Anda di halaman 1dari 4

Dinamika Hubungan Muslim dan Kristen di Ambon, Indonesia Timur

Diskusi ini akan membahas tentang hubungan antara Muslim dan Kristen di kepulauan
Ambon dari periode pra-kolonial hingga periode revolusioner akhir 1940-an (sesaat sebelum
kemerdekaan nasional) dan pemahaman tentang dinamika hubungan Muslim dan Kristen
dibawah kekuasaan rezim yang berbeda.
Poin-poin yang dibahas anatar lain:
1. hubungan Awal antara Muslim dan Kristen di Kepulauan Ambon
2. Dinamika Pela di Masa Pra-Kolonial dan Kolonial
3. Sentralisasi Pembangunan dan Politik Orde Baru
4. Konsekuensi Pembangunan Orde Baru di Ambon
5. Ambon di Masa Transisi Pasca Soeharto
6. Konflik dan Pemisahan Sosial Saat Ini

1. hubungan Awal antara Muslim dan Kristen di Kepulauan Ambon

Pada pertengahan abad ke-15, Islam telah berakar di Maluku melalui pengaruh para
pedagang Muslim. Daerah Islam pertama adalah Leihitu dan Hatuhaha di kerajaan
Temate dan Tidore, di mana penduduk setempat memiliki alasan ekonomi dan politik
untuk bekerja sama. Islamisasi akan ditantang oleh Kristenisasi masyarakat Ambon oleh
Portugis selama lebih dari sembilan puluh tahun, dari tahun 1512 hingga 1605. Portugis
membawa agama Katolik terlebih dahulu ke Maluku Utara, tetapi menghadapi tantangan
yang signifikan dari umat Islam.
Kemudian, Ketika Portugis pertama kali tiba di Maluku, Raja Muslim menyambut
mereka dan perdagangan yang mereka bawa dalam cengkeh dan komoditas pertanian
lainnya. Namun, setelah itu, karena perbedaan atas isu-isu ekonomi dan agama, ada
bentrokan antara Muslim Maluku dan Portugis dan kemudian Kristen Belanda-cum-
Maluku.
Stelah itu datanglah Pemerintah kolonial Belanda dengan membawa agama Protestan,
yang juga memiliki pengaruh di bagian tengah Maluku, terutama karena kebijakan
Belanda lebih menyukai orang Kristen dalam memperoleh akses ke pendidikan dan
administrasi yang lebih rendah posisi dalam pemerintahan.

2. Dinamika Pela di Masa Pra-Kolonial dan Kolonial

Populasi pulau-pulau Ambon telah dipisahkan sejak periode pra-kolonial. Seperti yang
dinyatakan sebelumnya, Muslim Ternate dan Tidore telah berhasil mengislamkan semenanjung
Leihitu. Namun, di wilayah Leitimor (yang kemudian menjadi kota Ambon), penduduk aslinya
adalah penganut Hindu-Hindu. Portugis mengubah Hindu Leitimor menjadi Katolik dan
Belanda mengubah sisa Hindu dan sejumlah kecil Muslim dan Katolik menjadi Protestan. Di
sinilah akar awal pemisahan di pulau-pulau Ambon. Belanda memperkuat pemisahan ini
dengan kebijakan diskriminatif mereka terhadap kelompok-kelompok tertentu di pulau itu.
Tradisi Pela yang paling awal disebutkan secara singkat dalam Hikayat Tanah Hitu karya
Ridjali, yang dianggap oleh Bartels (1978) sebagai sumber tertulis tertua yang membahas
aliansi ini. Pada 1495, ada ikatan yang tidak bisa dipecahkan antara Raja Ternate, Zainul
abedien, dan Pati Tuban, penguasa kerajaan Hitu. Mereka menyatakan dengan sumpah
seremonial bahwa mereka bersama dengan wilayah mereka akan memiliki persahabatan
dan aliansi abadi.

3. Sentralisasi Pembangunan dan Politik Orde Baru


Selama masa Orde Baru, tradisi Pela Gandong hanyalah simbol kerukunan beragama di
kepulauan Ambon. Itu dipromosikan dalam brosur pariwisata oleh pemerintah nasional
yang bangga akan keharmonisan antara orang Indonesia yang multi-etnis dan multi-
agama. Namun, lebih banyak transmigran datang ke Maluku di bawah sponsor
pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan, persatuan nasional dan pertahanan
dan keamanan nasional.

Kemudian, Budaya orang Ambon juga secara drastis diubah oleh sentralisasi
pemerintahan Orde Baru. Kepemimpinan lokal tradisional dirancang ulang di sepanjang
garis Jawa berdasarkan konsep lurah (kepala desa).

4. Konsekuensi Pembangunan Orde Baru di Ambon

Sentralisasi yang terjadi di bawah pengembangan Orde Baru di desa Soya Atas
(sebagaimana diuraikan dalam studi Pariela (1996)) adalah ilustrasi yang baik tentang
dampak pembangunan pemerintah terhadap adat (budaya lokal).
Keterasingan yang dialami oleh masyarakat adat Soya Atas sebagai akibat dari
perkembangan Orde Baru sejajar dengan di bagian lain Ambon.

5. Ambon di Masa Transisi Pasca Soeharto


Perubahan dinamika politik nasional setelah jatuhnya Soeharto dan tekanan politik pada
angkatan bersenjata Indonesia (TNI) untuk kembali ke barak juga mempengaruhi situasi
di Ambon.
Faktor selanjutnya adalah ketidakstabilan politik, yang terjadi setelah rezim berubah dari
Soeharto ke BJ. Habibie. Jatuhnya Soeharto menyebabkan reformasi luas dalam struktur
politik nasional. Elit nasional baru, yang telah muncul memiliki pendekatan 'reformasi'
terhadap kebijakan nasional dan lebih condong ke arah akomodasi politis tuntutan
otonomi daerah.
Dampak Krisis Keuangan Asia pada masyarakat Ambon sebenarnya tidak separah yang
dialami komunitas lain di Jawa. Ini karena harga cengkeh meningkat selama periode ini.
Lebih jauh, selama konflik identitas agama, etnis dan politik berinteraksi dengan
berbagai tingkatan. Pada tahap awal konflik, isu etnisitas mendominasi politik lokal. Ini
mempengaruhi pendekatan politik tidak hanya pada periode konflik, tetapi juga dalam
tiga tahun setelah konflik.
6. Konflik dan Pemisahan Sosial Saat Ini
Transisi Indonesia dari periode Orde Baru ke Reformasi berubah menjadi negara
Republik Indonesia yang kacau. Konflik etnis dan agama terjadi di Maluku, Maluku Utara,
Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Maluku, Maluku Utara, dan
Sulawesi Tengah bergeser dari konflik etnis ke agama.
Orang Muslim lebih suka (merasa aman) untuk tinggal di desa-desa Muslim dan orang-
orang Kristen tinggal di desa-desa Kristen. Dalam jangka panjang, pemisahan telah
mengurangi proses rekonsiliasi. Muslim dan Kristen hanya bertemu satu sama lain di tempat-
tempat umum seperti kantor pemerintah dan pasar. Pemerintah dan LSM lokal berupaya
memperkuat kemitraan dan kerja sama antara Muslim dan Kristen dalam beberapa program.
Namun, sentimen terhadap kelompok lain masih berlanjut di posisi pemerintah dan pemilihan
lokal.
Conclusion
Pemisahan jangka panjang komunitas Muslim dan Kristen ada di kepulauan Ambon
bahkan sebelum pemukiman Eropa. Misalnya, ada pemisahan antara orang Ambon yang
terislamisasi di semenanjung Leihitu dan komunitas Leitimor, yang pada waktu itu menganut
animisme. Komunitas yang terakhir kemudian menjadi Kristen selama periode Portugis, dan
khususnya selama periode Belanda. Kebijakan diskriminatif Belanda merugikan Muslim dan
disukai orang Kristen Ambon secara ekonomi dan dalam hal kesempatan pendidikan,
memperluas kesenjangan pemisahan.
Seharusnya tradisi Pela adalah instrumen penting, yang dapat digunakan untuk
menyelaraskan kedua komunitas agama. Namun, tradisi Pela pada awalnya tidak dimaksudkan
untuk mendamaikan agama, tetapi hanya menjadi dasar aliansi di masa perang dan dasar untuk
kerja sama ekonomi antara dua atau lebih negeris.
Namun, Orde Baru menggunakannya sebagai simbol keharmonisan antara Muslim dan
Kristen di kepulauan Ambon. Dengan demikian, itu adalah dasar yang rapuh untuk
membangun hubungan yang kuat.
Dalam dekade terakhir Orde Baru, krisis keuangan Asia dan kesulitan dalam ekonomi
lokal berdampak pada kota Ambon, mengakibatkan pecahnya kerusuhan anti-Kristen di luar
Ambon. Ini menciptakan perlawanan di kota Ambon di antara orang-orang Kristen terhadap
Muslim dan melawan pemerintah pusat. Perlawanan ini tumbuh pada periode kemudian rezim
Soeharto dan meletus menjadi kekerasan setelah rezim Soeharto jatuh.

Anda mungkin juga menyukai