Anda di halaman 1dari 10

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)


No. Dokumen No. Revisi Halaman

Tanggal terbit Ditetapkan


S.A.K Direktur RSUD H. A. Sulthan Dg Radja
Bulukumba

(dr. Hj. Wahyuni AS, MARS)


Pengertian Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung
mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi
kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan oksigen secara adekuat.
Tujuan Sebagai acuan pelayanan asuhan keperawatan pada pasien di ruang polik
Interna RSUD H. A. Sulthan Dg Radja Bulukumba.
Kebijakan  Klasifikasi gagal jantung:
– Backward Versus Forward Failure
o Backward failure dikatakan sebagai akibat ventrikel kiri tidak
mampu memompa volume darah keluar, menyebabkan darah
terakumulasi dan meningkatkan tekanan dalam ventrikel,
atrium, dan sistem vena baik untung jantung sisi kanan
maupun jantung sisi kiri.
o Forward failure adalah akibat ketidakmampuan jantung
mempertahankan curah jantung, yang kemudian menurunkan
perfusi jaringan. Karena jantung merupakan sistem tertutup
maka bacward failure dan forward failure selalu berhubungan
satu sama lain
– Low-output versus High-Output Syndrome
Low output syndrome terjadi bilamana jantung gagal sebagai
pompa, yang mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan
vasokontriksi perifer. Bila curah jantung tetap normal atau diatas
normal namun kebutuhan metabolik tubuh tidak mencukupi,
maka high-output sindrome terjadi.
– Kegagalan akut versus kronik
Manifestasi klinis dari kegagalan jantung akut dan kronis
tergantung pada seberapa cepat sindrom berkembang. Gagal
jantung akut merupakan hasil dari kegagalan ventrikel kiri
mungkin karena infark miokard, disfungsi katub, atau krisis
hipertensi.
Gagal jantung kronis berkembang dalam waktu yang relatif cukup
lama dan biasanya merupakan hasil ahir dari suatu peningkatan
ketidakmampuan mekanisme kompensasi yang efektif, biasanya
disebabkan oleh hipertensi, penyakit katub, atau penyakit paru
obstruksi kronis/menahun.
– Kegagalan Ventrikel Kanan versus Ventrikel Kiri
Kegagalan ventrikel kiri adalah merupakan frekuensi tersering
dari dua contoh kegagalan jantung di mana hanya satu sisi jantung
yang dipengaruhi.
Gagal jantung kanan sering disebabkan oleh gagal jantung kiri,
gangguan katup trikuspidalis, atau pulmonal.

 Gejala Klinis:
1. Keluhan:
a. dada terasa berat (seperti memakai baju ketat0.
b. Palpitasi atau berdebar-debar
c. Paroxymal Nocturnal Dyspnea (PND) atau orthopnea, sesak
nafas saat beraktivitas, batuk (hemoptoe), tidur pakai bantal
lebih dari dua buah.
d. Tidak nafsu makan, mual, dan muntah
e. Letargi (kelesuan) atau fatique (kelelahan)
f. Insomnia
g. Kaki bengkak dan berat badan bertambah
h. Jumlah urine menurun (oliguria, nokturia)
i. Serangan timbul mendadak/sering kambuh.

 Etiologi
Gagal jantung merupakan hasil dari suatu kondisi yang menyebanka
overload volume, tekanan dan disfungsi miokard, gangguan
pengisisn, atau peningkatan kebutuhan metabolik.
Berdasarkan klasifikasi etiologi di atas dapat pula dikelompokkan
berdasarkan faktor etiologi eksterna maupun interna.
1. Faktor eksterna (dari luar jantung): hipertensi renal, hipertiroid,
dan anemia kronis/berat.
2. Faktor interna (dari dalam jantung),
a. Disfungsi katup: Ventrikel Septum Defect (VSD), Atria
Septum Defect (ASD), stenosis mitral dan insufisiensi mitral.
b. Disritmia: atrial fibrilasi, ventrikel vibrilasi, dan heart block.
c. Kerusakan miokard: kardiomiopati, miokarditis, dan infark
miakard
d. Infekasi: endokarditis bacterial sub-akut

 Pemeriksaan fisik
1. Evaluasi status jantung: berat badan, tinggi badan, kelemahan,
toleransi aktivitas, nadi perifer, displace lateral PMI/iktus kordis,
tekanan darah, mean arterial pressure, bunyi jantung, denyut
jantung, pulsus alternans, Galllop”s, murmur, Obstruksi
idiopathicHypertrophic Sub-Aorti Stenosis (IHSS)
2. Respirasi: dispnea, orthopnea, PND, suara nafas tambahan
(ronkhi, rales, wheezing).
3. Tampak pulsasi vena jugularis, JVP > 3 cmH2O2 hepatojugular
refluks.
4. Evaluasi faktor stres: menilai insomnia, gugup atau rasa
cemas/takut yang kronis.
5. Palpasi abdomen: hepatomegali, splenomegali, asites.
6. Konjungtiva pucat, sklera ikterik
7. Capillary Refil Time (CRT) > 2 detik, suhu akral dingin,
diaforesis, warna kulit pucat, dan pitting edema.

 Studi Diagnostik
1. Hitung sel darah lengkap: anemia berat/anemia gravis
2. Hitung sel darah putih: leukositosis (endokarditis dan miokarditis)
atau keadaan infeksi lain
3. Fraksi lemak: peningkatan kadar kolesterol, trigliserida Low
Density Lipoprotein merupakan resiko CAD dan penurunan
perfusi jaringan.
4. Tes fungsi ginjal dan hati: menilai efek yang terjadi akibat CHF
terhadap fungsi hati atau ginjal.
5. Tiroid: menilai peningkatan aktivitas tiroid
6. Rontgen toraks: untuk menilai pembesaran jantung (cardio
thoraxic Ratio/CTR) dan edema paru.
7. EKG: menilai hipertrofi atrium/ventrikel, iskemia, infark, dan
disritmia.

 Diagnosis dan Intervensi Keperawatan


1. Penurunan perfusi jaringan b/d penurunan curah jantung, kongesti
vena sekunder terhadap kegagalan kompensasi jantung
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2 × 24 jam pasien dapat
mempertahankan perfusi jaringan, curah jantung adekuat, dan
tanda-tanda dekompensasi kordis tidak berkembang, dengan
kriteria hasil:
o Keluhan pusing, sesak nafas, mual, berkeringat dingin dan
nyeri dada berkurang atau hilang.
o Tanda-tanda vital dalam batas normal, kadar BUN/kreatinin
normal, kulit hangat, keringat normal, irama jantung sinus,
pola nafas efektif, bunyi nafas normal; Bj tunggal, intensitas
kuat, dan irama teratur.
Intervensi:
1) Atur posisi tidur yang nyaman (fowler/high fowler)
2) Bed rest total dan mengurangi aktivitas yang merangsang
timbulnya respons valsava/vagal manuver. Catat reaksi pasien
terhadap aktivitas yang dilakukan.
3) Monitor tanda-tanda vital dan denyut apikal setiap jam (pada
fase akut), dan kemudian tiap 2-4 jam bila fase akut berlalu.
4) Monitor dan catat tanda-tanda disritmia, auskultasi perubahan
bunyi jantung.
5) Monitor BUN/kreatinin sesuai program terapi.
6) Observasi perubahan sensori
7) Observasi tanda-tanda kecemasan dan upayakan memelihara
lingkungan yang nyaman, upayakan waktu istirahat dan tidur
adekuat
8) Kolaborasi dengan tim gizi untuk memberikan diet rendah
garam, rendah protein, dan rendah kalori (bila pasien obesitas)
serta cukup selulosa
9) Berikan diet seikit-sedikit tapi sering dan lakukan oral higiene
secara teratur.
10) Lakukan latihan gerak secara pasif (bila fase akut berlalu) dan
tindakan lain untuk mencegah tromboemboli
11) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan:
a. Glikosid jantung
b. Inotropik atau digitalis dan obat vasoaktif.antiemetik dan
laxatif (sesuai indikasi)
c. Tranquilizer/sedatif (bila perlu)
d. Bantuan oksigenasi (tingkatkan aliran/konsentrasinya)
setiap kali pasien selesai melakukan aktivitas/makan.
e. Cek EKG serial
f. Rontgen thoraks (bila ada indikasi)
12) Monitor serum digitalis secara periodik, dan efek samping
obat-obatan serta tanda-tanda peningkatan ketegangan jantung
13) Jangan memberikan digitalis bila didapatkan perubahan
denyut nadi, bunyi jantung, atau perkembangan toksisitas
digitalis dan segera laporkan kepada tim medis
2. Kerusakan pertukaran gas b/d akumulasi cairan dalam alveoli
paru sekunder terhadap status hemodinamik tidak stabil
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 × 24 jam, pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas dalam paru secara adekuat untuk
meningkatkan oksigenasi jaringan, dengan kriteria hasil:
o Keluhan sesak nafas, nyeri dada, dan batuk hilang.
o Tanda sianosis hilang; bunyi nafas normal; tanda-tanda
kesulitan bernafas hilang.
Intervensi:
1) Posisi tidur semi fowler dan batasi jumlah pengunjung
2) Bed rest total dan batasi aktivitas selama periode sesak nafas,
bantu mengubah posisi.
3) Auskultasi suara nafas dan catat adanya rales (crackles) atau
ronkhi di basal paru, wheezing.
4) Observasi kecepatan pernafasan dan kedalaman (pola nafas)
tiap 1-4 jam
5) Monitor tanda/gejala edema pulmonal (sesak nafas saat
aktifitas; PND/orthopnea; batuk; takipnea; dan sputum.
6) Monitor tanda/gejala hipoksia; takikardia, peningkatan sistolik
tekanan darah; gelisah, bingung, pusing, nyeri dada, sianosis
di bibir dan membran mukosa).
7) Observasi tanda-tanda kesulitan respirasi, pernafasan cheyne
stokes. Segera laporkan tim medis.
8) Kolaborasi dengan tim medis untuk terapi dan tindakan:
a. Pemberian oksigen melalui nasal kanul 4-6 liter permenit
(kecuali bila pasien mengalami hipoksia kronis) kemudian
2 liter permenit. Observasi reaksi pasien dan efek
pemberian oksigen (nilai kadar ABG)
b. Diuretik dan suplemen kalium
c. Bronkhodilator
d. Sodium nitropruside
e. Sodium bikarbonat (bila asidosis metabolik)
9) Monitor efek yang diharapkan, efek samping dan toksisitas
dari terapi yang diberikan. Cek kadar elektrolit. Laporkan
kepada tim medis bila ditemukan tanda toksisitas atau
komplikasi lain
10) Kolaborasi tim gizi untuk memberikan diet jantung (rendah
garam-rendah lemak).
3. Risiko terhadap atau kelebihan volume cairan: edema b/d
peningkatan preload, penurunan kontraktilitas, penurunan aliran
darah ke ginjal, penurunan laju filtrasi glomerulus (peningkatan
produksi ADH dan retensi air + garam)
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 × 24 jam, pasien dapat
mencegah/mengurangi kelebihan volume cairan dan
meningkatkan perfusi jaringan, dengan kriteria hasil:
o Keluhan sesak nafas, batuk, kaki bengkak, dan berkeringat
dingin berkurang/hilang.
o Tekanan darah, denyut nadi/jantung, berat badan dalam batas
normal, edema/asites berkurang/hilang, pola nafas normal,
suara nafas normal, hati dan limpa normal.
Intervensi:
1) Monitor dan evaluasi CVP, denyut nadi/jantung, tekanan
darah secara ketat/tiap jam (fase akut) atau 2-4 jam setelah
fase akut berlalu.
2) Monitor bunyi jantung, murmur, palpasi iktus kordis, lebar
denyut apeks dan disritmia
3) Observasi tanda-tanda edema anasarka
4) Timbang berat badan tiap hari (bila kondisi pasien
memungkinkan)
5) Observasi pembesaran hati dan limpa; catat adanya mual,
muntah, distensi, dan konstipasi.
6) Batasi makanan yang menimbulkan gas dan minuman yang
mengandung karbonat
7) Batasi asupan cairan dan berikan diet rendah garam
8) Observasi infut dan output cairan (terutama per infus) dan
produksi urine per jam atau per 24 jam
9) Kolaborasi tim medis untuk terapi dan tindakan
a. Diuretik, catat produksi urine
b. Cek kadar elektrolit serum
c. Oksigenasi dengan tekanan rendah
d. Thoracocentesis, paracentesis, phelebotomi, atau rotating
tourniquet (bila perlu)

Daftar Pustaka Anderson, P.S et al. 1995. Patofisiologi konsep klinik proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC

Ester. M. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta EGC

Ester, M. dan Y. Asih, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan (Linda


Jual Carpenito). Edisi 6. Cetakan I, Jakarta: EGC

Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih bahasa.
Irawati. Edisi 9. Jakarta: EGC

NN. 1993, Dasar-dasar Keperawatan Kardiothoraksik. Jakarta: RS


Jantung Harapan Kita.

Soeparman. 1999. Ilmu Penyakit dalam. Jilid I & II. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Soetopo, W. 1990. Elektrokardiografi Praktis, Surabaya: Erlangga.


RSUD H. A. STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
SULTHAN DG HIPERTENSI
RADJA No. Dokumen No. Revisi Halaman
BULUKUMBA

Tanggal terbit Ditetapkan


SPO Direktur RSUD H. A. Sulthan Dg Radja
Bulukumba

(dr. Hj. Wahyuni AS, Mars)


Pengertian Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg.
Tujuan Sebagai acuan pelayanan asuhan keperawatan pada pasien di ruang
perawatan flamboyan RSUD H. A. Sulthan Dg Radja Bulukumba.
Kebijakan  Klasifikasi hipertensi berdasarkan level tekanan darah
Normotensi <140 SBP dan < 90 DBP
Hipertensi ringan 140-180 SBP atau 90-105 DBP
Subgroup: garis batas 140-160 SBP atau 90-105 DBP
Subgroup:garis batas 140-160 SBP atau < 90 DBP
Hipertensi sedang dan berat >180 SBP atau >105 DBP
Hipertensi sistolik terisolasi >140 SBP dan < 90 DBP
 Gejala Klinis:
Biasanya tanpa gejala atau tanda-tanda peringatan untuk hipertensi
dan sering disebut “silent killer”. Pada kasus hipertensi berat, gejala
yang dialami pasien antara lain: sakit kepala (rasa berat di tengkuk),
palpitasi, kelelahan, nausea, vomiting, ansietas, keringat berlebihan,
tremor otot, nyeri dada, epistaksis, pandangan kabur atau ganda,
tinnitus (telinga berdering), serta kesulitan tidur.
 Etiologi
– Etiologi yang pasti dari hipertensi esensial/hipertensi primer
belum diketahui. Namun, sejumlah interaksi beberapa energi
homeostatik sering terkait. Defek awal diperkirakan pada
mekanisme pengaturan cairan tubuh dan tekanan oleh ginjal.
Faktor hederiter berperan penting bilamana ketidakmampuan
genetik dalam mengelola kadar natrium normal.
– Etiologi hipertensi sekunder pada umumnya diketahui. Berikut ini
beberapa kondisi yang menjadi penyebab terjadinya hipertensi
sekunder:
1. Penggunaan kontrasepsi hormonal
2. Penyakit parenkim dan vaskular ginjal
3. Gangguan endokrin
4. Coartation aorta
5. Neurologik: tumor otak, encephalitis, dan gangguan psikiatrik
6. Kehamilan
7. Luka bakar
8. Peningkatan volume intravaskular
9. Merokok

Anda mungkin juga menyukai