Anda di halaman 1dari 38

POTENSI PENGEMBANGAN PRODUK CABAI

MERAH (Capsicum anum L.) BEKU

TOPIK KHUSUS

Oleh

Laely Fitri Handayani

J1A 012 065

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI

UNIVERSITAS MATARAM

2015

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Topik Khusus : Potensi Pengembangan Produk Cabai Merah


(Capsicum Anum L.) Beku

Nama Mahasiswa : Laely Fitri Handayani

Nomer Mahasiswa : J1A012065

Minat Kajian : Teknologi Pangan

Program Studi : Ilmu dan Teknologi Pangan

Telah diujikan pada 09 Juli 2015

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Ir.Zainuri,.PGDip., M.App.Sc.,Ph.D.)
NIP. 19641231 1999020 2 0 15

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan

(Ir. Mohammad Abbas Zaini, M.P.)


NIP. 195510221 198203 1 002

Tanggal Pengesahan :

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat
dan karunia-NYA sehingga topik khusus yang berjudul Potensi Pengembangan
Produk Cabai Merah (Capsicum Anum L.) Beku ini dapat diselesaikan. Dalam
penulisan topik khusus ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Prof. Ir. H. Eko Basuki, M.App.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Teknologi
Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram.
2. Ir. Moh. Abbas Zaini, MP., selaku Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi
Pangan Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram.
3. Ir.Zainuri,.PGDip., M.App.Sc.,Ph.D., selaku Dosen Pembimbing.
4. Kedua orang tua beserta keluarga yang selalu mendoakan yang terbaik untuk
penulis.
5. Seluruh teman-teman ITP 2012.
Penulis menyadari dalam penulisan topik khusus ini masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun. Semoga topik khusus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pihak-pihak lain yang membutuhkan.

Mataram, Juni 2015

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vii

RINGKASAN ......................................................................................................... 1

BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 2

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ....................................................... 4

1.2.1. Tujuan Penulisan........................................................................ 4

1.2.2. Kegunaan Penulisan ................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 5

2.1. Cabai Merah............................................................................................ 5

2.1.1. Morfologi Cabai Merah .................................................................. 5

2.1.2. Kandungan Nutrisi dalam Cabai Merah ......................................... 6

2.1.3. Manfaat Cabai Merah ..................................................................... 7

2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen Cabai Merah ......................... 8

2.2. Pengawetan Cabai Merah Segar ............................................................. 9

2.2.1. Pengawetan dengan bahan kimia .................................................. 10

2.2.2. Pengawetan dengan Metode Pengeringan .................................... 12

2.3. Pembekuan Cabai Merah ...................................................................... 18

2.3.1. Tahapan Proses Pembekuan Pada Cabai Merah ........................... 20

2.3.2.Perubahan-Perubahan pada Makanan Selama Pembekuan ................ 21

iv
a. Perubahan Fisiki pada Makanan Beku ............................................ 21

b. Peruban Kimia pada Pembekuan Makanan..................................... 23

c. Pengaruh Pembekuan terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme pada


Bahan ...................................................................................................... 24

2.4. Pengembangan Pengolahan Cabai Merah Beku ................................... 25

BAB III. PENUTUP .............................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 30

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan kimia pada cabai per100 gram bahan dapat dilihat pada tabel
di bawah ini: ................................................................................................ 7
Tabel 2. Mutu cabai setelah dikeringkan .............................................................. 15

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Cara Pengeringan Tradisional (Cara Petani) ................................. 12
Gambar 2. Alat Pengering Buatan Model Balitro ........................................... 15
Gambar 3. Alat Pengering Buatan Model LIPI............................................... 15
Gambar 4. Diagram alir pembekuan Cabai Merah ......................................... 20

vii
RINGKASAN

Cabai merah besar (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran


yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi. Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan
bahan baku cabai. Tanaman cabai merah adalah tanaman perdu dengan rasa buah
pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin. Karena rasa pedas inilah cabai
merah digunakan sebagai bumbu dalam masakan oleh masyarakat karena mampu
memeberikan cita rasa yang khas dan juga memberikan warna merah bagi
masakan. Seperti halnya sayuran dan buah yang lain, cabai merah setelah dipetik
dalam keadaan matang memiliki kandungan air yang cukup tinggi yaitu 90%.
Kandungan air yang tinggi ini dapat menyebabkan cabai merah sangat mudah
rusak. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan cabae
merah adalah dengan melakukan pengawetan pasca panen. Pengawetan yang telah
dilakukan pada cabai merah ialah pengawetan dengan bahan kimia, pengeringan,
penggunaan suhu termal, dan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada
suhu rendah dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendinginan dan pembekuan.
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keaadaan beku.
Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -24°C atau suhu
dibawahnya tergantung dari sifat dan karakteristik dari masing-masing bahan.
Pembekuan makanan akan ditandai dengan terbentuknya kristal es pada makanan.
Selama pembekuan makanan dapat terjadi beberapa perubahan baik perubahan
fisik, kimia maupun mikrobiologi. Cabai beku yang disimpan pada suhu -18°C
atau dibawahnya dapat bertahan selama 8-12 bulan. Sebelum digunakan, cabai
beku harus dithawing (pencairan es) agar cabai kembali normal dan mudah
digunakan.

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cabai merah atau lombok (bahasa Jawa) adalah tumbuhan dan buah
anggota genus Capsicum. Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk salah
satu komoditi sayuran yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena
peranannya yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai
komoditi ekspor dan industri pangan maupun industri obat-obatan. Buahnya dapat
digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan.
Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai
penguat rasa makanan. Buah yang masih muda berwarna hijau banyak digunakan
sebagai sayur dan setelah tua berubah menjadi merah digunakan sebagai bumbu
masakan, acar, sambal, macam-macam saus, buah kering dan tepung (Hartuti,
1997).
Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi
kesehatan manusia. Cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga
tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah
pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang
berperan sebagai zat anti kanker. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup
tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus di
konsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung (Utami, 2012).
Kandungan vitamin C (asam askorbat) dan beta karoten cabai merah yang tinggi
mengungguli buah-buahan yang sering dikonsumsi masyarakat seperti pepaya,
mangga, nanas dan semangka. Vitamin C pada cabai merah berfungsi sebagai
pemeliharaan membran sel, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi,
mempercepat penyembuhan (Almatsier, 2010).
Kebutuhan akan cabai merah semakin meningkat sejalan dengan semakin
beragamnya jenis dan menu masakan yang menggunakan cabai merah serta juga
karena semakin tingginya ekspor komoditas non-migas (Taufik, 2011). Setelah
dipanen cabai masih mengalami proses kehidupan yaitu proses respirasi yang

2
secara alami tidak dihentikan, mudah mengalami perubahan metabolisme karena
kandungan airnya yang tinggi, sehingga tidak dapat lama disimpan dalam bentuk
segar (Hartuti, 1997).
Penanganan pascapanen cabai merah di Indonesia umumnya masih
sederhana sehingga tingkat kerusakannya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena
fasilitas dan pengetahuan petani tentang penanganan pascapanen masih terbatas.
Teknologi pascapanen atau pengolahan cabai menjadi andalan dalam
mempertahankan dan meningkatkan nilai jual produk yang dituntut prima oleh
konsumen. Oleh karena itu, petani cabai perlu memiliki pengetahuan tentang
penanganan komoditas yang mudah rusak agar kesegarannya dapat dipertahankan
lebih lama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan cabai tergolong sayuran yang
mudah rusak dan sulit dipertahankan dalam bentuk segar (Taufik, 2011).
Penyebab utama dari kerusakan cabai merah adalah karena kadar airnya
yang tinggi, sehingga akan memperbesar terjadinya kerusakan–kerusakan
fisiologis, mekanis, maupun aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme yang
banyak menyebabkan kerusakan atau pembusukan pada cabai merah adalah
jamur. Untuk mencegah pembusukannya, cabai merah diawetkan dengan
menggunakan bahan pengawet (Oktaviana, 2012). Selain penggunaan bahan
pengawet, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan umur
simpan cabai diantaranya yaitu dengan pembekuan. Pengawetan dengan suhu
rendah (pembekuan) dapat menghambat aktivitas mikroba mencegah
terjadinya reaksi-reaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak
kandungan gizi bahan pangan. Walaupun pembekuan dapat mereduksi jumlah
mikroba yang sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari
mikroba (Frazier, 1977 dalam Rohanah 2002).
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keaadaan beku.
Pembekuan yang baik biasanya dilakukan pada suhu -12 sampai -24°C.
Pembekuan dapat dilakukan sebagai alternatif penyimpanan cabai merah segar
saat harga cabai mengalami kenaikan yang sangat tinggi. Selain itu, pembekuan
dapat menyimpan cabai dalam bentuk segar dan penurunan mutu pada cabai juga
relatif rendah. Menurut Basuki, dkk. (2012), penyimpanan merah dengan kemasan

3
yang memiliki lubang udara dalam ruang pendingin bersuhu 7,8-8,9°C dapat
mempertahankan kesegaran cabai selama 40 hari. Selain itu, menurut Anonim
(2012), bila cabai disimpan pada suhu 0°F atau -18°C atau suhu dibawah itu,
maka cabai tersebut dapat memiliki masa simpan 8-12 bulan. Cabai merah yang
telah mengalami pembekuaan selama beberapa hari, dapat digunakan menjadi
olahan selanjutnya seperti sambal, bumbu, saos, pasta cabai, manisan cabai, cabai
kering atau dijadikan sebagai cabai bubuk. Sebelum mengalami pengolahan
selanjutnya cabai beku tersebut harus mengalami proses thawing untuk
menghilangkang kristal es pada cabai. Oleh karena itu, pengembangan produk
cabai beku dapat dijadikan salah satu alternatif penyimpanan saat harga cabai
melonjak tinggi.
1.2.Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1.2.1. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui cara pembekuan pada cabai
merah sebagai salah satu cara memperpanjang umur simpan cabai merah dan
mengetahui potensi dalam pengembangan produk cabai merah beku serta produk
olahan dari cabai merah beku dalam industri pangan.

1.2.2. Kegunaan Penulisan


Hasil penulisan ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan dalam
penggunaan proses pembekuan sebagai salah satu alternatif dalam pengawetan
cabai merah dan dapat menjadi sumber informasi untuk penulisan selanjutnya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cabai Merah


Cabai merah besar (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran
yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup
tinggi. Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan
meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan
bahan baku cabai. Tanaman cabai merah adalah tanaman perdu dengan rasa buah
pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin. Secara umum cabai memiliki
banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak,
karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C (Prayudi, 2010).
2.1.1. Morfologi Cabai Merah
Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran
yang tergolong tanaman tahunan berbentuk perdu. Menurut Cronquist (1981),
klasifikasi tanaman cabai merah adalah sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Anak Kelas : Asteridae
Bangsa : Solanaless
Suku : Solanaceae
Marga : Capsicum
Jenis : Capsicum annuum L.
Tanaman cabai merah termasuk tanaman semusim yang tergolong ke
dalam suku Solonaceae. Secara umum cabai merah dapat ditanam di lahan basah
(sawah) dan lahan kering (tegalan). Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada
daerah yang mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah
kaya akan bahan organik dengan pH 6-7 dan tekstur tanah remah (Sudiono, 2006).
Tanaman ini berbentuk perdu yang tingginya mencapai 1,5–2 m dan lebar
tajuk tanaman dapat mencapai 1,2 m. Daun cabai pada umumnya berwarna hijau

5
cerah pada saat masih muda dan akan berubah menjadi hijau gelap bila daun
sudah tua. Daun cabai ditopang oleh tangkai daun yang mempunyai tulang
menyirip. Bentuk daun umumnya bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung
runcing. Bunga cabai berbentuk terompet atau campanulate, sama dengan bentuk
bunga keluarga Solonaceae lainnya. Bunga cabai merupakan bunga sempurna dan
berwarna putih bersih, bentuk buahnya berbeda- beda menurut jenis dan
varietasnya (Tindall, 1983).
Buah cabai bulat sampai bulat panjang, mempunyai 2-3 ruang yang berbiji
banyak. Buah yang telah tua (matang) umumnya berwarna kuning sampai merah
dengan aroma yang berbeda sesuai dengan varietasnya. Bijinya kecil, bulat pipih
seperti ginjal dan berwarna kuning kecoklatan (Sumaryono,2003).
2.1.2. Kandungan Nutrisi dalam Cabai Merah
Buah cabai sangat digemari karena memilki rasa pedas dan dapat
merangsang selera makan. Selain itu, buah cabai memiliki banyak kandungan gizi
dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A,
B1 dan vitamin C (Prayudi, 2010). Cabai mengandung berbagai macam senyawa
yang berguna bagi kesehatan manusia. Cabai mengandung antioksidan yang
berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar
antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase
dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker. Cabai (Capsicum annum L)
merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan oleh petani
di Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi dan memiliki beberapa
manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin yang berfungsi dalam
mengendalikan penyakit kanker (Almatsier, 2010).

6
Tabel 1 Kandungan nutrisi pada cabai per100 gram bahan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Kandungan gizi Jumlah
Energi 31,00 kal
Protein 1,00 g
Lemak 0,30 g
Karbohidrat 7,30 g
Kalsium 29,00 mg
Fosfor 24,00 mg
Serat 0,30 g
Besi 0,50 mg
Vitamin A 71,00 mg
Vitamin B1 0,05 mg
Vitamin B2 0,03 mg
Vitamin C 18,00 mg
Niacin 0,20 mg
Sumber :Anrianto dan Indarto (2004)

Cabai merah mengandung oleoresin yang menimbulkan rasa pedas, warna


merah dan cita rasa yang khas. Oleoresin adalah suatu produk yang mengandung
resin, minyak-minyak esensial yang bersifat volatil dan bahan aktif lainnya yang
diekstrak dengan pelarut non-aqueous seperti hidrokarbon (Ripangi, 2012).
Komponen-komponen oleoresin yang terdapat dalam cabai merah ialah
limonen, linalil, metil salisilat, 4-metil-1-pentenil-2-metil butirat,
isoheksilisokaproat dan heksasil-3-enol. Rasa pedas cabai dihasilkan oleh
senyawa capcaisin dan vanililamida. Capcaisin bersifat tidak berwarna, tidak
berbau, berbentuk cair pada suhu 65oC dan menguap pada suhu yang lebih tinggi.
Vanililamida dan capcaisin adalah senyawa antimikroba yang terdapat dalam
cabai merah (Ripangi, 2012).
2.1.3. Manfaat Cabai Merah
Buah cabai dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung
bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di
Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Buah yang masih muda berwarna
hijau banyak digunakan sebagai sayur dan setelah tua berubah menjadi merah
digunakan sebagai bumbu masakan, acar, sambal, macam-macam saus, buah
kering dan tepung (Hartuti, 1997).

7
Zat yang membuat cabai terasa pedas adalah capcaisin yang tersimpan
dalam urat putih cabai, tempat melekatnya biji. Karena itu, untuk mengurangi rasa
pedasnya, biasanya cabai merah dibuang bijinya berikut uratnya. Capcaisin cabai
bersifat stomakik, yakni dapat meningkatkan nafsu makan. Selai itu, cabai
memeliki kemampuan untuk merangsang produksi hormon endorphin yang
mampu membangkitkan sensasi kenikmatan. Itulah sebabnya orang makan cabai
ketika kepala pusing. Rasa pedas yang ditimbulkan capcaisin menghalangi
aktivitas otak untuk menerima sinyal rasa sakit yang kita derita. Senyawa
capcaisin ternyata tak hanya merangsang nafsu makan, tetapi juga menjadi obat.
Capcaisin mengencerkan lendir sehingga melonggarkan penyumbatan pada
tenggorokan dan hidung, termasuk sinusitis. Capcaisin juga bersifat antikoagulan
dengan cara menjaga darah supaya tetap encer dan mencegah terbentuknya kerak
lemak pada pembuluh darah. sehingga, orang yang sering makan cabai
kemungkinan menderita penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis), serangan
stroke, jantung koroner, dan impotensi sangat kecil (Ripangi, 2012).
2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen Cabai Merah
Cabai merah banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena rasa pedasnya
yang khas. Hal ini kemudian menjadikan sebagai komoditas sayuran yang penting
bagi pertanian di Indonesia. Akan tetapi cabai merah memiliki sifat perishable
atau mudah rusak. Kerusakan sering terjadi selama proses rantai pasokan dari
petani sampai ke pedagang kecil dan konsumen yang diakibatkan masih kurang
tertatanya proses penanganan pasca panen mulai dari tingkat petani, pengepul,
pedagang besar dan pedagang kecil. Hal tersebut menyebabkan cabai merah yang
dihasilkan menjadi tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (Wijaya dan
Supata, 2013). Selama panen berlangsung sampai pengangkutan cabai merah ke
tempat pengolahan, harus dilakukan secara hati-hati karena kemungkinan dapat
terjadi kerusakan mekanis. Kerusakan ini dapat mengakibatkan kerusakan
biologis sehingga cabai menjadi cepat busuk. Demikian juga pada saat pemetikan,
buah yang dipetik harus buah yang benar-benar masak agar diperoleh hasil yang
seragam (Hasbullah, 2012).

8
Untuk mengantisipasi semakin memburuknya kinerja penanganan pasca
panen pada produk cabai dapat diberikan usulan perencanaan kualitas sebagai
berikut :
Proses pemanenan sebaiknya cabai sebaiknya dilakukan dengan cara hati-
hati dan dengan menggunakan peralatan yang memadai serta telah dilengkapi
dengan komponen pelindung. Waktu pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi
hari karena dapat mencegah kelayuan pada cabai yang telah dipanen (Wijaya dan
Supata, 2013). Setelah cabai dipanen sebaiknya dilakukan sortasi dan grading.
Proses ini bertujuan untuk memilih dan mengkelaskan buah cabai berdasarkan
penambpilan produk yang seragam, baik ukuran panjang, diameter, bentuk,
permukaan dan warna, maupun kekerasan buah. Untuk mememudahkan
pengangkutan, cabai yang telah disortasi dan grading dapat dikemas (Ripangi,
2012). Bahan yang digunakan sebagai pengemas cabai dapat menggunakan
kantong plastik yang diberi lubang. Pada proses pengankutan harus dilakukan
dengan teliti dan hati-hati. Jumlah tumpukan tidak boleh terlalu banyak karena
dapat menyebabkan terjadinya penyok pada buah cabai yang berada ditumpukan
paling bawah karena bebannya terlalu berat. Sebaiknya jumlah tumpukan dus
cabai yang ideal adalah empat dus. Selain itu, transportasi yang baik adalah
menggunakan truk atau container yang bersistem udara terkendali serta tertutup
dan pengangkutan sebaiknya dilakukan malam hari. Proses penyimpanan cabai
sebaiknya ditempatkan di ruangan yang teduh, memiliki kelembaban yang cukup
dan terdapat sirkulasi udara. Penyimpanan dalam temperatur udara rendah juga
akan dapat mempertahankan mutu cabai lebih lama serta menekan penuaan
maupun kegiatan mikroba perusak. Proses kontrol temperatur udara pada gudang
di tempat penyimpanan dapat dijadikan salah satu solusi (Wijaya dan Supata,
2013).
2.2. Pengawetan Cabai Merah Segar
Cabai merah memiliki sifat mudah rusak. Sifat mudah rusak ini
dipengaruhi oleh kadar air dalam cabai yang sangat tinggi sekitar 90% dari
kandungan cabai merah itu sendiri. Kandungan air yang sangat tinggi ini dapat
menjadi penyebab kerusakan cabai pada saat musim panen raya. Oleh karena itu,

9
untuk memperpanjang umur simpan cabai merah dilakukan beberapa upaya
pengawetan dengan cara-cara sebagai berikut:
2.2.1. Pengawetan dengan bahan kimia
Penggunaan bahan pengawet kimia pada cabai merah sudah banyak
dilakukan. Bahan pengawet yang digunakan merupakan bahan kimia yang sesuai
dengan Standar yang telah ditentukan sehingga aman jika dikonsumsi oleh
konsumen. Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk pengawetan cabai merah
ialah sebagai berikut :
a. Natrium Benzoat
Pengawet yang banyak dijual dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan
barbagai bahan makanan adalah benzoat, yang biasanya terdapat dalam bentuk
natrium benzoat atau kalium benzoat karena lebih mudah larut. Benzoat sering
digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman seperti sari buah,
minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap dan lain-lain
(Cahyadi, 2008).
Benzoat merupakan unsur alami yang terdapat dalam beberapa tumbuhan.
Dan sering digunakan sebagai anti bakteri atau anti jamur untuk mengawetkan
makanan. Batas atas benzoat yang diizinkan dalam makanan 0,1% di Amerika
Serikat, sedangkan untuk negara-negara lain berkisar antara 0,15-0,25%. Untuk
negara-negara Eropa batas benzoat berkisar antara 0,015-0,5% (Ibekwe et al.,
2007). Asam banzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas
penggunaannya dan sering digunakan pada bahan makanan yang asam, bahan ini
digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat efektif
pada pH 2,5-4,0. Karena kelarutan garamnya lebih besar, maka biasa digunakan
dalam bentuk garam Na-benzoat (C6H5COONa). Sedangkan dalam bahan, garam
benzoat terurai menjadi bentuk efektif, yaitu bentuk asam benzoat yang tak
terdisosiasi ( Winarno, 1997 ).
Bahan pengawet ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil
toksin (racun), bakteri spora dan bakteri bukan pembusuk. Senyawa ini dapat
mempengaruhi rasa.Bahan makanan dan minuman yang diberi benzoat dapat
memberikan rasa aroma fenol, yaitu seperti aroma obat cair. Asam bonzoat

10
digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman anggur, saus sari buah,
sirup, dan ikan asin. Bahan ini bisa menyebabkan dampak negatif pada penderita
asma dan bagi orang yang peka terhadap aspirin. Kalsium benzoat bisa memicu
terjadinya serangan asma ( Subani, 2008).

b. Kalsium Propionat
Kalsium Propionat/Natrium Propionat (CH3CH2COOH) Keduanya yang
termasuk dalam golongan asam propionat sering digunakan untuk mencegah
tumbuhnya jamur atau kapang. Bahan pengawet ini biasanya digunakan untuk
produk roti dan tepung. Untuk bahan tepung terigu, dosis maksimum yang
disarankan adalah 0,32% atau 3,2 gram/kg bahan. Sedangkan untuk makanan
berbahan keju, dosis maksimumnya adalah 0,3% atau 3 gram/kg bahan.
Penggunaaan melebihi angka maksimum tersebut bisa menyebabkan migren,
kelelahan, dan kesulitan tidur (Utomo, 2010).
Kalsium propionat adalah salah satu bahan pengawet yang digunakan
dalam industri pangan. Kalsium propionat dengan rumus molekul
Ca(CH3CH2COO)2 dan bobot molekul sebesar 186,22 mempunyai mekanisme
kerja yang mempengaruhi permeabilitas membran sel lebih efektif melawan
kapang, sedikit efektif atau tidak efektif sama sekali terhadap khamir dan bakteri.
Efektivitas menurun dengan meningkatnya pH, dengan pH optimal 5 – 6 yang
tergantung pada jenis makanan. Kadar yang dapat dikonsumsi untuk setiap
harinya tidak terbatas, dengan LD 50 secara oral untuk tikus 4 sebesar 2,6 g/kg
bobot badan. Batas maksimum penggunaan pada selai dan jeli buah-buahan
dengan pemanis buatan sampai 0,1 % sediaan keju olahan 3 g/kg, dapat dipakai
secara tunggal maupun campuran dengan asam sorbat dan garamnya, roti 2 g/kg
(Saptarini, 2007).
c. Asam Asetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia asam
organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan.
Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam
bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H.Asam asetat murni (disebut

11
asam asetat glasial) adalah cairanhigroskopis tak berwarna, dan memiliki titik
beku 16.7°C.Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana,
setelah asam format.Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah,
artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat
merupakan pereaksi kimia dan bahan bakuindustri yang penting. Asam asetat
digunakan dalam produksipolimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat,
dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri
makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga,
asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun,
kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per
tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri petrokimia
maupun dari sumber hayati (Saruchan, 2010).
Asam organik secara alami dihasilkan oleh tumbuhan. Beberapa jenis
asam organik yang dapat digunakan untuk mengawetkan makanan adalah asam
asetat, asam laktat, asam propionat, asam fumarat, asam tartarat, dan asam sitrat.
Namun, yang paling efektif sebagai pengawet adalah asam asetat, karena tidak ada
batas maksimal penggunaannya untuk makanan beberapa peneliti menyatakan,
penggunaan asam asetat untuk makanan dalam jangka waktu lama tidak
membahayakan kesehatan karena dapat dimetabolisir oleh tubuh kemudian
dikeluarkan dari tubuh.Dari hasil penelitian, larutan yang mengandung asam
asetat 4% dapat mengurangi jumlah bakteri penyebab pembusukan serta bakteri
patogen seperti Escherichiacoli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp
( Andriani, 2006).

2.2.2. Pengawetan dengan Metode Pengeringan


Secara garis besar pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
pengeringan alami dan pengeringan buatan. Pengeringan secara alami dapat
dilakukan dengan penyinaran matahari langsung misalnya dengan penjemuran
atau pemanfaatan energi panas matahari dengan kamar pengering surya.
Pengeringan merupakan salah satu cara dalam teknologi pangan, agar bahan
menjadi awet dan aman disimpan. Keuntungan menggunakan pengeringan yaitu

12
volume bahan menjadi lebih kecil dan beratnya berkurang, sehingga akan
menghemat ruang pengepakan dan memudahkan pengangkutan (Hartuti dan
Sinaga, 1997).
Metode pengawetan dengan pengeringan berdasarkan prinsip bahwa
mikroba dan reaksi-reaksi kimia hanya terjadi jika air tersedia dalam jumlah
cukup. Jumlah kandungan air dalam bahan hasil pertanian akan mempengaruhi
daya tahan suatu bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Untuk
memperpanjang daya tahan suatu bahan maka sebagian air pada bahan
dihilangkan atau diuapkan sehingga mencapai kadar air tertentu (Hartuti dan
Sinaga, 1997).
Beberapa cara pengeringan adalah sebagai berikut :
1. Pengeringan Cara Petani (Tradisional)
Sarana yang dibutuhkan dalam pengeringan cara petani adalah lamporan.
Lamporan yang umum dipakai adalah lantai semen atau pasangan batu bata yang
diplester. Selain pengeringan dengan lamporan dapat juga dilakukan dengan rak-
rak yang dibuat dari kayu atau anyaman bambu. Pengeringan dengan cara petani
mempunyai beberapa keuntungan antara lain adalah tidak memerlukan bahan
bakar sehingga biaya pengeringan murah, memperluas kesempatan kerja dan sinar
matahari mampu menembus ke dalam jaringan sel bahan. Sedangkan
kerugiannya antara lain adalah suhu pengeringan dan kelembaban tidak dapat
dikontrol, hanya berlangsung bila ada sinar matahari dan pengeringan tidak
konstan (Hartuti dan Sinaga, 1997).

Gambar 1. Cara pengeringan tradisional (cara petani) sumber Hastuti dan


Sinaga 1999

13
2. Pengeringan buatan
Menurut Hartuti dan Sinaga (1999), terdapat bebrapa metode pengeringan
buatan yang dapat digunakan untuk mengeringkan cabai merah diantaranya
sebagai berikut :

a. Pengeringan Buatan Energi Matahari


Pengeringan buatan energi matahari merupakan cara pengeringan yang
menggunakan alat dengan sumber panas seperti pengeringan tradisional yaitu
menggunakan sinar matahari. Pada prinsipnya sinar matahri ini sebagai pengganti
sumber panas dari bahan bakar pada saat pengeringan. Pengaring sinar
matahari dibuat dengan bentuk seperti lemari dengan dinding terbuat dari
plastik dan rangka terbuat dari kayu. Jumlah rak terdiri dari 3-5 buah atau lebih
disesuaikan dengan besarnya ukuran dari alat pengering. Rancangan alat
pengering terdiri dari 3 bagian yaitu cerobong, ruang pengering dan kolektor.
Rangka utama dan rangka konstruksi terbuat dari kayu. Semua sambungan dipaku,
dindingnya dibuat dari plastik mika 0,2-0,3 mm dan tembus pandang (transparan)
(Hartuti dan Sinaga, 1997).
Kolektor terdiri dari isolator yang terbuat dari seng bergelombang, yang
berfungsi sebagai pengubah sinar matahari menjadi sumber panas. Penggunaan
seng gelombang dimaksudkan agar jumlah panas yang diterima lebih banyak
karena dengan permukaan seng yang bergelombang akan lebih luas
permukaannya bila dibandingkan dengan seng yang permukaannya rata sehingga
dalam penerimaan energi panas akan lebih banyak. Alas kolektor terbuat dari
papan yang diketam halus dan dipasang berjajar. Dinding samping terbuat dari
papan yang jumlahnya 2 buah, dengan tinggi 10 cm selanjutnya dipasang kayu
sebagai dudukan seng (Gambar 3). Permukaan seng gelombang dicat hitam
sehingga lebih banyak menyimpan sinar matahari. Pemasangan plastik pada
kolektor dengan cara dijepit dan dilebihkan 25 cm pada kedua ujungnya. Pada
ujung sebelum bawah disdiakan lubang yang fungsinya untuk menghasilkan aliran
udara ke dalam ruang pengering, sedangkan ujung di atas untuk disambungkan
dengan plastik dari ruang pengering (Hartuti dan Sinaga, 1997).
Rangka cerobong terbuat dari kayu sebanyak 6 buah, 3 buah untuk

14
membuat rangka segitiga bagian atas dan 3 buah untuk kerangka bagian bawah.
Cerobong dilapisi dengan plastik dan dijepit dengan triplek, dipasang di atas
ruang pengering dan dipaku pada kerangka atap atau diberi dudukan khusus yang
berfungsi untuk memberi kesempatan sirkulasi udara di dalam ruang pengering.
Rak pengering terbuat dari ram kawat yang diberi lapisan kayu pada bagian
pinggirnya agar rak tetap kaku/tegar dan dapat diangkat keluar. Untuk pembuatan
alat pengering ini ukuran alat dapat disesuaikan dengan jumlah bahan yang
akan dikeringkan (Hartuti dan Sinaga, 1997).
Perbedaan alat pengering tipe LIPI dan Balitro yaitu bahwa pada kamar
pengering tipe LIPI panjang cerobong 180 cm dan tempat dudukan cerobongnya
terletak di tengah dekat daun pintu, sedangkan tipe Balitro panjang cerobong 90
cm dan tempat dudukan cerobongnya di tengah- tengah atap. Model pengering
LIPI dan Balitro ini, berukuran panjang 305 cm, lebar 95 cm dan tinggi 285 cm.
Kapasitas pada alat pengering masing-masing bisa mencapai 100-200 kg (Hartuti
dan Sinaga, 1997).
Keuntungan pengering buatan adalah : (1) tidak perlu dijaga dari
gangguan hujan dan gangguan hewan pemeliharaan, (2 tidak perlu diangkat
(dibongkar) sebelum kering dan lama pengeringan 5-7 hari pada musim kemarau.
Tabel 2 Mutu cabai setelah dikeringkan
Komponen Pengeringan Pengeringan Pengerinang
tradisional balintro tipe LIPI
Kadar Air (%) 12,96 11,80 12,98
Vitamin C (mg/100 g) 180,86 197,44 220,33
Zat padat terlarut (%) 55,82 55,81 55,14
Kadar abu (%) 7,27 6,87 6,92
Kepedesaan (SU) 1770,00 1770,00 1525,00
Warna Tidak seragam Seragam Seragam
Penampakan Ada yang coktal Cerah Cerah
Berjemur Sedikit Tidak ada Tidak ada
Kondisi pengeringan:
Suhu (°C) 42 46-48 47-49
Kelembaban (%) 49 45 45
Sumber : Hartuti dan Sinaga (1995)

15
Gambar 2. Alat pengering buatan model Balitro

Gambar 3. Alat pengering model LIPI


b. Pengeringan dengan oven
Selain pengeringan tradisional (penjemuran) dan pengeringan buatan
menggunakan sinar matahari, dapat juga dilakukan pengeringan dengan alat oven.
Oven merupakan alat yang sangat mudah dalam penggunaannya. Alat ini
menggunakan sumber panas dari tenaga listrik. Siswoputranto (1973) melaporkan
bahwa cabai merah yang dibelah pengeringannya lebih cepat dibandingkan
dengan cabai yang dikeringkan dalam bentuk utuh. Untuk menghasilkan kadar air
5-8% cabai merah utuh yang dikeringkan pada suhu 60°C membutuhkan waktu
20-25 jam, sedangkan cabai yang dibelah membutuhkan waktu 10-15 jam.
Keuntungan dengan pengeringan oven antara lain suhu dan kelembaban dapat
diatur, ukuran oven dapat disesuaikan dan dapat bekerja siang malam (Hartuti dan
Sinaga, 1997).
2.2.3. Pengawetan dengan Proses Termal
Teknik pengolahan dengan pemanasan mampu menghasilkan produk yang
memiliki cita rasa yang luar biasa dibandingkan dengan teknik lain (Winarno,
2002). Namun demikian (Kinsman et al.,1994) menyatakan bahwa pengolahan
dengan panas dapat menyebabkan zat gizi menurun bila dibandingkan dengan
bahan segarnya. Penggunaan panas dalam proses pengawetan dapat membunuh

16
atau menginaktifkan organisme yang potensial berbahaya termasuk bakteri dan
virus. Efeknya tergantung suhu pemanasan dan teknik yang digunakan. Suhu
berkisar antara 5oC sampai 57oC (41oF sampai 135oF) adalah “wilayah makanan
dalam bahaya” karena diantara suhu tersebut bakteri dapat tumbuh dengan cepat.
Dibawah kondisi tersebut bakteri dapat menggandakan angka pertumbuhan setiap
20 menit. Makanan mungkin tidak menampakkan perbedaan atau kerusakan tetapi
dapat berbahaya bagi orang yang mengkonsumsinya (Arnold, 1976).
Pemanasan selama pemasakan menghasilkan perubahan pada penampilan
dan bahan-bahan fisik. Perubahan tersebut tergantung pada waktu pemasakan dan
kondisi suhu. Pemanasan diatas 60°C dapat menyebabkan molekul protein,
karbohidrat, lemak, dan asam nukleat menjadi tidak stabil (Kinsman et al., 1994).
Pemanasan (perebusan dan penggorengan) yang dilakukan secara
berlebihan atau waktu yang lama tanpa penambahan karbohidrat, dapat
mengakibatkan nilai gizi protein akan berkurang karena terbentuknya ikatan
silang dalam protein. Protein merupakan senyawa yang reaktif terhadap panas,
dimana sisi aktif beberapa asam amino dapat bereaksi dengan komponen lain
misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya (Winarno,
2002).
Blanching merupakan salah satu contoh pengawetan yang dilakukan pada
cabai merah. Blanching biasanya dilakukan sebagai perlakuan pendahuluan pada
cabai merah sebelum dikalengkan atau dibekukan. Menurut Aprianti (2013),
proses blanching dapat menginaktifkan enzim dan melunakkan bahan. Selain
blanching, saus cabai juga merupakan contoh dari pengawetan dengan proses
termal. Suhu pemanasan dalam pembuatan saus cabai sangat berpengaruh terhadap
warna yang dihasilkan. Umumnya pemanasan tersebut dilakukan pada suhu 80-
100° C. Mutu saus cabai ditentukan oleh kadar air (maksimal sekitar 83 persen),
jumlah padatan 20–40 persen, kekentalan sekitar 24,143 centi poise, serta penilaian
terhadap warna, bau dan rasa. Bau dan rasa harus khas cabai. Di samping itu, dapat
dilihat juga kandungan vitamin C-nya (Kosworo, 2009).
2.2.4. Pengawetan dengan Suhu Rendah
Cara Pengawetan pangan dengan suhu rendah ada 2 macam yaitu

17
pendinginan (cooling) dan pernbekuan (freezing). Pendinginan adalah
penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2° sampai +10°C.
Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lernari es pada umumnya
mencapai suhu 5-8°C. Meskipun air murni membeku pada suhu 0°C, tetapi
beberapa makanan ada yang tidak membeku sampai suhu –2°C atau di bawah,
hal ini terutama disebabkan oleh pengaruh kandungan zat-zat di dalam makanan
tersebut (Koswara, 2009).
Pendinginan biasanya akan mengawetkan berapa hari atau minggu
tergantung dari macarn bahan pangannya. sedangkan pernbekuan dapat
mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang-kadang beberapa
tahun. Mutu bahan pangan yang dibekukan akan menurun dengan kecepatan
yang tergantung dari suhu penyimpanan dan jenis bahan pangan. Pada umumnya
sebagian besar bahan pangan akan mempunyai mutu penyimpanan yang baik
sekurang-kurangnya 12 bulan bila disimpan pada suhu -18°C, kecuali bahan
pangan dengan kandungan lemak tinggi. Bila suhu penyimpanan naik 3°C maka
kecepatan kerusakan akan berlipat ganda (Koswara, 2009).
Makanan beku yang mempunyai Mutu penyimpanan yang baik selama
12 bulan pada suhu -18°C, akan tahan simpan masing-masing hanya 6 bulan
atau 3 bulan pada suhu -15°C atau -12°C. Perbedaan yang lain antara
pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap aktivitas
mikroba dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan
bahan tidak dapat menyebabkan kematian mikroba sehingga bila bahan pangan
dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan dibiarkan mencair kembali (thawing)
pertumbuhan mikroba pembusuk dapat berjalan dengan cepat. Penggunaan suhu
rendah terutama untuk beberapa hasil pertanian tertentu perlu mendapat perhatian
kerena kerusakan fisiologis dapat lebih cepat terjadi terutama justru pada suhu
rendah, misalnya kerusakan akibat proses pendinginan (Chilling injuries) dan
kerusakan proses pembekuan (freezing injuries) (Koswara, 2009).
2.3. Pembekuan Cabai Merah
Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara
membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut.
Dengan membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es

18
(ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat
atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Mutu
hasil pembekuan masih mendekati buah segar walaupun tidak dapat dibandingkan
dengan mutu hasil pendinginan (Rohanah, 2002).
Pembekuan dapat mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan
yang lebih baik daripada metoda lain, karena pengawetan dengan suhu rendah
(pembekuan) dapat menghambat aktivitas mikroba mencegah terjadinya
reaksi-reaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak kandungan gizi
bahan pangan. Walaupun pembekuan dapat mereduksi jumlah mikroba yang
sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikroba (Frazier,
1977)
Menurut Tambunan (1999), pembekuan berarti pemindahan panas dari
bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat, dan merupakan
salah satu proses pengawetan yang umum dilakukan untuk penanganan bahan
pangan. Pada proses pembekuan, penurunan suhu akan menurunkan aktifitas
mikroorganisma dan sistem enzim, sehingga mencegah kerusakan bahan pangan.
Selain itu, kristalisasi air akibat pembekuan akan mengurangi kadar air bahan
dalam fase cair di dalam bahan pangan tersebut sehingga menghambat
pertumbuhan mikroba atau aktivitas sekunder enzim.
Perkiraan laju pembekuan dan pada akhirnya lama pembekuan merupakan
faktor atau kriteria paling utama dalam pemilihan atau pun desain proses
pembekuan. Selama proses pembekuan, panas dipindahkan secara konduksi dari
bagian dalam (interior) produk pangan menuju ke permukaan dan kemudian
diambil oleh media pembeku. Lama pembekuan sangat tergantung pada berbagai
faktor, antara lain aialah ukuran dan bentuk produk yang dibekukan.
Konduktivitas panas produk yang dibekukan, luas area (permukaan) produk yang
dibekukan sebagai media pindah panas, koofisien pindah panas di permukaan
produk yang dibekukan dan medium pembeku, Perbedaan suhu antara produk
yang dibekukan dan medium pembeku dan jenis pengemas yang digunakan untuk
mengemas produk yang dibekukan jika produk dibekukan dalam keadaan
terkemas. Pengawetan pangan melalui proses pembekuan dapat dicapai dengan

19
kombinasi dua faktor, yaitu faktor suhu dan aktivitas air, dan dalam beberapa
kasus ditambah dengan perlakuan blansir sebelum proses pembekuan. Secara
keseluruhan, faktor-faktor tersebut akan menurunkan laju reaksi kimia, biokimia,
dan aktivitas mikrobiologi (PATPI, 2007).
Faktor-faktor dasar yang dapat mempengaruhi mutu akhir dari makanan
beku adalah mutu makanan beku yang digunakan termasuk Varietas, kematangan,
kecocokan untuk dibekukan dan disimpan dalam keadaan beku, perlakuan
sebelum pembekuan seperti blansing, penggunaan SO2 atau asam askorbat,
metode dan kecepatan pembekuan yang digunakan, suhu penyimpanan dan
fluktasi suhu, waktu penyimpanan, kelembaban lingkungan tempat penyimpanan,
terutama jika makanan tidak dikemas dan sifat-sifat dari setiap bahan pengemas
yang digukanakan pada proses pembekuan (Afrianti, 2013).
2.3.1. Tahapan Proses Pembekuan Pada Cabai Merah
Pada dasarnya, pembekuan cabai merah tidak jauh berbeda dengan
pembekuan pada buah dan sayur yang lainnya yang meliputi pembersihan,
pencucin, sortasi, grading, blanching dan pengemasan. Selain itu juga dilakukan
beberapa tahan pendahuluan sebelum pembekuan yang bertujuan untuk
mengurangi kerusakan selama pembekuan dan penyimpanan beku (Afrianti,
2013).

20
Diagram alir pembekuan cabai merah
. Cabai merah segar

Pembersihan

Dicuci hingga bersih

Sortasi

Pengkelaskan berdasarkan kualitas

Blanching atau perlakuan pendahuluan

Pengemasan menggunakan plastik tipis yang berpori

Pembekuan dengan suhu -24°C sampai -40°C

2.3.2.Perubahan-Perubahan pada Makanan Selama Pembekuan


Makanan yang mengalami pembekuan tentunya akan mengalami
perubahan baik fisik, kimia, biologi maupun mikrobiologi. Pada dasarnya
makanan yang disimpan pada waktu yang cukup lama tentu akan mengalami
penurunan mutu meskipun telah dilakukan beberapa upaya pengawetan dan
pengolahan. Akan tetapi, dengan perlakuan pengolahan atau pengawetan
diharapkan penurunan mutu pada makanan dapat diminimalkan. Begitu pula pada
makanan yang dibekukan, terdapat berapa pengaruh akibat pembekuan pada
makanan tersebut.

a. Perubahan Fisiki pada Makanan Beku


Perubahan fisik pada makanan yang dibekukan dapat terlihat dengan
terjadinya perubahan pada makanan yang dapat diamati langsung. Dehidrasi

21
permukaan pangan, disebabkan oleh pengemasan yang kurang baik dan terjadi
fluktasi suhu. Pada ayam dehidrasi tampak sebagai Freezer burn yaitu adanya
bagian-bagian dari kulit yang berubah menjadi bening. Pada kemasan dehidrasi
tampak sebagai cavity yaitu pengisian rongga dalam kemasan oleh kristal-kristal
es. Selama proses pembekuan juga dapat mengakibatkan berkurangnya flavor
akibat penguapan, pecahnya gel dan emulsi setelah makanan dicairkan dan drip
yaitu pembebasan cairan jaringan setelah bahan makanan dicairkan, misalnya
pada daging dan ikan (Afrianti, 2013).
Kegiatan metaabolisme pada produk biasanya ditentukan oleh aktivitas
enzimatis. Suhu dimana enzim menjadi aktif atau tidak aktif amat bervariasi.
Pada suhu terlalu rendah sekitar 0-2°C, kegiatan metabolisme terherhenti. Air
dalam ruang antar sel akan membeku, sehingga sel akan rusak. Setelah thawing
(pencairan es) tekstur dari makanan yang dibekukan akan kembali normal.
Sehingga komoditi akan membusuk, karena jaringan sel rusak dan mikroba akan
mudah tumbuh (Widjanarko, 2012). Kerusakan enzim dan jaringan selama
pembekuan akan mempengaruhi makanan mulai dari tekstur dan warna. Hal ini
karena setelah thawing makanan memang kembali normal akan tetapi tidak
seperti bentuk segarnya. Kurva suhu dan waktu pembekuan umumnya

menunjukkan garis datar (plataeau) antara 0oC dan 5oC berkaitan dengan
perubahan air menjadi es, kecuali jika kecepatan pembekuan sangat tinggi.
Telah ditunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk melampaui daerah
pembekuan ini mempunyai pengaruh yang nyata pada mutu beberapa makanan
beku. Umumnya telah diketahui bahwa pada tahapan ini terjadi kerusakan sel
dan struktur yang irreversible yang mengakibatkan mutu menjadi jelek
setelah pencairan, terjadi khususnya sebagai hasil pembentukan kristal es yang
besar dan perpindahan air selama pembekuan dari dalam sel ke bagian luar sel
yang dapat mengakibatkan kerusakan sel karena pengaruh tekanan osmotis.
Pembekuan yang cepat dan penyimpanan dengan fluktuasi suhu yang tidak
terlalu besar, akan membentuk kristal-kristal es kecil di dalam sel dan akan
mempertahankan jaringan dengan kerusakan minimum pada membran sel
(Rohanah, 2002).

22
b. Peruban Kimia pada Pembekuan Makanan
Selama proses pembekuan, beberapa sifat kimia dari bahan dapat
mengalami perubahan diantaranya penguraian Vitamin C akibat reaksi oksidasi,
ketengikan akibat oksidasi lipida, pemucatan warna akibat reaksi pada klorofil
dan karoten (Afrianti, 2013). Selain perubahan tersebut, pembekuan juga dapat
mempengaruhi kandungan lain pada makanan seperti kadar protein, kadar lemak,
dan kandungan vitamin pada makanan. Pembekuan hanya menyebabkan sedikit
perubahan nilai gizi protein, maka dimungkinkan untuk mendenaturasi protein
dengan perlakukan demikian. Hal ini dapat dilihat dalam proses pendadihan
bahan-bahan yang berprotein terutama selama pembekuan dan pencairan yang
berulang-ulang. Walaupun nilai biologis protein yang mengalami denaturasi,
sebagai bahan pangan manusia, tidak banyak berbeda dengan protein asli,
kenampakan dan kualitas bahan pangan tersebut mungkin akan berubah sama
sekali karena perlakuan-perlakuan yang demikian. Selama penyimpanan beku
jika seandainya enzim tidak diinaktifkan, proteolisis mungkin terjadi di dalam
jaringan hewan (Rohanah, 2002).
Deteriorasi oksidatif lemak dan minyak bukanlah hal yang asing lagi
pada bahan pangan. Lemak dalam jaringan ikan cenderung lebih cepat menjadi
tengik daripada lemak dalam jaringan hewan. Pada suhu –10°C ketengikan yang
berkembang dalam jaringan berlemak yang beku sangat berkurang. Lemak yang
tengik cenderung mempunyai nilai gizi yang lebih rendah daripada lemak yang
segar. Untuk mencegah proses tersebut maka proses pembekuan merupakan
pencegahan yang sangat baik hampir pada semua makanan berlemak (Rohanah,
2002).
Kehilangan vitamin-vitamin berlangsung terus sepanjang pelaksanaan
pengolahan, misalnya selama blansing dan pencucian, pemotongan dan
penggilingan. Terkenanya jaringan-jaringan oleh udara akan menyebabkan
hilangnya vitamin C karena oksidasi. Umumnya kehilangan vitamin C terjadi
bilamana jaringan dirusak dan terkena udara. Selama penyimpanan dalam
keadaan beku kehilangan vitamin C akan berlangsung terus. Makin tinggi suhu
suhu penyimpanan makin besar terjadinya kerusakan zat gizi. Dalam bahan

23
pangan beku kehilangan yang lebih besar dijumpai terutama pada vitamin C
daripada vitamin yang lain. Blansing untuk menginaktifkan enzim adalah
penting untuk melindungi tidak hanya vitamin-vitamin akan tetapi juga kualitas
bahan pangan beku pada umumnya. Secara komersial sudah lama dilakukan
penambahan asam askorbat pada buah-buahan sebelum pembekuan guna
melindungi kualitas. Vitamin B1 peka terhadap panas dan rusak sebagian
selama blansing untuk menginaktifkan enzim. Kehilangan lebih lanjut tetapi
dalam jumlah yang lebih sedikit selama penyimpanan beku pada suhu dibawah
nol pada buah-buahan, sayuran, daging, dan unggas. Selama preparasi untuk
pembekuan kandungan vitamin B2 dalam bahan pangan menjadi berkurang,
akan tetapi selama penyimpanan beku kerusakan zat gizi hanya sedikit atau tidak
rusak sama sekali. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan karoten sebagai
prekusor vitamin A selama pembekuan bahan pangan mengalamin sedikit
perubahan walaupun terjadi kehilangan selama penyimpanan. Blansing pada
jaringan tanaman dapat memperbaiki stabilitas penyimpanan karoten.
Penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku tanpa dikemas dapat menjurus
ke arah terjadinya oksidasi dan perusakan sebagian besar zat gizi, termasuk
vitamin (Rohanah, 2002).
c. Pengaruh Pembekuan terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme pada
Bahan
Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan pada suhu di bawah kira-
kira -12°C belum dapat diketahui dengan pasti. Jadi penyimpanan makanan beku
pada suhu sekitar -18°C dan di bawahnya akan mencegah kerusakan
mikrobologis, dengan persyaratan tidak terjadi perubahan suhu yang besar.
Mikroorganisme psikofilik mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada suhu
lemari es terutama di antara 0°dan 5°C. Jadi penyimpanan yang lama pada
suhu- suhu ini baik sebelum atau sesudah pembekuan dapat mengakibatkan
terjadinya kerusakan oleh mikroba. Walaupun jumlah mikroba biasanya menurun
selama pembekuan dan penyimpanan beku (kecuali spora), makanan beku tidak
steril dan acapkali cepat membusuk seperti produk yang tidak dibekukan jika
suhu cukup tinggi dan lama penyimpanan pada suhu tersebut cukup lama.

24
Pembekuan dan penyimpanan makanan beku juga mempunyai pengaruh yan
nyata pada kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka tersebut
mendapat kesempatan menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan yang cepat
akan terjadi jika lingkungan sekitarnya memungkinkan (Buckle, 2010).
2.4. Pengembangan Pengolahan Cabai Merah Beku
Cabai merah yang telah dibekukan masih dapat diolah lagi menjadi produk
lain. Sebelum digunakan cabai beku harus mengalami proses thawing. Thawing
merupakan proses kelanjutan dari proses freezing. Thawing akan mengembalikan
bahan baku ataupun produk dari yang semula berbentuk fase padat menjadi fase
cair. Dalam daging beku akan mengembalikan keempukan dari daging. Suhu
thawing berkisar antara 10°-15° C. (Jeremiah, 1996) Ada 2 macam thawing yaitu
slowly thawing dan rapid thawing. Slowly thawing menggunakan aliran udara
hangat yang akan menyebabkan suhu bahan baku dan produk menjadi meningkat.
Sedangkan cara lambat adalah dengan membungkus bahan baku dengan plstik
kemudian dialiri oleh air.Setelah proses thawing, cabai dapat digunakan sebagai
bumbu dalam masakan atau menjadi produk olahan seperti saus, sambal, puree
cabai, pasta cabai, bubuk cabai, manisan cabai, dan cabai kering.
a. Saus atau Sambal Cabai
Saus cabai adalah saus yang diperoleh dari pengolahan cabai yang matang
dan berkualitas baik dengan tambahan bahan-bahan lain yang digunakan sebagai
bahan pembantu. Bahan-bahan tambahan yang digunakan sangat bervariasi, tetapi
yang umum ditambahkan ialah garam, gula, bawang putih dan bahan pengental
(pati jagung atau maizena dapat juga tapioka). Pati digunakan sebagai bahan
pengikat dan memberikan penampakan yang mengkilap. Rasa dan mutu saus cabai
sangat tergantung mutu dan varietas cebe yang digunakan sebagai bahan baku
utamanya (Koswara, 2009).
Suhu pemanasan dalam pembuatan saus cabai sangat berpengaruh terhadap
warna yang dihasilkan. Umumnya pemanasan tersebut dilakukan pada suhu 80-
100 oC. Mutu saus cabai ditentukan oleh kadar air (maksimal sekitar 83 persen),
jumlah padatan 20–40 persen, kekentalan sekitar 24,143 centi poise, serta penilaian
terhadap warna, bau dan rasa. Bau dan rasa harus khas cabai. Di samping itu, dapat

25
dilihat juga kandungan vitamin C-nya. Dapat juga ditambahkan bahan pengawet
yang diizinkan untuk makanan. Misalnya suatu standar mutu cabai (Chili Sauce,
Colombian Standard) mensyaratkan kadar natrium benzoat maksimal 1000 ppm
(0,1 persen), kalium sorbat maksimal 0,125 persen dan gabungan benzoat-sorbat
maksimum 0,125 persen. Di Indonesia saus cabai disyaratkan dapat menggunakan
bahan pengawet yang diizinkan untuk makanan (Koswara, 2009).
Bahan yang digunakan dalam pembuatan saus cabai antara lain cabai
merah segar yang merupakan bahan terbanyak yang digunakan, bawang putih,
garam, tomat, gula, asam cuka, tepung maizena, air dan natrium benzoat sebagai
bahan pengawet. Misalnya untuk 1,5 kg cabai merah yang digunakan, diperlukan
sekitar 0,5 kg bawang putih, 70 gram garam, 0,5 kg tomat, 60 gram gula, sekitar 40
ml asam cuka, 50 gram tepung maizena, 200 ml air dan 2 gram natrium benzoate
(Koswara, 2009)..
Menurut Koswara (2009), proses pembuatan saus cabai pada prinsipnya
adalah sebagai berikut :
1. Mula-mula cabai merah dipotong tangkainya dan dibuang bijinya.
2. Bersama dengan bawang putih yang juga sudah dikupas, kedua bahan tersebut
dikukus pada suhu sekitar 100 oC selama 1 menit dan digiling sampai halus.
Alat yang digunakan untuk menggiling bervariasi tergantung dari kapasitas
pabrik yang memproduksinya.
3. Bahan-bahan lain yang juga telah dihaluskan ditambahkan ke dalam bubur
cabai dan bawang putih ini. Kemudian diaduk sambil dipanaskan dengan api
yang tidak terlalu besar sampai mendidih dan mencapai kekentalan yang
dikehendaki.
4. Selanjutnya dilakukan pengemasan dalam botol steril.
b. Manisan Cabai
Manisan cabai adalah buah cabai yang diawetkan dengan gula. Tujuan
pemberian gula dengan kadar yang tinggi pada manisan cabai, selain untuk
memberikan rasa manis, juga mencegah tumbuhnya mikroorganisme (jamur,
kapang). Cabai yang paling baik untuk dibuat manisan adalah cabai merah yang
ukurannya besar dan berdaging tebal. Menurut Anonim (2011), proses pembuatan
manisan cabai adalah sebagai berikut :

26
a. Tahap persiapan alat dan bahan
menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam pembuatan manisan cabai
merah yaitu : timbangan, wadah, saringan, panci, sendok kayu, psau dan tampah,
dikondisikan dalam keadaan bersih dan kering. Bahan yang perlu dipesiapkan
adalah cabai merah besar, gula pasir, kapur sirih, garam dan asam sitrat. Sebelum
tahap pengolahan, cabai merah terlebih dahulu dikeluarkan isinya, kemudian
dicuci, ditiriskan dan ditimbang sesuai kebutuhan.
b. Tahap pelaksaanaan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap dala proses pembuatan manisan melalui
perendaman dalam larutan kapur sirih dan larutan gula.
Perendaman dalam larutan kapur (12 jam)

Pencucian (ditiriskan)

Ditaburi gula (tahap I 24 jam)
Cabai diletakkan pada wadah

Cabai ditiriskan

Larutan gula dipanaskan (±10 menit)
Kemudian didinginkan

Perendaman dalam larutan gula (tahap II 24 jam)

Cabai ditiriskan

Larutan gula dipanaskan ± 10 menit
(ditambahkan gula, garam dan asam sitrat)

Perendaman dalam larutan gula ( tahap III 24 jam)

Ditiriskan
c. Tahap penyelesaian
Pengeringan (dijemur di bawah sinar matahari ± 1 minggu)

27
c. Pasta cabai
Pasta cabai adalah bentuk olahan cabai yang berbentuk bubur yang diawetkan.
Pasta cabai umumnya digunakan sebagai bahan dasar untuk campuran bumbu
masakan, biasanya cabai yang digunakan adalah cabai besar. Pasta cabai sering
digunakan sebagai bumbu intiuntuk segala jenis masakan seperti rending, gulai,
sambal goring, bumbu bali, rica-rica dan aneka masakan lainnya. Dengan
pengolahan dan pengemasan yang baik, pasca cabai dapat disimpan selama
kurang lebih 6 bulan. Cara pembuatan pasta cabai ialah sebagai berikut :
1. Sortasi : Pilih cabai yang merah dari jenis cabai besar, tidak cacat dan buang
tangkainya.
2. Pencucian : Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang melekat
3. Pemblansiran : Blansir dimaksudkan untuk menghilangkan mikroba dari bahan
baku sehingga bisa memperbaiki tampilan dan memperpanjang daya
simpannya. Selain dengan cara pengukusan, blansing dapat dilakukan dengan
cara mencelupkan bahan baku ke dalam air mendidih selama kurang lebih 5
menit.
4. Penggilingan : Cabai digiling atau dihancurkan sehingga terbentuk pasta.
5. Pemasakan : Pasta cabai dimasak dengan api kecil sambil diaduk-aduk.
6. Pembotolan : Pasta cabai dikemas dalam botol kaca.
7. Pasteurisasi : Pasteurisasi dilakukan untuk memperpanjang daya simpan
produk.

28
BAB III
PENUTUP

Cabai merah atau lombok (bahasa Jawa) adalah tumbuhan dan buah
anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun
bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas
sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Buah yang masih
muda berwarna hijau banyak digunakan sebagai sayur dan setelah tua berubah
menjadi merah digunakan sebagai bumbu masakan, acar, sambal, macam-macam
saus, buah kering dan tepung. Cabai mengandung antioksidan yang berfungsi
untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan
ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin
yang berperan sebagai zat anti kanker.
Kebutuhan masyarakat akan cabai semakin hari semakin meningkat. Cabai
sangat mudah mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh kadar airnya yang
sangat tinggi, sehingga akan memperbesar terjadinya kerusakan-kerusakan
fisiologi, mekanis, maupun aktivitas mikroorganisme. Cabai merah tidak selalu
tersedia dalam jumlah banyak dipasar karena biasanya produksi cabai berdasarkan
musim. Pada saat musim hujan harga cabai biasanya melonjak tinggi. Agar harga
cabai merah dapat ditekan dilakukan pengawetan pada cabai merah pada saat
harga cabai merah sangat murah. Beberapa pengawetan yang telah dilakukan pada
cabai merah adalah dengan cara pengeringan, perendaman dengan larutan
pengawet, diolah menjadi sambal, saus, pasta, puree cabai, manisan cabai, dan
bubuk cabai. Salah satu pengawetan yang ingin dilakukan adalah dengan cara
pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan pada suhu yang rendah atau pada
keadaan beku. Produk cabai beku dapat disimpan selama 8-12 bulan pada
penyimpanan -18°C atau pada suhu yang lebih rendah. Sebelum digunakan
sebagai olahan selanjutnya cabai beku harus dithawing terlebih dahulu untuk
mencairkan cabai kebentuk semula agar lebih mudah diolah. Cabai merah beku
dapat diolah menjadi bumbu masakan, cabai kering, saus, sambal, acar dan lain-
lain.

29
DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, L.H., 2013. Teknologi Pengawetan Pangan Edisi Revisi. Alfabeta.


Bandung.

Almatsier, S., 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi Cetakan kesembila. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Anonim, 2011. Manisan Cabai.


http://mitrapustaka.blogspot.com/2011/01/manisan-cabai-merah.html.
(diakses pada 25 Juli 2015).

Anonim, 2012. Frozen shelf life of foods.


www.hooraysales.org/PDF/Freezermatesfrozen-shelf-life-of-foods.pdf.
(diakses pada 10 Juni 2015).

Basuki, E., A. Prarudiyanto dan Zainuri, 2012. Fisiologi Dan Teknologi Pasca
Panen. Primaprint. Yogyakarta.

Buckle, K.A., dkk., 2010. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.

Cahyadi, 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan Edisi 2
Cetakan 1. Bumi Aksara. Jakarta.

Hartuti dan Sinaga, 1999. Pengeringan Cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayur.
Bandung.

Anrianto, T.T., dan Indarto, N., 2004. Budi Daya dan Analisis Usaha Tani, Cabe
Rawit, Cabe merah dan Cabe Jawa. Absolut. Yogyakarta. Hal: 17-18,
62.

Koswara, S., 2009. Pengolahan Pangan dengan Suhu Rendah. Ebookpangan.com.

Koswara,S., 2009. Pengolahan Aneka Saus. Ebookpangan.com.

Muchtadi, T.R., dan Sugiono, 2013. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan.
Alfabeta. Bandung.

PAPTI, 2007. Teknologi Pembekuan Pangan. Seminar Nasional Perhimpunan


Ahli Teknologi Pangan Indonesia. 17-18 juli 2007, Bandung, Indonesia.
Hal. 30-35.

Oktaviana,Y.S. Aminah dan J. Sakung, 2012. Pengaruh Lama Penyimpanan dan


Konsentrasi Natrium Benzoat Terhadap Kadar Vitamin C Cabai Merah
(Capsicum annuum L.). Jurnal Akademika Kimia. Vol.1. No. 4.

30
Prayudi, B., 2010. Budidaya dan Pasca Panen Cabai Merah (Capsicum annum
L.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, Jawa Tengah.

Ripangi, A., 2012. Budidaya Cabai. PT. Buku Kita. Jakarta.

Rohanah, A., 2002. Pembekuan. Universitas Sumatra Utara. Medan.

Taufik, M., 2011. Analisis Pendapatan Usaha Tani dan Penanganan Pasaca Panen
Cabai Merah. Jurnal Litbang Pertanian (30)2.

Utami, D.A., 2012. Studi Pengolahan dan Lama Penyimpanan Sambal Ulek
Berbahan Dasar Cabe Merah, Cabe Keriting dan Cabe rawit yang
Difermentasi. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Widjanakro,S.B., 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB-Press. Malang.

Wijaya, W.D., dan I.N. Supata, 2013. Upaya Pengurangan Tingkat Kecacatan
Cabai Pasca Panen pada Jalur Rantai Pasok. Jurnal Tirta. Vol.1. No.2.

Winarno,F.G., 2010. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai