Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

LUPUS ERITOMATOSUS SISTEMIK

OLEH :
Alfia Lania Sinta Hosio
112017125

PEMBIMBING
dr. NuniekEndang, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA
WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA
PERIODE 10 JUNI – 17 AGUSTUS 2019

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 31

ii
BAB I
PENDAHULAN

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun


kronis yang belum kompleks ditandai dengan adanya autoantibodi terhadap inti
sel dan melibatkan banyak sistem organ dalam tubuh. Penyebab SLE diduga
melibatkan interaksi yang komples dan multifaktorial antara variasi genetik dan
faktor lingkungan.1 SLE atau lupus awalnyaberupakelainankulit di
daerahwajahberupakemerahan, nyerisendi dan rambut
rontok.2,3Dalamperkembangannyaternyatapenyakit lupus
tidakhanyamengenaikulitwajahsajatetapi juga dapatmenyeranghampirseluruh
organ tubuhdiantaranyasendi, ginjal, otak, dan sel-seldarah. Lupus diperantarai
oleh suatu system imunataukekebalan, dimana system
imuninimenyerangtubuhnyasendiridisebutsebagaipenyakitautoimun.4,5
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:13. Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di
RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di
RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien SLE atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi selama 2010.8
Morbititas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi, berdasarkan
data yang diperoleh dari RSCM dari tahun 1990-2002 diperoleh angka kematian
pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada
tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.8

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi Pasien

Nama : Nn. R
Umur : 23Tahun
Alamat : Nagrak, Bogor Jawa Barat
Suku : Sunda
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Kuliah
MRS : 12 Juli 2019 Pukul 01.50 WIB
No. RM : 01404851

2.2 Anamnesis
Informasidiperolehsecaraautoanamnesisdari pasien dan alloanamnesis dari
ibu pasien

Keluhan Utama:
Demam naik turunsejak 4 hari yang lalu.

KeluhanTambahan:
Nyeri sendihilangtimbulmemberatsejak 1 minggu SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 5 tahun SMRS pasien mengeluh badan lemas, pusing saat berdiri lama,
pandangan berkunang-kunang (+), mudah lelah bila beraktifitas, wajah tampak
pucat, telinga berdenging (+), berdebar-debar (-).Nyeri pada hampir seluruh sendi
ekstremitas terutama pada sendi jari-jari tangan, siku, dan lutut, sariawan (-), ruam
merah seperti koin (-), ruam merah pada kedua pipi dan pangkal hidung/malar

2
rash (-), ulit memerah saat terkena sinar matahari (-), riwayat kejang tiba-tiba (-),
urinberbuih (-), urin berwarna gelap (-), memar pada tubuh (-). Pasien lalu berobat
ke RS dan didiagnosis SLE.
± 1 minggu SMRS pasien mengeluh lemas, badan lemah sehingga pasien
hanya sanggup untuk duduk namun tidak sanggup untuk berdiri lama dan
melakukan aktifitas, pusing (+), wajah terlihat pucat, pandangan berkunang-
kunang, memar pada tubuh (-), riwayat perdarahan (-), batuk dan pilek (-), demam
(+) tidak terlalu tingginaik turun terutama pada malam hari dan kadang disertai
menggigil. Nyeri hampir pada seluruh sendi ekstremitas terutama sendi jari-jari
tangan, siku, dan lutut (-), ruam merah seperti koin (-), ruam merah pada kedua
pipi dan pangkal hidung/malar rash (-), kulit memerah saat terkena sinar matahari
(-), riwayat kejang tiba-tiba (-), urin berbuih (-). Pasien belum bantuan untuk
keluhan ini.
± 4 hari SMRS pasien mengeluh
demamhilangtimbulsaatdiukurdirumahsuhu badan mencapai 40C
ibupasiensudahmemberikanobatpenurunpanasteteapibelumadaperbaikan,
keluhandemam juga disertaisakitkepalasepertitertusuk-tusuk. badan semakin
lemas hingga pasien tidak sanggup untuk bangun dari tempat tidur, pusing (+),
wajah terlihat pucat, pandangan berkunang-kunang (+), urin berwarna gelap (-),
BAB tidakadakelainan. Pasien juga mengeluh ada nyeri pada ulu hati yang hilang
timbul.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat SLE sejak 5 tahun yang lalu

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat penyakit yang sama pada keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan
Metilprednisolon 3 x 4mg (sejak tahun 2014)

3
Omeprazole 20 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Status Sosial Ekonomi dan Gizi:
Pasien adalah seorang mahasiswa dan saatinimasih tinggal bersama
dengan orang tua.
Kesan : sosial ekonomi cukup
Pasien makan 3 kali sehari tidak teratur, nafsu makan menurun saat sakit,
dengan variasi nasi, ikan, sayur, ayam. Pasien jarang makan daging dan buah-
buahan.
Kesan : gizi cukup

2.3 PemeriksaanFisik

Pemeriksaan Fisik Umum


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92 x/menit, isi/kualitas cukup, reguler
Pernafasan : 24 x/menit, reguler, tipe pernafasan thorako-
abdominal
Suhu : 40,0oC
Berat Badan : 49 kg
Tinggi Badan : 155 cm

Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normochepali, warna rambut hitam, rambut licin dan tidak
mudah dicabut, alopesia (-), malar rash (-), sariawan (-),
cheilitis (-), atrofi papil lidah (-), carries gigi (+)
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), skleraikterik (-/-)
Hidung : Deviasi septum nasal (-), sekret (-)

4
Leher : JVP (5-2 cmH2O), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks : Memar (-), venektasi (-)

Pulmo (Anterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-), batas paru
hepar ICS V, peranjakan 1 sela iga
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Pulmo (Posterior)
Inspeksi : Statis simetris, dinamis kanan = kiri, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, nyeri ketok (-/-)
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor
Inspeksi : Iktuskordis tidak terlihat
Palpasi : Iktuskordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS IIlineparasternalissinistra
Batas jantung kanan ICS V lineasternalisdextra
Batas jantung kiri ICS V lineamidclavicularissinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (+) epigastrium, hepar teraba 2 jari
dibawaharcuscostae dengan tepi tajam, permukaan rata,
konsistensi kenyal dan lientidak teraba
Perkusi : Timpani, shiftingdullness (-)

5
Ekstremitas
Atas : Palmar pucat (+), palmar eritema (-),koilonychia (-),deformitas
(-)
Bawah : Plantar pucat (+), akral hangat (+), edema pretibia (-),
deformitas (-)

2.4 PemeriksaanPenunjang
Laboratorium

Tanggal 12 Juli 2019 (Pukul 01.24 WIB)

Pemeriksaan Hasil Unit Nilai


rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,5 g/dL 11,4-15
Leukosit 8,50 103/µL 4.73-
10.89
Eritrosit 4,02 106/µL 4.0-5.7
Hematokrit 31,4 % 35-45
Trombosit 259 103/µL 167-390
Elektrolit
Natrium 141 mEq/L 135-150
Kalium 4,2 mEq/L 3,6-5,5
Klorida 108 mEq/L 94-111

MCV 78,1 87-102fl Menurun


MCH 26,1 26,8-32,4pg Menurun
KIMIA KLINIK
SGOT 19 mg/dL 0-32
SGPT 19 mg/dL 0-31

6
Ureum 10 mg/dL 15-40
Creatinin 0,6 mg/dL 0.6-1.3

Radiologi
Hasil CT sacnkepalatanpakontras
Kesan :tidakmenunjukanadanyaperdarahan, lesiiskemik, SOL/massa dan
malformasivaskuler

Foto Thorax top Lordotik


Kesan :tidaktampak proses TB paruaktif

2.5 Diagnosis Sementara


- Sistema lupus eritematous
- Susp. Meningitis TB
- Demam Dengue

2.6 Prognosis
QuoadVitam : Dubiaadbonam
QuoadFunctionam : Dubiaadmalam
QuoadSanationam : Dubiaad malam

2.7 Rencana pemeriksaan


- MRI kepala
- Ulangipemeriksaandarahrutin
- Urinrutin

2.8 Tatalaksana
Non Farmakologi: Farmakologi:
- Istirahat - Paracetamol 3x500mg
- Diet bubur biasa - Paracetamol drip 1gr

7
- Edukasi - Methylprednisolone 3x4 mg
- Sucralfatsyr 3x1 C
- InjCeftriaxone 2x2gr
- Domperidone 3x1 tablet
- Ranitidine 2x1ampul
- Konsulspesialisneurologi

2.10 FollowUp
Tanggal 13 Juli2019
S Demam (+) ,Badan lemas(+), nyeri sendi (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 100/60mmHg
Nadi 90 x/menit iramairreguler, isikurang,
danteganganlemah.
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 38,9oC
VAS Score 4

Keadaan spesifik
Kepala Rambut hitam, mudah dicabut, alopesia (+),
distribusi tidak merata. Malar rash(-),
Konjungtiva palpebra pucat (+/+) Skleraikterik (-
),atrofi papil lidah (-), sariawan (-), carries gigi
(+)
Leher
JVP (5-2)cm H2O
Pembesaran KGB (-)
Thorax:
Paru Inspeksi: Barrelchest (-), retraksi (-)
Inspeksi: Statis dan dinamis simetris kanan=kiri
Palpasi: Stem fremituskanan = kiri
Perkusi: Sonor di kedua paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-),
wheezing (-)

Jantung Inspeksi: Iktuscordistidakterlihat


Palpasi: Iktuscordistidakteraba, thrill tidak
teraba
Perkusi:
Batas jantung atas ICS II
lineaparasternalissinistra
BatasjantungkananICS V lineasternalisdekstra
Batasjantungkiri ICS

8
Vlineamidclavicularissinistra
Auskultasi :HR= Bunyi jantung I dan II
reguler,murmur (-), gallop (-)

Inspeksi: Datar, venektasi (-), caputmedusae(-),


Abdomen striae (+)
Palpasi: Lemas, hepar teraba 2 jari
dibawaharcuscostae,lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), nyeri tekan suprapubik (-
),ballottement (-)
Perkusi: Timpani, shiftingdullness (-), nyeri
ketokCVA (-)
Auskultasi: Bising usus (+) normal

Tidak diperiksa

Genitalia Akral hangat (+), palmar pucat (+), edema(-)

Ekstremitas
A - Sistema lupus eritematous
- Susp. Meningitis TB
- Demam Dengue

P Non Farmakologis
 Istirahat
 Diet bubur biasa
 Edukasi
Farmakologis
 IVFD NS 0,9% 500cc/8 jam
 Paracetamol 3x500mg
 Paracetamol drip 1gr
 Methylprednisolone 3x4 mg
 Sucralfatsyr 3x1 C
 InjCeftriaxone 2x2gr
 Domperidone 3x1 tablet
 Ranitidine 2x1ampul

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Lupus EritematosusSistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
kompleks ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel dan melibatkan
banyak sistem organ dalam tubuh.1

3.2 Etiologi
Etiologi LES meliputi komponen genetik dan lingkungan dengan jenis
kelamin perempuan sangat mempengaruhi patogenesis. Faktor-faktor ini
menyebabkan kerusakan permanen terhadap toleransi sistem imun yang
dimanifestasikan oleh respon imun terhadap inti sel antigen endogen.

3.3 FaktorGenetik
Saudara dari pasien LES memiliki kemungkinan 30 kali lebih berisiko
terkena LES dibandingkan dengan individu tanpa riwayat keluarga penderita LES.
Tingkat penemuan gen pada LES telah meningkat selama beberapa tahun yang
lalu berkat penelitian genome-wideassociationstudies(GWAS) menggunkan
ratusan ribu singlenucleotidepolymorphism(SNP). GWAS pada LES telah
menegaskan pentingnya gen yang terkait dengan respon imun dan peradangan
(HLA-DR, PTPN22, STAT4, TNFAIP3), perbaikan DNA (TREX1), penyatuan
sel inflamasi dengan endotelium (ITGAM), dan respon jaringan terhadap jejas
(KLK1, KLK3). Penemuan ini menyatakan pentingnya Toll-likereceptor(TLR)
dan interferon tipe 1 (IFN).2

Beberapa lokus genetik dapat menjelaskan tidak hanya kerentanan


terhadap penyakit tetapi juga beratnya, contohnya STAT4, faktor risiko genetik
untuk rheumatoidarthritis dan LES dikaitkan dengan LES berat. Salah satu

10
komponen kunci dari jalur ini adalah TNFAIP3 yang telah terlibat setidaknya di
dalam enam gangguan autoimun, termasuk LES.3,4

3.4 FaktorLingkungan
Pemicu LES dari lingkungan yaitu sinar ultraviolet, obat yang
mengandung dimetil, infeksi, virus endogen atau elemen yang mirip seperti virus.
Sinar matahari adalah faktor yang paling jelas yang dapat memperburuk LES.
Epstein-Barr Virus (EBV) telah diidentifikasi sebagai faktor yang mungkin dalam
mengembangkan LES. EBV dapat tinggal dan berinteraksi dengan sel B dan
menyebabkan interferon α (IFNα) diproduksi oleh plasmacytoiddendriticcells
(pDCs), menunjukkan bahwa peningkatan (IFNα) pada LES mungkin paling
sedikit pada bagian yang berhubungan pada penyimpangan dari infeksi virus
kronik yang terkontrol. Hal ini juga ditetapkan bahwa obat-obatan yang
menginduksi autoantibodi dalam sejumlah besar pasien, kebanyakan tidak
menunjukkan tanda-tanda dari penyakit yang berhubungan dengan autoantibodi.
Lebih dari 100 obat telah dilaporkan telah menjadi DrugInduced Lupus (DIL) atau
obat pemicu LES. Meskipun pathogenesis DIL belum dipahami dengan baik,
namun kecenderungan genetik mungkin berperan dalam kasus obat-obatan
tertentu, terutama agen yang dimetabolisme oleh asetilasi seperti
procainamidedan hydralazine, dengan penyakit yang cenderung berkembang pada
pasien yang memiliki asetilator yang lambat5.

3.5 Faktor Hormonal

Dalam model murin, penambahan estrogen dan prolaktin dapat


menyebabkan fenotipautoimun dengan peningkatan afinitas tinggi dari autoreaktif
sel B dewasa. Kontrasepsi oral yang digunakan pada NursesHealth Study
berhubungan dengan sedikit peningkatan pada risiko LES (risiko relative 1,9
dibandingkan dengan bukan pengguna kontrasepsi oral). Semua ini menggerakan
pertanyaan penting yang berkaitan dengan penggunaan estrogen pada kontrasepsi
oral atau sebagai terapi hormone pengganti saat masa pos-menopause pada
wanita. Saat semua ini jelas bahwa hormone dapat memicu autoimun berkembang

11
dalam model murin, penggunaan kontresepsi oral tidak meningkatkan penyakit
flarespada wanita dengan penyakit yang stabil (Sanchez-Guerrerodkk, 2005).
Kehamilan dapat menyebabkan dalam beberapa kasus seperti Lupus flares, tetapi
ini tidak berhubungan dengan meningkatnya estradiol atau progesterone. Pada
faktanya, tingkat dari hormone-hormon ini lebih rendah pada trimester kedua dan
ketiga pada pasien LES dibandingkan dengan kehamilan pada wanita sehat5.

3.6 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES menjadi salah satu penyakit rematik utama
didunia. Prevalensi LES diberbagai negara sangat bervariasi dan lebih sering
ditemukan pada ras tertentu seperti Negro, Cina dan Filipina. Faktor ekonomi dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Peyakit ini dapat ditemukan
pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi).
Frekuensi pada wanita dibanding dengan pria berkisar antara 5,5-9 : 1.1,6
Beberapa data yang diperoleh di Indonesia dari pasien yang dirawat
dirumah sakit. Dari 3 peneliti di RSCM Jakarta yang melakukan penelitian pada
periode 1969-1990 didapatkan rerata insidensi ialah 37,7 per 10.000 perawatan.
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan,
sedangkan di Medan didapatkan insidensi sebesar 1,3 per 10.000 perawatan.1

3.7 Patogenesis

Sumber : Bertsias G dkk, 2012

12
Peningkatan jumlah endogen asam nukleat pemicu apoptosis
menstimulasi produksi IFNα dan mengeluarkan autoimunitas dengan merusak
toleransi diri melalui aktiavasi sel penyaji antigen (antigen-presentingcell). Dalam
LES semua hal mengacu kepada produksi asam nukleat dari IFNα. Peningkatan
produksi dari autoantigen saat apoptsis, mengurangnya pembuangan, pengaturan
deregulasi dan pemaparan adalah hal penting dalam inisiasi responautoantigen.
Nukleosom yang mengandung ligan endogen berbahaya dapat bergabung dengan
pola reseptor mulekul patogen (yang berhubungan dengan apoptosis) dapat
memicu aktivasi sel dendrit, sel B, produksi IFN dan autoantibodi secara berturut-
turut. Reseptor sel basal seperti reseptor sel B dan reseptor FcIIa memfasilitasi
endositosis dari asam amino yang mengandung bahan atau kompleks imun dan
penyatu reseptor endosomal dari imunitas asli seperti Toll-likeReceptors(TLRs).
Pada stadium awal penyakit, saat autoantobodi dan kompleks imun belum
dibentuk, peptida antimikroba terlepas oleh jaringan yang rusak dan penangkap
netrofil ekstraseluler, yang nantinya bergabung dengan asam nukleat menginhibisi
degradasinya dan juga memfasilitasi endositosisnya serta menstimulasi TLR-7/9
di dalam palsmasitoid sel dendrit. Penghancuran sistem kekebalan tubuh
menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah asam nukleat endogen apoptosis
memicu produksi dari IFN dan autoimun melalui aktivasi dan pematangan dari sel
dendrit sederhana (myeloid). Produksi dari autoantibodi oleh sel B pada lupus di
kendalikan oleh keberadaan dari antigen endogen dan sangat besar tergantung
pada sel T-helper, yang dimediasi oleh interaksi sel basal (CD40L/CD40) dan
sitokin (IL21)7.

3.8 ManifestasiKlinik
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang
terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan
akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak
dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit LES
ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama

13
beberapa tahun mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti
fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
1) Manifestasi konstitusional1,8
Kelelahan merupakan keluhan umum yang dijumpai pada penderita
LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya, kelelahan
ini sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang mennyebabkan kelelahan
seperti pada anemia, meningkatya beban kerja, konflik kejiwaan, serta
pemakaian obat seperti perdnison. Apabila kelelahan disebabkan oleh
aktivitas penyakit LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar
C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons
terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan juga dijumpai pada penderita LES dan terjadi
dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakan. Penurunan berat badan
ini disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau akibat gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari
sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 400C tanpa
adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis, demam akibat LES biasanya
tidak disertai menggigil.
2) Manifestasi Muskuloskeletal1
Keluhan muskuloskeletal merupakan manifesasi klinik yang paling
sering terjadi pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapat terjadi
berupa nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (atralgia) atau merupakan suatu
artitisdimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering kali
dianggap sebagai manifestasi Artritis Rematoid karena keterlibatan sendi
yang banyak dan simetris. Pada LES tidak ditemukan adanya deformitas ,
kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Osteoporosis
juga ditemukan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan terapi steroid.
3) Manifestasi Kulit9
Kelainan kulit yang sering didapatkan pada LES adalah

14
fotosensitivitas, butterflyrash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia,
panikulitis, lesipsoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga
dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud,
livedoretikularis, ulkus jari, gangren.

4) Manifestasi Paru9
Berbagai manifestasi klinik pada paru-paru dapat terjadi baik berupa
radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi
pulmonal, atau perdarahan paru. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut
dan berlanjut secara kronik, pada keadaan akut biasanya penderita akan
merasa sesak, batuk kering dan mulai dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini
sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah
paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan
respon baik terhadap pemberian streroid.
5) Manifestasi Kardiologis1,9
Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai gagal
jantung.
Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada penderita LES dan
bermanifestasi sebagai angina pectoris, infarkmiokard atau gagal jantung
kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia
muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka
panjang.
6) Manifestasi Renal1
Gejala dan tanda keterlibatan ginjal pada umumnya tidak nampak
sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindromanefrotik. Untuk menilai
keterlibatan ginjal pada penderita LES perlu dilakukan biopsi ginjal.
7) Manifestasi Gastrointestinal1,9
Manifestasi klinis gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,

15
secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esofagus,
mesentericvalkulitis, inflamantoryboweldisease (IBS), pankreatitis dan
penyakit hati. Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,
splenomegali, peritonitis aseptik. Selain itu, ditemukan juga peningkatan
SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
8) Manifestasi Hemopoetik9
Pada LES, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai
dengan anemia normositiknormokrom yang terjadi akibat anemia akibat
penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan
dan anemia hemolitikautoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80%
kasus. Adanya leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi.
Trombositopenia pada LES ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-
mula menunjukkan gambaran trombositopeniaidiopatik (ITP), seringkali
kemudian berkembang menjadi LES setelah ditemukan gambaran LES yang
lain.
9) Manifestasi Susunan Saraf9
Keterlibatan Neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab
terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati perifer, terutama
tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus.
Keterlibatan saraf otak, jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik
juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali
tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan
gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.

3.9 Penegakan Diagnosis

16
Kecurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua)
atau lebih kriteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :
1) Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.
2) Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan
penurunan berat badan.
3) Muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis
4) Kulit: butterfly atau malar rash, fotosensitivitas, lesi membrana mukosa,
alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5) Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindromanefrotik
6) Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7) Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkhim paru.
8) Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9) Retikulo-endotel: limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10) Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11) Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik,
mielitistransversus, gangguan kognitif neuropatikranial dan perifer.
Diagnosis LES dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan
laboraturium. American CollegeofRheumatology (ACR), pada tahun 1982,
mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana bila didapatkan 4
kriteria, maka diagnosis LES dapat ditegakan (lihat tabel 1)

No Kriteria Batasan
1. Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan Cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
2. Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
3. fotosensitivita Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
s sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang
dilihat oleh dokter pemeriksa.
4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
5. Artitritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.

17
6. Serositis
a. Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritcfrictionrub yang
didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
b. Karditis
Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardialfrictionrub atau terdapat bukti efusi
perikardium
7. Gangguan Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
renal tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau Silinder
seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular, tubular atau campuran
8. Gangguan Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
Neurologi gangguan misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan
Metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit.)
9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau
hematologi b. Lekopenia<4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih. Atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih. Atau
d. Trombositopenia<100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
10. Gangguan a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
imunologik titer yang abnormal. Atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm. Atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid
yang didasarkan atas :
1. kadar serum antibodi anti kardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM,
2. Tes lupus anti koagulan positif menggunakan
metodastandard,
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifi lis
sekurang- kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi
Treponemapallidumatau tes fluoresensi
absorpsi an•bodi treponema.
11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
Anti nuklear pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
positif (ANA) setingkat pada setiap kurun waktu perjanan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui hubungan dengan
sindromalupu yang diinduksi obat.

Bila didapatkan 4 kriteria dari 11 kriteria, maka bisa ditegakkan SLE

18
yang memiikisensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3
kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif,
maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada maka belum tentu LES, dan observasi jangka
panjang diperlukan.

3.10 Pemeriksaan Penunjang


 PemeriksaanDarahRutin dan UrinRutin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
EritematosusSistemik (LES) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita LES
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia,
atau leukopenia; erytrocytesedimentationrate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombstest mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain
itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya
Cast,hemegranularatau sel darah merah pada urin.
 Pemeriksaanimunologik
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis LES adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell).
Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan
gejala mengarah pada LES. Pada penderita LES ditemukan tes ANA
yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif
pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis
menyerupa SLE misalnya infeksi krnis (tuberkulosis), penyakit autoimun
(misalnya Mixedconnectivetissuedisease (MCTD), artritis rematoid,
tiroiditis autoimun) , keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes
ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi
perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis

19
dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu
yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya
diagnosis LES dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif
adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-
dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo.
Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA
merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada penyakit lain
dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir
pasti menunjukkan diagnosis LES dibandingkan dengan titer yang
rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien
yang bukan LES.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis LES sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya LES. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -
30% pasien LES, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang
normal. Tes anti-Sm relatif spesifik untuk LES, dan dapat digunakan
untuk diagnosis LES. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk LES.
Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan
diagnosis.

3.11 Derajat Berat Ringannya Penyakit


Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama
menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan
pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang
dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan
ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.
Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam

nyawa9:

20
1. Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Kriteria LES Derajat Sedang adalah:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) \
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Kriteria LES derajat berat dan dapat membahayakan jiwa:
a. Jantung: endokarditisLibman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru, infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitismesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f. Neurologi: kejang, acuteconfusionalstate, koma, stroke,
mielopatitransversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindromademielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia< 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
trombosis vena atau arteri.

3.12Penatalaksanaan LES SecaraUmum


 Edukasi10
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting
diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada
penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan

21
penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk
kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan
masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami
fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak
terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk
selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan
panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di
kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain
itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.

Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus


selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,
terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,
obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus
dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur
genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES,
terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-
obat yang merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya
antimalaria atau dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki
risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan
dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif,
atau imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang
tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan
organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam
nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan
pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya.

22
 Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien
dengan LES tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu
hal penting adalah pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30%
apabila pasien dengan LES dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama
lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik
seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa
nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula
modalitas lainnya seperti
transcutaneouselectricalnervestimulation(TENS) memberikan
manfaatyang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.

 TerapiKonservatif

a) Athritis, athralgia dan myalgia1

Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang


sering dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan
dapat diberikan analgetik sederhana atau obat
antiinflamasinonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan
obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat
keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem
gastrointestinal, hepar dan ginjal haru diperhatikan, misalnya
dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasinonsteroid tidak
memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian
obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila
dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik,
harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau
hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi
oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap

23
retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons
adekuat dengan analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau
obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian
kortikosteroiddosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg,
setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga
dapat dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita
LES.

b) Lupus Kutaneus1

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami


fotosensitivitas. Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita
terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-
kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitivitas harus
berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan
menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan,
menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreen.
Sebagian besar sunscreentopikal berupa krem, minyak, lotion atau
gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat
dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B.
Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau
berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat
dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal
harus hati-hati, karena glukokortikoidtopikal, terutama yang
bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi
teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan
penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak
diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan
dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametasonvalerat dan triamsinolonasetonid. Untuk lesi

24
hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat
digunakan glukokortikoidtopikal berkekuatan tinggi, misalnya
betametasondipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid
berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk
kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.

Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus


kutaneus, baik lupus kutaneussubakut, maupun lupus diskoid.
Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan
imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,
dapat dipertimbangkan pemberikanglukokortikoidsistemik. Dapson
dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis dan lesi LES berbula. Efek toksik obat ini terhadap
sistem hematopoetik adalah methemoglobinemia,
sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang
memperburuk ruam LES di kulit.

c) Kelelahan dan Keluhan Sistemik1

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada


penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam.
Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid,
sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat juga
diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap
simpati dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak
memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan
mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan
peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian
glukokortikoidsistemik dapat dipertimbangkan.
d) Serositis
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat
merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini
dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid,

25
antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada
keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoidsistemik untuk
mengontrol penyakitnya

 TerapiAgresif

a) Kortikosteroid11

Kortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada


pasien dengan LES. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak
laporan efek samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang
banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis
kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka
dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.
Pembagian dosis kortikosteroid membantu dalam
menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang
digunakan pada LES yang relatif tenang. Dosis sedang sampai
tinggi berguna untuk LES yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi
pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis
luas, nephritis lupus, lupus cerebral. Pulse terapi kortikosteroid
digunakan untuk penyakit rematik yang mengancam nyawa,
induksi atau pada kekambuhan. Dosis tinggi ini ini biasanya
diberikan intravena dengan dosis 0,5-1 gram metilprednisolon
diberikan selama 3 hari berturut-turut.

Tabel 2. Terminologi Pembagian Kortikosteroid

Dosis rendah < 7.5 mgprednison atau setara perhari


Dosis sedang >7.5 mg, tetapi < 30 mgprednison atau setara

26
perhari
Dosis tinggi >30 mg, tetapi < 100 mgprednison atau setara
perhari
Dosis sangat >100 mgprednison atau setara perhari
tinggi
Terapi pulse >250 mgprednison atau setara perhari untuk 1
hari atau beberapa hari

b) Sparing Agen Kortikosteroid


Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan
untukmemudahkan menurunkan dosis kortikosteroid dan berfungsi
juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat yang sering digunakan
sebagai sparing agent ini adalah siklofosfamid,azatioprin,
siklosporin dan metrotrexate.

1) Siklofosfamid1, Indikasi siklofosfamid pada LES :

 Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi


(steroidsparing agent).
 Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi.
 Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid
jangka lama atau berulang.
 Glomerulonefritisdifus awal.
 LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
 Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan
kreatininserum tanpa adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
 LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml

27
NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3
liter/24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas
pada terapi LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan
interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama
pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid
diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah
harus dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka
dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan
menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis
siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya. Toksisitas
siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia,
sistitishemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium
dan azoospermia.

2) Azatioprin1

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan


sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3
mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat
diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES, setelah
penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal
mungkin, maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan
dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan
baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem
hemopoetik, peningkatan enzim hati dan mencetuskan keganasan.

3) Siklosporin1

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk

28
pengobatan LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6
mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES baik tanpa
manifestasi renal maupun dengan nefropatimembranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar
kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari
kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin, maka
dosisnya harus diturunkan.

Algoritma penatalaksanaan LES dapat dilihat dibawah ini

Keterangan :
TR : Tidak respon CYC : Siklofosfamid

29
RS : Respon sebagian AZA : Azatioprin
RP : Respon penuh MP : Metilprednisolon
OAINS : Obat anti inflamasi non steroid NPSLE: Neuropsikiatri SLE
KS : Kortikosteroid setara prednison

3.13Manifestasi Anemia pada LES


Lupus EritematosusSistemikdapatmempengaruhibanyak organ di tubuh
dan menunjukkanmanifestasiklinis dan imunologisdengan spectrum yang
luas. Kelainanhematologiseringkaliditemui pada SLE. Anemia dan
trombositopenia, kelainanhematologi yang seringterjadi pada
perjalananpenyakitpasien SLE, biasanyabukanmerupakankondisi yang fatal,
namun pada beberapapasiendapatterjadigangguan yang
beratsehinggamembutuhkanmanajemen yang agresif. Leukopenia juga
seringterjadi, hampirselalumerupakanlimfopenia, bukangranulositopenia,
kondisiinijarangmenjadipredisposisiterjadinyainfeksi dan
biasanyatidakmembutuhkanterapi. Thrombosis merupakan salah
satupenyebabkematian pada pasien SLE.
Kriteria diagnosis SLE dari ACR pada tahun 1971 menyatakanbahwa
leukopenia, trombositopenia, dan anemia hemolitikmerupakankriteria
individual untuk SLE. Sementara pada revisitahun 1982
dinyatakanbahwakelainanhematologidikelompokkanmenjadisatukelompok
yang terdiridari: 1) anemia hemolitikautoimun, 2) leukopenia (<4000µl pada
dua kali ataulebihpemeriksaan), 3) limfopenia (<1500µl pada dua kali
ataulebihpemeriksaan) dan 4) trombositopenia (<100.000µl
tanpapemberianobat). Pada Carolina Lupus Study, dari 265 pasien SLE yang
didiagnosisantara 1995 sampai 1999, frekuensikelainanhematologi pada

30
diagnosis awaladalah 11% anemia hemolitik, 18% leukopenia, 21%
limfopenia dan 11% trombositopenia.
Anemia pada pasien SLE dapatmerupakanimun dan non-imun. Anemia
yang merupakanpenyakit non-imunadalah anemia penyakitkronik, anemia
defisiensibesi, anemia sideroblastik, anemia pada penyakitginjal, anemia
diinduksiobat, dan anemia sekunderterhadappenyakit lain (misalnya anemia
selsabit). Anemia yang diperantaraiimun pada pasien SLE adalah anemia
hemolitikautoimun, anemia hemolitikdiinduksiobat, anemia aplastic, pure red
cell aplasia, dan anemia pernisiosa. Voulgarelisdkk., pada dari 132 pasien
SLE, 37.1% menderita anemia pada penyakitkronik, 35.6% anemia
defisiensibesi, 14.4% anemia hemolitikautoimun dan 12.9%
karenapenyebablain.11

DAFTAR PUSTAKA

1 Suarjana, IN. Imunopatogenesis Lupus EritematosusSistemik. In Setiati S,


Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. InternaPublishing, Jakarta, 2014:
2607-2613.
2 Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus EritematosusSistemik. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. IlmuPenyakitDalamJilid III.
Edisikelima. Jakarta, 2013: Interna Publishing; 2565-2579.
3 Taroeno-Hariadi KW dan Pardjono E. Anemia Hemolitik Imun. In Setiati S,
Alwi Idrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi VI. InternaPublishing, Jakarta, 2014:
2607-2613.
4 Luzzato L. HemolyticAnemiasand Anemia Due toAcuteBloodLoss. In Longo
DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J eds. Harrison’s:
HematologyandOncology. 2nd Ed. McGraw-Hill Education, New York, 2013:
108-126.

31
5 PerhimpunanReumatologi Indonesia.Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
EritematosusSistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2011.
6 Prabhu R, Bhaskaran R, Shenoy V, Rema G dam Sidharthan N.
ClinicalCharacteristicandTreatmentOutcomesofPrimaryAutoimmuneHemolytic
Anemia: A Single Center Study fromSouth India. BloodResearch. Juni 2016;
51(2): 88-94.
7 Rajabto W, Atmakusuma D, dan Setiati S. Profil Pasien Anemia
HemolitikAutoimun (AHAI) dan Respon Pengobatan Pasca Terapi
Kortikosteroid di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto
Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 2016 Desember; 3(4): 206-
211.
8 Djoerban Z. KelainanHematologi pada Lupus EritematosusSistemik. In Setiati
S, AlwiIdrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds. Buku
Ajar IlmuPenyakitDalamJilid III. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta, 2014:
3392-3396.
9 Faisal S, Akib A, dan Tambunan T. Clinical and Laboratory Manifestations of
Childhood and Adult-Onset Systemic Lupus Erythematosus in
CiptoMangunkusumo Hospital. Paediatrica Indonesia. November 2016; 43:
199-204.
10 Haroen H. Darah dan Komponen: Komposisi, Indikasi, dan Cara Pemberian. In
Setiati S, AlwiIdrus, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF eds.
Buku Ajar IlmuPenyakitDalamJilid III. Edisi VI. Interna Publishing, Jakarta,
2014: 2844-2851.
11 DeLoughery TG. Autoimmune Hemolytic Anemia. Hematology. Maret 2013;
8(1): 2-11.

32

Anda mungkin juga menyukai