Anda di halaman 1dari 66

BIDANG MIPA - GEOLOGI

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

KAJIAN KARAKTERISTIK BATUAN ALTERASI


DALAM MENGUNGKAP POTENSI SUMBERDAYA MINERAL
LOGAM DASAR DAN MULIA DI DAERAH CISITU-CIKADU
KABUPATEN LEBAK, PROPINSI BANTEN

Oleh :

Mega Fatimah Rosana, Ir., M.Sc., Ph.D. (Ketua)


Agus Didit H. Ir., MT. (Anggota)
Yuyun Yuniardi, ST., MT. (Anggota)
Euis Tintin, ST., MT. (Anggota)

DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI, DEPARTEMEN PENDIDIKAN


NASIONAL SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN PENELITIAN
NOMOR 031/SP2H/PP/DP2M/III/2007
TANGGAL 29 MARET 2007

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS PADJADJARAN
NOVEMBER, 2007
PRAKATA

Puji syukur kami sampaikan ke hadirat Allah SWT. Atas selesainya penelitian

Hibah Bersaing tahun kedua, 2007.

Penelitian dengan judul : “Kajian karakteristik batuan alterasi dalam

mengungkap potensi sumberdaya mineral logam dasar dan mulia di daerah

CisituCikadu, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten”, bertujuan untuk

mengidentifikasi karakteristik batuan alterasi dalam hubungannya dengan potensi

mineralisasi logam dasar, serta kemungkinan menentukan potensi ekonominya

untuk kemudian dapat dikembangkan sehingga bisa memberi pendapatan tambahan

bagi masyarakat sekitar dan PAD bagi pemerintah daerah.

Pada kesempatan, ini mengucapkan terima kasih kepada Dikti yang telah

membiaya seluruh penelitian ini sehingga selasai selama dua tahun dari 2006-2007.

Akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

khususnya pihak-pihak yang terkait dalam upaya menginventarisasi potensi

sumberdaya bahan galian logam yang dapat dikembangkan untuk menambah PAD

pemerintah dan memberi tambahan kesejahteraan bagi masyarakat disekitar

sumberdaya tersebut.

Bandung, 20 November 2007,


Tim Peneliti

RINGKASAN DAN SUMMARY

Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Desa Cisitu-Cikadu, Kecamatan


Cikotok, Kabupaten Lebak, Banten. Luas daerah yang menjadi objek penelitian
adalah mencapai 100km2. Daerah ini dipilih sebagai daerah kajian karakteristik
batuan alterasi, karena secara geologi daerah penelitian termasuk dalam kawasan
Kubah Bayah, yang telah diketahui sejak dahulu mempunyai potensi adanya
mineralisasi logam dasar, tembaga Cu, timah hitam Pb, seng Zn dan logam mulia
seperti emas Au, perak Ag. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk
ditemukannya potensi mineralisasi lain selain yang telah ditambang di daerah
Cikotok, Cirotan, Cikidang dan Gunung Pongkor. Penelitian ini sebagai kelanjutan
dari penelitian tahun pertama, yaitu mencoba menghitung potensi cadangan
sumberdaya bahan galian logam tersebut dengan metoda pengukuran geofisika dan
dibantu oleh pemetaan geologi secara detail untuk menentukan jalur pengukuran
geofisikanya.

Metoda penelitian yang diaplikasikan adalah berupa penelitian lapangan yang


mencakup pemetaan geologi, pemetaan alterasi. Sedang untuk mengetahui
penyebaran secara vertikal dilakukan metoda geofisika resistivity dengan
konfigurasi dipole-dipole. Secara geologi daerah penelitian tersusun oleh batuan
volkanik klastik berupa tuf, breksi, konglomerat dan anglomerat; batuan sedimen
berupa batupasir, batugamping; serta batuan intrusi dangkal berupa andesit dan lava.
Batuan-batuan tersebut berumur mulai dari yang paling tua sekitar umur Oligosen
Awal (+ 38jt thn) hingga yang paling muda sekitar Kuarter (0,01 jt thn).

Alterasi hidrotermal didaerah penelitian dapat dikelompokkan menjadi tiga zonasi


alterasi, yaitu Zonasi Alterasi Propilit, Zonasi Alterasi Argilik, dan Zonasi Alterasi
Silisifikasi. Selain itu juga terdapat zonasi mineralisasi logam dasar yang berupa urat
(vein) kuarsa yang berasosiasi dengan mineral logam berupa galena, sphalerit,
kalkopirit, pirit, markasit, arsenopirit, perak, bornit, kovelit dan malakit, serta
hematite.
Pengukuran secara metoda resistivity dipole-dipole yang dilakukan dan
menggabungkan data pemetaan topografi, tidak memungkinkan untuk membuat
model mineralisasi baik secara lateral maupun vertikal, karena kondisi singkapan
yang umumnya telah habis ditambang oleh masyarakat sekitar. Sehingga
pengukuran geofisika yang dilakukan juga tidak menunjukkan hasil yang optimal
untuk bisa menghitung jumlah cadangannya.

Secara umum, kawasan mineralisasi logam dasar di daerah Cisungsang dan Bojong
telah ditambang secara manual oleh masyarakat sekitar tanpa memperhatikan aspek
lingkungan, bencana geologi dan keselamatan kerja. Sehingga diperlukan adanya
penyuluhan dan pengawasan dari instansi terkait yang member kewenangan
masyarakat untuk menambang dengan cara seperti saat ini dilakukan, misalnya dari
aparat dinas pertambangan atau dari pemda setempat.

ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari kegiatan penelitian di tahun pertama.


Dari hasil kegiatan penelitian tahun pertama diketahui bahwa secara geologi
ditemukan adakanya potensi sumberdaya bahan galian berupa timah hitam (Pb) dan
seng (Zn) di daerah Cisitu-Cikadu, Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Dengan
diberlakukannya sistim Otonomi Daerah (OTDA), membuka kesempatan para
investor untuk melakukan eksplorasi sumberdaya mineral khususnya timah hitam
dan seng di daerah tersebut, sehingga diharapkan dengan adanya kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi sumberdaya mineral di daerah dapat meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD) dan meningkatkan taraf hidup masyarakat yang ada di sekitar
sumberdaya alam tersebut.

Kabupaten Lebak Propinsi Banten, secara geologi telah dikenal cukup lama
sebagai daerah yang mempunyai potensi sumberdaya mineral logam yang sangat
besar khususnya emas, perak, seng dan timbal. Sehingga kemungkinan untuk
menemukan sumber cadangan lain dari yang telah teridentifikasi saat ini akan sangat
besar, mengingat kondisi geologinya yang sangat mendukung. Adanya akumulasi
mineral logam dasar di daerah Kabupaten Lebak, khususnya wilayah yang secara
geologi disebut “Kubah Bayah” tidak terlepas dari adanya akitfitas magmatik yang
membawa unsur-unsur logam dasar tersebut dari dalam magma dan terkonsentrasi
di dekat permukaan melalui proses hidrotermal. Adanya proses hidrotermal pada
suatu daerah dapat diidentifikasi dari hadirnya batuan yang termineralisasi atau
batuan yang terubah, khususnya secara kimia, serta hadirnya urat-urat kuarsa yang
mengandung mineral-mineral logam dasar seperti emas, perak, tembaga, bijih besi,
seng dan timbal.

Target khusus yang akan dicapai melalui penelitian tahap kedua ini adalah
memperoleh data yang lebih spesifik khususnya penyebaran mineral timah hitam
dan seng secara vertikal hingga kedalam tertentu berdasarkan sifat geofisika
mineralnya. Dari hasil tersebut kemudian akan dikombinasikan dengan data
penelitian permukaan yang telah memetakan secara lateral penyebarannya, Sehingga
akhirnya diharapkan dapat diperkirakan jumlah sumberdaya yang ada baik secara
lateral maupun vertikal, serta mengkaji kemungkinan untuk dapat dieksploitasi serta
dihitung nilai ekonomisnya,

sehingga diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat sekitar dan PAD
bagi pemerintah daerah.

Metode penalaran pada penelitian ini hádala merupakan model pendekatan


deterministik. Tahapan penelitian yang dilakukan adalah studi pustaka dan
inventarisasi data sekunder, survey lapangan dan sampling, analisis laboratorium,
analisis data, penyusunan laporan, seminar/publikasi.

1.2. Lokasi Daerah Penelitian

Penelitian lapangan dan pengambilan sampel batuan alterasi


(termineralisasi) dan batuan host rock, serta pengukuran dengan metoda geofisika
dilakukan di Desa Cisitu-Cikadu, Kecamatan Cikotok, Kabupaten Lebak, Propinsi
Banten (Gambar 1).

Gambar 1.1. Peta Lokasi Daerah Penelitian


1.3. Tim Peneliti

Penelitian ini dilakukan dalam sebuah tim penelitian yang terdiri atas seorang ketua
dan tiga orang anggota. Komposisi dari tim peneliti terdiri atas bidang ilmu yang
terkait dengan kegiatan penelitian, yaitu bidang eksplorasi, geokimia, mineralogi
dan geofisika dari Jurusan Geologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Padjadjaran. Kualifikasi dari ketua dan anggota tim peneliti dapat
dilihat dalam lampiran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Studi Pustaka dilakukan untuk memperoleh gambaran secara umum


karakteristik dari tidap model mineralisasi/deposit, sehingga kemudian dapat
membuat model untuk tersendiri untuk daerah penelitian. Selain itu studi pustaka
juga dilakukan untuk mengetahui metoda geofisika mana yang lebih efektif untuk
dapat mendeteksi penyebaran vertical dari suatu zona mineralisasi logam,
khususnya logam dasar. Selanjutnya akan dipilih metoda sederhana dalam
melakukan perhitngan cadangan berdasarkan data yang dimiliki. Lebih jauh studi
pustaka juga dilakukan terhadap berbagai metoda eksploitasi yang bisa dilakukan
terhadap model deposit dan jumlah cadangan seperti yang terdapat didaerah
penelitian.

2.1. Model Mineralisasi/Deposit

Proses alterasi (ubahan) atau disebut juga sebagai proses mineralisasi dari
suatu batuan induk (host rocks) karena adanya larutan hidrotermal yang naik dan
berinteraksi dengan batuan tersebut, dimana larutan hidrotermal membawa unsur-
unsur logam dari dalam magma dan kemudian di endapkan pada rekahan-rekahan
atau pori-pori dari batuan induknya (Gambar 2.1).
Gambar 2.1. Model alterasi mineralisasi hidrotermal yang berhubungan dengan
kegiatan magmatik (Hedenquist, dkk., 1996)

Konsep dasar tentang alterasi adalah berawal dari suatu pemikiran bahwa
jika batuan induk (dalam bentuk rekahan atau retakan) dilalui oleh fluida panas
yang berasal dari magma atau larutan hidrotermal, maka keadaan kedua kondisi
baik larutan hidrotermal maupun batuan induk itu sendiri terjadi tidak stabil. Untuk
mencapai keseimbangan “equilibrium condition” maka akan terjadi suatu reaksi
dari keduanya dan menghasilkan suatu bentukan kondisi yang baru yang ditandai
dengan munculnya kumpulan mineral baru yang memiliki sifat yang berbeda dari
batuan induk maupun larutan asalnya. Perubahan tidak hanya meliputi kimia akan
tetapi juga perubahan fisika memiliki pola yang teratur dan sistimatik mulai dari
bagian yang paling luar hingga bagian yang paling dekat dengan tubuh bijih.
Berpangkal dari pemikiran inilah konsep dasar tentang alterasi batuan
dikembangkan. Mineral-mineral baru ini disebut sebagai mineral alterasi. Tingkat
ubahan atau intensitas serta sifat dari alterasi batuan tersebut sangat ditentukan dan
dipengaruhi oleh (a) sifat batuan induk, (b) sifat larutan panas (larutan hidrotermal)
yang menerobosnya yang akan menentukan faktor-faktor seperti Eh, pH, tekanan
uap berbagai spesies volatil, komposisi kation dan anion dan tingkat hidrolisis, dan
(c) temperatur dan tekanan pada saat reaksi terjadi.
Fluida maupun sifat batuan memiliki sifat yang berbeda dan beragam,
maka proses alterasi yang terbentuk terjadi melalui beberapa cara. Bebarapa hal
penting berkenaan dengan reaksi tersebut meliputi :

1. Hidrolisis  keterlibatan ion OH ketika terjadi reaksi antara batuan induk


dengan fluida hidrotermal. Contoh fespar menjadi muskovit dan kuarsa.
2. Hidrasi  berpindahnya molekul air dari fluida menjadi suatu mineral
sedangkan dehidrasi adalah kebalikannya.
3. Alkali / alkali-earth metasomatism  masuknya unsur magnesium (Mg+)
kedalam mineral yang baru.
4. Dekabonisasi  terjadi pada skarn dimana silika dan oksida dihasilkan dari
hilangnya CO2 dari gamping-dolomit.
5. Silisifikasi  Terjadi penambahan silika sehingga mineral menjadi
polimorf seperti kalsedon, opal atau jasper dlsb.
6. Silikasi  proses pengubahan ke mineral silikat ini banyak terjadi pada
mineral karbonat / skarn
7. Reduksi- Oksidasi  reaksi penting yang mempengaruhi besi ferous-ferric
dan mineral sulfur.
Gejala yang diperlihatkan oleh bentuk dan tipe dari alterasi merupakan
manifestasi yang berhubungan dengan proses pembentukan mineralisasi bijih.
Bukti tersebut dapat dilihat dari komposisi mineral batuan asal yang dalam hal ini
terjadi adanya perubahan secara sistimatis mulai dari tingkat ubahan propilit hingga
potasik.Cerminan dari tiap-tiap zona alterasi tersebut sebagai gambaran seberapa
jauh tingkat konveksi panas (temperatur) dan kedalaman (tekanan) yang
dipengaruhi oleh jenis fluida hidrotermal pembawa mineralisasi yang berasal dari
dapur magma kondisi geologi tempat mineralisasi terbentuk/ terjadi. Dengan kata
lain alterasi merupakan cerminan dari mineralisasi, sehingga dapat diketahui
jenis/tipe serta genesa suatu endapan dengan melihat pola-pola alterasi yang terjadi
(Corbett dan Leach, 1998).

Karena reaksi yang terjadi di alam terjadi begitu komplek seperti yang
disebutkan diatas maka produk dari mineral alterasi merupakan suatu kumpulan
yang memiliki mutualisme dan terjadi di suatu tempat. Istilah mineral assemblage
secara tidak langsung berarti pertumbuhan keseimbangan mutual dari fase-fase
mineral, dicirikan oleh kumpulan mineral spesifik yang tertentu sebagai suatu
penciri dari kumpulan mineral itu sendiri (Guilbert dan Park, 1986). Dari mineral
assemblage ini kita dapat mengetahui suatu zonasi tertentu tentang alterasi yang
dapat dipakai sebagai petunjuk atau guide, menunjukkan temperatur pembentukan,
kedalaman serta genesa suatu tipe endapan mineral. Kumpulan mineral atau
“mineral assemblage” dengan indikator mineral tertentu dapat di klasifikasikan
sebagai berikut (Gambar 2.2 dan 2.3):

1. Zonasi Potasik : mineral assemblage nya  K-flespar, tanpa atau dengan


biotit dan serisit.
2. Zonasi Filik : Ditandai dengan hadirnya secara dominan mineral
phylisilicate serisit,semua mineral seperti felspar, mika dan mineral mafik
terubah  serisit.
3. Advance argillik : Ditandai dengan hadirnya mineral piropilit-andalusit
pada temperatur tinggi, dan pada temperatur rendah adalah dickit, kaolinit,
dan alunit, topaz dan zunyit.
4. Zona Argillik : Pada zona ini yang paling menonjol adalah munculnya
secara dominan mineral kaolinit dan monmorilonit. Argilik terbentuk pada
temperatur relatif rendah.
5. Zona propilitik : Zona alterasi yang penyebaran yang luas. Mineral
karakteristik dari zona ini adalah epidot, klorit dan karbonat secara tipikal
menggantikan plagioklas, dan hornblende-biotit.
Gambar 2.2. Model Model zonasi alterasi pada tipe endapan
epithermal~mesothermal (Buchanan, 1998)

Selain zona ubahan tersebut di atas, dikenal pula adanya istilah mineralisasi
“High Sulfidation” dan “Low Sulfidation” atau “sulfida tinggi” dan “sulfida
rendah”. High sulfidation memiliki zonasi alterasi yang dicirikan oleh mineral
spesifiknya : alunit, diaspor, pyrophylite, zunyite, dickite, dan halloysite.
Sedangkan pada tipe Low sulfidation : kumpulan mineral spesifiknya terdiri dari :
Adularia, serisit, klorite, epidot dan smectit (Hedenquist dkk, 1996).

Tipe alterasi lainnya adalah skarn dan greisen: Skarn adalah mineralisasi
intrusif terjadi pada lingkungan karbonat dengan mineral alterasi yang
diperlihatkannya adalah piroksen-garnet-epidot-zoisit-piroksenoid-epidot. Greisen:
spesifik quartz dan mika, alterasi  advance argilik – filik, turmalin dan topaz
sebagai mineral asesoris (Corbett dan Leach, 1998).

Studi alterasi merupakan bagian penting dalam eksplorasi. Dengan studi


ini kita dapat mengetahui dan mempelajari secara sistimatik pola-pola mineralisasi
yang terjadi di suatu daerah dengan mempelajari pola-pola ubahannya. Dengan
mempelajari pola kita dapat mengetahui jenis mineralisasi apa yang terjadi, pada
temperatur dan kedalaman berapa mineralisasi terbentuk, serta bagaimana
lingkungan geologinya dari mineralisasi tersebut. Jadi aspek dari studi mineral
ubahan kita dapat mengetahui genesa dan tipe endapan bijih hidrotermal, dan
gradien temperatur dalam eksplorasi geotermal (Corbett dan Leach, 1998; Lawless
dkk, 1997).

Gambar 2.3. Hubungan zonasi mineralisasi dengan mineral logam dasar dalam
sistim hidrotermal. (Corbett dan Leach, 1998)

2.2. Mineral logam dasar dan mulia hasil proses hidrotermal

Propinsi Banten dan Jawa Barat yang terletak di ujung barat Pulau Jawa,
cukup dikenal sejak jaman dulu sebagai daerah yang mempunyai potensi
sumberdaya mineral logam dasar dan logam mulia, sebagai contoh daerah Cikotok
dan sekitarnya. Dimana endapan (akumulasi) logam-logam tersebut terbentuk
melalui proses hidrotermal (Sujatmiko dan Santosa, 1992).

Terbentuknya akumulasi (endapan) mineral logam dapat disebabkan oleh


berbagai proses seperti adanya diferensiasi magma, pegmatit, hidrotermal, kontak
metamorfik, sedimentasi (endapan permukaan dan endapan residu) (Jensen dan
Bateman, 1981) . Di wilayah Indonesia sebagai negara yang banyak mempunyai
gunungapi memiliki potensi yang cukup baik untuk terjadinya akumulasi (endapan)
mineral logam, khususnya melalui proses hidrotermal.

Mineral yang digolongkan sebagai mineral logam dasar adalah tembaga


(Cu), timbal (Pb), seng (Zn), timah (Sn) dan aluminium (Al). Dimana unsur-unsur
logam dasar tersebut di alam biasanya di jumpai dalam bentuk senyawa yang
umumnya dikenal sebagai mineral sphalerit (Zn), kalkopirit (Cu), galena (Pb),
kasiterit (Sn) dan Bauksit (Al) serta banyak lagi jenis mineral yang mengandung
unsur logam dasar tersebut. Sementara itu, mineral yang digolongkan sebagai
logam mulia (precious metal) adalah emas (Au), perak (Ag) dan platina (Pt). Selain
kedua kelompok di atas, masih ada yang dikelompokkan dalam golongan logam,
seperti bijih besi (Fe), manganese (Mn), nikel (Ni), kromium (Cr), vanadium (Va),
titanium (Ti), molibdenum (Mo) dan tungsten (Wo) (Jensen dan Bateman, 1981).

Di Indonesia, sebagian besar endapan primer logam dasar dan mulia di


hasilkan dari mineral-mineral logam dasar dan mulia yang terbentuk melalui proses
hidrotermal, baik itu dalam bentuk porfiri (berupa suatu tubuh intrusi) dan urat-urat
(vein kuarsa yang berasosiasi dengan mineral logam). Contoh yang cukup terkenal
untuk ke dua tipe ini adalah tipe endapan porfiri emas-tembaga di Grasberg-
Freeport (Papua) dan tipe urat kuarsa di Gunung Pongkor (Bogor). Selain endapan
primer, ada juga logam dasar atau mulia yang berupa endapan sekunder yang
dihasilkan karena proses sedimentasi, seperti endapan emas di Kelian (Kaltim) dan
endapan pasir besi di Cilacap (Jateng) (Carlile dan Mitchel, 1994).

Didaerah Banten, khususnya kawasan “Kubah Bayah, mineralisasi logam


dasar dan mulia sangat berhubungan dengan proses kegiatan magmatik purba, dan
khususnya terbentuk melalui proses hidrothermal, dimana sangat dipengaruhi oleh
komposisi dan temperatur fluida hidrothermal dan juga oleh batuan yang menjadi
“host” dari mineralisasi tersebut.
2.3. Tatanan Geologi Kubah Bayah

Secara geologi daerah Cisitu-Cikadu terletak di wilayah Kubah Bayah


yang telah dikenal sebagai komplek mineralisasi logam dasar dan mulia, khususnya
emas, perak, seng dan timbal. Kubah Bayah adalah merupakan sebuah struktur
vulkanik yang berumur Tersier hingga Kuarter. Bagian tengah dari Kubah Bayah
disusun oleh batuan volkanik berupa breksi, tuff dan lava yang berkomposisi
andesitik hingga dasitik yang berumur Oligosen – Miosen dan intrusi diorit hingga
andesit yang berumur Pliosen – Kuarter. Di bagian utara disusun oleh ignimbrit
yang berkomposisi dasitik. Sementara di bagian barat dan timur di tutupi oleh
batuan volkanik berupa tuff dan breksi yang berumur Pliosen – Kuarter (Sujatmiko
dan Santoso, 1992) Selain itu di bagian selatan wilayah ini ditutupi oleh batuan
redimen berupa batugamping dan batulempung yang berumur Eosen-Miosen.

Pada umumnya alterasi-mineralisasi yang ada di wilayah ini dikontrol oleh


struktur regional yang berarah relatif utara-selatan, yang dicirikan oleh pola
penyebaran urat-urat kuarsa yang ada di daerah Cikotok-Cirotan dan Gunung
Pongkor (Marcoux dan Milesi, 1994)

Alterasi hidrotermal banyak dijumpai di dalam wilayah Kubah Bayah ini,


dimana proses alterasi tersebut menghasilkan mineralisasi logam-logam dasar dan
mulia, emas, perak, seng dan timbal yang berasosiasi dalam bentuk urat-urat (vein)
kuarsa, seperti di daerah Cikotok dan Gunung Pongkor (Carlile dan Mitchel, 1994)
serta Cikidang (Rosana dan Matsueda, 2002).

Dari tipe alterasi dan jenis mineral logam serta kandungannya, maka
mineralisasi yang ada di wilayah Kubah Bayah ini dapat di kelompokkan dalam
dua tipe hidrotermal, yaitu tipe Cirotan –Cikotok yang dicirikan oleh kaya akan
kandungan mineral sulfida dan hadirnya cockade breksi; dan tipe Pongkor yang
dicirikan oleh kandungan sulfida yang rendah (Marcoux dan Milesi, 1994).

Akan tetapi masih banyak daerah-daerah lain yang belum diteliti lebih
detail, salah satunya adalah daerah Cisitu-Cikadu. Dimana pada daerah ini
ditemukan indikasi batuan alterasi (terubah) serta dijumpainya urat-urat kuarsa dan
breksi yang mengandung mineral logam, hal ini menandakan bahwa pernah adanya
kegiatan atau proses hidrotermal di daerah tersebut yang menghasilkan endapan
(akumulasi) mineral logam, khususnya pada batuan tuff dan batugamping. Dari
hasil kegiatan penelitian di tahun pertama, dapat diidentifikasikan geologi daerah
penelitian dan juga penyebaran batuan alterasinya, khususnya di daerah Cisitu-
Cikadu (Gbr. 2.4).

Gambar 2.4. Peta Geologi Daerah Penelitian (Rosana, dkk 2006)

2.4. Penelitian Yang Pernah Dilakukan

Telah banyak penelitian yang dilakukan di wilayah Kubah Bayah ini.


Mulai tahun 1933 ~ 1980 telah banyak dilakukan penelitian, akan tetapi pada
perioda ini penelitian yang dilakukan hanya sebatas dalam pembuatan peta geologi
secara regional, dan tidak ada yang membahas secara khusus tentang mineralisasi-
alterasi dalam kaitannya dengan akumulasi mineral logam.

Pada era tahun 1980 dimulai kegiatan penelitian geokimia secara regional
dengan metoda stream redimen untuk mencoba menemukan daerah-daerah anomali
unsur logam secara geokimia. Baru kemudian di era tahun 1990, dimulai penelitian
khusus tentang batuan alterasi khususnya di wilayah Cikotok-Cirotan (Milesi dkk,
1994; Marcoux dan Milesi, 1994; Sukarna dkk, 1999; Gunung Pongkor (Basuki
dkk, 1994; Milesi dkk, 1994; Warmanda dan Lehnan, 2003) dan Cikidang (Rosana
1997; Rosana dkk, 2001; Rosana dan Matsueda, 2002). Peneliti-peneliti di atas pada
umumnya hanya membahas karakteristik dan genesis dari mineral-mineral logam
yang ada di daerah Cirotan-Cikotok, gunung Pongkor dan Cikidang.

Sementara itu untuk daerah Cisitu dan Cikadu belum ada penelitian yang
dilakukan khusus mengenai batuan alterasi, akan tetapi didaerah Cisungsang yang
terletak sekitar 2 km dari daerah Cisitu pernah dilakukan penelitian tentang
karakteristik mineralisasi mineral logam dasar (Rosana dan Matsueda, 2003).
Sehingga di harapkan didaerah Cisitu-Cikadu batuan alterasi yang dijumpai juga
berasosiasi dengan mineralisasi logam dasar dan mulia, mengingat lokasinya yang
tidak terlalu jauh dari daerah Cisungsang maupun dari Cikidang.

Dari hasil kegiatan penelitian tahun pertama, dapat diketahui di daerah


tersebut ada dua daerah yang mempunyai potensi vahan galian yang mengandung
logam dasar, kedua daerah itu adalah daerah Cisungsang dan daerah Bojong (Gbr.
2.5). Sehingga pada kegiatan penelitian tahun kedua ini, kegiatan pengukuran
geofisika akan dikonsentrasikan pada kedua daerah tersebut.
Cisungsa

Bojon

Gambar 2.5. Peta Lokasi Daerah Mineralisasi Logam yang akan diukur secara
geofisika

2.5. Metoda Geofisika

Survey geofisika dilakukan dengan alat geolistrik dengan metoda tahanan


jenis (resistivity) yang dilakukan dengan jalan memberikan induksi energi listrik ke
bumi dan kemudian diamati pengaruhnya terhadap batuan yang dilaluinya. Ada
beberapa konfigurasi elektroda dalam pengukuran metoda tahanan jenis, yaitu
konfigurasi Schlumberger, konfigurasi dipole-dipole, dan konfigurasi Wenner.
Pada penyelidikan kali ini digunakan konfigurasi dipole-dipole.

Tujuan dari pengukuran geolistrik ini adalah untuk mengetahui variasi


harga tahanan jenis semu batuan bawah permukaan. Bila arus listrik diinjeksikan
ke dalam bumi melalui 2 buah elektroda arus, kemudian diukur beda potensial yang
ditimbulkan oleh adanya injeksi arus tersebut pada 2 buah elektroda potensial, maka
akan diperoleh harga tahanan jenis semu berdasarkan susunan elektroda dipole –
dipole. Harga tahanan jenis semu yang terukur dipengaruhi oleh adanya perbedaan
harga tahanan jenis masingmasing lapisan batuan bawah permukaan. Daerah –
daerah yang pelapukannya tinggi menyebabkan air tanah menjadi asin, elektrikal
survey dapat mempengaruhi pembacaannya, selain itu banyak zona dalam batuan
selain tubuh masif sulfida yang memberikan resistensi elektrik yang rendah.
Metode ini baik untuk daerah – daerah uplift dan erosi atau glasiasi menghasilkan
batuan yang segar dan tidak mengalami pelapukan yang dekat ke permukaan.

Alat-alat geolistrik yang digunakan adalah (Gambar 2.6):


• Resistivitymeter merk Martiel Geophysic
• Kabel dan Elektroda potensial dan arus
• Accu 12V, 10A
• Rollmeter, Kompas, GPS
• AVO meter, dan
• Laptop untuk mengolah data

Gambar 2.6. Perangkat peralatan geolistrik metoda tahanan jenis (resistivity)

Untuk mengukur variasi harga tahanan jenis semu perlapisan batuan di


bawah permukaan bumi dengan menggunakan metoda dipole – dipole, dilakukan
penempatan sepasang elektroda arus (A dan B) dan sepasang elektroda potensial
(M dan N) di permukaan bumi pada satu garis lurus, dengan panjang bentangan 100
m pada topografi yang datar, tetapi jika tidak mememungkinkan dilakukan koreksi
topografi dengan cara mengukur ketinggian awal bentangan dan akhir bentangan.
Elektroda – elektroda atau patok – patok yang dipasang diusahakan ditanam pada
tanah yang keras dan tidak terurai atau bekas cangkulan karena mempengaruhi nilai
pada alat geolistrik. Elekrtoda – elektroda arus A dan B diletakkan berdekatan
demikian juga elektroda – elektroda potensial M dan N (Gambar 2.7). Elektroda
arus ataupun potensial dapat bergerak bersama – sama ataupun salah satu elektroda
diam sedangkan elektroda yang lainnya bergerak dengan jarak n kali a dan diukur
dengan sepasi elektroda 3 m, sehingga didapatkan data – data pengukuran lapisan
di bawah permukaan (Gambar 2.8 – 2.10).

Gambar 2.7. Jarak konfigurasi elektroda


Dimana :
a = Jarak antara elektroda arus AB/elektrode potensial
MN n = Bilangan bulat positif sebagai faktor pengali
dari a

V = Beda potensial dari elektroda MN


I = Kuat arus pada elektroda AB
Jarak minimum antara elektroda AB dengan elektroda potensial MN adalah
a meter. Untuk menghitung faktor geometris (K) dari susunan elektroda dipole –
dipole

dengan : AM = r1 = (n+1)a
BM = r2 = (n.a)
AN = r3 = (n+2)a
BM = r4 = (n+1)a
Maka rumus dari faktor geometri :

K=
1 1 11 1
AM BM AN BN

Maka faktor geometri dapat diturunkan sebagai berikut :

K =N Nn. n+1 n+2( )N( )Aa


2
Sehingga persamaan harga tahanan jenis semu untuk konfigurasi elektroda
dipole – dipole adalah :

ρ app = K.dV/I

K = 2π (n‐1) n ( n+1)

ρ app = 2π (n‐1) n ( n+1) x dV/I

Dimana :
ρ app = Apparent resistivity (Ohm‐m) K

= Koefisien geometri dV = Beda

potensial I = Arus listrik 2x = Spasi

elektroda n = Jarak antar arus

2,3,4,…….dst
Gambar 2.8. Konfigurasi elektroda Dipole-dipole

Hasil interpretasi metoda dipole – dipole ini berupa penampang vertikal


kontur variasi harga tahanan jenis semu, yang mencerminkan harga resistivitas
batuan bawah permukaan. Untuk mengkonversi bentuk resistivitas ke dalam bentuk
geologi diperlukan pengetahuan tentang tipikal dari harga resistivitas untuk setiap
tipe material dan struktur geologi daerah survey. Tabel 2.1 menunjukkan harga
resistivitas batuan, material tanah dan unsur kimia secara umum. Batuan vulkanik
dan metamorfik cenderung mempunyai harga resistivitas yang tinggi. Batuan
sedimen yang pada umumnya lebih berporos dan mempunyai kandungan air yang
tinggi akan memberikan harga resistivitas yang lebih rendah. Tanah basah dan air
tanah akan mempunyai harga resistivitas yang lebih rendah lagi. Tanah lempung
biasanya mempunyai harga resistivitas lebih rendah dibandingkan dengan tanah
berpasir. Namun demikian ada juga harga resistivitas yang ada diantara nilai yang
ada di tabel 2 yaitu harga-harga resistivitas yang saling overlap dari kelas batuan
dan tanah yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor seperti porositas,
derajat saturasi air dan konsentrasi sebaran garam.

Tabel 1.1. Resistivitas batuan, mineral dan unsur kimia secara umum
Material Resistivitas (Wm)
Batuan vulkanik dan metamorphic
Granite 5x103- 106
Basalt 103- 106
Slate 6x102- 4x107
Marble 102- 2.5x108
Quartzite 102- 2x108

Batuan Sedimen
Batuan pasir
8 - 4x103
Shale
20 - 2x103
Limestone
Tanah dan Air 50 - 4x102
Lempung
Alluvium 1 - 100
10 - 800
Unsur kimia
Besi
9.074x10-8

Gambar 2.9. Geometri elektroda dipole-dipole tanpa material polarisasi (A) dan
material yang mengandung polarisasi (B). ρ L = ρ (w1) : resisitivity
semu frekuensi rendah, ρ H = ρ (w2) : resistivity semu frekuensi tinggi.
Gambar 2.10. Penampang model geologi bawah permukaan hasil interpretasi data
IP dan

Resistivity (Hansen, D.A. ; Barr, G.W., 1966)

2.5. Perhitungan Cadangan


Dalam penentuan jumlah cadangan sumberdaya mineral, terlebih dahulu
harus mengkalsifikasikannya berdasarkan pada dua kristeria, yaitu: tingkat
keyakinan geologi dan pengkajian layak tambang. Tingkat keyakinan geologi
sendiri ditentukan oleh tahapan eksplorasi yang meliputi survey tinjau, prospeksi,
eksplorasi umum dan eksplorasi rinci. Pengkajian layak tambang meliputi faktor-
faktor ekonomi, penambangan, pemasaran, lingkungan, sosial, dan hukum.
Pengkajian layak tambang akan menentukan apakah sumberdaya mineral akan
menjadi cadangan atau tidak. Jika berdasarkan kajian ini dihasilkan status layak
tambang, maka statusnya berubah menjadi cadangan, jika tidak, maka akan tetap
menjadi sumberdaya mineral.

Tingkat klas sumberdaya mineral dan cadangan dikelompokkan berdasarkan


kriteria jenis sumberdaya mineral dan cadangan. Mengelompokkan sumberdaya
mineral dibedakan menjadi : Sumberdaya mineral hipotetitk; Sumberdaya mineral
Tereka; Sumberdaya mineral Terunjuk; dan Sumberdaya mineral Terukur.
Sedangkan cadangan dibedakan menjadi : Cadangan terkira dan cadangan terbukti.

Dalam perhitungan cadangan ada banyak metoda yang dipakai tergantung


kepada data yang dimiliki. Perhitungan cadangan terbukti dilakukan berdasarkan
pada pemodelan dari data pemboran eksplorasi yang dilakukan di sepanjang
depositnya. Tingkatan yang lebih rendah, dimana perhitungan cadangan belum
didasarkan pada data pemboran, adalah berdasarkan pada data permukaan lateran
dan vertikal dari data geologi dan geofisika, serta kandungan dan berat jenis dari
bahan galiannya, baru dapat ditentukan atau dihitung jumlah cadangan terkira.
Kriteria dan kalsifikasi sumberdaya mineral dan cadangan dapat dilihat pada tabel
2.2.

Tabel 2.2. Kriteria dan Klasifikasi Sumberdaya Mineral dan Cadangan


BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Permasalahan yang akan diteliti di daerah Cisitu-Cikadu ini adalah


mengungkap karakteristik geofisika dari batuan termineralisasi serta urat-urat
kuarsa yang membawa mineral logam. Dengan mengetahui karakteristik
tersebut, akan dapat diprediksi penyebarannya secara vertikal. Masalah-masalah
tersebut dikaji melalui pendekatan deterministik di lapangan melalui pengukuran
geofisika melalui metoda geolistrik dengan konfigurasi dipole-dipole.

Lebih jauh dari hasil penelitian ini kemudian digabungkan dengan hasil
penelitian tahun pertama adalah penentuan sebaran batuan termineralisasi serta
uraturat kuarsa pembawa mineral logam, baik secara lateral maupun vertikal,
sehingga akan dapat diperkirakan besar cadangan atau potensi sumberdaya
mineral logam tersebut. Hal ini juga akan dikaji melalui pendekatan
deterministik melalui pemetaan detail dan pengukuran geolistrik di lapangan
serta pembuatan model di laboratorium.

Tujuan khusus yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :


a. Menentukan luas penyebaran vertikal zona mineralisasi logam berdasarkan
data hasil pengukuran geofisika
b. Membuat model mineralisasi berdasarkan penyebaran lateral dan vertikal,
serta karakteristik mineralsasi logam dan alterasi;
c. Membuat rekomendasi untuk kegiatan penamfaatan logam tersebut, terutama
pada metoda eksploitasinya Penentuan temperatur proses mineralisasi dari
data mineral ubahan dan inklusi fluida.
d. Penghitungan cadangan dari akumulasi mineral logam dasar dan mulia (hasil
proses hidrotermal) di daerah Cisitu-Cikadu, Kabupaten Lebak, Banten,
melalui pemodelan yang dilakukan dari data geofisika dan penyebaran lateral
dipermukaan.

18

3.2. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang diperoleh diharapkan akan dapat digunakan sebagai
dasar untuk melakukan kegiatan eksplorasi lebih detail untuk dapat mengidentifikasi
potensi sumberdaya mineral logam tersebut secara ekonomi, serta kemungkinan
untuk dapat dieksploitasi yang kelak diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan
asli daerah (PAD) dan meningkatkan pendapatan masyarakat disekitar lokasi
mineralisasi tersebut. Selain itu dari aspek ilmiahnya, juga dapat diketahui
kemungkinan hubungan keberadaan antara mineralisasi logam dasar di daerah
Cikadu-Cisitu dengan mineralisasi emas-perak di daerah Cikidang yang berada di
bagian utara daerah penelitian, serta kemungkinan untuk menemukan potensi
mineral sejenis didaerah lain sekitar daerah penelitian yang memiliki karakteristik
geologi dan geofisika yang sama.

BAB IV METODA PENELITIAN

Pemecahan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan


pendekatan deterministik. Pendekatan deterministik dilakukan dengan cara
membuat suatu model dari data identifikasi yang diperoleh terhadap komponen
dalam sistim alterasi serta hubungan interaksi dari k omponen-komponen tersebut.
Dengan metoda ini peneliti dituntun untuk membuat kesimpulan yang mempunyai
tingkat validasi yang tinggi berdasarkan pada analisis dan pembahasan terhadap
componen yang terkait yang dinyatakan secara angka.
Tahapan penelitian yang dilakukan (Gambar 4.1) adalah sebagai berikut:

a. Studi literatur (pendahuluan)


b. Survey lapangan dan pengambilan sampel
c. Analisis laboratorium
d. Interpretasi/Analisis data
e. Mengukuran kedalaman/ketebalan dengan metoda geofisika
f. Pembuatan model mineralisasi
g. Penghitungan cadangan sumberdaya logam dasar
h. Penyusunan laporan
Studi literatur dilakukan untuk memperoleh gambaran secara regional
tentang daerah penelitian berdasarkan data geologi dan topografi sebagai acuan
untuk desain survey di lapangan dan lokasi pengambilan sampel.
Survey lapangan dilaksanakan untuk memetakan secara detail kondisi
geologi di daerah penelitian serta meliniasi daerah-daerah potensi mineralisasi.
Pemetaan geologi dilakukan dengan metoda konvensional, yang meliputi penentuan
jenis litologi serta posisi stratigrafi, pengamatan bentang alam, identifikasi jenis
struktur yang berkembang serta melinisasi daerah-daerah potensi mineralisasi
dengan penentuan zonasi ubahan/alterasi dan urat-urat kuarsa pembawa mineral
logam berdasarkan pada identifikasi mineral alterasi secara megaskopis. Kegiatan
survey lapangan juga meliputi pengukuran penyebaran alterasi-mineralisasi secara
vertikal melalui geolistik.
Untuk menghitung potensi mineral logamnya, dilakukan dengan menggabungkan
data pemetaan zonasi alterasi dan mineralisasi dengan data pengukuran secara
vertikal dengan metoda geofisika, khususnya geolistrik.

Peralatan yang diperlukan dalam penelitian lapangan ini diantaranya, adalah:


• Peta topografi skala 1:25.000 dan Peta Geologi Skala 1:25.000
• Peralatan survey lapangan/geologi (kompas, loupe, palu, linggis, pita ukur, dll.)
• Kamera dan Alat tulis dan buku catatan lapangan
• Geolistrik dipole-dipole
Peralatan yang digunakan dalam penelitian laboratorium di
antaranya adalah

• Komputer beserta perangkat lunaknya (MS-word, MS-Excel, MapInfo, dll).


• Peralatan geolistrik metoda dipole-dipole
Waktu yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan penelitian tahun kedua
ini waktu efektif 8 (delapan) bulan. Adapun alokasi waktu untuk tahapan
penelitian yang dilakukan tercantum pada tabel 2 berikut ini.
Untuk menghitung potensi mineral logamnya, dilakukan dengan
menggabungkan data pemetaan zonasi alterasi dan mineralisasi dengan data
pengukuran secara vertikal dengan metoda geofisika, khususnya geolistrik.
Peralatan yang diperlukan dalam penelitian lapangan ini
diantaranya, adalah:

• Peta topografi skala 1:25.000 dan skala 1:50.000


• Peta Geologi Skala 1:100.000
• Peralatan survey lapangan/geologi (kompas, loupe, palu, linggis, pita ukur,
dll.)
• Kantung sampel
• Kamera
• Alat tulis dan buku
• Geolistrik
Peralatan yang digunakan dalam penelitian laboratorium di
antaranya adalah :

• Komputer beserta perangkat lunaknya (MS-word, MS-Excel, MapInfo, dll).


• Peralatan geolistrik metoda dipole-dipole
Waktu yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan seluruh program dalam
penelitian adalah dengan waktu efektif 10 (sepuluh) bulan. Adapun alokasi
waktu untuk tahapan penelitian yang dilakukan tercantum pada tabel 4.1 berikut
ini.
ALUR RANCANGAN PENELITIAN TAHUN KEDUA

Peta Geologi & Alterasi Hasil Analisis Laboratorium


SKALA 1 : 25.000

Pengukuran Geofisika Model Mineralisasi Logam Dasar


( di lapangan)

Analisis Data Geofisika dan Model


Mineralisasi

DATA BASE
(Geofisika & Karakteristik dan Potensi Mineral logam
dasar dan mulia)

PETA POTENSI MINERALISASI DAN


PERHITUNGAN CADANGAN

ERROR > 5%
VERIFIKASI & VALIDA

ERROR ≤ 5%

MODEL CADANGAN LOGAM DASAR


DAN MULIA

Gambar 4.1. Alur Rancangan Penelitian Tahun Kedua


Tabel 4.1. Alokasi waktu penelitian

Alokasi Waktu Penelitian

NO TAHAPAN PENELITIAN Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1. Persiapan dan studi literatur

2. Survey lapangan

3. Pengukuran Geofisika

4. Analisis data lapangan

Penyusunan database hasil


5.
lapangan dan geofisika
6. Pembuatan Model Cadangan

7. Penyusunan laporan

8. Seminar / Publikasi

49
LAMPIRAN 50

23

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Geologi Daerah Cisitu-Cikadu

Pada bab ini menjelaskan hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi aspek-aspek geologi daerah penelitian, yang meliputi:
geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, dan sejarah geologi.

5.1.1 Geomorfologi
Bentuk bentang alam di daerah penelitian memperlihatkan bentuk-bentuk perbukitan memanjang dengan relief bergelombang
sampai terjal. Ketinggian daerah tersebut antara 3501251 meter diatas permukaan laut. Sungai - sungai besarnya mengalir pada lembah
- lembah yang dibatasi perbukitan–perbukitan yang memanjang dengan arah relatif utara - selatan.

Berdasarkan aspek-aspek morfografi, morfometri dan morfogenetik yang telah dibahas sebelumnya, maka penulis membagi
geomorfologi daerah penelitian menjadi 4 (empat) satuan geomorfologi, yaitu :

1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Tersayat Tajam.


2. Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Bergelombang.
LAMPIRAN 51

3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Tersayat Tajam.


4. Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Bergelombang.
Penyebaran satuan-satuan geomorfologi daerah tersebut dapat dilihat pada Peta Geomorfologi (Lampiran-1).

5.1.1.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Tersayat Tajam.


Satuan geomorfologi perbukitan vulkanik ini dicirikan oleh bentang alam perbukitan, memiliki luas sekitar 50% dari
keseluruhan daerah penelitian. Kemiringan lereng yang terbentuk berdasarkan perhitungan morfometri adalah 21%-57% dengan beda
ketinggian 901 meter. Pola pengaliran yang berkembang adalah pola pengaliran dentrito parallel, parallel dan trelis. Lembah sungai
yang terbentuk memiliki bentuk huruf V.

Berdasarkan interprestasi pola perbukitan yang lereng-lerengnya adalah terjal dan pada lembahnya membentuk pola
kelurusan sungai, diperkirakan pada satuan geomorfologi ini juga merupakan suatu zona yang dikontrol oleh struktur geologi. Hal ini
terbukti dari hasil pengamatan di lapangan dengan ditemukannya indikasi-indikasi struktur geologi seperti kekar dan indikasi sesar
berupa cermin sesar.

Litologi yang menyusun satuan geomorfologi ini adalah dari aktivitas vulkanisme berupa lava, breksi dan tuf.

5.1.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Bergelombang.


Satuan geomorfologi perbukitan vulkanik ini dicirikan oleh bentang alam perbukitan, memiliki luas sekitar 25% dari
keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini memiliki kemiringan lereng 15-20% dan beda ketinggian 487 meter. Pola pengaliran yang
berkembang adalah pola pengaliran dentrito paralel, parallel dan trelis. Lembah sungai yang terbentuk memiliki bentuk huruf U-V.
Berdasarkan pengamatan data lapangan dan interprestasi pola kelurusan sungai, pada satuan ini terdapat indikasi sruktur berupa kekar,
LAMPIRAN 52

dan indikasi sesar berupa cermin sesar. Litologi yang menyusun satuan geomorfologi ini adalah dari aktivitas vulkanisme berupa lava,
breksi dan tuf.

5.1.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Bergelombang.


Satuan geomorfologi perbukitan vulkanik ini dicirikan oleh bentang alam perbukitan, memiliki luas sekitar 25% dari
keseluruhan daerah penelitian. Satuan ini memiliki kemiringan lereng 15-20% dan beda ketinggian 487 meter. Pola pengaliran yang
berkembang adalah pola pengaliran dentrito paralel, parallel dan trelis. Lembah sungai yang terbentuk memiliki bentuk huruf U-V.
Berdasarkan pengamatan data lapangan dan interprestasi pola kelurusan sungai, pada satuan ini terdapat indikasi sruktur berupa kekar,
dan indikasi sesar berupa cermin sesar. Litologi yang menyusun satuan geomorfologi ini adalah dari aktivitas vulkanisme berupa lava,
breksi dan tuf.

5.1.1.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Bergelombang.


Satuan geomorfologi Perbukitan Sedimen bergelombang ini dicirikan oleh bentang alam perbukitan. Satuan ini memiliki
litologi penyusun terdiri dari batugamping, batupasir, breksi konglomeratan dan batulempung. Satuan ini memiliki ciri-ciri kelas lereng
bergelombang dengan beda ketinggian 375 meter dan kemiringan lereng berkisar 12%-18%.

Satuan geomorfologi ini memiliki luas sekitar 15% dari keseluruhan daerah penelitian. Pola pengaliran yang berkembang adalah
pola pengaliran dentrito parallel, paralel dan trelis.

Karakteristik bentuk lembah pada satuan ini adalah bentuk huruf U.


LAMPIRAN 53

5.1.2 Stratigrafi
Penamaan atau pemakaian tata nama satuan stratigrafi untuk satuan batuan tertentu kadang tidak seragam, hal ini disebabkan
oleh ketidaksamaan para ahli terdahulu dalam pemerian tata nama satuannya. Untuk tidak mengacaukan peristilahan dalam Sandi
Stratigrafi Indonesia (1996), maka digunakan penamaan satuan stratigrafi tidak resmi (Sandi Stratigrafi Indonesia pasal 16) yaitu satuan
litostratigrafi adalah satuan yang tidak seluruhnya memenuhi persyaratan sandi. Satuan tidak resmi ini seyogyanya harus berdasarkan
pada ciri litologi, bila ciri litologi tidak dipergunakan, maka ciri-ciri yang didapat dengan cara mekanik atau penelitian lain.

Penentuan umur dan lingkungan pengendapan setiap satuan batuan berdasarkan foraminifera planktonik dan benthonik kecil
yang terkandung didalamnya serta ciri-ciri litologi berupa struktur sedimen yang ada. Apabila tidak dijumpai fosil maka penentuan umur
dan lingkungan pengendapan dilakukan dengan membandingkan satuan batuan tersebut dengan hasil penelitian peneliti terlebih
dahulu.

Berdasarkan keseragaman fisik dan ciri litologi batuan penyusunnya, maka daerah penelitian ini dibagi menjadi sebelas satuan
batuan. Urutan stratigrafi daerah penelitian dari tua ke muda adalah sebagai berikut (Lampiran 2) :

1. Satuan Batupasir 7. Satuan Batugamping


2. Satuan Tuf Coklat Muda 8. Satuan Batulempung
3. Satuan Lava Andesit 9. Satuan Breksi Vulkanik
4. Satuan Breksi Konglomeratan 10. Satuan Aglomerat
5. Satuan Breksi Polimik 11. Satuan Lava Basal
6. Satuan Tuf Coklat
LAMPIRAN 54

5.1.3. Struktur Geologi


Proses-proses geologi terutama aktivitas tektonik regional Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat sangat berpengaruh pada
kondisi struktur geologi daerah penelitian. Dalam sub bab ini akan dibahas kondisi struktur geologi daerah penelitian yang berpengaruh
pada bentuk roman muka bumi, gejala-gejala geologi yang menyebabkan perubahan bentuk (deformasi), dan perubahan tempat
(dislokasi)

Penafsiran unsur struktur terutama didasarkan pada rekonstruksi data-data struktur geologi di lapangan, dengan didukung
kondisi morfologi seperti keanomalian pola pengaliran sungai dan pola punggungan perbukitan di daerah penelitian. Sedangkan
penamaan didasarkan atas letak atau geografi yang memungkinkan gejala struktur geologi tersebut dapat teramati dengan baik.

Struktur geologi yang teramati pada daerah penelitian adalah lipatan antiklin, sesar mendatar, sesar normal, sesar naik dan
kekar. Data-data indikasi di lapangan yang menunjang adanya gejala struktur-struktur tersebut adalah ditemukannya cermin sesar
(slicken side), air terjun, longsoran, kekar-kekar (joints), anomali pola jurus, kemiringan perlapisan batuan (strike/dip), kelurusan-
kelurusan punggungan dan sungai yang tampak pada peta topografi, serta analisa dengan menggunakan citra landsat

5.1.3.1 Antiklin Cikarang


Antiklin Cikarang merupakan antiklin dengan sumbu utara-selatan yang terbentuk pada satuan batugamping. Sayap-sayap
lipatan berada pada bagian tengah dari daerah penelitian. Indikasi adanya struktur lipatan ini adalah adanya perbedaan pola jurus dan
kemiringan lapisan batuan pada batugamping ini.

Pada sayap lipatan bagian barat memiliki arah pola jurus dan kemiringan lapisan batuan N 145 0 E/160, sedangkan pada bagian
timur memiliki arah pola jurus dan kemiringan lapisan batuan N 5 0 E/120. Dari rekonstruksi data lapangan di dapat bahwa sumbu antiklin
ini berada pada bagian tengah dari daerah penelitian pada satuan batugamping.
LAMPIRAN 55

Proses tektonik yang membentuk struktur antiklin Cikarang ini diperkirakan setelah pengendapan satuan batugamping yaitu
pada periode tektonik Miosen Awal.

5.1.3.2 Sesar Landeuh


Sesar Landeuh merupakan sesar dengan jenis sesar normal. Sesar ini terbentuk dari utara kampung Landeuh ke Ciburial yang
memanjang dengan arah relatif Utara – Selatan daerah penelitian. Indikasi adanya sesar ini adalah berupa:

1. Data kekar yang terdapat pada satuan batulempung pada stasiun pengamatan 86 dan 88. Proyeksi streogram data pengukuran
kekar tersebut menunjukkan jenis tegasan utama berarah relatif timurlaut-baratdaya.
2. Tersingkapnya satuan batuan yang berumur lebih tua disepanjang anak sungai Cidikit dan sepanjang jalan dari Tegallumbu
kearah Ciburial.
3. Kelurusan punggungan yang searah dengan bidang sesar, ini terlihat dari analisa citra landsat.
Struktur sesar ini diperkirakan terbentuk pada periode tektonik Miosen Tengah setelah pengendapan batuan pada saat itu telah
selesai.

5.1.3.3 Sesar Tegallumbu


Sesar Tegallumbu merupakan sesar dengan jenis sesar naik. Sesar ini terbentuk pada anak Sungai Cidikit. Di bagian Barat dari
daerah penelitian, sesar ini relatif berarah Barat - Timur. Indikasi adanya sesar ini adalah:

1. Data cermin sesar pada satuan tuff coklat muda pada stasiun pengamatan 76 (Gambar 5.18) yaitu: bidang sesar N 87 0 E/660,
pitch 800 Utara, jenis pergerakan naik dan N 920 E/650, pitch 78 Utar, pergerakan naik.
LAMPIRAN 56

2. Kelurusan arah pola aliran sungai yang searah dengan bidang sesar.
Tersingkapnya satuan batuan yang berumur lebih tua yaitu satuan batupasir, pada tebing jalan dari tegallumbu kearah Rabig,
dan Satuan breksi konglomeratan yang tidak ditemukan lagi dibagian utara daerah penelitian.

Berdasarkan proyeksi streogram dari data pengukuran cermin sesar pada stasiun pengamatan 76, maka didapat arah tergasan
utama adalah relatif Timurlaut-Baratdaya.

Struktur sesar ini diperkirakan terbentuk pada periode tektonik Miosen Akhir setelah pengendapan batuan pada saat itu telah
selesai.

5.1.3.6 Sesar Cikidang


Sesar Cikidang merupakan sesar dengan jenis pergerakan dextral normal. Sesar ini berada pada bagian Timurlaut dari daerah
penelitian. Sesar ini merupakan hasil interprestasi dari datadata lapangan, analisa geomorfologi dan analisa citra landsat. Indikasi adanya
sesar ini adalah berupa:

1. Data cermin sesar pada satuan breksi pada stasiun pengamatan 63 (Gambar 5.19a) yaitu bidang sesar N 320 0 E/580, pitch 250
Tenggara, jenis pergerakan dextral normal dan N 3150 E/470, pitch 300 Tenggara, jenis pergerakan dextral normal.
2. Kelurusan lembah yang searah dengan bidang sesar, ini terlihat dari analisa citra landat.
3. Kelurusan arah pola aliran sungai yang dapat teramati pada peta topografi.
4. Adanya longsoran pada gawir sesar disepanjang zona sesar yang memotong satuan lava basal.
5. Terdapat air terjun dengan ketinggian ± 30 m stasiun pengamatan 63, maka didapat arah tergasan utama adalah relatif baratdaya-
timurlaut.
LAMPIRAN 57

Struktur sesar ini diperkirakan terbentuk pada periode post Plistosen setelah pembentukan satuan lava basal pada saat itu
telah selesai.

5.2. Karakteristik mineral alterasi di daerah Cisitu-Cikadu

5.2.1 Zona alterasi hidrotermal


Zona alterasi hidrotermal di daerah Cisitu-Cikadu dapat dibedakan menjadi tiga zonasi, yaitu zonasi propilit, zonasi argilik dan
zonasi silisifikasi. Ketiga zonasi tersebut dibedakan berdasarkan kandungan mineral alterasinya (ubahan). Penyebaran ketiga zonasi
alterasi di daerah Cisitu-Cikadu dapat dilihat pada peta zonasi alterasi (lampiran 3). Selain ketiga zona alterasi tersebut diatas, juga
dijumpai adanya zona mineralisasi yang berupa vein dengan ketebalan 1~3 meter dan berarah hampir barat-timur dengan kemiringan
sekitar 70~80o.

Zonasi alterasi propilitik, tersebar paling luas di daerah penelitian dengan luas sekitar 22,5 km2. Batuan yang mengalami
ubahan tipe ini umumnya berasal dari satuan batuan tuf, breksi, andesit dan lava andesit. Zona alterasi ini dicirikan oleh batuannya yang
berwarna abuabu hingga kehijauan. Secara mikroskopis zona propilit dicirikan oleh hadirnya mineral klorit (dominan) yang merupakan
ubahan dari masadasar dan juga mengisi rongga diantara komponen mineral atau lubang vesikuler. Kadang juga dijumpai klorit hadir
sebagai urat halus dalam batuan yang terubah. Selain itu hadir pula mineral karbonat dan sedikit serisit yang umumnya menggantikan
mineral feldspar, serta kuarsa dengan ukuran kristal yang halus menggantikan masadasar dan sebagain mineral feldspar serta mengisi
rongga atau urat dalam batuan.

Zonasi alterasi argilik, mempunyai penyebaran yang paling sempit dan terbatas dengan luas sekitar 1,25 km2. Batuan yang
terubah pada zona ini berasal dari satuan tuf yang berukuran lapili.Zonasi alterasi ini dicirikan oleh alterasinya yang berwarna putih
keruh dan ditandai oleh hadirnya mineral lempung berupa kaolinit dan serisit serta kuarsa amorf yang berukuran halus. Secara
LAMPIRAN 58

mikroskopis terlihat bahwa kaolinit menggantikan mineral feldspar dan sebagian kecil komponen batuapung . Pada zonasi ini juga
dijumpai adanya urat kuarsa dengan ketebalan kurang dari 50 cm dengan arah umum utara selatan.

Zonasi altersi silisifikasi, menempati luas areal sekitar 6,5 km2, dan umumnya batuan yang teralterasi berasal dari satuan
batugamping dan sebagian kecil pada satuan tuf. Dilapangan jenis alterasi tipe ini dicirikan oleh hadirnya kuarsa yang menggantikan
sebagian besar karbonat yang berukuran halus, atau sebagai urat kuarsa halus dan kalsit. Secara mikroskopis jenis laterasi ini ditandai
oleh adanya kuarsa kalsedonik hingga amorf yang berukuran halus atau berupa urat dalam rekahan batugamping.

Pada zona alterasi silifisikasi dijumpai pula satu zona mineralisasi yang berupa urat (vein) dominan kuarsa dan mengandung
mineral logam berupa galena, kalkopirit, pirit, sphalerit, arsenopirit, markasit, perak dan bornit serta mineral ubahan yang berupa kovelit,
hematit, dan malakit yang umumnya berasal dari kalkopirit. Urat yang mengandung mineral logam dasar ini mempunyai ketebalan
sekitar 1~3 meter dengan arah hampir barat timur (daerah Cisungsang) dan arah hampir baratdaya-timurlaut (daerah Bojong). Urat
logam dasar yang ada di daerah Cisungsang dapat terlihat dipermukaan, sementara yang berada di daerah Bojong berada di keldaman
sekitar 10~15 meter dari permukaan tanah.

Zona vein mineralisasi inilah yang kemudian mempunyai nilai yang sangat penting dalam penelitian ini, karena hanya zona ini
yang mengandung mineral logam dasar berupa timah hitam (Pb). Sementara yang lain dianggap tidak terlalu ekonomis karena jumlahnya
yang relatif lebih sedikit, dan sulit untuk memisahkan dari mineral logam lainnya. Karaketristik mineral logam pada zona alterasi mineral
logam ini akan dibahas lebih detail pada subbab lain.

Berdasarkan kenampakan di lapangan, keberadaan kedua zonasi urat yang mengandung logam dasar ini relatif berjauhan sekitar
3~5 km, dan arah uratnya sedikit berbeda, sehingga diperkirakan kedua zonasi urat di kedua daerah tersebut tidak saling berhubung
secara langsung. Akan tetpi berdasarkan posisi topografi, diperkirakan zona urat alterasi mineral logam di daerah Cisungsang berada
pada bagian atas dari zona urat di daerah Bojong. Hal tersebut didukung oleh data asosiasi mineral logamnya. Di daerah Cisungsang
hampir tidak dijumpai hadirnya mineral kalkopirit, kalaupun ada, hadir dalam jumlah minoritas. Sementara di daerah Bojong kalkopirit
LAMPIRAN 59

hadir dalam jumlah yang signifikan, serta diikuti oleh hadirnya mineral bornit, kovelit, malakit serta hematit. Semua mineral tersebut
menunjukkan zonasi pembentukan yang lebih dalam.

Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa mineralisasi di daerah Cisungsang lebih terlihat dipermukaan dan mulai ditambang
secara tradisional oleh masyarakat secara terbuka. Sementara di daerah Bojong urat logam berada jauh dibawah permukaan dengan
kedalaman mencapai 15 meter, sehingga masyarakat yang mulai menambangan secara sederhana didaerah ibi harus terlebih dahulu
membuat lubang baik berupa pit atau tunnel hingga mencapai urat yang dituju.

Secara umum mineralisasi logam dasar di kedua daerah terdapat pada batugamping dari Anggota Formasi Cimapag yang
berumur Miosen. Mineralisasi ini terdapat dalam bentuk urat kuarsa dengan tekstur breksiasi dan banding tipis. Ketebalan urat bervariasi
dari 1~3 meter dengan panjanf kurang dari 500 m. Kedua lokasi mineralisasi ini umumnya tertutup oleh lapisan tanah yang tebal,
terutama di daerah Bojong, sementara di daerah Cisungsang relative lebih terbuka karena perukaannya telah di buka dengan buldoser.

5.2.2 Zonasi mineralisasi urat logam dasar


Zonasi mineralisasi logam dasar di daerah penelitian kurang berkembang dengan baik, dan umumnya didominasi oleh alterasi
silisifikasi, dan setempat alterasi argilik.

Pada zona mineralisasi logam sendiri, terdapat dalam bentuk urat kuarsa yang didominasi oleh kuarsa dalam bentuk breksi dan
berlapis. Secara umum zona alterasi silisifikasi ini berkembang pada satuan batugamping. Pada zona alterasi-mineralisasinya
berdasarkan pada teksturnya dapat dibedakan menjadi tiga zonasi, yaitu zona breksi silika; zona hidrotermal breksi dan zona banding
sulfida.

Zona breksi silika, tersusun oleh fragmen-fragmen batuan karbonat, kalsit, kuarsa, tuff, pirit dan arsenopirit dalam matrik
kuarsa kalsedonik. Umumnya berwarna abu-abu sampai coklat, banyak mengandung urat-urat kuarsa dan kalsit yang berukuran halus.
LAMPIRAN 60

Zona hidroermal breksi, terdiri atas fragmen sulfida berlapis, kuarsa, batugamping yang tersilikakan, dan fragmen tuf yang
tersilika, dalam matrik kuarsa hingga kalsedonik. Zona ini berwarna coklat hingga kuning kecoklatan, jika dominan fragmen sulfida
berupa pirit, arsenopirit maka akan berwarna kekuningan (kuning emas), tapi jika dominan mineral sulfidanya galena dan sphalerit akan
berwarna abu-abu metalik.

Zona banding sulfida, umumnya didominasi oleh lapisan-lapisan sulfida yang terdiri atas galena, pirit, kalkopirit, arsenopirit,
kalkopirit dan sphalerit serta sedikit mineral perak. Kadang juga dijumpai mineral sekunder dari sulfida, seprti limonit, hematit, malakit
dan bornit.

Dilapangan kadang agak sulit untuk membedakan batas dari tiap zonasi tersebut. Di daerah Cisungsang lebih berkembang
dalam bentuk hirotermal breksi, sementara di Bojong selain hidrotermal breksi juga berkembang zona banded sulfida.

5.3 Mineralogi dan geokimia mineral logam dan gang

5.3.1. Mineral logam (Mineral primer)


5.3.1.1. Pirit, Markasit, Pyrrhotit
Pirit sebagai mineral yang paling dominant dalam zona breksi hidrotermal, berukuran kristal halus hingga kasar, yang terdapat
bersama-sama dengan markasit, sphalerit, perak, arsenopirit dan galena, terutama did aerah Cisungsang; serta kalkopirit dan bornit serta
malakit di daerah Bojong.

Dari studi petrografi dan mineragrafi, terlihat bahwa pirit memperlihatkan tekstur pergantian dengan mineral pirhotit, hal itu
dapat dilihat adanya kristal halus pirhotit yang berbentuk prisma dalam pirit. Sementara pirit banyak mengantikan mineral markasit
yang berbentuk bilah panjang dan terlihat berdampingan membentuk dengan arsenopirit. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan
bersama antara kedua mineral tersebut. Pada pirit yang mempunyai kristal berukuran kasar, kadang terlihat membentuk tekstur seperti
LAMPIRAN 61

jaring, sementara yang berukuran halus sering terdapat dalam galena dan sphalerit. Sebagian dari pirit telah terubah menjadi limonit dan
hematite karena proses pelapukan.

Markasit yang berukuran kristal kasar umumnya terdapat bersama dengan pirit, dan sebagian memperlihatkan tekstur seperti
rongga. Sebagian dari markasit ini telah digantikan oleh limonit sehingga menunjukkan tekstur pseudomorf. Pada kristal yang berukuran
halus sangat sulit untuk membedakan antara mineral pirit, markasit dan pirhotit.

Pirhotit kristal umumnya telah digantikan oleh pirit, sebagian kecil masih menujukkan jejak-jejak pirhotit pada bagian tengah
dari pirit dan markasit serta kadang juga sebagai inklusi dalam arseopirit, galena dan sphalerit.

5.3.1.2. Galena
Galena merupakan mineral yang paling dominan pada mineralisasi logam di daerah Cisungsang dan Bojong. Umumnya
dijumpai pada zona breksi hidrotermal dan pada zona banded sulfida. Pada breksi hidrotermal, umumnya berupa fragmen atau klast
dalam matrik kuarsa kalsedonik, sementara pada zona banded sulfida memperlihatkan perlapisan yang tegas antara galena, pirit, sphalerit
dengan kalkopirit-bornit seperti terlihat pada singkapan di daerah Bojong mencapai ketebalan sekitar 30 cm.

Umumnya galena hadir berasosiasi dengan mineral sulfida yang lain. Yang paling umum dijumpai adalah asosiasi antara galena
dengan mineral perak yang membentuk solid-solution, dimana perak banyak terdapat pada bagian tepi dari galena. Ukuran kristal galena
ini bisa mencapai 2 cm. Selain itu galena ini juga berasosiasi denngan mineral pirit dan sphalerit. Sering ditemukan galena m enjadi
inklusi dalam sphalerit dan kalkopirit atau kebalikannya. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga mineral tersebut terbrntuk pada waktu yang
bersamaan.

Galena yang berukuran kristal kasar memperlihatkan tekstur yang sangat jelas berbentuk segitiga yang menjukkan tekstur
deformasi setelah pengendapannya.
LAMPIRAN 62

5.3.1.3. Sphalerit
Sphalerit banyak dijumpai di daerah Cisungsang terdapat berasosiasi dengan galena dan pirit. Sementara di daerah Bojong
lebih berasosiasi dengan galena dan kalkopirit. Ukuran kristalnya sedang sampai halus. Mineral ini kadang hadir sebagai inklusi dalam
galena dan kalkopirit atau arsenopirit. Kadang kalkopirit yang berukuran halus terdapat sebagai inklusi dalam sphalerit sehingga
membentuk tekstur yang disebut “Chalcopyrite disease”. Kadang juga bisa dilihat banded galena-kalkopirit-sphalerit di potong oleh
lapisan galena yang lain.

Dari pengamatan mikroskopis, kadang terlihat sebagian dari sphalerit ini mempunyai warna yang kemerahan dan membentuk
zoning dari berwarna gelap pada bagian inti hingga kemerah tua pada bagian tepinya. Inklusi mineral perak juga kadang dijumpai.

5.4.1.4. Arsenopirit
Arseonpirit banyak dijumpai pada zona breksi hidrotermal, berukuran kristal halus hinga kasar dengan bentuk rombohedral atau
belah ketupat, atau kadang juga membentuk tekstur seperti kerangka atau membentuk retak. Mineral ini dapat dibedakan dari pirit dan
markasit dari warnanya yang berwarna kuning pucat dan bersifat isotropi kuat dari hijau hingga coklat kekuningan, serta bentuknya
yang seperti belah ketupat.

Mineral ini umumnya terdapat bersama dengan pirit dan markasit serta pirhotit dan kadang bersama sphalerit, tapi sangat jarang
sekali dijumpai bersama dengan mineral perak.
LAMPIRAN 63

5.4.1.5. Perak
Perak umumnya terdapat sebagai kristal tunggal, tapi juga sering dijumpai bersama dengan galena dan sphalerit. Mineral ini juga
kadang dijumpai sebagai inklusi dalam galena dan sphalerit, atau terdapat sebagai solid solution bersama galena. Sebagai inklusi
umumnya berukuran halus. Jika terdapat bersama dengan pirit dan galena, umumnya mempunyai ukuran kristal lebih besar.

Dari sifat optiknya perak ini dapat dibedakan dari jenis argentit (AgS) dan pirargirit (Ag 3SbS3), kadang juga dijumpai yang berwarna
kemarahan diperkirakan dari jenis proustite (Ag3AsS3). Jenis Pirargitit umumnya terdapat berasosiasi dengan mineral galena, sementara
dari jenis argentit umunnya terdapat sebagai kristal tunggal. Sementara jenis proustit terdapat berasosiasi dengan galena dan pirargirit.
Jenis argentit dan pirargirit serta proustit dibedakan dari ratio atau kandungan unsur As dan Sbnya (Uytenbogaardt and Burke, 1985).

5.3.1.6. Kalkopirit
Kalkopirit yang berwarna kuning terang, dengan kristal yang kasar umumnya dijumpai pada mineralisasi didaerah Bojong.
Sementara di daerah Cisungsang umumnya berukuran sangat halus dan terdapat sebagai inklusi dalam sphalerit. Sementara di daerah
Bojong mineral ini membentuk banded dengan bornit, galena dan sppalerit. Sebagian kecil dari mineral ini telah terubah menjadi malakit
yan gberwrna hijau dan kolevit yang berwrna biru, yang sangat jelas terlihat di bawah mikroskop polarisasi.

5.3.1.7. Bornit
Terdapat dalam jumlah sedikit dan hanya dijumpai pada mineralisasi di daerah Bojong. Mineral ini terdapat berasosiasi
dengan kalkopirit, pirit dan sphalerit. Secara mikroskopis terlihat warnanya yang merah muda hingga kebiruan jika teroksidasi.
LAMPIRAN 64

5.3.1.8. Hematit
Hematit hadir sebagai mineral berukuran kristal halus hingga sedang dengan bentuk kristal prismatic panjang. Mineral
ini umumnya hadir sebagai singgel kristal dan kadang bersama dengan pirit dan arsenopirit. Dijumpai pada zona banded sulfida dan
zona breksi hidrotermal.

5.3.2. Mineral sekunder


Mineral sekunder yang terdapat di daerah mineralisasi Cisungsang dan Bojong dapat dibedakan atas kovelit, limonit dan
gutit.

Kovelit, berwarna biru muda, berukuran sangat halus dan umunya menggantikan
mineral kalokpirit, atau dijumpai sebagai inklusi dalam sphalerit dan galena.
Malakit, berwarna kehijauan, berukuran halus, mineral ini juga mengantikan mineral
kalkopirit, dan dijumpai umumnya pada retakan antara mineral kalkopirit dan pada zona breksi hidrotermal.. Limonit dan gutit,
umumnya menggantikan mineral sulfide pirit, dan terdapat pada bagian tepi atau bagian fraktur dari mineral yang digantikannya.

5.3.3. Mineral gang


Mineral gang di daerah mineralisasi Bojong dan Cisungsang didominasi oleh silika
kuarsa-kalsedonik dan sedikit karbonat serta mineral lempung.
Silika, dari jenis kuarsa hingga kalsedon, berwrna transparan hingga coklat muda,
berukuran kristal halus hingga kasar dan massif. Pada zona breksi silika, kuarsa umumnya hadir sebagai urat-urat halus atau
membentuk stockwork dalam batugamping yang tersilikakan, atau sebagai semen atau fragmen pada zona breksi hidrotermal. Secara
mikroskopi menunjukkan tekstur komb, vugy dan kolloform.
LAMPIRAN 65

Secara umum banyak inklusi fluida dalam kuarsa ini, sehingga kemudian digunakan
untuk penentuan temperature mineralisasi dalam analisis Inklusi Fluida.
Karbonat, umumnya berupa kalsit dan sangat jarang dalam bentuk dolomit, banyak
dijumpai pada zona breksi silika dan sangat jarang pada zona breksi hidrotermal. Urat –urat halus karbonat juga kadang dijumpai
pada zona breksi silika atau pada batugamping yang tersilikakan.

Mineral lempung, sangat jarang dijumpai pada zona mineralisasi logam dasar ini. Sementara pada zona mineralisasi yang
mengandung sedikit lepung diperkirakan dari jenis kaolinit dan serisit.

5.4. Tipe Mineralisasi Logam Dasar

Berdasarkan keterdapatnnya yang berupa urat (vein), karakteristik asosiasi mineral logam yang terdiri atas mineral logam dasar berupa
galena, sphalerit, kalkopirit, pirit, markasit, arsenopirit, perak, bornit dan malakit serta hematit; serta dan data inklusi fluida dengan
temperatur mineralisasi berkisar antara 240 ~ 300 , diperkirakan mineralisasi didaerah ini merupakan mineralisasi hidrotermal tipe
mesotermal. Akan tetapi karena yang menjadi batuan induk mineralisasi adalah berupa batuan sedimen karbonat, maka tipe mineralisasi
semacam ini ditempat lain oleh sebagian peneliti dikelompokan menjadi “Mineralisasi Tipe Carlin” . Akan tetapi penulis lebih cenderung
menamakan tipe mineralisasi di daerah Cisungsang dan Bojong ini sebagai tipe endapan mesotermal.

Jika melihat pada pola keterdapatan dan penyebaran mineralisasi logam dasar yang ada di daerah penelitian, maka kawasan tersebut
dapat diusahakan sebagai tambang rakyat untuk timah hitam, mengingat harga timah hitam yang sedang meningkat. Walaupun dari data
analisis mineragrafi dan kimia terlihat adanya kandungan emas dan perak dalam jumlah kecil, akan tetapi karena keberadaanya sebagai
inklusi dalam mineral galena dan sphalerit, maka akan sulit untuk dapat memisahkan kedua jenis logam mulia tersebut untuk diolah
secara tradisional. Secara detail model tipe mineralisasi ini telah dibahas pada hasil laporan akhir pada penelitian yang sama di tahun
pertama. Sehingga disini tidak lagi dibahas secara lebih mendetail tentang model mineralisasinya.
LAMPIRAN 66

5.5. Pengukuran resistivity dengan konfigurasi dipole-dipole

5.5.1. Pengambilan Data


Pengambilan data di lapangan dengan cara melakukan pengukuran pada lintasan dan titik yang telah direncanakan. Berdasarkan
pada kondisi di lapangan baik dari segi topografi, maupun cuaca, maka di daerah penelitian dipilih sebanyak empat lintasan untuk
dilakukan pengukuran geofisika dengan metoda resistivity dengan konfigurasi dipole-dipole.

Keempat lintasan tersebut hampir berarah utara-selatan, dua lintasan berada d daerah Cisungsang dan dua lintasan di daerah
Bojong. Panjang lintasan masing-masing kurang lebih sepanjang 700 m dengan jarak interval antara titik pengukuran pada tiap lintasan
adalah 20 m.

Pengukuran geolistrik dengan cara menginjeksikan arus listrik ke dalam bumi melalui 2 buah elsktroda arus, kemudian diukur
beda potensial yang ditimbulkan oleh adanya injeksi arus pada 2 buah elektroda potensial.

Untuk mengukur variasi harga tahanan jenis semu (apparent resistivity) batuan di bawah permukaan bumi dengan
menggunakan konfigurasi dipole-dipole maka diperlukan penempatan sepasang elektroda arus (A dan B) dan sepasang elektroda
potensial (M dan N) di permukaan bumi pada suatu garis lurus, dimana untuk elektroda-elektroda arus A dan B diletakkan berdekatan,
demikian juga elektroda-elektroda potensial M dan N.

5.5.2. Pengolahan Data


Data yang didapat di lapangan dimasukkan dalam data base dengan menggunakan program Microsoft Excel dengan tabel-
tabel yang telah ditentukan berdasarkan format data geolistrik.
LAMPIRAN 67

Data geolistrik konfigurasi dipole-dipole yang didapat di lapangan dimasukkan dalam bentuk tabel berupa data koordinat titik
pengukuran dan nilai tahanan jenis semu untuk tiap kedalaman tertentu (N 1 – N4). Pengolahan data geolistrik dengan menggunakan
program Microsoft Excel sedangkan untuk menggambarkan peta anomali secara lateral dan penampang geolistrik dengan menggunakan
program Surfer for map Ver.8. Nilai tahanan jenis (resistivity) untuk tiap kedalaman tertentu ditampilkan dalam bentuk penampang
untuk setiap lintasan dan digambarkan secara lateral dalam bentuk peta anomali tahanan jenis untuk setiap kedalaman N 1 – N4.

Penampang geolistrik dibuat untuk setiap lintasan pengukuran di lokasi penyelidikan. Penampang geolistrik dibuat untuk
melihat bentuk dan konfigurasi geologi bawah permukaan suatu cebakan di lokasi penyelidikan berdasarkan nilai tahanan jenis. Peta
penyebaran cabakan mineral dibuat berdasarkan hasil overlap penampang geolistrik dengan membuat batas penyebarannya. Batas
penyebaran mineral dibuat berdasarkan korelasi peta secara lateral dan penampang untuk setiap lintasan.

5.5.3. Hasil Interpretasi Data Pengukuran


Nilai resistivity yang didapat dari hasil pengukuran di daerah penyelidikan, dipengaruhi oleh keadaan lapisan batuan di bawah
permukaan. Nilai resistivity tinggi dipengaruhi oleh sifat atau karakteristik dari batuan seperti sifat fisik, kekompakan dan sifat
resistannya. Batuan beku intrusif memiliki nilai resistivity tinggi. Sedangkan nilai resistivity sedang didapat dari jenis litologi breksi.
Untuk nilai resistivity rendah akan didapat pada permukaan berupa soil dan tuf, serta mineral lempung (Tabel 5.1). Di beberapa tempat
akan terdapat nilai resistivity rendah yang merupakan zona mineralisasi argilik atau akibat adanya pengaruh struktur.

Tabel 5.1. Nilai tahanan jenis batuan (resistivity) yang terdapat di daerah penyelidikan

Tahanan Jenis Zona Alterasi


No. Batuan Litologi
(ohm meter)
1 < 250 Soil, tuf, mineral lempung Silisifikasi
LAMPIRAN 68

2 250-500 Batugamping Silisifikasi


3 500-1000 Breksi Silisifikasi
4 > 1000 Intrusi andesit-diorit dan urat Silisifikasi
kuarsa

Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan, dapat diinterpretasikan litologi yang menyusun daerah penyelidikan serta zona
mineralisasi yang berkembang. Litologi yang dapat dibedakan dari interpretasi geofisika dan menggabungkan dengan data pemetaan
geologi permukaan adalah satuan breksi volkanik, satuan tuf dan intrusi andesitik-diorit.

Sementara untuk zonasi alterasi, dari hasil interpetasi pengukuran ditunjukkan oleh harga resistivity yang rendah, karena adanya
dominasi mineral lempung, soil dan kuarsa (silika). Dari interpretasi data geofisika, maka zonasi alterasinya dapat dibedakan menjadi
alterasi tipe argilik (yang didominasi oleh mineral lempung) dan penyebarannya dominan berada di bawah permukaan pada kedalaman
> 5 meter. Selain itu zonasi alterasi silisifikasi-mineralisasi, yang juga dicirikan oleh nilai resistivity rendah, karena adanya dominasi
batuan induk dalam hal ini batugamping yang mengalami silisifikasi, dan mengandung urat kuarsa yang berasosiasi dengan urat-urat
atau lensa-lensa yang mengandung mineral logam timah hitam dan seng serta sedikit tembaga.

Dari hasil pengukuran dan pengolahan data lapangan dapat dibuat penampang vertikal untuk setiap lintasan dan keadaan litologi
serta tipe alterasinya untuk setiap kedalaman tertentu, lihat peta-peta interpretasi data geofisika pada lampiran 4 s/d 7.

Lintasan GF-1, terdapat zona alterasi silisifikasi dan sedikit penutup berupa tanah dan sedikit lempung yang menyebar secara
hampir merata menutupi satuan batuan dibawahnya. Nilai resistivity menunjukkan nilai yang rendah yang diduga sebagai batuan
sedimen atau soil. Dibawah lapisan soil dijumpai batuan vulkanik berupa tuf dan breksi, serta batugamping yang dominan, sedangkan
batuan intrusi dijumpai pada zona paling bawah dan muncul setempatsetempat dan dicirikan oleh nilai resistivity yang sangat tinggi
(lihat peta Lampiran 4).
LAMPIRAN 69

Zona mineralisasi urat kuarsa yang mengandung logam, hampir tidak terlihat pada interpretasi hasil pengukuran geofisika,
kecuali pada titik GL 17 dan GL 19 pada kedalaman sekitar 10 m sampai 20 m dari atas permukaan yang sekarang. Tetapi hal ini sangat
sulit untuk diyakini sebagai urat kuarsa, karena juga memiliki nilai resisitiviti yang rendah sama seprti batugamping yang menjadi
hostnya. Sementara keberadaan logamnya tidak terdeteksi pada pengukuran ini. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sedikitnya jumlah
kandaungan logam dalam urat yang termineralisasi tersebut, sehingga tidak merekfleksikan dalam hasil nilai resisitivitinya.

Lintasan GF-2, dibagian permukaan dari lintasan ini kondisinya tidak jauh berbeda dengan lintasan sebelumnya, yang
didominasi oleh soil dan sedikit mineral lempung atau oksida hasil pelapukan batuan vulkanik. Di lintasan ini, masih tidak jauh berbeda
dengan lintasan sebelumnya, bahwa dapat dibedakan ada empat macam pola nilai resistivity. Dari masing-masing nilainya, dibedakan
dengan urutan dari yang paling rendah ke yang tinggi nilai resistivitinya adalah ; soil dan mineral lapukan pada zona atas; kemudian
metutupi satuan tuf dan breksi; selanjutnya dibawah zona ini adalah satuan batugamping yang telah mengalami silisifikasi dan
mengandung sedikit urat kuarsa yang membawa unsur logam dasar. Kemungkinan urat mineralisasi ini berada pada sekitar titik GL18,
dengan kedalaman sekitar 10 m dari atas permukaannya sekarang (lihat peta lampiran 5).

Lintasan GF-3, panjang lintasan sekitar 500 m dengan interval titik pengukuran 20 m. Dari hasil interpretasi data geofisika,
dapat dilihat bahwa pada lintasan ini satuan batugamping cukup mendominasi litologinya baik di permukaan maupun di bawah
permukaan, sementara soil dan tuf serta breksi tidak cukup dominan dan tersebar hanya setempat-setempat. Di bagian bawah
menunjukkan nilai resisitiviti yang tinggi, kemungkinan karena adanya asosiasi dengan batuan intrusi yang ada di bawahnya. Pada
lintisan ini keberadaan urat kuarsa yang mengandung logam, sangat sulit diidentifikasi. Pada titik GL 360- GL 380 menunjukkan
kemungkinan adanya urat kuarsa dibawah permukaan dengan kedalaman hampir 50 m dari permukaannya. Urat ini diperkirakan
berasosiasi dengan intrusi yang memberikan nilai resisitiviti paling tinggi pada penampang ini (lihat peta lampiran 6).
LAMPIRAN 70

Lintasan GF-4, lintasan ini mempunyai panjang sekitar 500 m, dan dari hasil interpretasi geofisikanya didapat bahwa umumnya
menunjukkan nilai resisitiviti yang rendah yang bisa diinterpretasikan sebagai lapisan soil penutup yang bersampur dengan tuf halus
dan hasil lapukan batuan vulkanik. Sementara pada lintasan ini tidak menunjukkan adanya indikasi anomaly nilai resisitiviti yang
dianggap mencerminkan adanya urat kuarsa yang mengandung mineralisasi.

Lintasan ini lebih menunjukkan dominasi batuan daerah penelitian (lihat peta Lampiran 7).

Sementara itu, untuk dibagian lain dari daerah penelitian tidak dilakukan pengukuran geofisika, adapun alas annya diantaranya
adalah ; morfologi yang terjal, banyaknya lubanglubang penggalian tambang masyarakat, sehingga bisa mengakibatkan bias hasil
pengukuran; cuaca hujan terus menerus mengakibatkan alat tidak dapat berfungsi dengan baik.

5.5.4. Perkiraan Sumberdaya Galena (Pb) dan Seng (Zn)


Dalam penentuan perkiraan cadangan sumberdaya khususnya timah hitam (Pb) dan seng (Zn), pada dasarnya dapat dipakai
pendekatan dari pengukuran penampang geologi dari data permukaan yang ada dengan catatan singkapan zonasi mineralisasi dapat
diukur penyebarannya secara lateral, dan vertikal dari perbedaan elevasi atau kedudukan antar outcrop. Selain itu juga dipakai
berdasarkan pengukuran geofisika yang memanfaat ketebalan zona anomali secara vertikal dan lateral. Akan tetapi kedua metoda ini
sangat besar faktor kesalahannya, karena secara langsung di lapangan outcrop yang menerus untuk setiap zona vein mineralisasi logam
Pb dan Zn, yang memperlihatkan ekstensi kurang dari 100 m, dipermukaan umumnya telah habis ditambang oleh masyarakat sekitar,
dan hanya menyisakan lubang-lubang sisa penggalian atau sisa escavator, sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan perhitungan
sumberdayanya. Dari hasil pengukuran geofisika, sebenarnya bisa dilakukan pengukuran yang semi akurat, jika pengukurannya dapat
menentukan dimensi penyebaran mineralisasi logam Pb dan Zn secara lateral dan vertikal ketebalannya. Akan tetapi dari hasil
pengukuran resistivity konfigurasi dipole-dipole, tidak menunjukkan adanya anomali yang sangat erat kaitannya dengan zonasi
mineralisasi. Kalaupun ada anomali resistivity tinggi yang ditunjukkan pada peta anomali, lebih cenderung kepada potensi sumberdaya
LAMPIRAN 71

batuannya saja, karena anomalinya menunjukkan jenis batuan intrusi andesitik-dioritik. Sementara anomali resistivity rendah lebih
menunjukkan kepada jenis batuan alterasi silisifikasi dan batuan batugamping yang menjadi host dari mineralisasi logam yang ada
dalam bentuk lensa-lensa tipis atau urat-urat yang relative pendek penyebarannya.

Sehingga baik dari hasil pengukuran berdasarkan outcrop dan peta topografi, maupun dari data pengukuran geofisika, tidak
memungkinkan untuk membuat model atau dimensi urat mineralisasi logamnya baik secara lateral maupun vertikal. Hal ini disebabkan
oleh karena hampir sebagian besar outcrop dari urat kuarsa yang termineralisasi unsur logam telah digali dan diambil oleh masyarakat,
baik secara manual melalui terowongan kecil pada kedalaman 5-10 m kearah lateral dan 3 meter kearah vertikalnya, sementara itu untuk
outcrop yang ada dipermukaan umumnya diambil dengan menggunakan eskavator. Sehingga terdapat perbedaan kondisi lapangan yang
sangat signifikan dari kegiatan yang dilakukan di awal penelitian tahun pertama yang hanya terbatas pada inventarisasi pemetaan geologi
dan alterasi detail serta lokasilokasi singkapan yang mengandung urat logam. Dimana pada saat itu masih bisa ditemukan urat k uarsa
yang mengandung logam dengan ketebalan mencapai 5 meter dan menerus hingga sekitar 50-100m. Akan tetapi tidak demikian halnya
pada saat pengukuran geofisika dilakukan pada tahun kedua penelitian, singkapan seperti itu telah seluruhnya habis diambil dan hanya
menyisakan lahan terbuka yang gersang dan berlubang-lubang. Karena sistim penambangan yang dilakukan masyarakat tidak
memperhatikan aspek lingkungan.

Dari penelitian ini tidak dapat dilakukan perhitungan cadangan dan membuat model sebaran mineralisasinya baik secara lateral
maupun vertikal. Karena kondisi di lapngan yang sudah sangat berubah dibandingkan dengan kondisi pada awal kegiatan penelitian ini
dilakukan. Sehingga bisa dikatakan tujuan utama dari penelitian ini untuk bisa memperkirakan jumlah cadangan ekonomis dari potensi
mineralisasi yang ada tidak bisa di wujudkan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengaplikasikan metoda pengukuran
geofisika lain yang mempunyai penetrasi yang lebih dalam, karena dari hasil awal di atas, dapat dilihat keberadaan urat-urat pada
kedalaman lebih dari 20 m dari level permukaannya yang sekarang. Dan lokasilokasi tersebut masih jauh dari jangkauan para penambang
lokal yang masih terbatas hanya penggali pada kedalaman kurang dari 20 m.
LAMPIRAN 72

Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebutuhan akan logam dasar saat ini sangat besar, sehingga masyarakat
dengan dukungan sedikit dana dari pengusaha dapat menggambil potensi tersebut dengan cepat tanpa lebih dulu mempelajari secara
detail tentang kondisi mineralisasi, tipenya, sebarannya dan dimensi dari uratnya. Tetapi mereka lebih kepada intuisi dengan jalan
mengikuti pola sebaran yang telah ada dipermukaan dan mencoba menelusuri hinggakedalam tertentu. Akan tetapi metoda ini sangat
merusak lingkkungan, terutama paska penambangan, dimana lahan-lahan dibiarkan terbuka dan gundul dengan tumpukan limbah hasil
penggalian yang tidak mengandung logam di biarkan saja bertumpuk.

Hal ini kelak dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan bencana geologi terutama tanah longsor atau banjir. Karena tidak
adanya tanaman yang menahan air hujan yang turun.

Jika melihat pada pola sebaran outcrop yang ada, dan jejak bekas lokasi penambangan masyarakat, dapat di interpretasikan
bahwa potensi mineralisasi logam dasar ini tidak besar dan hanya muncul dalam bentuk urat-urat kuarsa tipis kurang dari 5m lebarnya
dengan penyebaran lateral kurang dari 500 m, dan pola penyebaran urat kuarsa juga tidak teratur. Sehingga untuk ukuran suatu
perusahaan pertambangan besar, tentu saja potensi ini sangat jauh untuk dikatakan ekonomis. Akan tetapi dengan model pola
penambangan rakyat seperti yang tengah dilakukan saat ini di daerah penelitian, cukup memberikan penghasilan tambahan bagi
masyarakat sekitar. Hasil penambangan mereka kemudian dijual kepada penampung yang juga menampung dari beberapa lokasi
sejenis dari berbagai daerah.

Sehingga pola pengelolaan tambang rakyat cukup baik dilakukan, hanya perlu dilakukan pembinaan oleh aparat terkait, dalam
hal ini dinas pertambangan untuk lebih memberikan pengarahan kepada para penambang rakyat untuk lebih memperhatikan aspek
lingkungan dan keselamatan yang akan ditimbulkan selama dan setelah kegiatan penambangan dilakukan.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


LAMPIRAN 73

6.1 Kesimpulan

• Secara umum geomorfologi daerah penelitian dapat dibedakan atas emapt satuan geomorfologi, yaitu : Satuan Geomorfologi

Perbukitan Vulkanik Tersayat Tajam;

Satuan Geomorfologi Perbukitan Vulkanik Bergelombang; Satuan Geomorfologi

Perbukitan Sedimen Tersayat Tajam; dan Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Bergelombang.

• Litologi yang terdapat didaerah penelitian dapat bedakan menjadi sebelah satuan batuan dengan urutan dari tua (Oligosen Awal) ke

muda (Kuarter) adalah : Satuan batupasir; Satuan tuf coklat muda; Satuan Lava Andesit; Satuan Breksi konglomeratan; Satuan Breksi

Polimik; Satuan Tuf Coklat ; Satuan Batugamping; Satuan Batulempung; Satuan Breksi Vulkanik; Satuan Aglomerat; dan Satuan

Lava Basal.

• Struktur geologi yang berkembang dapat dibedakan atas: antiklin Cikarang; sesar normal Landeuh; sesar naik Tegallumbu; dan sesar

mendatar Cikidang.

• Zonasi alterasi dibedakan atas : Zonasi Alterasi Silisifikasi yang dicirikan oleh mineral kuarsa dan cukup mendominasi; Zonasi

Alterasi Propilit yang dicirikan oleh mineral klorit dan karbonat; dan setempat-setempat Zonasi Alterasi Argilik, yang dicirikan oleh

mineral lempung.

• Zonasi Mineralisasi Logam Dasar yang berupa urat (vein) kuarsa dan asosiasi mineral galena, sphalerit, kalkopirit, pirit, arsenopirit,

markasit, perak, bornit, kovelit, malakit, hematit dan limonit. Vein ini mempunyai ketebalan sekitar 1~3 meter dengan panjang

singkapan mencapai sekitar 500 m dengan arah hampir barat timur. Vein mineralisasi logam ini yang bernilai ekonomis terdapat di
LAMPIRAN 74

daerah Cisungsang dan daerah Bojong. Kedua vein ini dapat diusahakan sebagai tambang timah hitam (galena, Pb) dengan skala

penambangan kecil atau penambangan

rakyat.

• Berdasarkan karakteristik asosiasi mineral logam serta keterdapatnnya diperkirakan mineralisasi didaerah ini merupakan tipe

mineralisasi hidrotermal tipe mesotermal. Akan tetapi karena yang menjadi batuan induk mineralisasi adalah berupa batuan sedimen

karbonat, maka tipe mineralisasi semacam ini ditempat lain oleh sebagian peneliti dikelompokan menjadi “Mineralisasi Tipe Carlin”.

Akan tetapi penulis lebih cenderung menamakan tipe mineralisasi di daerah Cisungsang dan Bojong ini sebagai tipe endapan

mesotermal.

• Dari hasil pengukuran geofisikan, tidak terlihat adanya anomaly yang cukup signifikan yang menunjukkan adanya potensi

mineralisasi logam yang cukup dominan, tetapi lebih kepada jenis litologinya saja. Mineralisasi yang ada lebih kepada bentuk urat-

urat yang tidak beraturan dan tersebar pada kedalaman yang berbeda-beda.

• Pada penelitian ini tidak dapat dibuat model penyebaran mineralisasi logamnya baik secara lateral maupun vertikal, karena data yang

diperoleh dari hasil penelitian tidak mencukupi, serta adanya kendala-kendala yang menyebabkan tidak dapat dilakukan pengukuran

geofisika, seperti topografi yang teral, curah hujan yang tinggi serta banyaknya lokasi lubang-lubang penambangan rakyat.

• Potensi mineral logam yang ada di daerah Cisungsang dan Bojong adalah kecil, sehingga pengelolaannya dapat diusahakan sebagai

tambang rakyat untuk timah hitam, mengingat harga timah hitam yang sedang meningkat.
LAMPIRAN 75

6.2. Saran

• Saat ini, potensi logam dasar didaerah Cisungsang dan Bojong sudah diusahakan oleh masyarakat sekitar sebagai tambang rakyat,

akan tetapi karena tidak adanya pengawasan dan pengarahan yang tepat tentang metoda penambangannya, maka kecenderungan

yang ada saat ini adalah penambangan yang bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan dan bencana tanah longsor.

• Perlu ada pengawasan dan penyuluhan dari pihak dinas pertambangan atau pemda terkait tentang metoda penambangan yang benar,

tidak merusak lingkungan dan menyebabkan bencana geologi, serta menjamin keselamatan para penambang itu

sendiri.
LAMPIRAN 76
LAMPIRAN 77

LAMPIRAN 2
LAMPIRAN 78
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, A., Sumanagara, A. D, Sinambela, D., 1994. The Gunung Pongkor
gold-silver deposit, West Java, Indonesia. J. Geochem. Expl 50: 371-391

Carlile, J. C. and Mitchell, A. H. G., 1994. Magmatic arcs and associated


gold and copper mineralization in Indonesia. Jour. Geochem. Explor., 50, 91-142.

Corbet, G.J. and Leach, T.M., 1994: Southwest Pacific Rim Gold-Copper
Systems: Structural, Alteration, and Mineralization

Guilbert, J. M. dan Park C.F., 1986: The geology of ore deposits. Freeman and Company.
985p.

Hedenquist, J.W., Izawa, E., Arribas, A. and White, N.C., 1996: Epithermal
gold deposits: Styles, characteristics, and exploration

Jensen, M.L. & Bateman, A.M., 1981: Economic Mineral Deposits

Lawless, J.V., White, P.J., Bogie, I., Paterson, L.A., dan Cartwright, A.J.,
1997: Epigenetic Magmatic-Related Mineral Deposit. Exploraion based on
mineralization model. Kingston Morrison.

Marcoux, E. and Milesi, J. P., 1994. Epithermal gold deposit in West Java,
Indonesia: geology, age and crustal source. J. Geochem. Expl. 50: 393-408.

Marcoux, E., Milesi, J. P., Simpwee, S. and Rinawan, R., 1993. Noteworthy
mineralogy of the Au-Ag-Sn-W(Bi) epithermal ore deposit of Cirotan, West Java,
Indonesia. The Canadian Mineralogist 31: 727-744.

Milesi, J. P., Marcoux, E., Nehlig, P., Sunarya, Y., Sukandar, A. and Felenc,
J., 1994. Cirotan, West Java, Indonesia: A 1.7 Ma hybrid epithermal Au-Ag-Sn-W
deposit. Econ. Geol., 89, 227-245.

Milesi, J. P., Marcoux, E., Sitorus, T., Simandjuntak, M., Leroy, J. and Baily,
L. ,1999. Pongkor (West Java, Indonesia): A Pliocene supergene-enriched epithermal
Au-Ag- (Mn) deposit. Mineral. Deposita , 34, 131-149.
Rollinson, Hugh R. 1993. Using Geochemical Data. Longman Scientific &
Technical, England. Halaman 48, 72, 102, 133.

Rosana, M. F., 1999. Orebody Modeling and Resource Estimation of the


Hydrothermal GoldSilver Mineralization at Cikidang, West Java, Indonesia. Journal
of Geology, Padjadjaran University. Vol 1., 1, 9-20.

Rosana, M.F., and Matsueda, H., 2001. Outline of the hydrothermal gold-
silver mineralization at Cikidang, West Java, Indonesia. Resource Geol. Ann. Meet.
50, p33.

Rosana, M.F., and Matsueda, H., 2002. Cikidang Hydrothermal Gold deposit
in Western Java, Indonesia. Resource Geol. 52, 341-352.

Rosana, M.F., and Matsueda, H., 2002. First observation of the base metal
mineralization in the Cikidang gold mining area, Western Java, Indonesia. Resource
Geol. Ann. Meet. 52, p03.

Sujatmiko dan Santosa, S., 1992. Peta Geologi lembar Leuwidamar, Jawa. P3G, Bandung.

Sukarna, D., 1999: Rare elements distribution in Cirotan epitermal gold


deposit. Indonesian Mining Journal Vol 5, p 1-10

Anda mungkin juga menyukai