ABSTRAK
Daya saing industri kecil (IK) shuttlecock di Surakarta masih kalah bersaing dengan
industri sedang dalam segi kualitas produk. Produk yang diproduksi IK tersebut hanya
memenuhi beberapa persyaratan yang dicantumkan oleh BWF, sehingga harga jualnya
lebih murah dibandingkan produk nasional. Untuk memasuki pasar nasional industri
kecil dituntut untuk menyusun kembali strategi bisnisnya. Value chain merupakan suatu
strategi untuk mencapai keuntungan dengan cara mengevaluasi dan memanfaatkan setiap
aktivitas dalam perusahaan untuk mencapai hasil yang terbaik. Tujuan dari artikel ini
adalah untuk meningkatkan kualitas produk agar dapat menembus pasar nasional
dengan menganalisa kegiatan value chain dan value added pada industri shuttlecock
Jempol. Hasil dari artikel ini adalah terdapat tiga aktor dalam rantai nilai industri
shuttlecock Jempol yaitu produksi pemotongan, produksi assembly dan produksi
finishing. Didapatkan hasil perhitungan distribusi nilai tambah shuttlecock diperoleh
tempat pemotongan ayam memiliki distribusi nilai tambah sebesar Rp 11,520 atau
52.13%, industri shuttlecock sebesar Rp 5,580 atau 25.62% dan toko olahraga sebesar
Rp 5,000 atau 22.62%.
I. PENDAHULUAN
Dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian nasional, salah satu sektor yang berperan
dalam adalah sektor industri. Pada era globalisasi sektor industri yang didukung oleh sektor
pertanian yang tangguh, industri kecil dan kerajinan menjadi perhatian dari segala pihak.
Masyarakat desa biasanya mampu dengan prakarsa dan dengan kekuatan sendiri menumbuhkan
industri kecil, dimana industri kecil di Indonesia mempunyai peluang yang besar untuk
berkembang, sehingga pemerintah tinggal membantu dengan fasilitas-fasilitas dan
kemudahan-kemudahan serta perlindungan yang diperlukan. (Dumairy, 1997).
Peraturan Daerah pasal 6 ayat 1c tahun 2012 menyebutkan bahwa memperkuat kota agar
dapat berfungsi dan berpotensi sebagai pusat kegiatan industri kreatif dan jasa skala nasional.
Salah satu industri kreatif yang berpotensi di Surakarta adalah industri shuttlecock. Daya saing
industri kecil shuttlecock masih kalah bersaing dengan industri sedang dalam segi kualitas
produk. Produk yang diproduksi oleh pengrajin lokal dipasaran hanya memenuhi beberapa
persyaratan yang dicantumkan oleh BWF, sehingga harga jual produk lokal lebih murah
dibandingkan produk nasional.
Spesifikasi shuttlecock yang ditetapkan oleh Badminton World Federation (BWF) adalah
sebagai berikut:
1. Jumlah bulu pada shuttlecock adalah 16 buah bulu.
2. Semua bulu harus memiliki panjang yang sama yaitu antara 62 mm dan 70 mm.
3. Ujung dari bulu-bulu membentuk lingkaran dengan panjang diameter antara 58 mm dan 68
mm.
4. Semua bulu harus tergabung menjadi satu kesatuan yang kuat.
5. Pangkal shuttlecock yang berbentuk setengah bola harus memiliki panjang diameter antara 25
mm dan 28 mm.
6. Berat shuttlecock antara 4.47 gram dan 5.50 gram.
Menurut Porker (1994), diperlukan strategi bersaing yang baik pula agar perusahaan dapat
meningkatkan daya saing. Salah satu strategi yang dapat membantu permasalahan ini adalah
dengan menganalisa value chain. Value chain merupakan suatu strategi untuk mencapai
keuntungan dengan cara mengevaluasi dan memanfaatkan setiap aktivitas dalam perusahaan
untuk mencapai hasil yang terbaik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan
kualitas produk agar dapat menembus pasar nasional dengan menganalisa kegiatan value chain
dan value added pada industri shuttlecock Jempol. Metodologi dalam penelitian ini adalah studi
pustaka dan studi lapangan. Dari studi lapangan lalu dilakukan analisis rantai nilai, kemudian
dilakukan perhitungan nilai tambah pada setiap aktivitas perusahaan dan dilakukan benchmarking
dengan industri yang telah memasuki pasar nasional.
Didalam rantai nilai shuttlecock terdapat 3 aktor yang berperan, yaitu tempat pemotongan
ayam dan pedagang bahan baku penolong, industri kecil shuttlecock terdiri 3 tempat aktor, yaitu
produksi 1 yang merupakan tempat yang melakukan pemotongan bulu, produksi 2 yang
merupakan tempat untuk melakukan perakitan dan produksi 3 yaitu tempat finishing, dimana
tempat produksi 3 merupakan rumah pemilik usaha yang digunakan sebagai tempat produksi
sedangkan produksi 1 dan produksi 2 merupakan rumah pekerja borongan yang membawa bahan
dari produksi 3 untuk dikerjakan di rumah sendiri, dan toko olahraga. Aktor rantai nilai dapat
dilihat di Gambar 1 berikut ini:
Perhitungan nilai tambah pada setiap aktor yang terlibat dalam rantai nilai industri shuttlecock
dilakukan untuk mengetahui distribusi nilai tambah setiap aktor. Distribusi nilai tambah industri
shuttlecock masih lebih kecil dari pemasok bulu ayam seperti yang terlihat pada tabel 3.
Perhitungan nilai tambah pada industri shuttlecock, dimana pekerja produksi 1 dan 2
merupakan pekerja borongan yang mengambil bahan baku serta dibayar oleh produksi 3 sebesar
Rp 8000/slop sedangkan biaya produksi 3 mempertimbangkan biaya bahan baku karena
pengadaan bahan baku ditanggung oleh produksi 3. Sehingga nilai tambah dihitung dengan harga
jual 1 slop – biaya produksi 1 slop (biaya tenaga kerja produksi 1 dan 2 ditambah biaya bahan
baku produksi 3). Biaya produksi untuk menghasilkan 1 slop shuttlecock ditunjukkan pada tabel
4.
Kualitas shuttlecock yang mampu menembus pasar nasional merupakan shuttlecock yang
telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh BWF, sehingga untuk dapat bersaing
dengan produk tersebut industri shuttlecock harus memenuhi persyaratan BWF. Kualitas
shuttlecock dipengaruhi oleh semua aktor yang terlibat dalam rantai nilai shuttlecock, sehingga
untuk memenuhi hal tersebut dilakukan perbaikan pada setiap aktor.
Tempat pemotongan ayam memasok bulu ayam kering dengan harga Rp 60/ bulu. Bulu diikat
dengan tali kemudian dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim ke industri shuttlecock. Apabila
dalam mengikat bulu terlalu kencang maka dapat merusak tulang bulu yang berakibat
menurunkan kualitas bulu.
Pada industri shuttlecock dilakukan benchmarking dengan industri shuttlecock yang telah
memasuki pasar nasional, dari hasil benchmarking didapatkan beberapa perbedaan pada beberapa
aktivitas perusahaan, yaitu pada aktivitas logistik kedalam dengan indikator pengadaan bahan
baku UD. Trisakti melakukan investasi bahan baku berupa bulu angsa untuk dijual kembali dan
disimpan untuk mengantisipasi fluktuasi harga bulu dan kelangkaan bulu, sedangkan shuttlecock
Jempol melakukan pembelian bulu berdasarkan jumlah pesanan shuttlecock. Pada indikator bahan
baku perbedaan yang terjadi yaitu bahan baku yang digunakan pada UD. Trisakti adalah bulu
angsa yang terdiri dari kualitas A atau bulu sayap dengan kualitas 1, 2, dan 3 dan kualitas B atau
bulu ekor yang terdiri dari kualitas 1, 2, dan 3 sedangkan shuttlecock Jempol menggunakan bahan
baku bulu ayam dengan kualitas 1 dan 2. Pada aktivitas operasi, UD. Trisakti menggunakan alat
pelubang dop yang mampu melubangi 6 spon/dop, sedangkan shuttlecock Jempol alat pelubang
dop hanya mampu melubangi 1 spon/dop. Untuk alat pemotong bulu, UD.Trisakti menggunakan
alat dengan pengoperasian alat menggunakan kaki dan mampu memotong bulu untuk shuttlecock
bulu runcing (standar International Badminton Federation (IBF) yang menetapkan bentuk ujung
bulu shuttlecock adalah runcing), sedangkan shuttlecock Jempol pengoperasian alat menggunakan
tangan dan berbentuk bulat. Bentuk ujung bulu dapat mempengaruhi laju shuttlecock, jika ujung
bulu bulat akan meluncur lurus sedangkan ujung bulu runcing dapat mengalami 2 macam gerakan
yaitu gerak lurus dan berotasi atau berputar. Pada indikator pengujian prosuk, UD.Trisakti
memiliki lapangan uji coba untuk shuttlecock yang telah selesai diproses, sebelum dimasukkan
kedalam kemasan shuttlecock akan diuji satu per satu untuk mengetahui apakah laju dan stabilitas
shuttlecock baik atau tidak, sedangkan shuttlecock Jempol tidak melakukan pengujian diakhir
produksi karena tidak memiliki lapangan uji coba sendiri. Pada setiap pengujian produk UD.
Trisakti melakukan pencatatan kecacatan produk yang terjadi kemudian dilakukan rework pada
produk cacat, sedangkan shuttlecock Jempol tidak ada pencatatan kecacatan produk karena
inspeksi hanya dilakukan pada kerapian dan kekencangan benang.
Pada aktivitas logistik ke luar, UD. Trisakti menggunakan agen distributor untuk
mendistribusikan produknya ke daerah pemasaran, sedangkan shuttlecock Jempol menggunakan
jasa pengiriman untuk daerah Bandung dan kendaraan pribadi untuk daerah di sekitar Kota
Surakarta. Pada aktivitas pengembangan teknologi, UD. Trisakti mencoba mengembangkan alat
produksi yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi, sedangkan shuttlecock Jempol tidak
mengembangkan teknologi karena tidak adanya dana yang dialokasikan untuk pengembangan alat
produksi. Pada aktivitas infrastruktur perusahaan, UD. Trisakti telah memiliki susunan
manajemen sederhana, sedangkan shuttlecock Jempol tidak memiliki susunan manajemen karena
pemilik shuttlecock Jempol yang mengawasi dan menangani aktivitas industri. Untuk pembukuan
keuangan UD. Trisakti sudah melakukan pembukuan seperti pencatatan pengadaan bahan baku,
proses produksi, dan penjualan, sedangkan shuttlecock Jempol tidak ada pembukuan keuangan
dimana uang pribadi bercampur dengan uang industri. Dari hasil benchmarking dapat dilakukan
beberapa perbaikan seperti pencatatan keuangan sederhana, dan pengujian produk diakhir
produksi.
III. PENUTUP
Peningkatan kualitas produk shuttlecock dilakukan dengan pendekatan rantai nilai. Untuk
dapat bersaing dengan produk nasional industri shuttlecock harus memenuhi persyaratan BWF,
sehingga diperlukan perbaikan berdasarkan hasil benchmarking. Dari hasil benchmarking dapat
dilakukan beberapa perbaikan seperti pencatatan keuangan sederhana, pengujian produk diakhir
produksi dan pencatatan kualitas hasil produksi untuk upaya perbaikan proses produksi. Hasil
perhitungan distribusi nilai tambah shuttlecock diperoleh tempat pemotongan ayam memiliki
distribusi nilai tambah sebesar Rp 11,520 atau 52.13%, industri shuttlecock sebesar Rp 5,580 atau
25.62% dan toko olahraga sebesar Rp 5,000 atau 22.62%. Adanya penambahan dan penggantian
alat produksi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi, mempercepat proses produksi dan
meningkatkan kualitas produk (bulu runcing) sehingga nilai tambah pada industri dapat
meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
BWF Equipment Certification Programme Shuttlecock,
http://system.bwf.website/documents/folder_1_81/folder_1_140/folder_1_165/1%20Shuttlecocks%20
Overview%20-%20updated.pdf (diakses 31 Oktober 2016)
Dumairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta : Erlangga.
Klasifikasi Shuttlecock Berdasarkan Bentuk Potongan Bulu diakses dari http://shuttlecock.info/klasifikasi-
shuttlecock-berdasarkan-bentuk-potongan-bulu/
Kumar, Dilip & Rajeev P .V, 2016, “Value Chain: A Conceptual Framework”
Mangifera, Liana, 2015, “Analisis Rantai Nilai (Value Chain) pada Produk Batik Tulis di Surakarta”
Nurhayati, Nunung; Musa Hubels & Sapta Raharja, 2012, Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha
Industri Kecil Tahu di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Peraturan Walikota Surakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta
Tahun 2011 - 2031
Porter, M.E, 1985, Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior Performance. New York: The
Free Press.
Sultan, Abid & Dr. Saurabh, 2013, “Achieving Sustainable Development Through Value Chain”
Tuyet, Nguyen Thi Bach, 2016, “Recommendations Enhanging The Added Value Chain of The Aquaculture
Enterprises in Vietnam”