan dalam pleura berupa transudat dan eksudat yang diakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura viseralis. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit (Muttaqin, 2008). 1.1.2 Etiologi Efusi Pleura 1. Hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma meig(tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior 2. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberculosis, pneumonia,virus), bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan berdarah dan karena trauma. 3. Penyebab lain dari efusi pleura adalah: gagal jantung, kadar protein yang rendah, sirosis, pneumonia, tuberculosis, emboli paru, tumor, cidera di dada, obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin, dantrolen, prokarbazin) dan pemasangan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik. 1.1.3 Klasifikasi Efusi Pleura 1. Efusi pleura transudat Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF), penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negative intra pleura yang meningkat (atelektaksis akut). Ciri-ciri cairan: serosa jernih, berat jenis rendah (dibawah 1.012), terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil, dan protein < 3%. Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan hydrothorax, penyebabnya: Payah jantung, Penyakit ginjal (SN), Penyakit hati (SH) dan Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi). 2. Efusi pleura eksudat Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (missal pneumonia) atau drainase limfatik yang berkurang (missal obstruksi aliran limfa karena karsinoma). Ciri cairan eksudat: berat jenis > 1.015 %, kadar protein > 3% atau 30 g/dl, ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6, LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum normal, Warna cairan keruh. Penyebab dari efusi eksudat ini adalah: kanker (karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit metastatic ke paru atau permukaan pleura), infark paru, pneumonia, dan pleuritis virus. 1.1.4 Patofisiologi Efusi Pleura Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura vicelaris, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 1 – 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur.Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadan ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik sebesar 9 cm H2o dan tekanan osmotic koloid sebesar 10 cm H2o. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru. Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli,terjadilah infeksi primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya effusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vetebralis. Adapun bentuk cairan effusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat, yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500-2000. Mula-mula yang dominan adalah sel-sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan effusi bukanlah karena adanya bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya effusi pleura dapat menimbulkan beberapa perubahan fisik antara lain: irama pernapasan tidak teratur, frekwensi pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada yanbg lebih cembung, fremitus raba melemah, perkusi redup. Selain hal-hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh efusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu, batuk dan berat badan menurun. Patway
EFUSI PLEURA Penumpukan cairan dalam rongga pleura
Ekspansi paru menurun
Sesak napas
Pola napas tidak Nyeri dada Nafsu makan
efektif menurun Gangguan pola tidur Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
1.1.5 Manifestasi Klinis Efusi Pleura
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderitaakan sesak napas. 2. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeridada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. 3. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi, jika terjadi mpenumpukan cairan pleural yang signifikan. 4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karenacairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung(garis Ellis Damoiseu). 5. Didapati segitiga Garland yaitu daerah yang pada perkusi redup, timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco- Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki. 6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura 1.1.6 Komplikasi Efusi Pleura 1. Pneumotoraks (karena udara masuk melalui jarum) 2. Hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh darah interkostalis) 3. Emboli udara (karena adanya laserasi yang cukup dalam, menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena pulmonalis) 4. Laserasi pleura viseralis 1.1.7 Pemeriksaan Penunjang Efusi Pleura 1. Rontgen dada Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. 2. CT scan dada CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor. 3. USG dada USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan. 4. Torakosentesis Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal). 5. Biopsi Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa. Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. 6. Bronkoskopi Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul. 7. Analisa cairan pleura Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak tajam. Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti: 1) Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan glucose. 2) Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi infeksi bakteri. 3) Pemeriksaan hitung sel 8. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, infeksi virus, dan keganasan. 1.1.8 Penatalaksanaan Medis Efusi Pleura 1. Aspirasi cairan pleura Punksi pleura ditujukan untuk menegakkan diagnosa efusi plura yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mikroskopis cairan. Disamping itu punksi ditujukan pula untuk melakukan aspirasi atas dasar gangguan fugsi restriktif paru atau terjadinya desakan pada alat-alat mediastinal. Jumlah cairan yang boleh diaspirasi ditentukan atas pertimbangan keadaan umum penderita, tensi dan nadi. Makin lemah keadaan umum penderita makin sedikit jumlah cairan pleura yang bisa diaspirasi untuk membantu pernapasan penderita. Komplikasi yang dapat timbul dengan tindakan aspirasi: 1) Trauma Karena aspirasi dilakukan dengan blind, kemungkinan dapat mengenai pembuluh darah, saraf atau alat-alat lain disamping merobek pleura parietalis yang dapat menyebabkan pneumothorak. 2) Mediastinal displacement Pindahnya struktur mediastinum dapat disebabkan oleh penekaran cairan pleura tersebut. Tetapi tekanan negatif saat punksi dapat menyebabkan bergesernya kembali struktur mediastinal. Tekanan negatif yang berlangsung singkat menyebabkan pergeseran struktur mediastinal kepada struktur semula atau struktur yang retroflux dapat menimbulkan perburukan keadaan terutama disebabkan terjadinya gangguan pada hemodinamik. 3) Gangguan keseimbangan cairan, Ph, elektroit, anemia dan hipoproteinemia. Pada aspirasi pleura yang berulang kali dalam waktu yang lama dapat menimbulkan tiga pengaruh pokok: a. Menyebabkan berkurangnya berbagai komponen intra vasculer yang dapat menyebabkan anemia, hipprotein, air dan berbagai gangguan elektrolit dalam tubuh. b. Aspirasi cairan pleura menimbulkan tekanan cavum pleura yang negatif sebagai faktor yang menimbulkan pembentukan cairan pleura yang lebih banyak. c. Aspirasi pleura dapat menimbulkan sekunder aspirasi. 2. Water Seal drainage Telah dilakukan oleh berbagai penyelidik akan tetapi bila WSD ini dihentikan maka akan terjadi kembali pembentukan cairan. 3. Penggunaan 0bat-obatan Penggunaan berbagai obat-obatan pada pleura effusi selain hasilnya yang kontraversi juga mempunyai efek samping. Hal ini disebabkan pembentukan cairan karena malignancy adalah karena erosi pembuluh darah. Oleh karena itu penggunaan citostatic misalnya tryetilenthiophosporamide, nitrogen mustard, dan penggunaan zat-zat lainnya seperi atabrine atau penggunaan talc poudrage tidak memberikan hasil yang banyak oleh karena tidak menyentuh pada faktor patofisiolgi dari terjadinya cairan pleura. Pada prinsipnya metode untuk menghilangkan cairan pleura dapat pula menimbulkan gangguan fungsi vital. 4. Thoracosintesis Dapat dengan melakukan apirasi yang berulang-ulang dan dapat pula dengan WSD atau dengan suction dengan tekanan 40 mmHg. Indikasi untuk melakukan torasentesis adalah: 1) Menghilangkan sesak napas yang disebabkan oleh akumulasi cairan dalam rongga pleura 2) Bila therapi spesifik pada penyakit prmer tidak efektif atau gagal. 3) Bila terjadi reakumulasi cairan. Pengambilan pertama cairan pleura jangan lebih dari 1000 cc, karena pengambilan cairan pleura dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan oedema paru yang ditandai dengan batuk dan sesak. Kerugian: 1) Tindakan thoraksentesis menyebabkan kehilangan protein yang berada dalam cairan pleura. 2) Dapat menimbulkan infeksi di rongga pleura. 3) Dapat terjadi pneumothoraks. 5. Radiasi Radiasi pada tumor justru menimbulkan effusi pleura disebabkan oleh karena kerusakan aliran limphe dari fibrosis. Akan tetapi beberapa publikasi terdapat laporan berkurangnya cairan setelah radiasi pada tumor mediastinum. 1.2 Manajemen Asuhan Keperawatan 1.3.1 Pengkajian Keperawatan 1. Identitas pasien Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien. 2. Keluhan utama 1) Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. 2) Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa : sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif. 3. Riwayat penyakit sekarang Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tandatanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. 4. Riwayat penyakit dahulu Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi. 5. Riwayat penyakit keluarga Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakitpenyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya. 6. Riwayat psikososial Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya. 7. Pengkajian pola fungsi 1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat: adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. 2) Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit. 8. Pola nutrisi dan metabolisme 1) Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien. 2) Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. 3) Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnyalemah. 9. Pola eliminasi 1) Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS. 2) Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus. 10. Pola aktivitas dan latihan 1) Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi. 2) Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. 3) Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. 4) Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya. 11. Pola tidur dan istirahat 1) Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat. 2) Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya. 12. Pemeriksaan fisik 1) Status kesehatan umum Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien. 2) Sistem respirasi a. Inspeksi Pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu. b. Fremitus tokal menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit. c. Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis- Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung. d. Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan. 3) Sistem Kardiovaskuler a. Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. b. Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis. c. Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri. d. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah. 4) Sistem pencernaan a. Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa. b. Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35kali per menit. c. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba. d. Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor). 5) Sistem Neurologis a. Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah compos mentis atau somnolen atau comma. b. Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya. c. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. 6) Sistem muskuloskeletal a. Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial. b. Palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refiltime. c. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan. 7) Sistem Integumen a. Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O2. b. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang. 1.3.2 Diagnosa Keperawatan 1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan adanya hipersekresi secret/mukus 2. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura 3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai 02 yang kurang 4. Gangguan rasa nyaman/Nyeri dada berhubungan dengan proses peradangan pada rongga pleura 5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai 02 dengan kebutuhan atau kelemahan. 6. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh 1.3.3 Intervensi Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya secret/mukus Tujuan: bersihan jalan nafas efektif Kriteria hasil: secret bisa keluar, ronkhi (-), RR 16-20 x /menit Intervensi Rasional 1. Kaji fungsi paru, adanya bunyi 1. Penurunan bunyi napas mungkin napoas tambahan, perubahan menandakan atelektasis, ronchi, irama dan kedalaman, wheezing menunjukkan adanya penggunaan otot-otot aksesori akumulasi sekret, dan ketidakmampuan untuk membersihkan jalan napas menyebabkan penggunaan otot aksesori dan peningkatan usaha bernapas 2. Atur posisi semi fowler 2. Memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan. Ventilasi maksimal dapat membuka area atelektasis, mempermudah pengaliran sekret keluar 3. Menganjurkan pasien untuk 3. Untuk mengencerkan secret banyak minum terutama air sehingga mudah dikeluarkan hangat 4. Mengajarkan napas dalam dan 4. Memenuhi kebutuhan O2 dan batuk efektif mobilisasi secret 5. Pertahankan intake cairan 2500 5. Intake cairan mengurangi ml/hari penimbunan sekret, memudahkan pembersihan 6. Kolaborasi pemberian oksigen 6. Mencegah mukosa membran lembab kering, mengurangi sekret
2. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura. Tujuan: Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal Kriteria hasil: Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal, pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi napas terdengar jelas. Intervensi Rasional 1. Mengidentifikasi faktor penyebab 1 Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis efusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat 2. Mengkaji kualitas, frekuensi dan 2 Dengan mengkaji kualitas, kedalaman pernafasan, laporkan frekuensi dan kedalaman setiap perubahan yang terjadi. pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien 3. Membaringkan pasien dalam 3 Penurunan diafragma memperluas posisi yang nyaman, dalam posisi daerah dada sehingga ekspansi duduk, dengan kepala tempat tidur paru bisa maksimal ditinggikan 60–90 derajat 4. Mengobservasi tanda-tanda vital 4 Peningkatan RR dan tachcardi (suhu, nadi, tekanan darah, RR merupakan indikasi adanya dan respon pasien) penurunan fungsi paru 5. Melakukan auskultasi suara napas 5 Auskultasi dapat menentukan tiap 2-4 jam kelainan suara nafas pada bagian paru-paru 6. Membantu dan mengajarkan 6 Menekan daerah yang nyeri ketika pasien untuk batuk dan nafas batuk atau nafas dalam. Penekanan dalam yang efektif otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif 7. Melakukan kolaborasi dengan tim 7 Pemberian oksigen dapat medis lain untuk pemberian O2 menurunkan beban pernafasan dan dan obat-obatan serta foto thorax mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan suplai O2 yang kurang
Tujuan: Pasien mampu menunjukkan perbaikan oksigenasi Kriteria hasil: Gas arteri dalam batas normal, warna kulit, perifer membaik, bunyi nafas bersih, tidak batuk Intervensi Rasional 1. Kaji adanya dyspnea, penuruna 1. Tuberkulosis pulmonal dapat suara nafas, bunyi nafas menyebabkan efek yang luas, tambahan, peningkatan usaha termasuk penimbunan cairan di untuk bernafas, ekspansi dada pleura sehingga menghasilkan yang terbatas, kelelahan gejala distres pernapasan 2. Evaluasi perubahan kesadaran, 2. Akumulasi sekret yang berlebihan perhatikan adanya cyanosis, dan dapat mengganggu oksigenasi perubahan warna kulit, membran organ dan jaringan vital mukosa dan clubbing finger 3. Ajarkan bernapas melalui mulut 3. Menciptakan usaha untuk saat ekshalasi melawan outflow udara, mencegah kolaps karena jalan napas yang sempit, membantu doistribusi udara dan menurunkan napas yang pendek 4. Tingkatkan bedrest/ pengurangi 4. Mengurangi konsumsi oksigen aktifitas selama periode bernapas dan menurunkan gejala sesak napas 5. Monitor ABGs 5. Penurunan tekanan gas oksigen (PaO2) dan saturasi atau peningkatan PaCO2 menunjukkan kebutuhan untuk perubahan terapetik 6. Kolaborasi suplemen oksigen 6. Mengoreksi hypoxemia yang meyebabkan terjadinya penurunan sekunder ventilasi dan berkurangnya permukaan alveolar.
4. Gangguan rasa nyaman/ nyeri dada berhubungan dengan proses peradangan
pada rongga pleura Tujuan: Nyeri hilang atau berkurang Kriteria hasil: Pasien mengatakan nyeri berkurang atau dapat dikontrol, pasien tampak tenang Intervensi Rasional 1. Mengkaji terhadap adanya nyeri, 1. Untuk mengetahui nyeri yang skala dan intensitas nyeri dialami pasien sehingga dapat mengambil intervensi yang cepat dan tepat 2. Mengajarkan pada klien tentang 2. Tehnik distraksi dan relaksasi manajemen nyeri dengan distraksi efektif untuk mengurangi rasa dan relaksasi nyeri 3. Mengamankan selang dada untuk 3. Memberikan kenyamanan pada membatasi gerakan dan pasien dan mencegah infeksi menghindari iritasi akibat timbulnya iritasi 4. Memberikan analgetik sesuai 4. Mengurangi rasa nyeri indikasi
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2
dengan kebutuhan Tujuan: Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin Kriteria hasil: Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan bersemangat, personel hygiene pasien cukup. Intervensi Rasional 1. Mengevaluasi respon pasien saat 1. Mengetahui sejauh mana beraktivitas, catat keluhan dan kemampuan pasien dalam tingkat aktivitas serta adanya melakukan aktivitas perubahan tanda-tanda vital 2. Membantu pasien memenuhi 2. Memacu pasien untuk berlatih kebutuhannya secara aktif dan mandiri 3. Melibatkan keluarga dalam 3. Kelemahan suatu tanda pasien perawatan pasien belum mampu beraktivitas secara penuh 4. Memotivasi dan awasi pasien 4. Aktivitas yang teratur dan bertahap untuk melakukan aktivitas secara akan membantu mengembalikan bertahan pasien pada kondisi normal 1.3.4 Implementasi Keperawatan Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan. 4) Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah langkah final dari proses keperawatan, yaitu suatu metode sistematik untuk mengorganisasi dan memberikan asuhan keperawatan (Potter dan Perry, 2005). Evaluasi juga adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai, melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selam tahap pengakajian, analisa, perencanaan, dan pelaksanaan tindakan. REFERENSI Herdman, T. Heather. (2012). “Diagnosa Keperawatan”. Jakarta: EGC. Muttaqin, Arif. (2008). “Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan”. Jakarta: salemba medika. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). “Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah”. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2002). “Buku Ajar Keperawtan Medikal Bedah”. Jakarta: EGC. Suyono, Slamet. 2001. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II”. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.