Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

lock-in syndrome

A. Anatomi
Pons terletak pada permukaan anterior cerebellum, di bawah mesencephalon dan di
atas medulla oblongata. Pons terutama disusun oleh serabut-serabut saraf yang
menghubungkan kedua belahan cerebellum. Pons juga mengandung serabut serabut
ascendens dan descendens yang menghubungkan otak depan, mesencephalon, dan
meduila spinalis. Beberapa sel saraf di dalam pons berfungsi sebagai stasiun
perantara, sedangkan yang lain membentuk inti saraf otak. Medulla oblongata
berbentuk kerucut dan menghubungkan pons di atas dengan medulla spinalis di
bawah. Fissura mediana terdapat pada permukaan anterior medulla, dan pada setiap
sisi terdapat benjolan yang disebut pyramis. Pyramis tersusun dari berkas-berkas
serabut saraf yang berasal dari sel-sel besar di dalam gyrus precentralis cortex.
cerebri. Pyramis mengecil ke bawah dan di sini hampir seluruh serabut-serabut
descendens menyilang ke sisi lainnya, membentuk decussatio pyramidum. Posterior
terhadap pyramis terdapat oliva, yang merupakan elevasi lonjong yang dibentuk oleh
nucleus olivarius yang terletak di bawahnya. Di belakang oliva terdapat pedunculus
cerebellaris inferior, yang menghubungkan medulla dengan cerebellum. Cerebellum
terletak di dalam fossa cranii posterior di bawah tentorium cerebelli. 1
Cerebelum terletak posterior terhadap pons dan medulla oblongata. Terdiri dari dua
hemisphere yang dihubungkan oleh bagian tengah, yang disebui vermis. Cerebellum
dihubungkan dengan mesencephalon melalui pedunculus cerebellaris superior, dengan
pons oleh pedunculus cerebellaris medius, dan dengan medulla oblongata oleh
pedunculus cerebellaris inf erior. Lapisan permukaan tiap hemispherium cerebelli
disebut cortex, terdiri dari substantia grisea. Cortex cerebelli berlipat lipat disebut
folia, yang dipisalrkan oleh fissura transversa yang tersusun rapat. Kelompok massa
substantia grisea tertentu di dapatkan di dalam cerebelum, tertanam di dalam
substantia alba. Yang terbesar dikenal sebagai nucleus dentatus. Cerebellum berperan
penting dalam mengendalikantonus otot dan mengkoordinasikan gerak otot pada sisi
tubuh yang sama. Rongga pada otak belakang adalah ventriculus quartus. Rongga ini
dibatasi di depan oleh pons danmedulla oblongata, dibelakang olehvelummedullare
superius1
B. Definisi lock-in syndrome
Istilah lock-in syndrome (LIS) pertama kali digunakan pada tahun 1966. Plum dan
Posner menciptakan istilah "terkunci" untuk menggambarkan keadaan quadriplegia
dan anarthria (bisu karena disartria parah) dengan kesadaran yang terjaga. Sinonim
dengan locked in syndrome (LIS) adalah "keadaan terdeferensikan", "pseudocoma,"
dan " coma vigilante”. LIS merupakan suatu kondisi yang berhubungan dengan lesi
pada ventral pons, mengenai jalur kortikospinal dan kortikobulbar tanpa keterlibatan
korteks2
C. Etiologi lock-in syndrome
Locked-in syndrome paling sering disebabkan oleh kerusakan pada batang otak yang
dikenal sebagai pons. Pons berisi jalur neuron penting antara serebrum, sumsum
tulang belakang dan cerebellum. Dalam locked-in syndrome ada gangguan dari semua
serabut motorik yang berjalan dari pons di otak melalui sumsum tulang belakang ke
otot-otot tubuh dan juga kerusakan pada pusat-pusat di batang otak yang penting
untuk kontrol wajah dan berbicara. Kerusakan pons paling sering terjadi akibat
kehilangan jaringan karena kurangnya aliran darah (infark) atau perdarahan
(pendarahan) - lebih jarang disebabkan oleh trauma. Infark dapat disebabkan oleh
beberapa kondisi seperti trombosis atau stroke. Kondisi tambahan yang dapat
menyebabkan loked-in syndrome termasuk infeksi di bagian otak tertentu, tumor,
hilangnya mielin yang mengelilingi sel-sel saraf (mielinolisis), radang saraf
(polymyositis), dan gangguan tertentu seperti amyotrophic lateral sclerosis (ALS).
Locked-in syndrome (LIS) merupakan suatu kondisi langka di mana pasien sadar dan
terjaga tetapi tidak dapat bergerak atau berkomunikasi secara verbal karena
kelumpuhan total hampir seluruh otot dalam tubuh kecuali untuk pergerakan mata.
LIS terjadi akibat kerusakan lesi batang otak ventral pons. Lis merupakan kondisi
langka yang sekunder akibat gangguan saluran motorik di batang otak ventral, dan
setidaknya 60% disebabkan oleh stroke. Stroke iskemik adalah penyebab paling
umum. Stoke iskemik akibat trombosis arteri basilar Penyebab lain dari LIS mungkin
adalah perdarahan, trauma otak serta tumor 3
D. Tanda dan Gejala lock-in syndrome
Individu dengan sindrom terkunci klasik tidak dapat secara sadar atau sukarela
mengunyah, menelan, bernapas, berbicara, atau menghasilkan gerakan apa pun selain
yang melibatkan mata atau kelopak mata. Beberapa individu yang terpengaruh dapat
menggerakkan mata mereka ke atas dan ke bawah (secara vertikal), tetapi tidak dari
sisi ke sisi (secara horizontal). Pasien dengan loked-in syndrome terbaring di tempat
tidur dan sepenuhnya. American Congress of Rehabilitation Medicine
mendefinisikan LIS merupakan gangguan neurologis yang ditandai dengan
pembukaan mata yang berkelanjutan, fungsi kognitif yang dipertahankan, hipofonia
atau aphonia yang parah, quadriparesis atau quadriplegia, dan kemampuan untuk
berkomunikasi melalui gerakan mata vertikal atau lateral atau mengedipkan kelopak
mata atas. Menurut Bauer tiga kategori LIS yaitu:
1) LIS Komplit : Quadriplegia dan anarthria. Tidak ada gerakan mata.
2) LIS Klasik: Gerakan mata vertikal dan berkedip.
3) LIS Inkomplit: Pemulihan beberapa gerakan selain gerakan mata.2
E. Kualiatas Hidup lock-in syndrome
Usia timbulnya LIS bervariasi antara 17 dan 52 tahun. Tingkat prevalensi aktual LIS
tidak secara khusus didokumentasikan dalam literatur, mungkin mewakili kurang dari
1% dari semua stroke, dan tingkat kejadian jarang. Selama fase akut, pneumonia
merupakan infeksi yang paling umum penyebab kematian (40% dari kasus). Stroke
awal adalah penyebab utama kematian pada 25% kasus. (2018) Lebih dari 85%
individu masih hidup setelah sepuluh tahun Satu studi mengungkapkan bahwa 87%
pasien LIS meninggal dalam empat bulan pertama. Penelitian lain menunjukkan
kelangsungan hidup jangka panjang dengan kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun
masing-masing sebesar 83% dan 40%. Kemajuan dalam teknologi medis, seperti
ventilasi mekanik, memungkinkan perpanjangan hidup pada pasien ini.4
F. Diagnosis lock-in syndrome
Diagnosis sindrom terkunci biasanya dibuat secara klinis. Berbagai tes dapat
dilakukan untuk mengesampingkan kondisi lain. Tes tersebut termasuk magnetic
resonance imaging (MRI), yang menunjukkan kerusakan pada pons, dan magnetic
resonance angiography, yang dapat menunjukkan gumpalan darah di arteri batang
otak. Tes-tes ini juga dapat mengesampingkan kerusakan di tempat lain di otak.
Elektroensefalogram (EEG), tes yang mengukur aktivitas listrik otak, dapat
mengungkapkan aktivitas otak normal dan siklus tidur-bangun pada individu dengan
loked-in syndrome. Elektromiografi adalah tes yang mencatat aktivitas listrik pada
otot rangka (Volunter) saat istirahat dan selama kontraksi otot. Studi konduksi saraf
menentukan kemampuan saraf spesifik untuk menyampaikan impuls saraf ke otot5
G. Tatalaksana lock-in syndrome
Terapi pertama harus ditujukan pada penyebab gangguan yang mendasarinya.
Sebagai contoh, pembalikan gumpalan darah arteri basilar (trombosis) dengan terapi
trombolitik intraarterial dapat dilakukan hingga enam jam setelah gejala timbul.
Tumor dapat diobati dengan steroid intravena atau radiasi. Penyebab tersering loked-
in syndrome yaitu stoke iskemik. Oleh karena itu perlu diberikan terapi stroke
iskemik, yaitu :
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT
scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah
sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan
manitol dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang
dapat menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor utama
adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini tak boleh
di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada hipertensi beri obat
antihipertensi.
c. Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam waktu 1 jam jika onset
di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan
digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau
amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas infrak
dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila terdapat
salah satu hal berikut :
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis
seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi maligna
(retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali pengukuran
selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120 mmHg, tekanan
arteri rata-rata >140 mmHg.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis
atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan
pernafasan atau stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke vetebrobasiler
atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam, 20.000
unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa
tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi:
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura6

Pasien dengan loked-in syndrome sering membutuhkan bantuan untuk bernafas


yaitu menggunakan ventilasi mekanik, untuk memenuhi gizi pasien dapat dilakukan
pemasangan NGT. Selain itu penting untuk menjalin komunikasi kode mata sesegera
mungkin. Penyedia layanan kesehatan dan keluarga serta teman-teman harus mencoba
mencari tahu kode apa yang paling mudah bagi pasien dengan loked-in syndrome. Ini
bisa berupa “mata melihat ke atas” untuk ya dan “mata melihat ke bawah' untuk
tidak. Selanjutnya, pengobatan harus ditujukan pada rehabilitasi awal dari gerakan
involunter . Rehabilitasi dan berbagai terapi suportif sangat bermanfaat dan harus
dimulai sedini mungkin bahkan jika perlu ditekankan bahwa pemulihan kontrol
motorik yang hampir normal, berbicara, menelan dan berjalan.
Vegetative state

A. Anatomi
Korteks serebri merupakan bagian terluar dari serebrum, dimana memiliki enam
lapisan horizontal dan masing-masing lapisan mempunyai komposisi sel saraf dan
koneksinya yang berbeda. Lapisan horizontal tersebut dapat dibedakan menjadi enam
lapisan, dari superfisial ke arah profundus,yaitu: Lapisan Molekularis (lapisan
zonalis), Lapisan Granularis Eksterna, Lapisan Piramidalis Eksterna, Lapisan
Granularis Interna, Lapisan Piramidalis Interna (Lamina Ganglionaris), Lapisan
Multiformis Lapisan kortikal yang berbeda memiliki distribusi tipe sel saraf dan
hubungan dengan korteks lain dan daerah subkortikal dengan karakteristik
spesifiknya. Hubungan korteks dengan korteks bagian lainnya dan daerah subkortikal
diantarkan oleh serat-serat saraf. Untuk itu dikenal serat eferen korteks, serat aferen
korteks serta serat asosiasi. Hubungan ini mengintegrasikan impuls yang diterima
oleh suatu area spesifik korteks dengan area lainnya dan mengirimkan persepsi ke
bagian subkortikal sehingga tercipta persepsi yang diinginkan. Dalam hal ini korteks
serebri sebagai pusat dari susunan saraf. Pada korteks serebri terdapat pusat-pusat
yang mengatur semua kegiatan manusia. Pusat ini sangat spesifik terdapat pada lobus
serebri tertentu. Pada masing-masing lobus serebri terdapat berbagai macam pusat
pengatur motorik. Area kortikal dapat dibagi menjadi empat lobus yaitu lobus frontal,
lobus parietal, lobus temporal, dan lobus oksipital.Insula kadang-kadang dianggap
sebagai lobus kelima.Lobus frontalis mencakup semua daerah kortikal di depan fisura
sentralis, dengan kata lain korteks somatomotorik primer dari gvyrus presentralis
(area 4), area premotorik (area 6aα, 6a, dan 8), area prefrontalis yang merupakan
daerah korteks yang luas, terdiri dari area asosiasi multimodal (area 9,10,11,12,45,46,
dan 47), serta area motorik bicara (area 44). Tata pola cara proyeksi bagian-bagian
tubuh pada area 4 dapat digambarkan menurut homunkulus motorik korteks serebri.1
B. Vegetative state
Istilah Vegetative state (VS) diciptakan pada tahun 1970 untuk menggambarkan
kondisi terjaga tanpa kesadaran setelah cedera otak. Pasien VS dapat membuka mata
mereka tetapi hanya menunjukkan perilaku refleks selama pemeriksaan klinis dan
karena itu dianggap tidak menyadari diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Kata
vegetatif (mengacu pada sistem saraf otonom) secara etimologis terkait dengan
sayuran, yang dapat membangkitkan asosiasi negatif. Dengan demikian, pada tahun
2009, the European Task Force on Disorders of Consciousness memperkenalkan
unresponsive wakefulness syndrome (UWS). 7
C. Definisi Vegetative state
Tahun 2003 Royal College of Physicians Inggris mendiagnosis dan mengelola kondisi
Vegetative state mendefinisikannya sebagai suatu kondisi klinis ketidaktahuan diri
dan lingkungan di mana pasien bernapas secara spontan, memiliki sirkulasi yang
stabil, dan menunjukkan siklus penutupan mata dan pembukaan yang dapat
mensimulasikan tidur dan bangun. Tiga ciri klinis utama menentukan keadaan
Vegetative state yaitu siklus pembukaan dan penutupan mata, memberikan tampilan
siklus tidur-bangun, sama sekali tidak memiliki kesadaran diri atau lingkungan dan
sebagian atau seluruh hipothalamus dan batang otak tidak mengalami kelainan.
Pedoman dari Royal College of Physicians menganggap kondisi Vegetative state
ketika berlangsung lebih dari sebulan dan permanen ketika berlangsung lebih dari
enam bulan untuk cedera otak nontraumatic dan satu tahun untuk cedera otak
traumatis. Menurut guideline yang diterbitkan di Amerika Serikat cedera otak non-
traumatis keadaan Vegetative state hanya ada setelah tiga bulan.
Para ahli telah menyarankan bahwa keadaan vegetatif harus dilihat sebagai bagian
dari spektrum kondisi yang berkelanjutan, sering disebut sebagai gangguan kesadaran,
di mana kesadaran dan / atau kesadaran seseorang terganggu setelah cedera otak yang
parah. Koma adalah kondisi tidak responsif di mana pasien berbaring dengan mata
tertutup, tidak menanggapi upaya untuk membangkitkan mereka, dan tidak
menunjukkan bukti kesadaran diri atau lingkungan mereka Keadaan sadar minimal
adalah suatu kondisi di mana pasien tampak tidak hanya sadar (seperti pasien keadaan
vegetatif) tetapi juga menunjukkan tanda-tanda kesadaran yang tidak konsisten
(berfluktuasi) tetapi dapat direproduksi (tidak seperti pasien dengan keadaan
vegetatif). Seperti keadaan vegetatif, keadaan sadar minimal mungkin bersifat
sementara dan mendahului pemulihan fungsi komunikatif atau dapat berlangsung
tanpa batas waktu.8,9
Gambar 2.1 Acut Brain Injury

Gambra 2.2 Perbedaan Klinis Acute Brain Injury

D. Etiologi Vegetative state


Dalam hal neuropatologi, keadaan vegetatif sebagian besar terjadi pada kortikal atau
white matter dan thalamus, dari pada batang otak. Sebuah tinjauan terhadap bukti
yang tersedia sampai 1994 bahwa cedera traumatis ditemukan terkait dengan
kerusakan difus pada white matter subkortikal (atau cedera aksonal difus). Di lain
pihak, kasus cedera non-traumatik ditemukan memiliki nekrosis luas di korteks
serebral, hampir selalu dikaitkan dengan kerusakan thalamus.
Dalam survei yang lebih baru dari pasien dengan cedera otak (n = 49), 35 (71%)
pasien mengalami cedera otak traumatis, di antaranya 25 (71%) memiliki cedera
aksonal difus yang parah dan 7 (20%) memiliki cedera luas pada cerebral cortex. Di
antara 35 pasien, thalamus tampaknya abnormal pada 28 (80%) dan kerusakan pada
batang otak hanya ada 5 (14%). Pada 14 (29%) pasien dengan cedera non-trauma, 9
(64%) kasus mengalami kerusakan neokortikal difus; dalam semua 14 kasus,
kehilangan neuron yang dalam dan difus tampak jelas pada thalamus dan
hippocampus. Secara keseluruhan, lesi ini secara efektif membuat korteks struktural
yang utuh tidak dapat berfungsi.8
E. Prognosis Vegetative state
1) Durasi Vegetative state
Sebuah penelitian terhadap 140 pasien menunjukkan bahwa Durasi Vegetative
state berkorelasi negatif dengan peluang untuk memulihkan kesadaran dan
berkorelasi positif dengan kemungkinan tetap dalam Vegetative state. 603 kasus
dewasa yang dipublikasikan, 13 di mana diperkirakan bahwa kesempatan
mendapatkan kembali kemandiriannya pada satu tahun setelah cedera terus
menurun dengan waktu dari 18% (satu bulan Vegetative state ), menjadi 12% (tiga
bulan), dan 3% (enam bulan). Demikian pula, peluang pemulihan kesadaran pada
satu tahun juga menurun, dari masing-masing 42% menjadi 27% dan 12%. Peluang
untuk tetap dalam Vegetative state pada satu tahun setelah cedera diperkirakan
meningkat dari masing-masing 19% menjadi 35% dan 57%
2) Usia
Pasien yang lebih muda menunjukkan tingkat pemulihan yang lebih baik.13 Dalam
satu laporan, misalnya, tingkat kemandirian yang pulih pada satu tahun menurun
dari 21% untuk pasien di bawah 20 tahun menjadi 9% untuk pasien antara 20 dan
39 tahun dan 0% untuk pasien di atas 40 tahun.12
3) Jenis cedera kepala
Cidera otak traumatis dikaitkan dengan hasil yang lebih baik pada satu tahun
daripada cedera non-traumatis, dalam hal pemulihan kemandirian (24% v 4%) dan
pemulihan kesadaran (52% v 13%). 3 4 13 jika Vegetative state permanen
didiagnosis, kemungkinan pemulihan dianggap "sangat rendah," 4 dengan
pemulihan lebih lanjut "sangat jarang, dan hampir selalu melibatkan kecacatan
parah" 13; dan meskipun kasus keterlambatan pemulihan telah dilaporkan, w12-
w14 perkiraan yang tepat tentang kemungkinan pemulihan lebih lanjut masih sulit
untuk dirumuskan. Ini terutama karena kasus-kasus ini seringkali sulit untuk
diverifikasi, dan ketika 30 kasus yang mengklaim pemulihan terlambat dinilai
kembali oleh Satuan Tugas Multi-Masyarakat pada PVS, bukti kesadaran dapat
dideteksi di setengah dari mereka jauh sebelum batas untuk diagnosis keadaan
vegetatif permanen.9
F. Penegakkan Diagnosis Vegetative state

Diagnosis Vegetative state didasarkan pada dua sumber utama yaitu riwayat klinis
yang terperinci dan pengamatan subyektif dari perilaku spontan dan yang didapat
pasien. Penilaian klinis melibatkan pemeriksaan berulang pada waktu yang berbeda
dalam sehari karena pasien yang tidak dalam Vegetative state mungkin memiliki
periode kesadaran dan ketidaksadaran yang bergantian (dan pemeriksaan tunggal
tidak dapat mengecualikan keadaan kesadaran minimal) serta perubahan sirkadian
pada tingkat kesadaran. . Pemeriksaan bertujuan untuk mengungkap bukti (a)
kesadaran diri atau lingkungan; (B) berkelanjutan, direproduksi, tujuan, atau
involunter menanggapi visual, penciuman, pendengaran, pendengaran, atau
rangsangan berbahaya; dan (c) pemahaman bahasa atau ekspresi. Jika bukti ini ada,
pasien dianggap (minimal) sadar. Jika "penggunaan objek" yang bermakna (seperti
penggunaan sendok atau sisir) atau komunikasi yang konsisten juga dapat dilakukan,
maka pasien dianggap telah muncul dari keadaan sadar minimal ke kondisi kecacatan
parah. Namun, jika tidak ada bukti kesadaran yang ditemukan, pasien dianggap “tidak
sadar” dan karena itu dalam Vegetative state 8

G. Tatalaksana Vegetative state


Sebenarnya , tidak ada pengobatan yang terbukti mempercepat atau meningkatkan
pemulihan dari vegetative state. Namun,ada beberapa jenis pengobatan yang dapat
diberikan. Tatalaksana yang dapat diberikan berupa farmakologis, pembedahan, terapi
fisik serta pemberian stimulasi. Terapi farmakologis terutama menggunakan
antidepressen trisiklik atau methylphenidate. Terapi bedah pembedahan jarang
digunakan karena invasif. Teknik stimulasi meliputi stimulasi sensorik, regulasi
sensorik, terapi musik dan musikokinetik, interaksi sosial-taktil, dll. Selain itu juga
diberikan terapi suportif berupa :
1. memberikan nutrisi melalui selang makanan
2. memastikan orang tersebut digerakkan secara teratur dengan lembut serta melatih
sendi untuk mencegah terjadinya kekakuan
3. menjaga kebersihan pasien
4. mengelola usus dan kandung kemih
Stimulasi sensorik :
1. visual - menampilkan foto teman dan keluarga, atau film favorit
2. mendengar - berbicara atau memainkan lagu favorit
3. bau - menempatkan bunga di dalam ruangan atau menyemprotkan parfum favorit
4. sentuh - pegang tangan mereka atau usap kulit mereka dengan kain yang berbeda
Meskipun tidak terdapat bukti secara empiris, namun beberapa penelitian telah
melaporkan manfaat dari stimulasi sensorik ini. 10
DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh Sugarto
L. Jakarta:EGC.
2. Maiser, S., Kabir, A., Sabsevitz, D., Peltier, W., (2016). Locked-In Syndrome: Case
Report and Discussion of Decisional Capacity. Journal of Pain and Symptom
Management 51, 789–793. https://doi.org/10.1016/j.jpainsymman.2015.10.021
3. Marino, S., (2018). Clinical and Neurocognitive Outcome EvaluationIn locked-in
Syndrome. Biomedical Journal of Scientific & Technical Research 12.
https://doi.org/10.26717/BJSTR.2018.12.002204
4. Rousseau, M.-C., Baumstarck, K., Alessandrini, M., Blandin, V., Billette de
Villemeur, T., Auquier, P., (2015). Quality of life in patients with locked-in syndrome:
Evolution over a 6-year period. Orphanet Journal of Rare Diseases 10.
https://doi.org/10.1186/s13023-015-0304-z
5. Lugo, Z.R., Bruno, M.-A., Gosseries, O., Demertzi, A., Heine, L., Thonnard, M.,
Blandin, V., Pellas, F., Laureys, S., (2015). Beyond the gaze: Communicating in
chronic locked-in syndrome. Brain Injury 29, 1056–1061.
https://doi.org/10.3109/02699052.2015.1004750
6. Junaidi, I. (2011). Stroke waspadai ancamannya. Yogyakarta : ANDI.
7. Kondziella, D., Cheung, M.C., Dutta, A., (2019). Public perception of the vegetative
state/unresponsive wakefulness syndrome: a crowdsourced study. PeerJ 7, e6575.
https://doi.org/10.7717/peerj.6575
8. Monti, M.M., Laureys, S., Owen, A.M., (2010). The vegetative state. Bmj 341, c3765.
9. Demertzi A, Jox RJ, Racine E, Laureys S. 2014. A European survey on attitudes
towards pain and end-of-life issues in locked-in syndrome. Brain Injury
28(9):1209_1215 DOI 10.3109/02699052.2014.920526. Di H, Nie Y, Hu X, Tong Y,
Heine L, Wa
10. Shannan Keen. (2017). Vegetative State (Unresponsive Wakefulness Syndrome.
Brain and Mind Research Institute : University of Sydney

Anda mungkin juga menyukai