Disusun oleh :
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt atas rahmat dan karunia-
Nya penyusun dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kodefikasi. Shalawat serta salam
semoga senantiasa dilimpahkan kepada pemimpin dan teladan umat yaitu Nabi
Muhammad Saw, keluarganya, para sahabatnya, dan umatnya yang setia sampai akhir
zaman.
Laporan ini disusun sebagai bagian dari pencapaian kompetensi mahasiswa
yang berfokus pada pelayanan di Rumah Sakit. Adapun kompetensi yang dicapai
meliputi Manajemen Informasi Kesehatan (MIK) I dan II serta Klasifikasi dan
Kodefikasi Penyakit dan Masalah terkait Kesehatan serta Tindakan (KKPMT) II.
Dalam penyelesaian laporan ini, penyusun menemukan beberapa hambatan
terkait keterbatasan ilmu, sumber referensi, maupun pengalaman. Namun berkat
bantuan berupa arahan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, laporan ini
dapat tersusun. Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat :
1. Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Tasikmalaya,
2. Ketua Jurusan Perekam dan Informasi Kesehatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes
Tasikmalaya,
3. Ketua Program Studi Diploma III Perekam dan Informasi Kesehatan, Politeknik
Kesehatan Kemenkes Tasikmalaya,
4. Dosen Jurusan Perekam dan Informasi Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes
Tasikmalaya,
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Koding adalah salah satu kegiatan pengolahan data rekam medis untuk
memberikan kode dengan huruf atau dengan angka atau dengan kombinasi huruf
dan angka yang mewakili komponen data
Coding adalah salah satu kegiatan pengolahan data rekam medis untuk
memberikan kode dengan huruf atau dengan angka atau kombinasi huruf dan angka
yang mewakili komponen data.
Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada dalam rekam medis harus di
beri kode dan selanjutnya di indeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian
informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, managemen, dan riset bidang
kesehatan.
Pemberian kode ini merupakan kegiatan klasifikasi penyakit dan tindakan
yang mengelompokan penyakit dan tindakan berdasarkan criteria tertentu yang telah
disepakati. Pemberian kode atas diagnosis klasifikasi penyakit yang berlaku dengan
menggunakan ICD-10 untuk mengkode penyakit, sedangkan ICOPIM dan ICD-9-
CM digunakan untuk mengkode tindakan, serta komputer (on-line) untuk mengkode
penyakit dan tindakan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, mahasiswa Perekam dan Informasi
Kesehatan Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya melaksanakan Praktik Kodefikasi
agar mampu memahami sistem pengkodean Penyakit dan Tindakan Berdasarkan
Kasus rekam medis.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adanya Praktik Kodefikasi diharapkan mahasiswa mampu mengetahui
sistem pengkodean rekam medis dan penyelenggaraan prosedur rekam medis
1
2
2. Tujuan Khusus
Mampu menentukan kode penyakit dan permasalahan kesehatan serta
kode tindakan, sesuai dengan pedoman yang berlaku di Indonesia
C. Manfaat Laporan
1. Akademik
a. Sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas pelayanan di
akademik dalam hal pengetahuan, sikap maupun keterampilan bagi
mahasiswa.
b. Sebagai tolak ukur keberhasilan mahasiswa dalam pencapaian kompetensi
pembelajaran.
2. Mahasiswa
a. Menambah wawasan keilmuan tentang menentukan kode dan diagnosis
utama, sekunder dan komplikasi
b. Menambah pengalaman, sehingga mengetahui bagaimana menentukan kode
diagnosis, tindakan sebagaimana semestinya
c. Sebagai tolak ukur untuk memasuki dunia kerja sesungguhnya.
D. Ruang Lingkup
1. Tempat
Lokasi yang digunakan adalah Kampus Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya
2. Materi
Klasifikasi dan Kodefikasi Penyakit dan Masalah-masalah yang berkaitan
dengan Kesehatan dan Tindakan Medis terutama pada masalah panca indra
3. Waktu
Praktik kodefikasi di Kampus Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya pada
tanggal 21 September 2018
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Urtikaria dikenal juga dengan hives, gatal-gatal, kaligata, atau biduran adalah
kondisi kelainan kulit berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab,
biasanya disebabkan oleh suatu reaksi alergi, yang mempunyai ciri-ciri berupa kulit
kemerahan (eritema) dengan sedikit oedem atau penonjolan (elevasi) kulit berbatas
tegas yang timbul secara cepat setelah dicetuskan oleh faktor presipitasi dan
menghilang perlahan-lahan.
B. Etiologi
Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, diantaranya :
1. Obat
Bermacam- macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara
imunologik maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Contohnya : golongan
penisilin, sulfonamid, analgesik, pencahar, hormon, dan diuretik.
Ada pula obat yang secara nonimunologik langsung merangsang sel mast
untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin
menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam
arakidonat
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria yang akut,
umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan lain
yang dicampurkan kedalamnya seperti zat warna, penyedap rasa, atau bahan
pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika.
Contoh makanan yang sering menimbulkan urtikaria ialah, telur, ikan,
kacang, udang, cokelat, tomat, arbei, babi, keju, dan bawang. Bahan yang
dicampurkan seperti asam nitrat, asam benzoat, ragi, salisilat, dan penisilin.
3
4
dan prostaglandin juga mempunyai kontribusi baik dalam respon cepat maupun
lambat dengan adanya kebocoran cairan dalam jaringan (Hodijah, 2009).
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang
meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan
cairan setempat. Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator, misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of
anaphylaxis (SRSA), dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Selain itu
terjadi inhibisiproteinase oleh enzim proeolotik, misalnya kalikrin, tripsin, plasmin,
dan hemotripsin di dalam sel mast. Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik
mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada
yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate)
memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti
golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin,
dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik, misalnya
asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum
diketahui, langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator.
Faktor fisik, misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan, dapat
langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan, misalnya demam, panas, emosi,
dan alkohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga
terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas. Faktor imunologik lebih
berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik dimana biasanya Ig. E
terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc, bila
ada antigen yang sesuai berikatan dengan Ig. E, maka terjadi degranulasi sel,
sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I
(anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan,
aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan
anafilatoksin (C3aC5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya
tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi
8
pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun, pada keadaan ini juga
dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga terjadi misalnya
setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.
Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter (Irga, 2009).
E. Pencegahan dan pengobatan
Secara umum penatalaksanaan dari urtikaria itu sendiri meliputi :
1. Identifikasi dan pengobatan adalah menghindari faktor resiko
Ini yang paling penting dan hanya ini yang efektif untuk terapi jangka
panjang. Menghindari aspirin atau zat-zat aditif pada makanan, diharapkan dapat
memperbaiki kondisi sekitar 50% pasien dengan urtikaria kronik idiopatik.
2. Pengobatan lokal
a. Kompres air es atau mandi air hangat dengan mencampurkan koloid Aveeno
oatmeal yang bisa mengurangi gatal.
b. Lotion anti pruritus atau emulsi dengan 0,25% menthol bisa membantu
dengan atau tanpa 1% fenol dalam lotion Calamine.
3. Pengobatan sistemik
a. Anti histamine dengan antagonis H1 adalah terapi pilihan.
b. Doxepin, yaitu anti depresan trisiklik dengan efek antagonis H1 dan H2.
c. Kombinasi antihistamin H1 dan H2, misalnya simetidin.
d. Cyproheptadin, mungkin lebih efektif daripada antihistamin.
e. Korticosteroid, biasanya digunakan untuk mengontrol vascukitis urtikaria.
f. Profilaksis dengan steroid anabolic, misalnya : danazol, stanozolol.Hormon
tyroid juga dilaporkan dapat meringankan urtikaria kronis dan angioderma.
g. terapi antibiotic juga dilaporkan bisa pada pasien yang terinfeksi Helicobacter
pylory dengan urtikaria kronis.
A. Kodefikasi Penyakit
Leadterm : Urticaria
Volume 3 ICD 10 Halaman 673 = Urticaria L50.9
9
A. Identitas Pasien
Nama : Nn. O
Umur : 19 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pegawai restoran
Alamat : Lubuk Buaya
Status Perkawinan : Belum Menikah
Asal : Padang
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 3 Agustus 2016
B. Anamnesis
Seorang pasien perempuan umur 19 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin pada tanggal 4 Agustus 2016 dengan keluhan :
1. Keluhan Utama:
Bentol-bentol yang gatal di wajah sejak 1 hari yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
a. sebelumnya pasien pergi kepasar, dan terpapar matahari, sejam kemudian
wajah pasien terasa panas, kemudian gatal dan memerah, kemudian muncul
bentol-bentol di wajah.
b. Pasien sudah sering mengeluhkan bentol dan gatal sebelumnya sejak kira-
kira usia 6 tahun, terutama setelah mengkonsumsi udang, kepiting, dan
telur.
c. Serangan terakhir terjadi (minggu yang lalu, pasien memakan kepiting
kemudian gatal dan muncul bentol-bentol pada badan dan punggungnya,
pasien kemudian berobat ke puskesmas dan diberikan deksametason, dan
10
11
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan umum : sakit ringan
b. Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
c. Berat badan : 21 kg
d. Tinggi badan : 160 cm
e. IMT : 19,9 (n=18,5-22,9)
f. Status gizi : baik
g. TD : 110/80 mmHg
Kelainan Rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak ditemukan pembesaran KGB
Pemeriksaan thorak : diharapkan tidak ditemukan kelainan
kelainan kuku : kuku dan jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan abdomen : diharapkan tidak ditemukan kelainan
Kelainan selaput : tidak ditemukan kelainan
2. Status Dermatologikus
a. Lokasi : Tersebar di wajah (dahi kiri, pipi kiri, dibawah bibir, telinga
Kanan)
b. distribusi : terlokalisir
c. Bentuk : tidak khas
d. susunan : tidak khas
e. Batas : Tegas
f. Ukuran : Plakat
g. Efloresensi : Urtika
h. Status Venereologikus : tidak ditemukan kelainan
3. Pemeriksaan laboratorium :
a. darah : tidak dilakukan
b. Urin : tidak dilakukan
c. Feses : tidak dilakukan
13
4. Pemeriksaan Rutin
Prick test
5. Pemeriksaan Anjuran
Uji serum Ig E spesifik
D. Resume
Sorang pasien perempuan umur 19 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin pada tanggal 4 Agustus 2016 dengan keluhan bentol- bentol yang gatal di
wajah sejak 1 hari yang lalu. dari anamnesis didapatkan riwayat terpapar sinar
matahari sebelumnya kemudian wajah pasien terasa panas, gatal, memerah, dan
muncul bentol-bentol. Pasien sudah sering mengeluhkan bentol dan gatal
sebelumnya sejak kira-kira usia 6 tahun, terutama setelah mengkonsumsi udang,
kepiting, dan telur, keluhan membaik setelah pasien meminum obat. Keluhan tidak
disertai bengkak pada bibir atau kelopak mata, sesak napas, dan diare. Riwayat
digigit serangga tidak ada. Riwayat alergi terhadap makanan, cuaca dingin dan
panas ada.
Riwayat demam, batuk, dan flu sebelumnya tidak ada. Riwayat atopi ada.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama ada.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus dengan lokasi
terserbar di wajah. distribusi terlokalisir, bentuk tidak khas, susunan tidak khas,
batas tegas, ukuran plakat, efloresensi urtika.
E. Diagnosis
1. Diagnosis Kerja
Urtikaria Akut tanpa Angioedema ec trauma fisik
2. Diagnosis Banding
Urtikaria Akut tanpa Angioedema ec makanan
3. Diagnosis
Urtikaria Akut tanpa Angioedema ec trauma fisik
14
F. Penatalaksanaan
1. Umum
Hindari faktor penyebab terjadi alergi, hindari terkena panas, hindari
cuaca dingin, tidak boleh mengkonsumsi udang, kepiting atau telur.
Jika terjadi sesak napas, atau bibir dan kelopak mata bengkak segera
berobat ke IGD rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pengobatan
2. khusus
Loratadine 1x10 mg
G. Prognosis
1. Quo Ad Vitam : bonam
2. Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam
3. Quo Ad functionam : bonam
4. Quo Ad kosmetikum : bonam
H. Resep
R/Tab Loratadin 10 mg No. X
I. Kodefikasi
a. Gejala dan Tanda :
Gatal-gatal : L29.9
Demam : R50.9
Alergi : T78.4
b. Penyakit :
Urtikaria Akut : L50.9
c. Tindakan :
Pemeriksaaan Fisik : Z00.0
Pemberian Obat : 94.64
DAFTAR PUSTAKA