Anda di halaman 1dari 6

Petunjuk Sitasi: Hapsari, D., Liquiddanu, E., & Pujiyanto, E. (2017).

Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri


Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil Shuttecock Jempol). Prosiding SNTI dan SATELIT 2017 (pp. H150-155).
Malang: Jurusan Teknik Industri Universitas Brawijaya.

Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri


Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil
Shuttecock Jempol)
Dhila Hapsari(1), Eko Liquiddanu(2), Eko Pujiyanto(3)
(1),(2),(3)
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta, 57126.
(1)
dhilahapsari17@gmail.com, (2)liquiddanu@gmail.com, (3)ekopujiyanto@ft.uns.ac.id

ABSTRAK
Daya saing industri kecil (IK) shuttlecock di Surakarta masih kalah bersaing dengan
industri sedang dalam segi kualitas produk. Produk yang diproduksi IK tersebut hanya
memenuhi beberapa persyaratan yang dicantumkan oleh BWF, sehingga harga jualnya
lebih murah dibandingkan produk nasional. Untuk memasuki pasar nasional industri
kecil dituntut untuk menyusun kembali strategi bisnisnya. Value chain merupakan suatu
strategi untuk mencapai keuntungan dengan cara mengevaluasi dan memanfaatkan setiap
aktivitas dalam perusahaan untuk mencapai hasil yang terbaik. Tujuan dari artikel ini
adalah untuk meningkatkan kualitas produk agar dapat menembus pasar nasional
dengan menganalisa kegiatan value chain dan value added pada industri shuttlecock
Jempol. Hasil dari artikel ini adalah terdapat tiga aktor dalam rantai nilai industri
shuttlecock Jempol yaitu produksi pemotongan, produksi assembly dan produksi
finishing. Didapatkan hasil perhitungan distribusi nilai tambah shuttlecock diperoleh
tempat pemotongan ayam memiliki distribusi nilai tambah sebesar Rp 11,520 atau
52.13%, industri shuttlecock sebesar Rp 5,580 atau 25.62% dan toko olahraga sebesar
Rp 5,000 atau 22.62%.

Kata kunci— Nilai Tambah, Rantai Nilai, Shuttlecock

I. PENDAHULUAN
Dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional, salah satu sektor yang berperan
dalam adalah sektor industri. Pada era globalisasi sektor industri yang didukung oleh sektor
pertanian yang tangguh, industri kecil dan kerajinan menjadi perhatian dari segala pihak.
Masyarakat desa biasanya mampu dengan prakarsa dan dengan kekuatan sendiri menumbuhkan
industri kecil, dimana industri kecil di Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk
berkembang, sehingga pemerintah tinggal membantu dengan fasilitas-fasilitas dan
kemudahan-kemudahan serta perlindungan yang diperlukan. (Dumairy, 1997).
Peraturan Daerah pasal 6 ayat 1c tahun 2012 menyebutkan bahwa memperkuat kota agar
dapat berfungsi dan berpotensi sebagai pusat kegiatan industri kreatif dan jasa skala nasional.
Salah satu industri kreatif yang berpotensi di Surakarta adalah industri shuttlecock. Daya saing
industri kecil shuttlecock masih kalah bersaing dengan industri sedang dalam segi kualitas
produk. Produk yang diproduksi oleh pengrajin lokal dipasaran hanya memenuhi beberapa
persyaratan yang dicantumkan oleh BWF, sehingga harga jual produk lokal lebih murah
dibandingkan produk nasional.
Spesifikasi shuttlecock yang ditetapkan oleh Badminton World Federation (BWF) adalah
sebagai berikut:
1. Jumlah bulu pada shuttlecock adalah 16 buah bulu.
2. Semua bulu harus memiliki panjang yang sama yaitu antara 62 mm dan 70 mm.
3. Ujung dari bulu-bulu membentuk lingkaran dengan panjang diameter antara 58 mm dan 68
mm.
4. Semua bulu harus tergabung menjadi satu kesatuan yang kuat.
5. Pangkal shuttlecock yang berbentuk setengah bola harus memiliki panjang diameter antara 25
mm dan 28 mm.
6. Berat shuttlecock antara 4.47 gram dan 5.50 gram.

SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu


H-149
Hapsari, Liquiddanu, Pujiyanto

Menurut Porker (1994), diperlukan strategi bersaing yang baik pula agar perusahaan dapat
meningkatkan daya saing. Salah satu strategi yang dapat membantu permasalahan ini adalah
dengan menganalisa value chain. Value chain merupakan suatu strategi untuk mencapai
keuntungan dengan cara mengevaluasi dan memanfaatkan setiap aktivitas dalam perusahaan
untuk mencapai hasil yang terbaik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan
kualitas produk agar dapat menembus pasar nasional dengan menganalisa kegiatan value chain
dan value added pada industri shuttlecock Jempol. Metodologi dalam penelitian ini adalah studi
pustaka dan studi lapangan. Dari studi lapangan lalu dilakukan analisis rantai nilai, kemudian
dilakukan perhitungan nilai tambah pada setiap aktivitas perusahaan dan dilakukan benchmarking
dengan industri yang telah memasuki pasar nasional.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN


Industri shuttlecock lokal yang dijadikan subjek peta rantai nilai adalah industri shuttlecock
JEMPOL yang berlokasi di Pringgolayan RT 01 RW 10 Kelurahan Tipes Kecamatan Serengan.
Industri ini mulai berdiri pada tahun 1992 dan saat ini dikelola oleh Bapak Galuh. Industri ini
memproduksi shuttlecock dengan sistem make to order. Industri shuttlecock ini memproduksi 2
merk utama yaitu Jempol dan Metro, dimana shuttlecock Metro yang akan dijadikan objek
penelitian. Analisa rantai nilai yang dikembangkan Porter (1994) merupakan suatu alat yang
berguna untuk mengidentifikasi aktivitas-aktivitas potensial yang menciptakan nilai (value-
creating potensial). Analisis rantai nilai dilakukan dengan cara menguraikan aktivitas-aktivitas
perusahaan dapat dibagi menjadi sembilan kegiatan yang bernilai (value creation) yaitu lima
kegiatan inti dan empat kegiatan pendukung.
Kegiatan-kegiatan inti dalam suatu perusahaan terdiri dari kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan input dan output barang dan jasa yang ada dalam perusahaan. Kegiatan inti
perusahaan terdiri dari logistik ke dalam (inbound logistic), operasi (operation), logistik ke luar
(outbound logistic), pemasaran dan penjualan (marketing & sales), dan pelayanan (service).
Aktivitas-aktivitas inti pada industri shuttlecock kemudian dianalisis seperti yang ditunjukkan
pada tabel 1.

Tabel 1 Aktivitas Inti


Aktivitas
Aktivitas Perusahaan Keterangan
Logistik ke Bahan baku Bahan baku yang digunakan berupa: bulu ayam yang
dalam dipasok dari Jakarta, Spon yang dipasok dari Surabaya
(impor dari negara Taiwan)

Gudang bahan Terdapat gudang bahan baku


baku
Pengendalian Jumlah pemesanan bahan baku disesuaikan dengan jumlah
Persediaan permintaan.
Operasi Proses operasi 1. Menyeleksi bulu berdasarkan kualitas bulu yang
terbagi dalam kualitas I dan II
2. Bulu dipotong pada ujung bulunya agar berbentuk
setengah melingkar atau melengkung, selanjutnya diseset
atau diporem (ujung bulu melengkung)
3. Bulu dicuci menggunakan bahan deterjen dengan
dicampur pemutih
4. Menjemur bulu hingga kering
5. Menyeleksi bulu berdasarkan tulang bulu, dipisah
antara bulu bagian kanan dan bagian kiri sehingga satu
produk terdiri dari jenis bulu yang sama untuk menjaga
keseimbangan shuttlecock bagus

SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu


H-150
Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil Shuttecock Jempol)

Operasi Proses operasi 6. Melubangi spon / dop sebanyak 16 lubang


7. Meluruskan bulu meluruskan dengan alat lampu
teplok
8. Penancapan bulu pada spon/dop lubang-lubang
yang telah ada, yaitu sebanyak 16 batang
9. Menali bulu dengan cara mengepres bulu pada alat
berbentuk kerucut dan batang bulu ditali untuk
memperkokoh posisi bulu
10. Menyetel Shuttlecock
11. Mengepres dan mengelem
12. Menjemur untuk mengeringkan lem
13. Memasang label
14. Memasukkan bola bulu tangkis ke dalam slop dos
15. Menyegel slop dos dengan menggunakan mika
plastik
16. Mengemas slop dos ke dalam packing karton.

Pengujian Pengujian produk dilakukan pada proses produksi


Produk menggunakan alat supit.
Logistik ke Gudang barang Terdapat gudang barang jadi
luar jadi
Pengiriman Pengiriman barang dilakukan menggunakan kendaraan
barang pribadi dan paket kereta api apabila daerah pengiriman
diluar provinsi
Pemasaran dan Daerah Daerah pemasaran yaitu Bandung, Yogyakarta, dan Solo
Penjualan pemasaran
Promosi Promosi produk hanya dilakukan diawal usaha berdiri

Kuota penjualan Kuota penjualan hanya dibatasi oleh kemampuan produksi

Penetapan harga Penetapan harga jual produk disesuaikan dengan wilayah


jual produk pengiriman serta kualitas barang yang digunakan

Pelayanan Pelayanan Produk yang diproduksi mengikuti permintaan kualitas


penyesuaian bahan baku yang digunakan (bulu ayam)
produk
Sumber: Data primer 2017 (diolah)

Kegiatan-kegiatan pendukung di dalam suatu perusahaan merupakan kegiatan memfasilitasi


proses memproduksi suatu produk. Kegiatan pendukung terdiri dari procurement, manajemen
sumber daya manusia, pengembangan teknologi dan infrastruktur perusahaan seperti yang
dijabarkan pada tabel 2.

Tabel 2 Aktivitas Pendukung


Aktivitas Variabel Keterangan
Procurement Pemasok Terdapat beberapa alternatif pemasok bulu ayam

Bahan Baku Pembelian bahan baku dilakukan rata-rata dalam


jangka waktu 1 bulan
Manajemen dan Prosedur perekrutan Tenaga kerja umumnya berasal dari masyarakat
sumber daya SDM sekitar tempat usaha dengan sistem borongan
manusia
Pelatihan SDM Tenaga kerja baru akan diberikan pelatihan dan
pengawan selama 1 minggu

SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu


H-151
Hapsari, Liquiddanu, Pujiyanto

Pengembangan Pengembangan Tidak ada pengembangan teknologi yang dilakukan


teknologi teknologi (inovasi) karena tidak adanya alokasi dana khusus untuk
pengembangan teknologi

Infrastruktur Susunan Semua kegiatan usaha ditangani oleh pemilik usaha


Perusahaan manajemen
Sistem keuangan Tidak terdapat pembukuan keuangan
Sumber: data primer 2017 (diolah)

Didalam rantai nilai shuttlecock terdapat 3 aktor yang berperan, yaitu tempat pemotongan
ayam dan pedagang bahan baku penolong, industri kecil shuttlecock terdiri 3 tempat aktor, yaitu
produksi 1 yang merupakan tempat yang melakukan pemotongan bulu, produksi 2 yang
merupakan tempat untuk melakukan perakitan dan produksi 3 yaitu tempat finishing, dimana
tempat produksi 3 merupakan rumah pemilik usaha yang digunakan sebagai tempat produksi
sedangkan produksi 1 dan produksi 2 merupakan rumah pekerja borongan yang membawa bahan
dari produksi 3 untuk dikerjakan di rumah sendiri, dan toko olahraga. Aktor rantai nilai dapat
dilihat di Gambar 1 berikut ini:

Gambar 1 Aktor Rantai Nilai Shuttlecock

Perhitungan nilai tambah pada setiap aktor yang terlibat dalam rantai nilai industri shuttlecock
dilakukan untuk mengetahui distribusi nilai tambah setiap aktor. Distribusi nilai tambah industri
shuttlecock masih lebih kecil dari pemasok bulu ayam seperti yang terlihat pada tabel 3.

Tabel 3 Distribusi Nilai Tambah Industri Shuttlecock


Nilai Output Nilai Input Distribusi Nilai Tambah
Aktor (Rp) (Rp) Rp %
Pemasok Bulu Ayam 11520 0 11520 52.13
Industri Shuttlecock 47000 41420 5580 25.25
Toko Olahraga 52000 47000 5000 22.62
Total 110520 88420 22100 100.00
Sumber: Data primer 2017 (diolah)

Perhitungan nilai tambah pada industri shuttlecock, dimana pekerja produksi 1 dan 2
merupakan pekerja borongan yang mengambil bahan baku serta dibayar oleh produksi 3 sebesar
Rp 8000/slop sedangkan biaya produksi 3 mempertimbangkan biaya bahan baku karena
pengadaan bahan baku ditanggung oleh produksi 3. Sehingga nilai tambah dihitung dengan harga
jual 1 slop – biaya produksi 1 slop (biaya tenaga kerja produksi 1 dan 2 ditambah biaya bahan
baku produksi 3). Biaya produksi untuk menghasilkan 1 slop shuttlecock ditunjukkan pada tabel
4.

SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu


H-152
Analisis Rantai Nilai dan Nilai Tambah Industri Shuttlecock (Studi Kasus: Industri Kecil Shuttecock Jempol)

Tabel 4 Nilai Tambah Industri Shuttlecock


Jenis Biaya Biaya Biaya Total Nilai Tambah
Tenaga Kerja Rp 16,000 34.04%
Bahan baku Rp 25,420 54.09%
Bulu ayam Rp 11,520
Spon / Dop Rp 5,200
Tali Rp 550
Lem Rp 1,750
Pita Rp 600
Kemasan Rp 800
Listrik Rp 5,000
Biaya Produksi Rp 41,420 88.13%
Nilai Jual Rp 47,000
Profit Rp 5,580 11.87%
Sumber: Data primer 2017 (diolah)

Kualitas shuttlecock yang mampu menembus pasar nasional merupakan shuttlecock yang
telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh BWF, sehingga untuk dapat bersaing
dengan produk tersebut industri shuttlecock harus memenuhi persyaratan BWF. Kualitas
shuttlecock dipengaruhi oleh semua aktor yang terlibat dalam rantai nilai shuttlecock, sehingga
untuk memenuhi hal tersebut dilakukan perbaikan pada setiap aktor.
Tempat pemotongan ayam memasok bulu ayam kering dengan harga Rp 60/ bulu. Bulu diikat
dengan tali kemudian dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke industri shuttlecock. Apabila
dalam mengikat bulu terlalu kencang maka dapat merusak tulang bulu yang berakibat
menurunkan kualitas bulu.
Pada industri shuttlecock dilakukan benchmarking dengan industri shuttlecock yang telah
memasuki pasar nasional, dari hasil benchmarking didapatkan beberapa perbedaan pada beberapa
aktivitas perusahaan, yaitu pada aktivitas logistik kedalam dengan indikator pengadaan bahan
baku UD. Trisakti melakukan investasi bahan baku berupa bulu angsa untuk dijual kembali dan
disimpan untuk mengantisipasi fluktuasi harga bulu dan kelangkaan bulu, sedangkan shuttlecock
Jempol melakukan pembelian bulu berdasarkan jumlah pesanan shuttlecock. Pada indikator bahan
baku perbedaan yang terjadi yaitu bahan baku yang digunakan pada UD. Trisakti adalah bulu
angsa yang terdiri dari kualitas A atau bulu sayap dengan kualitas 1, 2, dan 3 dan kualitas B atau
bulu ekor yang terdiri dari kualitas 1, 2, dan 3 sedangkan shuttlecock Jempol menggunakan bahan
baku bulu ayam dengan kualitas 1 dan 2. Pada aktivitas operasi, UD. Trisakti menggunakan alat
pelubang dop yang mampu melubangi 6 spon/dop, sedangkan shuttlecock Jempol alat pelubang
dop hanya mampu melubangi 1 spon/dop. Untuk alat pemotong bulu, UD.Trisakti menggunakan
alat dengan pengoperasian alat menggunakan kaki dan mampu memotong bulu untuk shuttlecock
bulu runcing (standar International Badminton Federation (IBF) yang menetapkan bentuk ujung
bulu shuttlecock adalah runcing), sedangkan shuttlecock Jempol pengoperasian alat menggunakan
tangan dan berbentuk bulat. Bentuk ujung bulu dapat mempengaruhi laju shuttlecock, jika ujung
bulu bulat akan meluncur lurus sedangkan ujung bulu runcing dapat mengalami 2 macam gerakan
yaitu gerak lurus dan berotasi atau berputar. Pada indikator pengujian prosuk, UD.Trisakti
memiliki lapangan uji coba untuk shuttlecock yang telah selesai diproses, sebelum dimasukkan
kedalam kemasan shuttlecock akan diuji satu per satu untuk mengetahui apakah laju dan stabilitas
shuttlecock baik atau tidak, sedangkan shuttlecock Jempol tidak melakukan pengujian diakhir
produksi karena tidak memiliki lapangan uji coba sendiri. Pada setiap pengujian produk UD.
Trisakti melakukan pencatatan kecacatan produk yang terjadi kemudian dilakukan rework pada
produk cacat, sedangkan shuttlecock Jempol tidak ada pencatatan kecacatan produk karena
inspeksi hanya dilakukan pada kerapian dan kekencangan benang.
Pada aktivitas logistik ke luar, UD. Trisakti menggunakan agen distributor untuk
mendistribusikan produknya ke daerah pemasaran, sedangkan shuttlecock Jempol menggunakan
jasa pengiriman untuk daerah Bandung dan kendaraan pribadi untuk daerah di sekitar Kota
Surakarta. Pada aktivitas pengembangan teknologi, UD. Trisakti mencoba mengembangkan alat
produksi yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi, sedangkan shuttlecock Jempol tidak
mengembangkan teknologi karena tidak adanya dana yang dialokasikan untuk pengembangan alat

SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu


H-153
Hapsari, Liquiddanu, Pujiyanto

produksi. Pada aktivitas infrastruktur perusahaan, UD. Trisakti telah memiliki susunan
manajemen sederhana, sedangkan shuttlecock Jempol tidak memiliki susunan manajemen karena
pemilik shuttlecock Jempol yang mengawasi dan menangani aktivitas industri. Untuk pembukuan
keuangan UD. Trisakti sudah melakukan pembukuan seperti pencatatan pengadaan bahan baku,
proses produksi, dan penjualan, sedangkan shuttlecock Jempol tidak ada pembukuan keuangan
dimana uang pribadi bercampur dengan uang industri. Dari hasil benchmarking dapat dilakukan
beberapa perbaikan seperti pencatatan keuangan sederhana, dan pengujian produk diakhir
produksi.

III. PENUTUP
Peningkatan kualitas produk shuttlecock dilakukan dengan pendekatan rantai nilai. Untuk
dapat bersaing dengan produk nasional industri shuttlecock harus memenuhi persyaratan BWF,
sehingga diperlukan perbaikan berdasarkan hasil benchmarking. Dari hasil benchmarking dapat
dilakukan beberapa perbaikan seperti pencatatan keuangan sederhana, pengujian produk diakhir
produksi dan pencatatan kualitas hasil produksi untuk upaya perbaikan proses produksi. Hasil
perhitungan distribusi nilai tambah shuttlecock diperoleh tempat pemotongan ayam memiliki
distribusi nilai tambah sebesar Rp 11,520 atau 52.13%, industri shuttlecock sebesar Rp 5,580 atau
25.62% dan toko olahraga sebesar Rp 5,000 atau 22.62%. Adanya penambahan dan penggantian
alat produksi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, mempercepat proses produksi dan
meningkatkan kualitas produk (bulu runcing) sehingga nilai tambah pada industri dapat
meningkat.

DAFTAR PUSTAKA
BWF Equipment Certification Programme Shuttlecock,
http://system.bwf.website/documents/folder_1_81/folder_1_140/folder_1_165/1%20Shuttlecocks%20
Overview%20-%20updated.pdf (diakses 31 Oktober 2016)
Dumairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta : Erlangga.
Klasifikasi Shuttlecock Berdasarkan Bentuk Potongan Bulu diakses dari http://shuttlecock.info/klasifikasi-
shuttlecock-berdasarkan-bentuk-potongan-bulu/
Kumar, Dilip & Rajeev P .V, 2016, “Value Chain: A Conceptual Framework”
Mangifera, Liana, 2015, “Analisis Rantai Nilai (Value Chain) pada Produk Batik Tulis di Surakarta”
Nurhayati, Nunung; Musa Hubels & Sapta Raharja, 2012, Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha
Industri Kecil Tahu di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Peraturan Walikota Surakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta
Tahun 2011 - 2031
Porter, M.E, 1985, Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior Performance. New York: The
Free Press.
Sultan, Abid & Dr. Saurabh, 2013, “Achieving Sustainable Development Through Value Chain”
Tuyet, Nguyen Thi Bach, 2016, “Recommendations Enhanging The Added Value Chain of The Aquaculture
Enterprises in Vietnam”

SNTI dan SATELIT, 4-6 Oktober 2017, Batu


H-154

Anda mungkin juga menyukai