Oleh :
Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Allah SWT. Atas selesainya penelitian
Pada kesempatan, ini mengucapkan terima kasih kepada Dikti yang telah
membiaya seluruh penelitian ini sehingga selasai selama dua tahun dari 2006-2007.
Akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
sumberdaya bahan galian logam yang dapat dikembangkan untuk menambah PAD
sumberdaya tersebut.
Secara umum, kawasan mineralisasi logam dasar di daerah Cisungsang dan Bojong
telah ditambang secara manual oleh masyarakat sekitar tanpa memperhatikan aspek
lingkungan, bencana geologi dan keselamatan kerja. Sehingga diperlukan adanya
penyuluhan dan pengawasan dari instansi terkait yang member kewenangan
masyarakat untuk menambang dengan cara seperti saat ini dilakukan, misalnya dari
aparat dinas pertambangan atau dari pemda setempat.
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Kabupaten Lebak Propinsi Banten, secara geologi telah dikenal cukup lama
sebagai daerah yang mempunyai potensi sumberdaya mineral logam yang sangat
besar khususnya emas, perak, seng dan timbal. Sehingga kemungkinan untuk
menemukan sumber cadangan lain dari yang telah teridentifikasi saat ini akan sangat
besar, mengingat kondisi geologinya yang sangat mendukung. Adanya akumulasi
mineral logam dasar di daerah Kabupaten Lebak, khususnya wilayah yang secara
geologi disebut “Kubah Bayah” tidak terlepas dari adanya akitfitas magmatik yang
membawa unsur-unsur logam dasar tersebut dari dalam magma dan terkonsentrasi
di dekat permukaan melalui proses hidrotermal. Adanya proses hidrotermal pada
suatu daerah dapat diidentifikasi dari hadirnya batuan yang termineralisasi atau
batuan yang terubah, khususnya secara kimia, serta hadirnya urat-urat kuarsa yang
mengandung mineral-mineral logam dasar seperti emas, perak, tembaga, bijih besi,
seng dan timbal.
Target khusus yang akan dicapai melalui penelitian tahap kedua ini adalah
memperoleh data yang lebih spesifik khususnya penyebaran mineral timah hitam
dan seng secara vertikal hingga kedalam tertentu berdasarkan sifat geofisika
mineralnya. Dari hasil tersebut kemudian akan dikombinasikan dengan data
penelitian permukaan yang telah memetakan secara lateral penyebarannya, Sehingga
akhirnya diharapkan dapat diperkirakan jumlah sumberdaya yang ada baik secara
lateral maupun vertikal, serta mengkaji kemungkinan untuk dapat dieksploitasi serta
dihitung nilai ekonomisnya,
sehingga diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar dan PAD
bagi pemerintah daerah.
Penelitian ini dilakukan dalam sebuah tim penelitian yang terdiri atas seorang ketua
dan tiga orang anggota. Komposisi dari tim peneliti terdiri atas bidang ilmu yang
terkait dengan kegiatan penelitian, yaitu bidang eksplorasi, geokimia, mineralogi
dan geofisika dari Jurusan Geologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Padjadjaran. Kualifikasi dari ketua dan anggota tim peneliti dapat
dilihat dalam lampiran.
Proses alterasi (ubahan) atau disebut juga sebagai proses mineralisasi dari
suatu batuan induk (host rocks) karena adanya larutan hidrotermal yang naik dan
berinteraksi dengan batuan tersebut, dimana larutan hidrotermal membawa unsur-
unsur logam dari dalam magma dan kemudian di endapkan pada rekahan-rekahan
atau pori-pori dari batuan induknya (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Model alterasi mineralisasi hidrotermal yang berhubungan dengan
kegiatan magmatik (Hedenquist, dkk., 1996)
Konsep dasar tentang alterasi adalah berawal dari suatu pemikiran bahwa
jika batuan induk (dalam bentuk rekahan atau retakan) dilalui oleh fluida panas
yang berasal dari magma atau larutan hidrotermal, maka keadaan kedua kondisi
baik larutan hidrotermal maupun batuan induk itu sendiri terjadi tidak stabil. Untuk
mencapai keseimbangan “equilibrium condition” maka akan terjadi suatu reaksi
dari keduanya dan menghasilkan suatu bentukan kondisi yang baru yang ditandai
dengan munculnya kumpulan mineral baru yang memiliki sifat yang berbeda dari
batuan induk maupun larutan asalnya. Perubahan tidak hanya meliputi kimia akan
tetapi juga perubahan fisika memiliki pola yang teratur dan sistimatik mulai dari
bagian yang paling luar hingga bagian yang paling dekat dengan tubuh bijih.
Berpangkal dari pemikiran inilah konsep dasar tentang alterasi batuan
dikembangkan. Mineral-mineral baru ini disebut sebagai mineral alterasi. Tingkat
ubahan atau intensitas serta sifat dari alterasi batuan tersebut sangat ditentukan dan
dipengaruhi oleh (a) sifat batuan induk, (b) sifat larutan panas (larutan hidrotermal)
yang menerobosnya yang akan menentukan faktor-faktor seperti Eh, pH, tekanan
uap berbagai spesies volatil, komposisi kation dan anion dan tingkat hidrolisis, dan
(c) temperatur dan tekanan pada saat reaksi terjadi.
Fluida maupun sifat batuan memiliki sifat yang berbeda dan beragam,
maka proses alterasi yang terbentuk terjadi melalui beberapa cara. Bebarapa hal
penting berkenaan dengan reaksi tersebut meliputi :
Karena reaksi yang terjadi di alam terjadi begitu komplek seperti yang
disebutkan diatas maka produk dari mineral alterasi merupakan suatu kumpulan
yang memiliki mutualisme dan terjadi di suatu tempat. Istilah mineral assemblage
secara tidak langsung berarti pertumbuhan keseimbangan mutual dari fase-fase
mineral, dicirikan oleh kumpulan mineral spesifik yang tertentu sebagai suatu
penciri dari kumpulan mineral itu sendiri (Guilbert dan Park, 1986). Dari mineral
assemblage ini kita dapat mengetahui suatu zonasi tertentu tentang alterasi yang
dapat dipakai sebagai petunjuk atau guide, menunjukkan temperatur pembentukan,
kedalaman serta genesa suatu tipe endapan mineral. Kumpulan mineral atau
“mineral assemblage” dengan indikator mineral tertentu dapat di klasifikasikan
sebagai berikut (Gambar 2.2 dan 2.3):
Selain zona ubahan tersebut di atas, dikenal pula adanya istilah mineralisasi
“High Sulfidation” dan “Low Sulfidation” atau “sulfida tinggi” dan “sulfida
rendah”. High sulfidation memiliki zonasi alterasi yang dicirikan oleh mineral
spesifiknya : alunit, diaspor, pyrophylite, zunyite, dickite, dan halloysite.
Sedangkan pada tipe Low sulfidation : kumpulan mineral spesifiknya terdiri dari :
Adularia, serisit, klorite, epidot dan smectit (Hedenquist dkk, 1996).
Tipe alterasi lainnya adalah skarn dan greisen: Skarn adalah mineralisasi
intrusif terjadi pada lingkungan karbonat dengan mineral alterasi yang
diperlihatkannya adalah piroksen-garnet-epidot-zoisit-piroksenoid-epidot. Greisen:
spesifik quartz dan mika, alterasi advance argilik – filik, turmalin dan topaz
sebagai mineral asesoris (Corbett dan Leach, 1998).
Gambar 2.3. Hubungan zonasi mineralisasi dengan mineral logam dasar dalam
sistim hidrotermal. (Corbett dan Leach, 1998)
Propinsi Banten dan Jawa Barat yang terletak di ujung barat Pulau Jawa,
cukup dikenal sejak jaman dulu sebagai daerah yang mempunyai potensi
sumberdaya mineral logam dasar dan logam mulia, sebagai contoh daerah Cikotok
dan sekitarnya. Dimana endapan (akumulasi) logam-logam tersebut terbentuk
melalui proses hidrotermal (Sujatmiko dan Santosa, 1992).
Dari tipe alterasi dan jenis mineral logam serta kandungannya, maka
mineralisasi yang ada di wilayah Kubah Bayah ini dapat di kelompokkan dalam
dua tipe hidrotermal, yaitu tipe Cirotan –Cikotok yang dicirikan oleh kaya akan
kandungan mineral sulfida dan hadirnya cockade breksi; dan tipe Pongkor yang
dicirikan oleh kandungan sulfida yang rendah (Marcoux dan Milesi, 1994).
Akan tetapi masih banyak daerah-daerah lain yang belum diteliti lebih
detail, salah satunya adalah daerah Cisitu-Cikadu. Dimana pada daerah ini
ditemukan indikasi batuan alterasi (terubah) serta dijumpainya urat-urat kuarsa dan
breksi yang mengandung mineral logam, hal ini menandakan bahwa pernah adanya
kegiatan atau proses hidrotermal di daerah tersebut yang menghasilkan endapan
(akumulasi) mineral logam, khususnya pada batuan tuff dan batugamping. Dari
hasil kegiatan penelitian di tahun pertama, dapat diidentifikasikan geologi daerah
penelitian dan juga penyebaran batuan alterasinya, khususnya di daerah Cisitu-
Cikadu (Gbr. 2.4).
Pada era tahun 1980 dimulai kegiatan penelitian geokimia secara regional
dengan metoda stream redimen untuk mencoba menemukan daerah-daerah anomali
unsur logam secara geokimia. Baru kemudian di era tahun 1990, dimulai penelitian
khusus tentang batuan alterasi khususnya di wilayah Cikotok-Cirotan (Milesi dkk,
1994; Marcoux dan Milesi, 1994; Sukarna dkk, 1999; Gunung Pongkor (Basuki
dkk, 1994; Milesi dkk, 1994; Warmanda dan Lehnan, 2003) dan Cikidang (Rosana
1997; Rosana dkk, 2001; Rosana dan Matsueda, 2002). Peneliti-peneliti di atas pada
umumnya hanya membahas karakteristik dan genesis dari mineral-mineral logam
yang ada di daerah Cirotan-Cikotok, gunung Pongkor dan Cikidang.
Sementara itu untuk daerah Cisitu dan Cikadu belum ada penelitian yang
dilakukan khusus mengenai batuan alterasi, akan tetapi didaerah Cisungsang yang
terletak sekitar 2 km dari daerah Cisitu pernah dilakukan penelitian tentang
karakteristik mineralisasi mineral logam dasar (Rosana dan Matsueda, 2003).
Sehingga di harapkan didaerah Cisitu-Cikadu batuan alterasi yang dijumpai juga
berasosiasi dengan mineralisasi logam dasar dan mulia, mengingat lokasinya yang
tidak terlalu jauh dari daerah Cisungsang maupun dari Cikidang.
Bojon
Gambar 2.5. Peta Lokasi Daerah Mineralisasi Logam yang akan diukur secara
geofisika
dengan : AM = r1 = (n+1)a
BM = r2 = (n.a)
AN = r3 = (n+2)a
BM = r4 = (n+1)a
Maka rumus dari faktor geometri :
K=
1 1 11 1
AM BM AN BN
ρ app = K.dV/I
K = 2π (n‐1) n ( n+1)
Dimana :
ρ app = Apparent resistivity (Ohm‐m) K
2,3,4,…….dst
Gambar 2.8. Konfigurasi elektroda Dipole-dipole
Tabel 1.1. Resistivitas batuan, mineral dan unsur kimia secara umum
Material Resistivitas (Wm)
Batuan vulkanik dan metamorphic
Granite 5x103- 106
Basalt 103- 106
Slate 6x102- 4x107
Marble 102- 2.5x108
Quartzite 102- 2x108
Batuan Sedimen
Batuan pasir
8 - 4x103
Shale
20 - 2x103
Limestone
Tanah dan Air 50 - 4x102
Lempung
Alluvium 1 - 100
10 - 800
Unsur kimia
Besi
9.074x10-8
Gambar 2.9. Geometri elektroda dipole-dipole tanpa material polarisasi (A) dan
material yang mengandung polarisasi (B). ρ L = ρ (w1) : resisitivity
semu frekuensi rendah, ρ H = ρ (w2) : resistivity semu frekuensi tinggi.
Gambar 2.10. Penampang model geologi bawah permukaan hasil interpretasi data
IP dan
Lebih jauh dari hasil penelitian ini kemudian digabungkan dengan hasil
penelitian tahun pertama adalah penentuan sebaran batuan termineralisasi serta
uraturat kuarsa pembawa mineral logam, baik secara lateral maupun vertikal,
sehingga akan dapat diperkirakan besar cadangan atau potensi sumberdaya
mineral logam tersebut. Hal ini juga akan dikaji melalui pendekatan
deterministik melalui pemetaan detail dan pengukuran geolistrik di lapangan
serta pembuatan model di laboratorium.
18
Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan akan dapat digunakan sebagai
dasar untuk melakukan kegiatan eksplorasi lebih detail untuk dapat mengidentifikasi
potensi sumberdaya mineral logam tersebut secara ekonomi, serta kemungkinan
untuk dapat dieksploitasi yang kelak diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan
asli daerah (PAD) dan meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar lokasi
mineralisasi tersebut. Selain itu dari aspek ilmiahnya, juga dapat diketahui
kemungkinan hubungan keberadaan antara mineralisasi logam dasar di daerah
Cikadu-Cisitu dengan mineralisasi emas-perak di daerah Cikidang yang berada di
bagian utara daerah penelitian, serta kemungkinan untuk menemukan potensi
mineral sejenis didaerah lain sekitar daerah penelitian yang memiliki karakteristik
geologi dan geofisika yang sama.
DATA BASE
(Geofisika & Karakteristik dan Potensi Mineral logam
dasar dan mulia)
ERROR > 5%
VERIFIKASI & VALIDA
ERROR ≤ 5%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Persiapan dan studi literatur
2. Survey lapangan
3. Pengukuran Geofisika
7. Penyusunan laporan
8. Seminar / Publikasi
49
LAMPIRAN 50
23
Pada bab ini menjelaskan hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi aspek-aspek geologi daerah penelitian, yang meliputi:
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi.
5.1.1 Geomorfologi
Bentuk bentang alam di daerah penelitian memperlihatkan bentuk-bentuk perbukitan memanjang dengan relief bergelombang
sampai terjal. Ketinggian daerah tersebut antara 3501251 meter diatas permukaan laut. Sungai - sungai besarnya mengalir pada lembah
- lembah yang dibatasi perbukitan–perbukitan yang memanjang dengan arah relatif utara - selatan.
Berdasarkan aspek-aspek morfografi, morfometri dan morfogenetik yang telah dibahas sebelumnya, maka penulis membagi
geomorfologi daerah penelitian menjadi 4 (empat) satuan geomorfologi, yaitu :
Berdasarkan interprestasi pola perbukitan yang lereng-lerengnya adalah terjal dan pada lembahnya membentuk pola
kelurusan sungai, diperkirakan pada satuan geomorfologi ini juga merupakan suatu zona yang dikontrol oleh struktur geologi. Hal ini
terbukti dari hasil pengamatan di lapangan dengan ditemukannya indikasi-indikasi struktur geologi seperti kekar dan indikasi sesar
berupa cermin sesar.
Litologi yang menyusun satuan geomorfologi ini adalah dari aktivitas vulkanisme berupa lava, breksi dan tuf.
dan indikasi sesar berupa cermin sesar. Litologi yang menyusun satuan geomorfologi ini adalah dari aktivitas vulkanisme berupa lava,
breksi dan tuf.
Satuan geomorfologi ini memiliki luas sekitar 15% dari keseluruhan daerah penelitian. Pola pengaliran yang berkembang adalah
pola pengaliran dentrito parallel, paralel dan trelis.
5.1.2 Stratigrafi
Penamaan atau pemakaian tata nama satuan stratigrafi untuk satuan batuan tertentu kadang tidak seragam, hal ini disebabkan
oleh ketidaksamaan para ahli terdahulu dalam pemerian tata nama satuannya. Untuk tidak mengacaukan peristilahan dalam Sandi
Stratigrafi Indonesia (1996), maka digunakan penamaan satuan stratigrafi tidak resmi (Sandi Stratigrafi Indonesia pasal 16) yaitu satuan
litostratigrafi adalah satuan yang tidak seluruhnya memenuhi persyaratan sandi. Satuan tidak resmi ini seyogyanya harus berdasarkan
pada ciri litologi, bila ciri litologi tidak dipergunakan, maka ciri-ciri yang didapat dengan cara mekanik atau penelitian lain.
Penentuan umur dan lingkungan pengendapan setiap satuan batuan berdasarkan foraminifera planktonik dan benthonik kecil
yang terkandung didalamnya serta ciri-ciri litologi berupa struktur sedimen yang ada. Apabila tidak dijumpai fosil maka penentuan umur
dan lingkungan pengendapan dilakukan dengan membandingkan satuan batuan tersebut dengan hasil penelitian peneliti terlebih
dahulu.
Berdasarkan keseragaman fisik dan ciri litologi batuan penyusunnya, maka daerah penelitian ini dibagi menjadi sebelas satuan
batuan. Urutan stratigrafi daerah penelitian dari tua ke muda adalah sebagai berikut (Lampiran 2) :
Penafsiran unsur struktur terutama didasarkan pada rekonstruksi data-data struktur geologi di lapangan, dengan didukung
kondisi morfologi seperti keanomalian pola pengaliran sungai dan pola punggungan perbukitan di daerah penelitian. Sedangkan
penamaan didasarkan atas letak atau geografi yang memungkinkan gejala struktur geologi tersebut dapat teramati dengan baik.
Struktur geologi yang teramati pada daerah penelitian adalah lipatan antiklin, sesar mendatar, sesar normal, sesar naik dan
kekar. Data-data indikasi di lapangan yang menunjang adanya gejala struktur-struktur tersebut adalah ditemukannya cermin sesar
(slicken side), air terjun, longsoran, kekar-kekar (joints), anomali pola jurus, kemiringan perlapisan batuan (strike/dip), kelurusan-
kelurusan punggungan dan sungai yang tampak pada peta topografi, serta analisa dengan menggunakan citra landsat
Pada sayap lipatan bagian barat memiliki arah pola jurus dan kemiringan lapisan batuan N 145 0 E/160, sedangkan pada bagian
timur memiliki arah pola jurus dan kemiringan lapisan batuan N 5 0 E/120. Dari rekonstruksi data lapangan di dapat bahwa sumbu antiklin
ini berada pada bagian tengah dari daerah penelitian pada satuan batugamping.
LAMPIRAN 55
Proses tektonik yang membentuk struktur antiklin Cikarang ini diperkirakan setelah pengendapan satuan batugamping yaitu
pada periode tektonik Miosen Awal.
1. Data kekar yang terdapat pada satuan batulempung pada stasiun pengamatan 86 dan 88. Proyeksi streogram data pengukuran
kekar tersebut menunjukkan jenis tegasan utama berarah relatif timurlaut-baratdaya.
2. Tersingkapnya satuan batuan yang berumur lebih tua disepanjang anak sungai Cidikit dan sepanjang jalan dari Tegallumbu
kearah Ciburial.
3. Kelurusan punggungan yang searah dengan bidang sesar, ini terlihat dari analisa citra landsat.
Struktur sesar ini diperkirakan terbentuk pada periode tektonik Miosen Tengah setelah pengendapan batuan pada saat itu telah
selesai.
1. Data cermin sesar pada satuan tuff coklat muda pada stasiun pengamatan 76 (Gambar 5.18) yaitu: bidang sesar N 87 0 E/660,
pitch 800 Utara, jenis pergerakan naik dan N 920 E/650, pitch 78 Utar, pergerakan naik.
LAMPIRAN 56
2. Kelurusan arah pola aliran sungai yang searah dengan bidang sesar.
Tersingkapnya satuan batuan yang berumur lebih tua yaitu satuan batupasir, pada tebing jalan dari tegallumbu kearah Rabig,
dan Satuan breksi konglomeratan yang tidak ditemukan lagi dibagian utara daerah penelitian.
Berdasarkan proyeksi streogram dari data pengukuran cermin sesar pada stasiun pengamatan 76, maka didapat arah tergasan
utama adalah relatif Timurlaut-Baratdaya.
Struktur sesar ini diperkirakan terbentuk pada periode tektonik Miosen Akhir setelah pengendapan batuan pada saat itu telah
selesai.
1. Data cermin sesar pada satuan breksi pada stasiun pengamatan 63 (Gambar 5.19a) yaitu bidang sesar N 320 0 E/580, pitch 250
Tenggara, jenis pergerakan dextral normal dan N 3150 E/470, pitch 300 Tenggara, jenis pergerakan dextral normal.
2. Kelurusan lembah yang searah dengan bidang sesar, ini terlihat dari analisa citra landat.
3. Kelurusan arah pola aliran sungai yang dapat teramati pada peta topografi.
4. Adanya longsoran pada gawir sesar disepanjang zona sesar yang memotong satuan lava basal.
5. Terdapat air terjun dengan ketinggian ± 30 m stasiun pengamatan 63, maka didapat arah tergasan utama adalah relatif baratdaya-
timurlaut.
LAMPIRAN 57
Struktur sesar ini diperkirakan terbentuk pada periode post Plistosen setelah pembentukan satuan lava basal pada saat itu
telah selesai.
Zonasi alterasi propilitik, tersebar paling luas di daerah penelitian dengan luas sekitar 22,5 km2. Batuan yang mengalami
ubahan tipe ini umumnya berasal dari satuan batuan tuf, breksi, andesit dan lava andesit. Zona alterasi ini dicirikan oleh batuannya yang
berwarna abuabu hingga kehijauan. Secara mikroskopis zona propilit dicirikan oleh hadirnya mineral klorit (dominan) yang merupakan
ubahan dari masadasar dan juga mengisi rongga diantara komponen mineral atau lubang vesikuler. Kadang juga dijumpai klorit hadir
sebagai urat halus dalam batuan yang terubah. Selain itu hadir pula mineral karbonat dan sedikit serisit yang umumnya menggantikan
mineral feldspar, serta kuarsa dengan ukuran kristal yang halus menggantikan masadasar dan sebagain mineral feldspar serta mengisi
rongga atau urat dalam batuan.
Zonasi alterasi argilik, mempunyai penyebaran yang paling sempit dan terbatas dengan luas sekitar 1,25 km2. Batuan yang
terubah pada zona ini berasal dari satuan tuf yang berukuran lapili.Zonasi alterasi ini dicirikan oleh alterasinya yang berwarna putih
keruh dan ditandai oleh hadirnya mineral lempung berupa kaolinit dan serisit serta kuarsa amorf yang berukuran halus. Secara
LAMPIRAN 58
mikroskopis terlihat bahwa kaolinit menggantikan mineral feldspar dan sebagian kecil komponen batuapung . Pada zonasi ini juga
dijumpai adanya urat kuarsa dengan ketebalan kurang dari 50 cm dengan arah umum utara selatan.
Zonasi altersi silisifikasi, menempati luas areal sekitar 6,5 km2, dan umumnya batuan yang teralterasi berasal dari satuan
batugamping dan sebagian kecil pada satuan tuf. Dilapangan jenis alterasi tipe ini dicirikan oleh hadirnya kuarsa yang menggantikan
sebagian besar karbonat yang berukuran halus, atau sebagai urat kuarsa halus dan kalsit. Secara mikroskopis jenis laterasi ini ditandai
oleh adanya kuarsa kalsedonik hingga amorf yang berukuran halus atau berupa urat dalam rekahan batugamping.
Pada zona alterasi silifisikasi dijumpai pula satu zona mineralisasi yang berupa urat (vein) dominan kuarsa dan mengandung
mineral logam berupa galena, kalkopirit, pirit, sphalerit, arsenopirit, markasit, perak dan bornit serta mineral ubahan yang berupa kovelit,
hematit, dan malakit yang umumnya berasal dari kalkopirit. Urat yang mengandung mineral logam dasar ini mempunyai ketebalan
sekitar 1~3 meter dengan arah hampir barat timur (daerah Cisungsang) dan arah hampir baratdaya-timurlaut (daerah Bojong). Urat
logam dasar yang ada di daerah Cisungsang dapat terlihat dipermukaan, sementara yang berada di daerah Bojong berada di keldaman
sekitar 10~15 meter dari permukaan tanah.
Zona vein mineralisasi inilah yang kemudian mempunyai nilai yang sangat penting dalam penelitian ini, karena hanya zona ini
yang mengandung mineral logam dasar berupa timah hitam (Pb). Sementara yang lain dianggap tidak terlalu ekonomis karena jumlahnya
yang relatif lebih sedikit, dan sulit untuk memisahkan dari mineral logam lainnya. Karaketristik mineral logam pada zona alterasi mineral
logam ini akan dibahas lebih detail pada subbab lain.
Berdasarkan kenampakan di lapangan, keberadaan kedua zonasi urat yang mengandung logam dasar ini relatif berjauhan sekitar
3~5 km, dan arah uratnya sedikit berbeda, sehingga diperkirakan kedua zonasi urat di kedua daerah tersebut tidak saling berhubung
secara langsung. Akan tetpi berdasarkan posisi topografi, diperkirakan zona urat alterasi mineral logam di daerah Cisungsang berada
pada bagian atas dari zona urat di daerah Bojong. Hal tersebut didukung oleh data asosiasi mineral logamnya. Di daerah Cisungsang
hampir tidak dijumpai hadirnya mineral kalkopirit, kalaupun ada, hadir dalam jumlah minoritas. Sementara di daerah Bojong kalkopirit
LAMPIRAN 59
hadir dalam jumlah yang signifikan, serta diikuti oleh hadirnya mineral bornit, kovelit, malakit serta hematit. Semua mineral tersebut
menunjukkan zonasi pembentukan yang lebih dalam.
Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa mineralisasi di daerah Cisungsang lebih terlihat dipermukaan dan mulai ditambang
secara tradisional oleh masyarakat secara terbuka. Sementara di daerah Bojong urat logam berada jauh dibawah permukaan dengan
kedalaman mencapai 15 meter, sehingga masyarakat yang mulai menambangan secara sederhana didaerah ibi harus terlebih dahulu
membuat lubang baik berupa pit atau tunnel hingga mencapai urat yang dituju.
Secara umum mineralisasi logam dasar di kedua daerah terdapat pada batugamping dari Anggota Formasi Cimapag yang
berumur Miosen. Mineralisasi ini terdapat dalam bentuk urat kuarsa dengan tekstur breksiasi dan banding tipis. Ketebalan urat bervariasi
dari 1~3 meter dengan panjanf kurang dari 500 m. Kedua lokasi mineralisasi ini umumnya tertutup oleh lapisan tanah yang tebal,
terutama di daerah Bojong, sementara di daerah Cisungsang relative lebih terbuka karena perukaannya telah di buka dengan buldoser.
Pada zona mineralisasi logam sendiri, terdapat dalam bentuk urat kuarsa yang didominasi oleh kuarsa dalam bentuk breksi dan
berlapis. Secara umum zona alterasi silisifikasi ini berkembang pada satuan batugamping. Pada zona alterasi-mineralisasinya
berdasarkan pada teksturnya dapat dibedakan menjadi tiga zonasi, yaitu zona breksi silika; zona hidrotermal breksi dan zona banding
sulfida.
Zona breksi silika, tersusun oleh fragmen-fragmen batuan karbonat, kalsit, kuarsa, tuff, pirit dan arsenopirit dalam matrik
kuarsa kalsedonik. Umumnya berwarna abu-abu sampai coklat, banyak mengandung urat-urat kuarsa dan kalsit yang berukuran halus.
LAMPIRAN 60
Zona hidroermal breksi, terdiri atas fragmen sulfida berlapis, kuarsa, batugamping yang tersilikakan, dan fragmen tuf yang
tersilika, dalam matrik kuarsa hingga kalsedonik. Zona ini berwarna coklat hingga kuning kecoklatan, jika dominan fragmen sulfida
berupa pirit, arsenopirit maka akan berwarna kekuningan (kuning emas), tapi jika dominan mineral sulfidanya galena dan sphalerit akan
berwarna abu-abu metalik.
Zona banding sulfida, umumnya didominasi oleh lapisan-lapisan sulfida yang terdiri atas galena, pirit, kalkopirit, arsenopirit,
kalkopirit dan sphalerit serta sedikit mineral perak. Kadang juga dijumpai mineral sekunder dari sulfida, seprti limonit, hematit, malakit
dan bornit.
Dilapangan kadang agak sulit untuk membedakan batas dari tiap zonasi tersebut. Di daerah Cisungsang lebih berkembang
dalam bentuk hirotermal breksi, sementara di Bojong selain hidrotermal breksi juga berkembang zona banded sulfida.
Dari studi petrografi dan mineragrafi, terlihat bahwa pirit memperlihatkan tekstur pergantian dengan mineral pirhotit, hal itu
dapat dilihat adanya kristal halus pirhotit yang berbentuk prisma dalam pirit. Sementara pirit banyak mengantikan mineral markasit
yang berbentuk bilah panjang dan terlihat berdampingan membentuk dengan arsenopirit. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan
bersama antara kedua mineral tersebut. Pada pirit yang mempunyai kristal berukuran kasar, kadang terlihat membentuk tekstur seperti
LAMPIRAN 61
jaring, sementara yang berukuran halus sering terdapat dalam galena dan sphalerit. Sebagian dari pirit telah terubah menjadi limonit dan
hematite karena proses pelapukan.
Markasit yang berukuran kristal kasar umumnya terdapat bersama dengan pirit, dan sebagian memperlihatkan tekstur seperti
rongga. Sebagian dari markasit ini telah digantikan oleh limonit sehingga menunjukkan tekstur pseudomorf. Pada kristal yang berukuran
halus sangat sulit untuk membedakan antara mineral pirit, markasit dan pirhotit.
Pirhotit kristal umumnya telah digantikan oleh pirit, sebagian kecil masih menujukkan jejak-jejak pirhotit pada bagian tengah
dari pirit dan markasit serta kadang juga sebagai inklusi dalam arseopirit, galena dan sphalerit.
5.3.1.2. Galena
Galena merupakan mineral yang paling dominan pada mineralisasi logam di daerah Cisungsang dan Bojong. Umumnya
dijumpai pada zona breksi hidrotermal dan pada zona banded sulfida. Pada breksi hidrotermal, umumnya berupa fragmen atau klast
dalam matrik kuarsa kalsedonik, sementara pada zona banded sulfida memperlihatkan perlapisan yang tegas antara galena, pirit, sphalerit
dengan kalkopirit-bornit seperti terlihat pada singkapan di daerah Bojong mencapai ketebalan sekitar 30 cm.
Umumnya galena hadir berasosiasi dengan mineral sulfida yang lain. Yang paling umum dijumpai adalah asosiasi antara galena
dengan mineral perak yang membentuk solid-solution, dimana perak banyak terdapat pada bagian tepi dari galena. Ukuran kristal galena
ini bisa mencapai 2 cm. Selain itu galena ini juga berasosiasi denngan mineral pirit dan sphalerit. Sering ditemukan galena m enjadi
inklusi dalam sphalerit dan kalkopirit atau kebalikannya. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga mineral tersebut terbrntuk pada waktu yang
bersamaan.
Galena yang berukuran kristal kasar memperlihatkan tekstur yang sangat jelas berbentuk segitiga yang menjukkan tekstur
deformasi setelah pengendapannya.
LAMPIRAN 62
5.3.1.3. Sphalerit
Sphalerit banyak dijumpai di daerah Cisungsang terdapat berasosiasi dengan galena dan pirit. Sementara di daerah Bojong
lebih berasosiasi dengan galena dan kalkopirit. Ukuran kristalnya sedang sampai halus. Mineral ini kadang hadir sebagai inklusi dalam
galena dan kalkopirit atau arsenopirit. Kadang kalkopirit yang berukuran halus terdapat sebagai inklusi dalam sphalerit sehingga
membentuk tekstur yang disebut “Chalcopyrite disease”. Kadang juga bisa dilihat banded galena-kalkopirit-sphalerit di potong oleh
lapisan galena yang lain.
Dari pengamatan mikroskopis, kadang terlihat sebagian dari sphalerit ini mempunyai warna yang kemerahan dan membentuk
zoning dari berwarna gelap pada bagian inti hingga kemerah tua pada bagian tepinya. Inklusi mineral perak juga kadang dijumpai.
5.4.1.4. Arsenopirit
Arseonpirit banyak dijumpai pada zona breksi hidrotermal, berukuran kristal halus hinga kasar dengan bentuk rombohedral atau
belah ketupat, atau kadang juga membentuk tekstur seperti kerangka atau membentuk retak. Mineral ini dapat dibedakan dari pirit dan
markasit dari warnanya yang berwarna kuning pucat dan bersifat isotropi kuat dari hijau hingga coklat kekuningan, serta bentuknya
yang seperti belah ketupat.
Mineral ini umumnya terdapat bersama dengan pirit dan markasit serta pirhotit dan kadang bersama sphalerit, tapi sangat jarang
sekali dijumpai bersama dengan mineral perak.
LAMPIRAN 63
5.4.1.5. Perak
Perak umumnya terdapat sebagai kristal tunggal, tapi juga sering dijumpai bersama dengan galena dan sphalerit. Mineral ini juga
kadang dijumpai sebagai inklusi dalam galena dan sphalerit, atau terdapat sebagai solid solution bersama galena. Sebagai inklusi
umumnya berukuran halus. Jika terdapat bersama dengan pirit dan galena, umumnya mempunyai ukuran kristal lebih besar.
Dari sifat optiknya perak ini dapat dibedakan dari jenis argentit (AgS) dan pirargirit (Ag 3SbS3), kadang juga dijumpai yang berwarna
kemarahan diperkirakan dari jenis proustite (Ag3AsS3). Jenis Pirargitit umumnya terdapat berasosiasi dengan mineral galena, sementara
dari jenis argentit umunnya terdapat sebagai kristal tunggal. Sementara jenis proustit terdapat berasosiasi dengan galena dan pirargirit.
Jenis argentit dan pirargirit serta proustit dibedakan dari ratio atau kandungan unsur As dan Sbnya (Uytenbogaardt and Burke, 1985).
5.3.1.6. Kalkopirit
Kalkopirit yang berwarna kuning terang, dengan kristal yang kasar umumnya dijumpai pada mineralisasi didaerah Bojong.
Sementara di daerah Cisungsang umumnya berukuran sangat halus dan terdapat sebagai inklusi dalam sphalerit. Sementara di daerah
Bojong mineral ini membentuk banded dengan bornit, galena dan sppalerit. Sebagian kecil dari mineral ini telah terubah menjadi malakit
yan gberwrna hijau dan kolevit yang berwrna biru, yang sangat jelas terlihat di bawah mikroskop polarisasi.
5.3.1.7. Bornit
Terdapat dalam jumlah sedikit dan hanya dijumpai pada mineralisasi di daerah Bojong. Mineral ini terdapat berasosiasi
dengan kalkopirit, pirit dan sphalerit. Secara mikroskopis terlihat warnanya yang merah muda hingga kebiruan jika teroksidasi.
LAMPIRAN 64
5.3.1.8. Hematit
Hematit hadir sebagai mineral berukuran kristal halus hingga sedang dengan bentuk kristal prismatic panjang. Mineral
ini umumnya hadir sebagai singgel kristal dan kadang bersama dengan pirit dan arsenopirit. Dijumpai pada zona banded sulfida dan
zona breksi hidrotermal.
Kovelit, berwarna biru muda, berukuran sangat halus dan umunya menggantikan
mineral kalokpirit, atau dijumpai sebagai inklusi dalam sphalerit dan galena.
Malakit, berwarna kehijauan, berukuran halus, mineral ini juga mengantikan mineral
kalkopirit, dan dijumpai umumnya pada retakan antara mineral kalkopirit dan pada zona breksi hidrotermal.. Limonit dan gutit,
umumnya menggantikan mineral sulfide pirit, dan terdapat pada bagian tepi atau bagian fraktur dari mineral yang digantikannya.
Secara umum banyak inklusi fluida dalam kuarsa ini, sehingga kemudian digunakan
untuk penentuan temperature mineralisasi dalam analisis Inklusi Fluida.
Karbonat, umumnya berupa kalsit dan sangat jarang dalam bentuk dolomit, banyak
dijumpai pada zona breksi silika dan sangat jarang pada zona breksi hidrotermal. Urat –urat halus karbonat juga kadang dijumpai
pada zona breksi silika atau pada batugamping yang tersilikakan.
Mineral lempung, sangat jarang dijumpai pada zona mineralisasi logam dasar ini. Sementara pada zona mineralisasi yang
mengandung sedikit lepung diperkirakan dari jenis kaolinit dan serisit.
Berdasarkan keterdapatnnya yang berupa urat (vein), karakteristik asosiasi mineral logam yang terdiri atas mineral logam dasar berupa
galena, sphalerit, kalkopirit, pirit, markasit, arsenopirit, perak, bornit dan malakit serta hematit; serta dan data inklusi fluida dengan
temperatur mineralisasi berkisar antara 240 ~ 300 , diperkirakan mineralisasi didaerah ini merupakan mineralisasi hidrotermal tipe
mesotermal. Akan tetapi karena yang menjadi batuan induk mineralisasi adalah berupa batuan sedimen karbonat, maka tipe mineralisasi
semacam ini ditempat lain oleh sebagian peneliti dikelompokan menjadi “Mineralisasi Tipe Carlin” . Akan tetapi penulis lebih cenderung
menamakan tipe mineralisasi di daerah Cisungsang dan Bojong ini sebagai tipe endapan mesotermal.
Jika melihat pada pola keterdapatan dan penyebaran mineralisasi logam dasar yang ada di daerah penelitian, maka kawasan tersebut
dapat diusahakan sebagai tambang rakyat untuk timah hitam, mengingat harga timah hitam yang sedang meningkat. Walaupun dari data
analisis mineragrafi dan kimia terlihat adanya kandungan emas dan perak dalam jumlah kecil, akan tetapi karena keberadaanya sebagai
inklusi dalam mineral galena dan sphalerit, maka akan sulit untuk dapat memisahkan kedua jenis logam mulia tersebut untuk diolah
secara tradisional. Secara detail model tipe mineralisasi ini telah dibahas pada hasil laporan akhir pada penelitian yang sama di tahun
pertama. Sehingga disini tidak lagi dibahas secara lebih mendetail tentang model mineralisasinya.
LAMPIRAN 66
Keempat lintasan tersebut hampir berarah utara-selatan, dua lintasan berada d daerah Cisungsang dan dua lintasan di daerah
Bojong. Panjang lintasan masing-masing kurang lebih sepanjang 700 m dengan jarak interval antara titik pengukuran pada tiap lintasan
adalah 20 m.
Pengukuran geolistrik dengan cara menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi melalui 2 buah elsktroda arus, kemudian diukur
beda potensial yang ditimbulkan oleh adanya injeksi arus pada 2 buah elektroda potensial.
Untuk mengukur variasi harga tahanan jenis semu (apparent resistivity) batuan di bawah permukaan bumi dengan
menggunakan konfigurasi dipole-dipole maka diperlukan penempatan sepasang elektroda arus (A dan B) dan sepasang elektroda
potensial (M dan N) di permukaan bumi pada suatu garis lurus, dimana untuk elektroda-elektroda arus A dan B diletakkan berdekatan,
demikian juga elektroda-elektroda potensial M dan N.
Data geolistrik konfigurasi dipole-dipole yang didapat di lapangan dimasukkan dalam bentuk tabel berupa data koordinat titik
pengukuran dan nilai tahanan jenis semu untuk tiap kedalaman tertentu (N 1 – N4). Pengolahan data geolistrik dengan menggunakan
program Microsoft Excel sedangkan untuk menggambarkan peta anomali secara lateral dan penampang geolistrik dengan menggunakan
program Surfer for map Ver.8. Nilai tahanan jenis (resistivity) untuk tiap kedalaman tertentu ditampilkan dalam bentuk penampang
untuk setiap lintasan dan digambarkan secara lateral dalam bentuk peta anomali tahanan jenis untuk setiap kedalaman N 1 – N4.
Penampang geolistrik dibuat untuk setiap lintasan pengukuran di lokasi penyelidikan. Penampang geolistrik dibuat untuk
melihat bentuk dan konfigurasi geologi bawah permukaan suatu cebakan di lokasi penyelidikan berdasarkan nilai tahanan jenis. Peta
penyebaran cabakan mineral dibuat berdasarkan hasil overlap penampang geolistrik dengan membuat batas penyebarannya. Batas
penyebaran mineral dibuat berdasarkan korelasi peta secara lateral dan penampang untuk setiap lintasan.
Tabel 5.1. Nilai tahanan jenis batuan (resistivity) yang terdapat di daerah penyelidikan
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dapat diinterpretasikan litologi yang menyusun daerah penyelidikan serta zona
mineralisasi yang berkembang. Litologi yang dapat dibedakan dari interpretasi geofisika dan menggabungkan dengan data pemetaan
geologi permukaan adalah satuan breksi volkanik, satuan tuf dan intrusi andesitik-diorit.
Sementara untuk zonasi alterasi, dari hasil interpetasi pengukuran ditunjukkan oleh harga resistivity yang rendah, karena adanya
dominasi mineral lempung, soil dan kuarsa (silika). Dari interpretasi data geofisika, maka zonasi alterasinya dapat dibedakan menjadi
alterasi tipe argilik (yang didominasi oleh mineral lempung) dan penyebarannya dominan berada di bawah permukaan pada kedalaman
> 5 meter. Selain itu zonasi alterasi silisifikasi-mineralisasi, yang juga dicirikan oleh nilai resistivity rendah, karena adanya dominasi
batuan induk dalam hal ini batugamping yang mengalami silisifikasi, dan mengandung urat kuarsa yang berasosiasi dengan urat-urat
atau lensa-lensa yang mengandung mineral logam timah hitam dan seng serta sedikit tembaga.
Dari hasil pengukuran dan pengolahan data lapangan dapat dibuat penampang vertikal untuk setiap lintasan dan keadaan litologi
serta tipe alterasinya untuk setiap kedalaman tertentu, lihat peta-peta interpretasi data geofisika pada lampiran 4 s/d 7.
Lintasan GF-1, terdapat zona alterasi silisifikasi dan sedikit penutup berupa tanah dan sedikit lempung yang menyebar secara
hampir merata menutupi satuan batuan dibawahnya. Nilai resistivity menunjukkan nilai yang rendah yang diduga sebagai batuan
sedimen atau soil. Dibawah lapisan soil dijumpai batuan vulkanik berupa tuf dan breksi, serta batugamping yang dominan, sedangkan
batuan intrusi dijumpai pada zona paling bawah dan muncul setempatsetempat dan dicirikan oleh nilai resistivity yang sangat tinggi
(lihat peta Lampiran 4).
LAMPIRAN 69
Zona mineralisasi urat kuarsa yang mengandung logam, hampir tidak terlihat pada interpretasi hasil pengukuran geofisika,
kecuali pada titik GL 17 dan GL 19 pada kedalaman sekitar 10 m sampai 20 m dari atas permukaan yang sekarang. Tetapi hal ini sangat
sulit untuk diyakini sebagai urat kuarsa, karena juga memiliki nilai resisitiviti yang rendah sama seprti batugamping yang menjadi
hostnya. Sementara keberadaan logamnya tidak terdeteksi pada pengukuran ini. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya jumlah
kandaungan logam dalam urat yang termineralisasi tersebut, sehingga tidak merekfleksikan dalam hasil nilai resisitivitinya.
Lintasan GF-2, dibagian permukaan dari lintasan ini kondisinya tidak jauh berbeda dengan lintasan sebelumnya, yang
didominasi oleh soil dan sedikit mineral lempung atau oksida hasil pelapukan batuan vulkanik. Di lintasan ini, masih tidak jauh berbeda
dengan lintasan sebelumnya, bahwa dapat dibedakan ada empat macam pola nilai resistivity. Dari masing-masing nilainya, dibedakan
dengan urutan dari yang paling rendah ke yang tinggi nilai resistivitinya adalah ; soil dan mineral lapukan pada zona atas; kemudian
metutupi satuan tuf dan breksi; selanjutnya dibawah zona ini adalah satuan batugamping yang telah mengalami silisifikasi dan
mengandung sedikit urat kuarsa yang membawa unsur logam dasar. Kemungkinan urat mineralisasi ini berada pada sekitar titik GL18,
dengan kedalaman sekitar 10 m dari atas permukaannya sekarang (lihat peta lampiran 5).
Lintasan GF-3, panjang lintasan sekitar 500 m dengan interval titik pengukuran 20 m. Dari hasil interpretasi data geofisika,
dapat dilihat bahwa pada lintasan ini satuan batugamping cukup mendominasi litologinya baik di permukaan maupun di bawah
permukaan, sementara soil dan tuf serta breksi tidak cukup dominan dan tersebar hanya setempat-setempat. Di bagian bawah
menunjukkan nilai resisitiviti yang tinggi, kemungkinan karena adanya asosiasi dengan batuan intrusi yang ada di bawahnya. Pada
lintisan ini keberadaan urat kuarsa yang mengandung logam, sangat sulit diidentifikasi. Pada titik GL 360- GL 380 menunjukkan
kemungkinan adanya urat kuarsa dibawah permukaan dengan kedalaman hampir 50 m dari permukaannya. Urat ini diperkirakan
berasosiasi dengan intrusi yang memberikan nilai resisitiviti paling tinggi pada penampang ini (lihat peta lampiran 6).
LAMPIRAN 70
Lintasan GF-4, lintasan ini mempunyai panjang sekitar 500 m, dan dari hasil interpretasi geofisikanya didapat bahwa umumnya
menunjukkan nilai resisitiviti yang rendah yang bisa diinterpretasikan sebagai lapisan soil penutup yang bersampur dengan tuf halus
dan hasil lapukan batuan vulkanik. Sementara pada lintasan ini tidak menunjukkan adanya indikasi anomaly nilai resisitiviti yang
dianggap mencerminkan adanya urat kuarsa yang mengandung mineralisasi.
Lintasan ini lebih menunjukkan dominasi batuan daerah penelitian (lihat peta Lampiran 7).
Sementara itu, untuk dibagian lain dari daerah penelitian tidak dilakukan pengukuran geofisika, adapun alas annya diantaranya
adalah ; morfologi yang terjal, banyaknya lubanglubang penggalian tambang masyarakat, sehingga bisa mengakibatkan bias hasil
pengukuran; cuaca hujan terus menerus mengakibatkan alat tidak dapat berfungsi dengan baik.
batuannya saja, karena anomalinya menunjukkan jenis batuan intrusi andesitik-dioritik. Sementara anomali resistivity rendah lebih
menunjukkan kepada jenis batuan alterasi silisifikasi dan batuan batugamping yang menjadi host dari mineralisasi logam yang ada
dalam bentuk lensa-lensa tipis atau urat-urat yang relative pendek penyebarannya.
Sehingga baik dari hasil pengukuran berdasarkan outcrop dan peta topografi, maupun dari data pengukuran geofisika, tidak
memungkinkan untuk membuat model atau dimensi urat mineralisasi logamnya baik secara lateral maupun vertikal. Hal ini disebabkan
oleh karena hampir sebagian besar outcrop dari urat kuarsa yang termineralisasi unsur logam telah digali dan diambil oleh masyarakat,
baik secara manual melalui terowongan kecil pada kedalaman 5-10 m kearah lateral dan 3 meter kearah vertikalnya, sementara itu untuk
outcrop yang ada dipermukaan umumnya diambil dengan menggunakan eskavator. Sehingga terdapat perbedaan kondisi lapangan yang
sangat signifikan dari kegiatan yang dilakukan di awal penelitian tahun pertama yang hanya terbatas pada inventarisasi pemetaan geologi
dan alterasi detail serta lokasilokasi singkapan yang mengandung urat logam. Dimana pada saat itu masih bisa ditemukan urat k uarsa
yang mengandung logam dengan ketebalan mencapai 5 meter dan menerus hingga sekitar 50-100m. Akan tetapi tidak demikian halnya
pada saat pengukuran geofisika dilakukan pada tahun kedua penelitian, singkapan seperti itu telah seluruhnya habis diambil dan hanya
menyisakan lahan terbuka yang gersang dan berlubang-lubang. Karena sistim penambangan yang dilakukan masyarakat tidak
memperhatikan aspek lingkungan.
Dari penelitian ini tidak dapat dilakukan perhitungan cadangan dan membuat model sebaran mineralisasinya baik secara lateral
maupun vertikal. Karena kondisi di lapngan yang sudah sangat berubah dibandingkan dengan kondisi pada awal kegiatan penelitian ini
dilakukan. Sehingga bisa dikatakan tujuan utama dari penelitian ini untuk bisa memperkirakan jumlah cadangan ekonomis dari potensi
mineralisasi yang ada tidak bisa di wujudkan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengaplikasikan metoda pengukuran
geofisika lain yang mempunyai penetrasi yang lebih dalam, karena dari hasil awal di atas, dapat dilihat keberadaan urat-urat pada
kedalaman lebih dari 20 m dari level permukaannya yang sekarang. Dan lokasilokasi tersebut masih jauh dari jangkauan para penambang
lokal yang masih terbatas hanya penggali pada kedalaman kurang dari 20 m.
LAMPIRAN 72
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebutuhan akan logam dasar saat ini sangat besar, sehingga masyarakat
dengan dukungan sedikit dana dari pengusaha dapat menggambil potensi tersebut dengan cepat tanpa lebih dulu mempelajari secara
detail tentang kondisi mineralisasi, tipenya, sebarannya dan dimensi dari uratnya. Tetapi mereka lebih kepada intuisi dengan jalan
mengikuti pola sebaran yang telah ada dipermukaan dan mencoba menelusuri hinggakedalam tertentu. Akan tetapi metoda ini sangat
merusak lingkkungan, terutama paska penambangan, dimana lahan-lahan dibiarkan terbuka dan gundul dengan tumpukan limbah hasil
penggalian yang tidak mengandung logam di biarkan saja bertumpuk.
Hal ini kelak dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana geologi terutama tanah longsor atau banjir. Karena tidak
adanya tanaman yang menahan air hujan yang turun.
Jika melihat pada pola sebaran outcrop yang ada, dan jejak bekas lokasi penambangan masyarakat, dapat di interpretasikan
bahwa potensi mineralisasi logam dasar ini tidak besar dan hanya muncul dalam bentuk urat-urat kuarsa tipis kurang dari 5m lebarnya
dengan penyebaran lateral kurang dari 500 m, dan pola penyebaran urat kuarsa juga tidak teratur. Sehingga untuk ukuran suatu
perusahaan pertambangan besar, tentu saja potensi ini sangat jauh untuk dikatakan ekonomis. Akan tetapi dengan model pola
penambangan rakyat seperti yang tengah dilakukan saat ini di daerah penelitian, cukup memberikan penghasilan tambahan bagi
masyarakat sekitar. Hasil penambangan mereka kemudian dijual kepada penampung yang juga menampung dari beberapa lokasi
sejenis dari berbagai daerah.
Sehingga pola pengelolaan tambang rakyat cukup baik dilakukan, hanya perlu dilakukan pembinaan oleh aparat terkait, dalam
hal ini dinas pertambangan untuk lebih memberikan pengarahan kepada para penambang rakyat untuk lebih memperhatikan aspek
lingkungan dan keselamatan yang akan ditimbulkan selama dan setelah kegiatan penambangan dilakukan.
6.1 Kesimpulan
• Secara umum geomorfologi daerah penelitian dapat dibedakan atas emapt satuan geomorfologi, yaitu : Satuan Geomorfologi
Perbukitan Sedimen Tersayat Tajam; dan Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Bergelombang.
• Litologi yang terdapat didaerah penelitian dapat bedakan menjadi sebelah satuan batuan dengan urutan dari tua (Oligosen Awal) ke
muda (Kuarter) adalah : Satuan batupasir; Satuan tuf coklat muda; Satuan Lava Andesit; Satuan Breksi konglomeratan; Satuan Breksi
Polimik; Satuan Tuf Coklat ; Satuan Batugamping; Satuan Batulempung; Satuan Breksi Vulkanik; Satuan Aglomerat; dan Satuan
Lava Basal.
• Struktur geologi yang berkembang dapat dibedakan atas: antiklin Cikarang; sesar normal Landeuh; sesar naik Tegallumbu; dan sesar
mendatar Cikidang.
• Zonasi alterasi dibedakan atas : Zonasi Alterasi Silisifikasi yang dicirikan oleh mineral kuarsa dan cukup mendominasi; Zonasi
Alterasi Propilit yang dicirikan oleh mineral klorit dan karbonat; dan setempat-setempat Zonasi Alterasi Argilik, yang dicirikan oleh
mineral lempung.
• Zonasi Mineralisasi Logam Dasar yang berupa urat (vein) kuarsa dan asosiasi mineral galena, sphalerit, kalkopirit, pirit, arsenopirit,
markasit, perak, bornit, kovelit, malakit, hematit dan limonit. Vein ini mempunyai ketebalan sekitar 1~3 meter dengan panjang
singkapan mencapai sekitar 500 m dengan arah hampir barat timur. Vein mineralisasi logam ini yang bernilai ekonomis terdapat di
LAMPIRAN 74
daerah Cisungsang dan daerah Bojong. Kedua vein ini dapat diusahakan sebagai tambang timah hitam (galena, Pb) dengan skala
rakyat.
• Berdasarkan karakteristik asosiasi mineral logam serta keterdapatnnya diperkirakan mineralisasi didaerah ini merupakan tipe
mineralisasi hidrotermal tipe mesotermal. Akan tetapi karena yang menjadi batuan induk mineralisasi adalah berupa batuan sedimen
karbonat, maka tipe mineralisasi semacam ini ditempat lain oleh sebagian peneliti dikelompokan menjadi “Mineralisasi Tipe Carlin”.
Akan tetapi penulis lebih cenderung menamakan tipe mineralisasi di daerah Cisungsang dan Bojong ini sebagai tipe endapan
mesotermal.
• Dari hasil pengukuran geofisikan, tidak terlihat adanya anomaly yang cukup signifikan yang menunjukkan adanya potensi
mineralisasi logam yang cukup dominan, tetapi lebih kepada jenis litologinya saja. Mineralisasi yang ada lebih kepada bentuk urat-
urat yang tidak beraturan dan tersebar pada kedalaman yang berbeda-beda.
• Pada penelitian ini tidak dapat dibuat model penyebaran mineralisasi logamnya baik secara lateral maupun vertikal, karena data yang
diperoleh dari hasil penelitian tidak mencukupi, serta adanya kendala-kendala yang menyebabkan tidak dapat dilakukan pengukuran
geofisika, seperti topografi yang teral, curah hujan yang tinggi serta banyaknya lokasi lubang-lubang penambangan rakyat.
• Potensi mineral logam yang ada di daerah Cisungsang dan Bojong adalah kecil, sehingga pengelolaannya dapat diusahakan sebagai
tambang rakyat untuk timah hitam, mengingat harga timah hitam yang sedang meningkat.
LAMPIRAN 75
6.2. Saran
• Saat ini, potensi logam dasar didaerah Cisungsang dan Bojong sudah diusahakan oleh masyarakat sekitar sebagai tambang rakyat,
akan tetapi karena tidak adanya pengawasan dan pengarahan yang tepat tentang metoda penambangannya, maka kecenderungan
yang ada saat ini adalah penambangan yang bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan dan bencana tanah longsor.
• Perlu ada pengawasan dan penyuluhan dari pihak dinas pertambangan atau pemda terkait tentang metoda penambangan yang benar,
tidak merusak lingkungan dan menyebabkan bencana geologi, serta menjamin keselamatan para penambang itu
sendiri.
LAMPIRAN 76
LAMPIRAN 77
LAMPIRAN 2
LAMPIRAN 78
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, A., Sumanagara, A. D, Sinambela, D., 1994. The Gunung Pongkor
gold-silver deposit, West Java, Indonesia. J. Geochem. Expl 50: 371-391
Corbet, G.J. and Leach, T.M., 1994: Southwest Pacific Rim Gold-Copper
Systems: Structural, Alteration, and Mineralization
Guilbert, J. M. dan Park C.F., 1986: The geology of ore deposits. Freeman and Company.
985p.
Hedenquist, J.W., Izawa, E., Arribas, A. and White, N.C., 1996: Epithermal
gold deposits: Styles, characteristics, and exploration
Lawless, J.V., White, P.J., Bogie, I., Paterson, L.A., dan Cartwright, A.J.,
1997: Epigenetic Magmatic-Related Mineral Deposit. Exploraion based on
mineralization model. Kingston Morrison.
Marcoux, E. and Milesi, J. P., 1994. Epithermal gold deposit in West Java,
Indonesia: geology, age and crustal source. J. Geochem. Expl. 50: 393-408.
Marcoux, E., Milesi, J. P., Simpwee, S. and Rinawan, R., 1993. Noteworthy
mineralogy of the Au-Ag-Sn-W(Bi) epithermal ore deposit of Cirotan, West Java,
Indonesia. The Canadian Mineralogist 31: 727-744.
Milesi, J. P., Marcoux, E., Nehlig, P., Sunarya, Y., Sukandar, A. and Felenc,
J., 1994. Cirotan, West Java, Indonesia: A 1.7 Ma hybrid epithermal Au-Ag-Sn-W
deposit. Econ. Geol., 89, 227-245.
Milesi, J. P., Marcoux, E., Sitorus, T., Simandjuntak, M., Leroy, J. and Baily,
L. ,1999. Pongkor (West Java, Indonesia): A Pliocene supergene-enriched epithermal
Au-Ag- (Mn) deposit. Mineral. Deposita , 34, 131-149.
Rollinson, Hugh R. 1993. Using Geochemical Data. Longman Scientific &
Technical, England. Halaman 48, 72, 102, 133.
Rosana, M.F., and Matsueda, H., 2001. Outline of the hydrothermal gold-
silver mineralization at Cikidang, West Java, Indonesia. Resource Geol. Ann. Meet.
50, p33.
Rosana, M.F., and Matsueda, H., 2002. Cikidang Hydrothermal Gold deposit
in Western Java, Indonesia. Resource Geol. 52, 341-352.
Rosana, M.F., and Matsueda, H., 2002. First observation of the base metal
mineralization in the Cikidang gold mining area, Western Java, Indonesia. Resource
Geol. Ann. Meet. 52, p03.
Sujatmiko dan Santosa, S., 1992. Peta Geologi lembar Leuwidamar, Jawa. P3G, Bandung.