Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN BENCANA

PENCEGAHAN EPIDEMI INFEKSI DAN


PENGENDALIAN INFEKSI SELAMA BENCANA

Disusun Oleh :
Kelompok 4
1. Abdullah Nor Abadi (163210042)
1. Alif Faridi Akbar (163210044)
2. Helen Ayu Prameswari (163210057)
3. Mellysa Setyawati (163210063)
4. Siska Novi Yuliani (163210073)
5. Siti Aminah Mikado (163210074)
6. Vindari Afryanti (163210139)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES INSAN CENDEKIA MEDIKA
JOMBANG
2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang senantiasa selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Pencegahan Epidemi Infeksi dan Pencegahan Infeksi selama
Bencana” yang dapat selesai tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah


KEPERAWATAN BENCANA. Dalam penyusunan makalah ini tak lupa pula kami
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik berupa bimbingan,
dorongan do’a, serta kerja keras sama yang baik dari semua pihak.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
untuk itu kami meminta kritik dan saran yang bersifatmembangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jombang, 9 Oktober 2019

Penyusun

DAFTAR ISI
2
Cover/Halaman Judul.........................................................................................1
Kata Pengantar....................................................................................................2
Daftar Isi.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang......................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................6
1.3 Tujuan....................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana..........................7
2.2 Permasalahan Kesehatan Pasca Bencana..............................................9
2.3 Manajemen Pencegahan Penyakit Menular Pasca Bencana.................10
2.4 Ruang Lingkup Pencegahan Penyakit Menular....................................12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................19
3.2 Saran......................................................................................................19
Daftar Pustaka.....................................................................................................21

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana merupakan peristiwa yg terjadi secara mendadak atau perlahan yang

menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan normal sehingga diperlukan

tindakan darurat untuk menyelamatkan korban manusia beserta lingkungannya.

Bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor

manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam keadaan

tertentu dapat menghambat pembangunan nasional.


Secara geografis Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap

bencana alam seperti gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung, dll,

karena terletak pada titik pertemuan dari tiga lempengan besar yaitu lempeng

Eurasian, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Selain itu, terdapat 130

gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam Tipe A, Tipe B, dan Tipe C.

Gunung api yang pernah meletus sekurang‐kurangnya satu kali sesudah tahun

1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung api tipe A, tipe B adalah

gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus sedangkan tipe C adalah

gunung api yang masih di indikasikan sebagai gunung api aktif. Serta terdapat

lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan

padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir bandang dan tanah longsor

pada saat musim penghujan. Selama tahun 2016 terdapat 2.342 kejadian bencana

yang merupakan sebuah rekor baru tertinggi dalam pencatatan kejadian bencana

sejak tahun 2002. Sebagai perbandingan pada tahun 2016 (2.342 bencana), 2015

(1.732 bencana), 2014 (1.967 bencana), 2013 (1.674 bencana), 2012 (1.811).

Dibandingkan dengan kejadian bencana tahun 2015 terjadi peningkatan 35 persen.

4
Bencana yang disertai dengan pengungsian sering menimbulkan masalah

kesehatan masyarakat yang sebenarnya diawali oleh masalah lumpuhnya

pelayanan kesehatan, masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi

lingkungan, penyakit menular dan stres/gangguan kejiwaan. Dampak buruk akibat

bencana antara lain: penyakit menular, kurangnya air bersih, kesulitan makanan

dan gangguan gizi serta gangguan kesehatan mental.


Penyakit yang timbul sangat tergantung dengan jenis bencananya. Penyakit

menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar, mengingat

potensi munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah penyakit menular. Pada

umumnya penyakit menular timbul satu minggu setelah bencana terjadi sebagai

akibat banyaknya faktor risiko yang memungkinkan terjadinya penularan pada

saat dan atau pasca bencana baik di pengungsian maupun pada masyarakat.

Penyakit yang paling utama adalah campak, diare, dan ISPA tetapi malaria, tifoid

dan tipus juga banyak ditemukan di beberapa wilayah. Penyakit menular baik

secara sendiri maupun bersama-sama dengan malnutrisi dianggap sebagai

penyebab utama kematian pada keadaan darurat bencana.


Persediaan pangan yang tidak mencukupi merupakan awal dari proses

terjadinya penurunan derajat kesehatan yang dalam jangka panjang akan

mempengaruhi secara langsung tingkat pemenuhan kebutuhan gizi seseorang.

Kaitan erat antara penyakit infeksi dengan malnutrisi adalah masyarakat yang

mengalami malnutrisi lebih rentan terhadap infeksi sehingga tingkat keparahan

penyakit dan kematiannya lebih buruk. Kompleksitas dari permasalahan penyakit

menular pasca bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan

yang matang dalam penanggulangannya yang harus segera diberikan baik saat

terjadi dan pasca bencana disertai pengungsian.


Faktor-faktor yang meningkatkan penularan penyakit berinteraksi sinergis

sehingga meningkatkan angka kejadian diare, ISPA, malaria dan campak.


5
Peningkatan kesakitan dan kematian ini dapat dihindari jika ada intervensi efektif.

Pengungsian, air, makanan dan sanitasi yang memadai berhubungan dengan

manajeman kasus yang efektif, imunisasi, pendidikan kesehatan, dan surveilans

penyakit sangat penting untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa konsep dasar manajemen penanggulangan bencana?

2. Apa permasalahan kesehatan pasca bencana?

3. Bagaimana manajemen pencegahan penyakit menular pasca bencana?

4. Bagaimana ruang lingkup pencegahan penyakit menular?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep dasar manajemen penanggulangan bencana?

2. Untuk mengetahui permasalahan kesehatan pasca bencana?

3. Untuk mengetahui manajemen pencegahan penyakit menular pasca bencana?

4. Untuk mengetahui ruang lingkup pencegahan penyakit menular?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Manajemen Penanggulangan Bencana

Manajemen penanggulangan bencana adalah pengelolaan penggunaan sumber

daya yang ada untuk menghadapi ancaman bencana dengan melakukan

6
perencanaan, penyiapan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi di setiap tahap

penanggulangan bencana yaitu pra, saat dan pasca bencana. Pada manajemen

penanggulangan bencana nyawa dan kesehatan masyarakat merupakan masalah

yang utama. Itulah yang menjadi pembeda dengan sifat umum manajemen. Selain

itu, waktu untuk bereaksi yang sangat singkat disertai dengan risiko dan

konsekuensi kesalahan atau penundaan keputusan dapat berakibat fatal. Situasi

dan kondisi yang tidak pasti, informasi yang selalu berubah dan stres yang tinggi

pada petugas juga merupakan kekhasan manajemen penanggulangan bencana.

Pada dasarnya, upaya penanggulangan bencana meliputi tiga tahapan, yakni tahap

pra bencana, saat bencana dan pasca bencana. Setiap tahapan tersebut dapat

digambarkan dalam suatu siklus seperti berikut :

1. Tahap pra bencana, terdiri atas situasi tidak terjadi bencana dengan

kegiatannya adalah pencegahan dan mitigasi; dan situasi potensi terjadi

bencana dengan kegiatannya adalah kesiapsiagaan.


a) Pencegahan dan mitigasi Kegiatan ini bertujuan untuk menghindari

terjadinya bencana dan mengurangi risiko dampak bencana. Upaya yang

dilakukan antara lain:


1) Penyusunan kebijakan, peraturan perundangan, pedoman dan standar;
2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah kesehatan
3) Pembuatan brosur/leaflet/poster
4) Analisis risiko bencana
5) Pembentukan tim penanggulangan bencana
6) Pelatihan dasar kebencanaan
7) Membangun sistem penanggulangan krisis kesehatan berbasi

masyarakat
b) Kesiapsiagaan Kegiatan ini bertujuan untuk mengantisipasi kemungkinan

terjadinya bencana yang dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi

akan terjadi. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:


1) Penyusunan rencana kontijensi
2) Simulasi/ gladi/ pelatihan siaga
3) Penyiapan dukungan sumber daya
4) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi
7
2. Tahap saat bencana dengan kegiatannya adalah tanggap darurat dan pemulihan

darurat yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan.

Upaya yang dilakukan antara lain:


a) Penilaian cepat kesehatan (Rapid Health Assessment/ RHA)
b) Pertolongan pertama korban bencana alam dan evakuasi ke sarana

kesehatan
c) Pemenuhan kebutuhan dasar kesehatan
d) Perlindungan terhadap kelompok risiko tinggi kesehatan
3. Tahap pasca bencana dengan kegiatannya adalah rehabilitasi dan rekonstruksi.

Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena

bencana ke kondisi normal yang lebih baik. Rekonstruksi bertujuan untuk

membangun kembali sarana dan prasarana yang rusak akibat bencana secara

lebih baik dan sempurna. Upaya yang dilakukan antara lain:


a) Perbaikan lingkungan dan sanitasi
b) Perbaikan fasilitas pelayanan kesehatan
c) Pemulihan psiko-sosial
Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Penangulangan Bencana (BNPB: 2008)

secara garis besar proses penyusunan/penulisan rencana penanggulangan bencana

adalah sebagai berikut:


1) Pengenalan dan pengkajian bencana.
2) Pengenalan kerentanan.
3) Analisi kemungkinan dampak bencana.
4) Pilihan tindakan penanggulangan bencana.
5) Mekanisme penanggulangan dampak bencana.
6) Alokasi tugas dan peran instansi.

2.2 Permasalahan Kesehatan Pasca Bencana

Morbiditas yang terjadi pasca bencana oleh karena rusaknya kondisi

lingkungan, pelayanan kesehatan dan kepadatan pengungsian adalah timbulnya

penyakit baik penyakit infeksi maupun non infeksi. Penyakit non infeksi yang

timbul misalnya cedera fisik (patah tulang) dan penyakit degeneratif (jantung,

hipertensi, stroke). Sedangkan penyakit infeksi anatar lain penyakit infeksi segera

8
pasca trauma (luka, sepsis), penyakit menular langsung dan penyakit menular

tidak langsung. Faktor risiko pasca bencana antara lain:

1. Korban baik yang meninggal, luka maupun sakit


2. Pengungsi dengan risiko tinggi yakni balita, ibu hamil dan lanjut usia
3. Jumlah pengungsi dengan ruangan yang terbatas sehingga terjadi kepadatan di

tempat pengungsian yang rentan akan penularan penyakit


4. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular
5. Kerusakan lingkungan dan pencemaran yang bisa menjadi tempat perindukan

vektor
6. Keterbatasan air bersih baik secara kuantitas maupun kuantitas
7. Kesulitan makanan dan gangguan gizi
8. Ancaman kesehatan tertentu disebabkan ketiadaan immunitas (Cakupan

imunisasi yang rendah)


9. Kondisi pelayanan kesehatan yang terhenti karena rusaknya infrastruktur.

Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar,

mengingat potensi munculnya Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah penyakit

menular. Pada umumnya penyakit menular timbul satu minggu setelah bencana

terjadi sebagai akibat banyaknya faktor risiko yang memungkinkan terjadinya

penularan pada saat dan atau pasca bencana. Penyakit yang timbul sangat

tergantung dengan jenis bencananya. Penyakit yang paling utama adalah campak,

diare, dan ISPA tetapi malaria, tifoid dan tipus juga banyak ditemukan di beberapa

wilayah.

2.3 Manajemen Pencegahan Penyakit Menular Pasca Bencana

Pada situasi darurat terdapat sebuah kecenderungan untuk membentuk sistem

pelayanan kesehatan khusus yang tidak lagi dibuat dalam skala lokal ataupun

nasional. Pada beberapa tingkatan, hal ini mungkin merupakan waktu yang tepat

untuk mendapatkan dukungan dari pihak luar tetapi biasanya akan menyulitkan di

kemudian hari. Bala bantuan dari pihak luar harus beradaptasi dengan prosedur

9
dan standar lokal. Penting bagi mereka untuk mengenal budaya lokal, pola

penyakit dan organisasi pelayanan kesehatan.

Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang

tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:

1. Tim Reaksi Cepat (TRC)


Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam setelah ada

informasi kejadian bencana


2. Tim Penilaian Cepat (Tim RHA)
Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan TRC atau menyusul dalam

waktu kurang dari 24 jam yang bertugas melakukan penilaian dampak bencana

dan mengidentifikasi kebutuhan bidang kesehatan


3. Tim Bantuan Kesehatan
Tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Reaksi Cepat

dan Tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka di lapangan.

Kajian harus dilaksanakan secepatnya setelah bencana terjadi selain merespon

kebutuhan yang mendesak. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan

kajian lebih lanjut pada pasca bencana adalah :


a) Perkiraan jumlah orang yang menjadi korban bencana (meninggal, sakit,

cacat) dan ciri–ciri demografinya


b) Jumlah fasilitas kesehatan yang berfungsi milik pemerintah dan swasta.
c) Ketersediaan obat dan alat kesehatan.
d) Tenaga kesehatan yang masih melaksanakan tugas.
e) Kelompok–kelompok masyarakat yang berisiko tinggi (bayi, balita, ibu hamil,

bunifas dan manula)


f) Kemampuan dan sumberdaya setempat.

2.4 Ruang Lingkup Pencegahan Penyakit Menular

Ruang lingkup pencegahan penyakit menular saat bencana adalah

pengendalian penyakit, pengendalian vektor, imunisasi, air bersih dan sanitasi

dasar, dan surveilans.

1. Pengendalian penyakit
10
Pengendalian penyakit dilaksanakan dengan pengamatan penyakit

(surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan kasus)

yang dilakukan di lokasi bencana termasuk di pengungsian. Baik yang

dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun di pos

kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana. Tujuan

pengendalian penyakit pada saat bencana adalah mencegah kejadian luar biasa

(KLB) penyakit menular potensi wabah, seperti penyakit diare, ISPA, malaria,

DBD, penyakit‐penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI),

keracunan dan mencegah penyakit‐penyakit yang spesifik lokal.


2. Pengendalian vector
Saat terjadi bencana di sebuah wilayah maka masyarakat yang ada di sana

dibawa ke tempat pengungsian agar keselamatan mereka terjaga dengan baik.

Namun selama berada di lokasi pengungsian tersebut masih ada masalah yang

harus dihadapi oleh para pengungsi yaitu mengenai adanya vektor di

sekitarnya. Kebanyakan vektor yang mengganggu para pengungsi adalah lalat,

nyamuk dan tikus. Pengendalian vektor penyakit menjadi prioritas dalam

upaya pengendalian penyakit karena potensi untuk menularkan penyakit

sangat besar.
Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu mendapatkan perhatian di

lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan

insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. Kegiatan pengendalian

vektor dapat berupa penyemprotan, biological control, pemberantasan sarang

nyamuk, dan perbaikan lingkungan. Pengendalian vektor dilakukan dari cara

yang paling sederhana seperti perlindungan personal dan perbaikan rumah

sampai pada langkah‐langkah yang lebih kompleks yang membutuhkan

partisipasi dari para ahli pengendalian vektor.

11
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan dalam pengawasan dan

pengendalian vektor yaitu :


a) Pembuangan sampah atau sisa makanan dengan baik
b) Jika diperlukan maka bisa menggunakan insektisida
c) Tetap menjaga kebersihan individu selama berada di lokasi pengungsian
d) Penyediaan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan pembuangan

sampah yang baik


e) Kebiasaan penanganan makanan secara higienis
3. Imunisasi
Dalam situasi bencana/di lokasi pengungsian, upaya imunisasi harus

dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya KLB PD3I terutama campak.

Sebelumnya perlu dilakukan penilaian cepat akan dampak bencana terhadap

kesehatan masyarakat di lokasi bencana (terutama para pengungsi, lingkungan,

sarana imunisasi, dan SDM) dan data cakupan imunisasi serta epidemiologi

penyakit sebelum bencana dalam 3 tahun terakhir untuk menentukan

kebutuhan upaya imunisasi dalam rangka pencegahan KLB PD3I.


Sasaran imunisasi adalah semua anak umur 9 – 59 bulan untuk diberikan

imunisasi campak tambahan terintegrasi dengan pemberian vitamin A dan

kelompok populasi berisiko tinggi perdasarkan hasil penilaian cepat pasca

bencana misalnya petugas kesehatan/ sukarelawan diberikan imunisasi TT.

Vaksin yang paling banyak digunakan dalam kondisi darurat adalah vaksin

campak, meningitis, polio, dan demam kuning. Imunisasi campak sebaiknya

diberikan sesegera mungkin pada kondisi bencana tanpa menunggu adanya

kasus jika cakupan imunisasi kurang dari 90%. Polio bukan penyakit

mematikan dalam kondisi darurat bencana tetapi penyakit ini berhubungan

dengan rendahnya sanitasi dan air bersih.


4. Air bersih dan sanitasi dasar
Ketersediaan air berdih yang memadai oleh pengungsi digunakan untuk

memelihara kesehatannya karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh

terhadap kebersihan dan meningkatkan risiko terjadinya penularan penyakit

12
seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya. Standar minimum

kebutuhan air bersih pengungsian pada awal kejadian bencana adalah 5

liter/orang/hari yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minimal seperti

memasak, makan dan minum.


Selanjutnya ditingkatkan sampai sekurang-kurangnya 15 – 20

liter/orang/hari yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan minum, masak,

mandi dan mencuci. Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka

melayani korban bencana dan pengungsian, volume air bersih yang perlu

disediakan di Puskesmas atau rumah sakit adalah 50 liter/org/hari. Apabila air

bersih dan sarana sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan

dan perbaikan kualitas air bersih dan sarana sanitasi.


Jika tidak terjadi pengungsian tetapi sarana yang ada tergenang air

sehingga tidak dapat digunakan, maka harus disediakan jamban mobile atau

jamban kolektif darurat dengan memanfaatkan drum atau bahan lain.

pembuatan jamban harus disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya,

kepercayaan dan kebiasaan dari para pengungsi dengan memperhatikan

Jumlah pengungsi dan penyebarannya juga ketersediaan material lokal.


Pengelolaan sampah di tempat penampungan pengungsi harus mendapat

perhatian dari semua pihak, mengingat risiko yang dapat ditimbulkannya

bilamana tidak dikelola dengan baik seperti munculnya lalat, tikus, bau, serta

dapat mencemari sumber/persediaan air bersih yang ada. Dalam pengelolaan

sampah di pengungsian, harus dilakukan kerjasama antara pengungsi, dinas

kesehatan kabupaten/kota, dinas kebersihan kabupaten/kota untuk proses

pengumpulan dan pengangkutan ke tempat pembuangan akhir sampah.


5. Surveilans
Pada tahapan pasca bencana surveilans lebih terfokus pada upaya

pemeliharaan atau rehabilitasi sosial beserta dampak seperti junlah penyakit,

faktor risiko yang berhubungan dengan status kesehatan antara lain kualitas
13
kesehatan lingkungan, akses pelayanan kesehatan, dan permasalahan psiko-

sosial lain sebagai data dasar perencanaan untuk mengembangkan strategi

pencegahan ke depan.
Surveilans penyakit dan faktor risiko pada umumnya merupakan suatu

upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan di lokasi

bencana dan pengungsian sebagai bahan tindakan kesehatan segera. Secara

khusus, upaya tersebut ditujukan untuk:


a) Menyediakan informasi kematian dan kesakitan penyakit potensial wabah

yang terjadi di daerah bencana;


b) Mengidentifikasikan sedini mungkin kemungkinan terjadinya peningkatan

jumlah penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB/wabah;


c) Mengidentifikasikan kelompok risiko tinggi terhadap suatu penyakit

tertentu;
d) Mengidentifikasikan daerah risiko tinggi terhadap penyakit tertentu dan

mengidentifikasi status gizi buruk dan sanitasi lingkungan.

Tindakan yang dapat dilakukan adalah seperti melakukan pencegahan

terhadap penyakit potensi KLB dan penyakit menular, pencegahan terjadinya

trauma psikologis pasca bencana (traumatic stress), mengatasi masalah pangan

dan kesehatan lingkungan terutama di tempat pengungsian. Langkah-langkah

penyelidikan dan pengendalian awal dalam surveilans menjadi tanggung

jawabunit kesehatan setempat yang terkait bencana (PAHO, 2000).


Proses kegiatan surveilans dilakukan mulai dari pos kesehatan di lokasi

pengungsian, puskesmas, rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten/ kota hingga

dinas kesehatan provinsi. Hasil kajian analisis data dari proses kegiatan

surveilans tersebut adalah rekomendasi rencana kegiatan korektif yang efektif

dan efisien sesuai dengan kebutuhan. Rencana kegiatan korektif ini tentunya

dapat menekan peningkatan penyakit khususnya penyakit menular di lokasi

14
bencana yang akhirnya menekan angka kematian akibat penyakit pada pasca

bencana.
Dalam rekomendasi, hendaknya sudah dapat dipisahkan antara kegiatan

yang seharusnya dapat dilakukan daerah dan kegiatan yang perlu dibantu

provinsi maupun pusat. Hal ini bertujuan untuk memulihkan fungsi kegiatan

pelayanan kesehatan di daerah bencana serta mencegah kemungkinan

terjadinya bencana lanjutan yaitu KLB penyakit menular akibat pengungsian.

Surveilans faktor risiko adalah surveilans yang dilakukan terhadap kondisi

lingkungan disekitar lokasi bencana, lokasi penampungan pengungsi yang

dapat menjadi faktor risiko penyebaran penyakit pada para pengungsi.


Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengidentifikasi:
a) Cakupan pelayanan air bersih;
b) Cakupan pemanfaatan sarana pembuangan kotoran;
c) Pengelolaan sampah;
d) Pengamanan makanan;
e) Kepadatan vektor;
f) Kebersihan lingkungan;
g) Tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan vektor

(genangan air, sumber pencemaran, dll)

Surveilans gizi merupakan kegiatan surveilans keadaan gizi korban

bencana khususnya kelompok risiko tinggi. Data yang dikumpulkan adalah

data antropometri yangmeliputi, berat badan, tinggi badan dan umur untuk

menentukan status gizi, dikumpulkan melalui survei dengan metodologi

surveilans atau survei cepat.


Disamping itu diperlukan data penunjang lainnya seperti diare, ISPA,

Pneumonia, campak, malaria, angka kematian kasar dan kematian balita. Data

penunjang ini diperoleh dari sumber terkait lainnya. Data ini digunakan untuk

menentukan tingkat kedaruratan gizi dan jenis intervensi yang diperlukan.

Prinsip utama tahapan pasca bencana adalah rehabilitasi dan rekonstruksi.

Waktunya tergantung dari tahapan tanggap darurat dan selama bencana.

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Konsep dasar manajemen penanggulangan bencana meliputi tahapan pra

bencana, saat bencana dan pasca bencana dimana setiap tahapan mempunyai

kegiatan dan tujuan tersendiri.

2. Permasalahan kesehatan pasca bencana antara lain morbiditas baik penyakit

infeksi maupun non infeksi dimana penyakit yang timbul sangat bergantung

dengan jenis bencananya.

3. Manajemen pencegahan penyakit menular spesifik pasca bencana meliputi

upaya kuratif (penanganan kasus), surveilans penyakit menular potensial

wabah dan identifikasi faktor risiko di lokasi bencana, upaya promotif dan

preventif dalam rangka meminimalkan faktor risiko di lokasi bencana.

4. Manajemen pencegahan penyakit menular pasca bencana, lebih ditekankan

pada surveilans yang lebih terfokus pada upaya pemeliharaan atau rehabilitasi

sosial beserta dampak seperti jumlah penyakit, faktor risiko yang berhubungan
16
dengan status kesehatan antara lain kualitas kesehatan lingkungan, akses

pelayanan kesehatan, dan permasalahan psiko-sosial lain sebagai data dasar

perencanaan untuk mengembangkan strategi pencegahan ke depan.

3.2 Saran

1. Bagi pemerintah

Pemerintah dapat menganilisis tindakan pasca bencana yang tidak berjalan

dengan baik supaya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang

diinginkan dan menentukan indikator keberhasilan dari tindakan

penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data,

pengolahan dan penyebaran informasi.

2. Bagi Masyarakat

Masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam penanggulanan bencana

yang terjadi agar meminimalisir masalah yang ditimbulkan setelah bencana.

17
DAFTAR PUSTAKA

Purwana, R. 2013. Manajemen Kedaruratan Kesehatan Lingkungan dalam Kejadian

Bencana. Jakarta.

Pusat studi Kebijakan Kesehatan dan Sosial. Pengelolaan Kesehatan Masyarakat

Dalam Kondisi Bencana. Yogyakarta.

Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Sekretariat Jenderal Departemen

Kesehatan. 2010. Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat

Bencana dan Penanganan Pengungsi. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan

Akibat Kedaruratan Kompleks. 2017. Departemen Kesehatan RI. http://

www.kemkes.go.id. Diakses 8 Oktober 2019.

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Teknis Penanggulanan

18

Anda mungkin juga menyukai