Anda di halaman 1dari 13

I.

TINEA FASIALIS
a. Definisi
Tinea fasialis adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas pada kulit
yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah, memiliki karakteristik sebagai plak
eritema yang melingkar dengan batas yang jelas. Pada pasien anak-anak dan perempuan,
infeksi dapat muncul pada permukaan wajah, termasuk bibir atas dan dagu. Pada pria,
kondisi ini dikenal sebagai tinea barbae ketika infeksi dermatofit terdapat di daerah
berjenggot.

b. Epidemiologi
Tinea fasialis merupakan penyakit yang biasa terjadi di seluruh dunia. Namun,
seperti infeksi jamur kulit lainnya, lebih umum terjadi di daerah tropis dengan suhu dan
kelembaban tinggi. Tinea fasialis banyak terjadi pada anak-anak, kira-kira 19% dari
populasi anak dengan dermatofitosis. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita
mungkin lebih sering terinfeksi daripada pria. Pada wanita, infeksi dermatofit pada wajah
dapat didiagnosis sebagai tinea fasialis, sedangkan infeksi-infeksi lain yang terjadi pada
pria di daerah yang sama didiagnosis sebagai tinea barbae. Data menunjukkan
perbandingan penderita wanita dan pria adalah 1,06:1.
Tinea fasialis dapat terjadi pada semua umur, dengan dua usia insidens puncak.
Usia insidens pertama meningkat pada anak-anak, karena kebiasaan mereka kontak
dengan hewan peliharaan. Kasus yang jarang dapat terjadi pada neonatus, yang mungkin
terinfeksi dari kontak langsung dari saudara mereka yang terinfeksi atau kontak langsung
dari hewan peliharaan. Usia insidens yang lain dapat meningkat pada usia 20-40 tahun.

c. Etiopatologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Dermatofita terbagi dalam 3 genus yaitu: Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Agen penyebab tinea fasialis sangat bervariasi, tergantung pada letak
geografisnya. Secara umum, reservoir hewan pada zoophilic dermatofit, terutama
Microsporum canis terdapat pada hampir semua hewan peliharaan. Di Asia, Trichophyton
mentagrophytes dan Trichophyton rubrum yang tersering. Di Amerika Utara,
Trichophyton tonsurans adalah patogen yang utama. Di Brazil, Trichophyton rubrum
yang tersering. Namun, Trichophyton raubitschekii, yang merupakan spesies jamur baru
di Brazil, yang memiliki kesamaan sifat dengan Trichophyton rubrum, telah diteliti dapat
menjadi agen penyebab tinea fasialis. Belum banyak penelitian yang menjelaskan jenis
terbanyak dermatofita yang terdapat pada tinea fasialis tapi beberapa sumber mengatakan
di Asia, Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum merupakan penyebab
tersering.
Berikut adalah faktor-faktor risiko timbulnya penyakit ini:
1. Kontak dengan pakaian, handuk, atau apapun yang sudah berkontak dengan penderita
2. Kontak kulit ke kulit dengan penderita atau hewan peliharaan
3. Umur 12 tahun ke bawah
4. Lebih sering menghabiskan waktu di tempat yang tertutup
5. Penggunaan obat-obatan glukokortikoid topikal dalam jangka waktu yang lama
Patogenesis dari tinea ini juga masih belum begitu jelas. Dikatakan bahwa
dermatofit merilis beberapa enzim, termasuk keratinases, yang memungkinkan untuk
menyerang stratum korneum dari epidermis sehingga menyebabkan kerusakan. Ada juga
teori patogenesis yang mengungkapkan adanya invasi epidermis oleh dermatofit
mengikuti pola biasa pada infeksi yang diawali dengan pelekatan antara artrokonidia dan
keratinosit yang diikuti dengan penetrasi melalui sel dan antara sel serta perkembangan
dari respon penjamu.

1. Perlekatan: Pada stratum korneum, fase pertama dari invasi dermatofit melibatkan
infeksi artrokonidia ke keratinosit. Secara in vitro, proses ini komplit dalam waktu 2
jam setelah kontak, dimana stadium germinasi dan penetrasi keratinosit timbul.
Berbagai dermatofit menunjukkan kerja yang sama, yang tidak terpengaruhi oleh
sumber keratinosit. Dermatofit ini bertahan dari efek sinar ultraviolet, temperatur dan
kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan flora normal, dan dari asam lemak
yang bersifat fungistatik
2. Penetrasi: Diketahui secara luas dermatofit bersifat keratinofilik. Kerusakan yang
ditimbulkan di sekitar penetrasi hifa diperkirakan berasal dari proses digesti keratin.
Dermatofit akan menghasilkan enzim-enzim tertentu (proteolitik), termasuk enzim
keratinase dan lipase, yang dapat mengakibatkan dermatofit tersebut akan menginvasi
stratum korneum dari epidermis. Proteinase lainnya dan kerja mekanikal akibat
pertumbuhan hifa mungkin memiliki peran. Meskipun demikian, masih sulit untuk
membuktikan mekanisme produksi enzim oleh dermatofit dengan aktivitas keratin-
specific proteinase. Trauma dan maserasi juga memfasilitasi proses penetrasi ini.
3. Pertahanan tubuh dan imunologi: Deteksi imun dan kemotaktik dari sel-sel
inflamasi terjadi melalui mekanisme yang umum. Beberapa jamur memproduksi
faktor kemotaktik yang memiliki berat molekul yang rendah, seperti yang diproduksi
oleh bakteri. Komplemen lainnya yang teraktivasi, membuat komplemen yang
tergantung oleh faktor kemotaktik. Keratinosit mungkin dapat menginduksi
kemotaktik dengan memproduksi IL-8 sebagai respon kepada antigen seperti
trichophytin. Kandungan serum dapat menghambat pertumbuhan dermatofit, sebagai
contohnya antara lain unsaturated transferrin dan asam lemak yang diproduksi oleh
glandula sebasea (derivat undecenoic acid).

d. Gejala Klinis
- Penderita tinea fasialis biasanya datang dengan keluhan rasa gatal dan terbakar, dan
memburuk setelah paparan sinar matahari (fotosensitivitas). Namun, kadang-kadang,
penderita tinea fasialis dapat memberikan gejala yang asimptomatis. Tanda klinis
yang dapat ditemukan pada tinea fasialis, antara lain: bercak, makula sampai dengan
plak, sirkular, batas yang meninggi, dan regresi sentral memberi bentuk seperti ring-
like appearance. Kemerahan dan skuama tipis dapat ditemukan.
- Lokasi: wajah

e. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Hal-hal yang dapat kita temukan dari anamnesis, antara lain:
- Rasa gatal di bagian wajah, disertai sensasi terbakar, dan memburuk setelah
paparan sinar matahari.
- Ada riwayat kontak dengan hewan peliharaan
- Ada riwayat kontak langsung dengan penderita dermatofitosis
- Ada riwayat penggunaan bersama barang-barang penderita dermatofitosis,
misalnya handuk, dll
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis dapat kita temukan makula sampai dengan plak yang
berbatas tegas, batas yang meninggi, dan regresi sentral. Dapat terdapat vesikel dan
papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih
aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang sering disebut dengan central healing.
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Skuama biasanya nampak,
namun minimal. Lesi berwarna merah sampai merah muda. Pada penderita yang
berkulit hitam, terjadi lesi hiperpigmentasi. Lesi bisa terdapat pada seluruh bagian
wajah, tetapi biasanya tidak simetris

Tinea fasialis pada pria


3. Pemeriksaan Penunjang
- Kerokan kulit dengan KOH
Tujuan: menemukan hifa sehingga dapat memastikan diagnosis bahwa telah
terjadi infeksi dermatofit.
Prosedur: ambil kerokan kulit dari tepi lesi yang aktif dengan menggunakan
scalpel. Sebelumnya bersihkan lesi dengan kapas alkohol, pada bagian yang akan
dikerok. Pindahkan kerokan kulit tersebut pada kaca objek dan teteskan KOH
10% (jika sampel berasal dari rambut), 20% (jika sampel berasal dari kulit), 30%
(jika sampel berasal dari kuku). Tutup dengan menggunakan penutup kaca objek
kemudian lihat di bawah mikroskop. Pada kasus-kasus dengan risiko infeksi tinea
yang tinggi dan hasil pemeriksaan KOH negatif, perlu dilakukan pemeriksaan
kultur.

- Kultur pada media agar Sabouraud : menghasilkan koloni ragi


Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal, tetapi
pemeriksaan ini sangat berguna ketika pemeriksaan yang lain meragukan.
Spesimen dibiakkan pada Saboraud’s dextrose agar dan penambahan obat
sikloheksimid atau kloramfenikol untuk mencegah bakteri lain tumbuh.
Dibutuhkan waktu 7-21 hari untuk membiakkannya
- Lampu Wood : lesi menjadi warna hijau
Beberapa spesies dermatofit tertentu yang berasal dari genus Microsporum
menghasilkan substansi yang dapat membuat lesi menjadi warna hijau ketika
disinari lampu Wood dalam ruangan yang gelap.
- Biopsi kulit
Pemeriksaan ini seringkali tidak dibutuhkan. Dapat dilakukan jika diagnosis sulit
ditegakkan atau infeksi tidak respon pada pengobatan yang diberikan.

f. Diagnosis Banding
Penentuan diagnosis tinea fasialis pada umumnya tidak sulit, namun ada
beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosis itu, misalnya:

1. Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik adalah dermatosis kronik yang tersering, yang memiliki
gambaran kemerahan dan skuama yang terjadi pada daerah-daerah yang memiliki
kelenjar keringat yang aktif, seperti wajah dan kulit kepala, juga di daerah dada.
Gejala yang timbul berupa gatal, sangat bervariasi, biasanya gatal semakin memburuk
dengan meningkatnya perspirasi. Pada pemeriksaan fisis ditemukan, makula atau
papul berwarna kemerahan atau keabu-abuan dengan skuama kering berwarna putih.
Ukurannya bervariasi, antara 5-20 mm. Berbatas tegas, sering terdapat krusta dan
celah pada telinga luar bagian belakang. Skuama yang terdapat pada kulit kepala
inilah yang sering disebut sebagai ketombe. Gambaran klinis yang khas dari
dermatitis seboroika adalah skuama yang berminyak dan kekuningan.
2. Dermatitis perioral
Ditandai dengan mikropapul eritematosa dan mikrovesikel. Lesi paling banyak di
daerah perioral dan dapat pula di periorbital. Lesi berkumpul dan ireguler dengan latar
eritematosa. Lesi dapat bertambah membentuk satelit dan berkumpul serta kumpulan
plak dapat terlihat eksematosa dengan sisik halus. Keluhannya dapat berupa gatal dan
rasa terbakar. Etiologi masih belum diketahui dan lebih sering ditemui pada wanita.
3. Dermatitis kontak
Ditandai dengan pola reaksi inflamasi polimorfik yang melibatkan epidermis maupun
dermis. Terdapat banyak etiologi serta temuan klinis yang amat luas. Eksema akut
ataupun dermatitis ditandai dengan pruritus, eritema dan vesikulasi. Sedangkan
bentuk kroniknya yaitu pruritus, xerosis, likenifikasi, hiperkeratosis, dan fissuring.
4. Akne rosasea
Rosasea (papulopustular dan eritematotelangiektasia) ditandai dengan eritema
persisten fasialis dan flushing bersama dengan telangiektasis, edema sentral wajah,
rasa terbakar dan tertusuk, kasar dan bersisik atau kombinasi dari beberapa tanda dan
gejala yang ada. Rasa terbakar dan tertusuk pada wajah dapat timbul pada
papulopustular rosasea, tapi dapat muncul bersama eritematotelangiektasis rosasea.
Pada kedua subtipe, eritema dapat muncul di regio periorbita. Edema dapat ringan
maupun berat, sering ditemukan pada glabella dan dahi. Phymatous rosasea ditandai
dengan orifisium patulosa folikular, penebalan kulit, dan kontur permukaan wajah
yang irregular di daerah yang konveks. Phymatous rosasea dapat muncul di hidung
dan di dagu, dahi, kelopak mata dan telinga.
5. Lupus eritematosus
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun serius yang
mengenai multiorgan, yang menyerang jaringan konektif dan pembuluh darah.
Manifestasi klinis dapat berupa demam (90%), lesi kulit (85%), artritis, manifestasi
pada susunan saraf pusat, ginjal, jantung, dan paru-paru. Penyakit ini lebih banyak
menyerang wanita, dengan perbandingan pria dan wanita adalah 1:8. Lesi kulit terjadi
selama berminggu-minggu (akut) dan berbulan-bulan (kronik). Paparan sinar matahari
dapat menyebabkan eksaserbasi pada SLE (36%). Terdapat gatal dan rasa terbakar
pada lesi. Terdapat rasa lelah (100%), demam (100%), berat badan menurun, dan
malaise. Juga ditemukan artritis atau atralgia, nyeri perut, dan gejala-gejala susunan
saraf pusat. Pada pemeriksaan fisis ditemukan:
- Pada fase akut didapatkan lesi “kupu-kupu” pada wajah yang berbentuk makula
eritema, berbatas tegas dengan sedikit skuama; bisa didapatkan erosi dan krusta.
- Pada lupus eritematosus kutaneus kronik, terdapat plak hiperkeratosis, eritema,
dan berbatas tegas. Juga terdapat skuama yang melekat pada kedua pipi. Lesi ini
khas sebagai ruam diskoid pada lupus eritematosus kronik.
6. Akne vulgaris
Akne vulgaris banyak terjadi pada usia pubertas. Lesi primer akne berada pada wajah,
dan pada derajat tertentu mengenai punggung, dada, dan bahu. Adapun beberapa lesi
dapat ditemukan pada tungkai. Patogenesisnya meliputi hiperproliferasi folikular
epidermal, produksi sebum berlebih, inflamasi, dan muncul serta aktivitas dari
Propionibacterium acnes. Penyakit ini ditandai oleh berbagai macam lesi klinik dan
dapat pula terjadi inflamasi. Pada akne non-inflamasi, contohnya seperti komedo, baik
komedo terbuka maupun komedo tertutup. Komedo terbuka nampak sebagai lesi datar
atau sedikit meninggi dengan folikular berwarna gelap pada tengah lesi akibat keratin
dan lipid. Sedangkan komedo tertutup sulit divisualisasikan. Dapat tampak sedikit
peninggian, berwarna pucat, dengan orifisium yang tidak dapat dilihat secara klinis.
Pada lesi yang disertai dengan inflamasi, lesi beragam dari bentuk papul dengan tepi
kemerahan sampai pustul, dan nodul. Beberapa nodul besar disebut dengan kista dan
nodulokistik untuk kasus berat.
g. Tatalaksana
1. Terapi
Topikal
- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk salep
(Salep Whitfield)
- Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
- Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 1%
Sistemik
- Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB
sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea fasialis adalah 3-4 minggu,
diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
Efek samping yang dapat ditimbulkan, antara lain: nyeri kepala, mual/muntah,
fotosensitivitas. Infeksi T. rubrum dan T. tonsurans dapat kurang berespon.
Sebaiknya diminum dengan makanan berlemak untuk memaksimalkan
penyerapan.
- Ketokonazol 200 mg per hari selama 10 hari - 2 minggu pada pagi hari setelah
makan.
- Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder. Pada kasus yang resisten
terhadap griseofulvin dapat diberikan deriivat azol seperti itrakonazol, flukonazol
dll. Itrakonazol: untuk dewasa 400 mg/hari selama 1 minggu dan untuk anak-
anak 5 mg/kg/hari selama 1 minggu. Sediaannya 100 mg dalam kapsul; solusio
oral (10 mg/ml) dalam intravena. Untuk Triazole, kerjanya membutuhkan pH
asam pada lambung agar kapsulnya larut. Flukonazol: orang dewasa 150–200
mg/minggu selama 4-6 minggu, sedangkan anak-anak 6 mg/kg/minggu selama
4–6 minggu. Sediaan fluconazole tablet 100, 150, 200 mg; suspense oral (10 or
40 mg/ml); dan intravena 400 mg.
2. Konseling dan Edukasi
- Menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi, kucing, anjing, atau
kontak penderita lain.
- Menghindari menggaruk daerah lesi, karena hal tersebut dapat membuat infeksi
bertambah parah.
- Menjaga kulit tetap kering dan bersih dengan menghindari aktivitas yang dapat
mengeluarkan keringat.
- Mandi minimal sekali sehari dan ingat untuk mengeringkan tubuh seluruhnya.
- Faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelaian endokrin yang
lain, leukemia, harus dikontrol.
- Pasien dirujuk apabila (1) penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi
(2) terdapat imunodefisiensi (3) terdapat penyakit penyerta yang menggunakan
multifarmaka.

h. Prognosis
Dengan pengobatan teratur, tinea fasialis dapat sembuh dalam waktu satu
bulan. Prognosis dikatakan baik jika (1) Faktor predisposisi dapat dihindarkan atau
dihilangkan (2) Dapat menghindari sumber penularan (3) Pengobatan teratur dan tuntas.

II. TINEA BARBAE


a. Definisi
Tinea barbae adalah infeksi kulit terbatas pada area berjenggot di wajah dan
leher yang jarang terjadi. Infeksi lebih sering dialami oleh pria usia remaja dan dewasa.
Gejala klinis yang khas adalah erupsi pustul yang parah, plak profunda dengan inflamasi
atau plak superfisial tanpa inflamasi. Bentuk kelainan dengan inflamasi, paling banyak
disebabkan oleh dermatofit zoofilik, Trichophyton mentagrophytes var. granulosum atau
Trichophyton verrucosum.

b. Etiologi
Secara umum, tinea barbae jarang terjadi, namun lebih sering terjadi di area
dengan cuaca tropis, yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi. Hampir seluruh pria
dewasa terinfeksi karena penyakit kulit ini terlokalisasi pada rambut dan folikel rambut di
jenggot dan kumis. Dermatofit yang menginfeksi wanita dan anak didiagnosis sebagai
tinea faciei. Dahulu, infeksi ini sering ditularkan melalui tukang cukur karena
penggunaan alat cukur sekali pakai belum tersedia. Sekarang, sumber infeksi ini hampir
seluruhnya tersingkirkan dan sebutan lama tinea barbae, “barber’s itch”, telah dilupakan.
Ternak kuda, kucing, dan anjing adalah sumber infeksi utama. Kini beberapa
peneliti melaporkan infeksi ini sebagai autoinokulasi dari kuku atau tinea pedis. Tinea
barbae disebabkan oleh jamur zoofilik dan antropofilik. Dermatofit zoofilik Trichophyton
mentagrophytes var. granulosum dan Trichophyton verrucosum adalah yang paling sering
menyebabkan inflamasi pada kerion. Infeksi yang disebabkan oleh jamur zoofilik lain
yaitu, Microsporum canis and Trichophyton mentagrophytes var. Intrdigitale lebih jarang
terjadi. Beberapa tahun terakhir, beberapa peneliti mendeskripsikan lesi yang sama dapat
disebabkan oleh jamur antropofilik, Trichophyton rubrum.
Reaksi imunologi (peningkatan alergi dan/atau reaksi iritan) pada jamur dapat
mempengaruhi perkembangan kerion, namun hanya sedikit peneliti yang menyatakan hal
ini merupakan efek metabolit dan/atau difusi toksin dari jamur. Jamur patogen seperti
Trichophyton spp. Menghasilkan beberapa enzim seperti keratinase yang penting untuk
menembus keratin pada epidermis, rambut, atau kuku. Faktor risiko:
- Biasanya pada pria dewasa
- Pada daerah tropis dengan kelembaban tinggi
- Hygiene kurang baik
- Lingkungan yang kotor

c. Gejala Klinis
Infeksi sering dimulai pada leher atau dagu, namun manifestasi klinis tinea
barbae tergantung dari patogen penyebabnya. Kadang dermatofitosis ini dapat
berkembang tanpa lesi yang khas, namun selalu disertai pruritus. Terdapat berbagai gejala
klinis yang dapat terjadi. Dua macam klinis utama yang dapat dibedakan:
- Tinea yang disebabkan oleh dermatofit zoofilik: tinea lebih parah, karena reaksi
inflamasi jamur ini lebih kuat. Dagu, pipi, dan leher sering terinfeksi. Gejala klinis ini
memiliki bentuk khas yaitu nodul yang terinflamasi/ nodul-nodul dengan multipel
pustul yang mengering di permukaannya. Rambut rontok atau rusak, eksudat, pus, dan
krusta menutupi pemukaan kulit (kerion Celsi). Mencabut rambut menjadi lebih
mudah dan tidak nyeri. Dapat disertai limfadenopati regional. Jarang terjadi demam,
dan malaise.
- Tipe non inflamasi disebabkan oleh dermatofit antropofilik: tinea dimulai dari plak
datar, eritem dengan tepi yang meninggi. Plak yang bersisik bertabur dengan papul,
pustul, atau krusta. Rambut yang dekat dengan kulit mengalami kerusakan, dapat
menyumbat folikel rambut. Plak kutaneus dapat tunggal atau multipel dan dapat
berbentuk annular. Plak dapat stabil bertahun-tahun atau membesar. Terkadang,
khususnya saat pustul pada folikel yang berkembang, rambut yang rontok dapat
dijumpai, morfologi klinis menyerupai folikulitis bakteri. Lesi pustular dengan rambut
rontok merupakan ciri infeksi jamur kronik yang menyerupai sycosis (folikulitis
pustular pada jenggot). Oleh karena itu, disebut tine barbae sycosiform.

Inflammatory tinea barbae due to Trichophyton Typical kerion Celsi caused by Trichophyton
mentagrophytes var. granulosum infection mentagrophytes var. granulosum

d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologi adalah dasar diagnosis. Pemeriksaan mikologi dengan
menggunakan mikroskop secara langsung dan kultur. Pada kasus yang jarang, jika
Microsporum canis menyebabkan tinea, pemeriksaan menggunakan lampu wood’s dapat
membantu menunjukkan fluoresence berwarna hijau pudar pada rambut yang terinfeksi.
Material yang terkumpul biasanya rambut yang menghilang dan kumpulan pustul. Jika
plak superficial dan tanpa pustul, pemeriksaan yang terbaik adalah kerokan dari tepi nya.
1. Kerokan kulit atau rambut jenggot yang terkena (terputus-putus, tidak mengkilap)
dengan larutan KOH 10-20%, dilihat langsung di bawah mikroskop untuk mencari
hifa atau infeksi endotriks/ eksotriks.
2. Kultur pada media Agar Sabouraud. Kultur membutuhkan waktu sekitar 3-4 minggu
dan menggunakan Agar Saburaud dengan sikloheximid dan kloramfenikol yang
ditambahkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur non-dermatofitik.
Identifikasi jamur berdasarkan morfologi dan koloni pada mikroskop. Identifikasi
patogen memberi petunjuk dari mana sumber infeksi dan membantu pemilihan terapi
yang tepat.
3. Sinar Wood : fluoresensi kehijauan

e. Diagnosis Banding
1. Folikulitis bakteri
2. Dermatitis kontak alergika
3. Dermatitis perioral
4. Dermatitis seboroik
5. Akne vulgaris

f. Tatalaksana
1. Terapi
Sistemik :
- Griseovulfin 1 gram/hari selama 6 minggu
- Terbinafine 250 mg/hari selama 2-4 minggu
- Itrakonazol 200 mg/hari selama 2-4 minggu atau
- Fluconazole 200 mg/hari selama 4-6 minggu
Topikal :
- Kompres sol. Kalium permanganas 1:4000 atau sol. Asam asetat 0,025% 2-3 kali
sehari.
- Antifungi : ketokonazol krim/ointment 2% selama 5-7 hari atau Itrakonazol 1% 5-
7 hari.
- Antibiotik jika ada infeksi sekunder
2. Konseling dan Edukasi
- Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
- Rambut daerah jenggot dicukur bersih
- Pasien dirujuk apabila: (1) penyakit tidak sembuh dalam 10-14 hari setelah terapi
(2) terdapat imunodefisiensi (3) terdapat penyakit penyerta yang menggunakan
multifarmaka.

g. Prognosis
Jika penyembuhan telah dicapai dan faktor-faktor infeksi dapat dihindari,
prognosis umumnya baik. Pasien dengan imunokompeten, prognosis umumnya bonam.

Anda mungkin juga menyukai