Anda di halaman 1dari 46

KASUS KEGAWATDARURATAN PADA SISTEM

PERNAPASAN

OLEH:

1. KOMANG PANDE DEWI AYUNI (P07120216001)


2. PUTU INDAH PRAPTIKA SUCI (P07120216002)
3. KADEK DWI DHARMA PRADNYANI (P07120216003)
4. EKA WAHYU RIFANI MEILIA DEWI (P07120216004)
5. NI KOMANG SRI ARDINA (P07120216005)
6. NI LUH PUTU DESY TRISNA EKAYANTI (P07120216006)
7. NI LUH PUTU INTAN SARI (P07120216007)
8. NI MADE ANA SARI (P07120216008)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang digunakan untuk
pertukaran gas. Pada sistem pernapasan umumnya termasuk saluran yang digunakan
untuk membawa udara ke dalam paru-paru di mana terjadi pertukaran gas. Diafragma
menarik udara masuk dan juga mengeluarkannya. Berbagai variasi sistem pernapasan
ditemukan pada berbagai jenis makhluk hidup.
Pengertian pernapasan atau respirasi sendiri adalah suatu proses mulai dari
pengambilan oksigen, pengeluaran karbondioksida hingga penggunaan energi di dalam
tubuh. Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan membuang
karbondioksida ke lingkungan.
Namun banyak sekali kelainan dari sistem pernapasan yang dapat mengganggu proses
dari pernapasan kita. Dalam makalah ini akan dibahas tentang beberapa kerusakan pada
sistem pernapasan yaitu gagal napas akut, pneumonia, status asthmatikus, ARDS, dan
Kanker paru.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana kegawatdarurtan pada gagal napas akut?
2. Bagaimana kegawatdarurtan pada gagal pnumonia?
3. Bagaimana kegawatdarurtan pada gagal status asthmatikus?
4. Bagaimana kegawatdarurtan pada gagal ARDS?
5. Bagaimana kegawatdarurtan pada gagal kanker paru?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal napas akut.
2. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal pneumonia.
3. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal status asthmatikus.
4. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal ARDS.
5. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal kanker paru.

1.4 MANFAAT
1. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal napas akut.
2. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal pneumonia.
3. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal status asthmatikus.
4. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal ARDS.
5. Untuk mengetahui kegawatdarurtan pada gagal kanker paru.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 GAGAL NAFAS AKUT

A. Pengertian
Gagal nafas adalah suatu sindrom dimana sistem respirasi gagal untuk melakukan
pertukaran gas yaitu oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida. Gagal napas dapat
terjadi secara akut atau kronis
Gagal nafas kronik adalah yaitu terjadi dalam beberapa hari atau lebih, yang
ditandai dengan perubahan gas darah dan pH; namun penurunan pHtidak terlalu
rendah, karena sudah ada kompensasi dari ginjal (meningkatnya [bicarbonat]). Namun
dampak dari gagal nafas kronis akibat hipoksemia khronis seperti polycythemia, cor-
pulmonale, clubbing finger kadangkala nampak. Demikian juga dampak hiperkarbia
khronis berupa asidosis yang khronis. Sedangkan gagal napas akut adalah yaitu terjadi
dalam waktu beberapa menit atau jam, yang ditandai dengan perubahan gas darah dan
penurunan pH ( < 7,3 ) karena kompensasi ginjal masih belum sempurna. Kegagalan
pernafasan akut secara numerik didefinisikan bila PaO2 ≤ 50 sampai 60 mmHg atau
dengan kadar CO2 ≥ 50 mmHg dalam keadaan istirahat

B. Klasifikasi
Sesuai patofisiologinya gagal nafas dapat dibedakan dalam 2 bentuk yaitu
hipoksemik atau kegagalan oksigenasi dan hiperkapnik atau kegagalan ventilasi.
1. Kegagalan Oksigenasi (Gagal Nafas Tipe I/Hipoksemik)
Gagal nafas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah,
ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal nafas
tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh kelainan
ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terutama terjadi akibat :
a. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke
bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling sering.
Contohnya adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS, atelektasis,
pneumonia, emboli paru, displasia bronkopulmonal.
b. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membran alveolar atau
pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler. Contohnya
adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
c. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru yang
tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malvormasi arterio-vena
paru, malvormasi adenomatoid kongenital.
Penderita dengan gagal nafas tipe hipoksik dapat dibagi ke dalam: gangguan
pulmoner non spesifik akut (ARDS), penyakit paru spesifik akut, dan penyakit
paru progresif kronik:
a. Gangguan pulmoner non spesifik akut
Kelainan ini sering disebut ARDS (acute respiratory distress syndrome).
Beberapa nama lain yang dipergunakan yaitu shock lung, wet lung, white lung
syndrome.ARDS dapat terjadi pada penderita dengan penyakit paru atau paru
yang normal. Paling sering terjadi mengikuti pneumonia, trauma, aspirasi
cairan lambung, overload cairan, syok, pintasan kardiopulmoner, overdosis
narkotik, inhalasi asap beracun atau kelebihan oksigen. Berbagai penyebab
dari ARDS :
1) Syok karena berbagai sebab
2) Infeksi: sepsis gram negative, pneumonia viral, pneumonia bacterial.
3) Trauma : emboli lemak, cedera kepala, kontusio paru.
4) Aspirasi cairan : cairan lambung, tenggelam, cairan hidrokarbon
5) Overdosis obat : heroin, metadon, propoxyphene, barbiturat.
6) Inhalasi toksin, oksigen dengan konsentrasi, asap, bahan kimia korosif
(NO2, Cl2, NH3, Fosgen)
7) Kelainan hematologik : koagulasi intravaskuler, transfusi masif, post
cardiopulmonary by pass
8) Gangguan metabolik : pankreatitis, uremia
9) Peningkatan intrakranial, eklampsia
Letak kelainan pada sindrom ini adalah pada membran alveolar kapiler,
kerusakan pada membran alveolar kapiler, kerusakan pada membran ini akan
mengakibatkan terjadinya gangguan pengambilan oksigen dengan akibatnya
terjadinya hipoksemia. Kelainan terutama berupa peningkatan permeabilitas
membran tersebut sehingga terjadi kebocoran cairan yang mula-mula mengisi
jaringan interstitial antara endotelium kapiler dan epithelium alveolar,
kemudian proses berlanjut dengan pengisian cairan di ruang alveoli.
Patofisiologi ARDS dapat dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu: 1) pada tahap
ini mulai terjadi kerusakan membran alveolar kapiler yang menimbulkan
kebocoran cairan di jaringan interstitial, 2) karena kebocoran cairan berlanjut,
paru menjadi lebih kaku dan compliance (kelenturan) paru menurun,
penurunan ini akan mengakibatkan terjadi penurunan ventilasi dan
perbandingan ventilasi-perfusi menurun sehingga terjadilah hipoksemia
arterial, 3) akhirnya masuk dan mengisi ruang alveoli, ventilasi sama sekali
tidak terjadi, perbandingan ventilasi-perfusi menjadi nol, maka terjadilah
shunt atau pintasan, lebih banyak ruang alveoli yang terisi, lebih berat
pintasan intrapulmoner yang terjadi, dan tekanan oksigen arterial menjadi
semakin menurun, 4) terjadi penutupan ruang jalan napas terminalis dengan
akibat terjadi atelektasis, penurunan volume paru dan akan memperberat
penurunan tekanan oksigen arterial. Tekanan CO2 arterial tetap rendah
disebabkan karena terjadi kompensasi berupa takipnea

b. Penyakit paru spesifik akut


Termasuk dalam penyakit ini adalah pneumonia, edema paru dan
atelektasis. Gangguan fisiologis utama pada penyakit ini adalah pengisian
alveoli (alveolar filling) dengan akibat perbadingan V/Q menjadi nol. Pada
pneumonia alveoli terisi material peradangan, sedangkan pada edema terisi
cairan transudat, dan pada kasus atelektasis tidak terjadinya ventilasi di unit
respirasi distal karena terjadinya kolaps jalan nafas.
c. Penyakit paru progresif kronik
Kelainan yang termasuk dalam kategori ini adalah fibrosis interstitial
dan karsinoma limfangitik. Keduanya jarang didapatkan pada anak-anak.

2. Kegagalan Ventilasi (Gagal Nafas Tipe II/Hiperkapnik)


Gagal nafas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2, pada
umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan retensi CO2
(peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan pH yang
abnormal dan penurunan PaO2 atau hipoksemia.
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat
disebabkan karena 1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan
pada respon ventilasi. Penyakit-penyakit atau kedaan penyebab kegagalan
ventilasi :
a. Ekstrapulmoner
1) Overdosis sedatif atau opiate
2) Stroke serebrovaskular
3) Koma
4) Hipotiroid
5) Kerusakan primer pusat nafas
6) Trauma dada (flail chest)
7) Cedera medula spinalis
8) Miastenia gravis
9) Poliomyelitis
10) Amiotropik lateral sclerosis
11) Penyakit guillain barre
12) Sklerosis multiple
13) Paralisis diafragma
14) Distrofi muskuler
15) Gangguan keseimbangan elektrolit (k,ca,mg,po4)
16) Neurotoksin (botulisme, difteria, tetanus)
17) Obesitas
18) Distensi abdominal
19) Deformitas dinding dada
20) Nyeri dada yang hebat
21) Efusi pleura
22) Obstruksi trakea
23) Epiglotitis
24) Hipertrofi tonsiler dan adenoid
25) Peripheral sleep apnea
b. Pulmoner
1) Asma bronkial
2) Ppok
3) Fibrosis kistik
4) Penyakit paru interstitisl
5) Atelectasis
6) Konsolidasi
7) Fibrosis
8) Edema paru
Menurut Price (2005) gagal nafas terbagi menjadi dua :

 Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya
normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.

 Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru
kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit
penambang batubara)

C. Etiologi
Penyebab gagal napas dapat digolongkan sesuai kelainan primernya dan
komponen sistem pernapasan yaitu:
1. Gangguan sistem saraf pusat (SSP)
a. Berbagai gangguan farmakologi, struktur dan metabolik pada SSP dapat
mendepresi dorongan untuk bernapas
b. Hal ini dapat menyebabkan gagal napas hipoksemi atau hiperkapni yang akut
maupun kronis
c. Contohnya adalah tumor atau kelainan pembuluh darah di otak, overdosis
narkotik atau sedatif, gangguan metabolik seperti miksedema atau alkalosis
metabolik kronis
2. Gangguan sistem saraf perifer, otot pernapasan dan dinding dada
a. Gangguan pada kelompok ini adalah ketidakmampuan untuk menjaga tingkat
ventilasi per menit sesuai dengan produksi CO2
b. Dapat meyebabkan hipoksemi dan hiperkapni
c. Contohnya sindrom Guillan-Barre, distropi otot, miastenia gravis,
kiposkoliosis berat dan obesitas
3. Abnormalitas jalan napas
a. Obstruksi jalan napas yang berat adlah penyebab umum hiperkapni akut dan
kronis
b. Contonhnya epiglotitis, tumor yang menenai trakea, penyakit paru obstruktif
kronis, asma dan kistik fibrosis
4. Abnormalitas alveoli
a. penyakit yang ditandai oleh hipoksemi walaupun kompliksi hiperkapni dapat
terjadi
b. contohnya adalah edema pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik,
pneumonia aspirasi, perdarahan paru yang massif
c. gangguan ini berhubungan dengan shunt intrapulmoner dan peningkatan kerja
pernapasan
5. Penyebab umum gagal napas tipe I (hipoksemi)
a. Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)
b. Pneumonia
c. Edema pulmoner
d. Asma
e. Pneumothorak
f. Emboli paru
g. Hipertensi arteri pulmoner
h. Pneumokoniosis
i. Penyakit paru granuloma
j. Penyakit jantung kongenital sianosis
k. Bronkiekstasi
l. Sindrom distres pernapasan akut
m. Sindrom emboli lemak
n. Kiposkoliosis
o. Obesitas
6. Penyebab umum gagal napas tipe II (hiperkapni)
a. Emfisema dan bronkitis kronis (PPOK)
b. Asma yang berat
c. Overdosis obat
d. Keracunan
e. Miastenia gravis
f. Polineuropati
g. Kelainan otot primer
h. Porphiria
i. Kordotomi servikal
j. Trauma kepala dan servikal
k. Hipoventilasi alveolar primer
l. Sindrom hipoventilasi pada obesitas
m. Edema pulmoner
n. Sindrom distres pernapasan akut
o. Miksedema
p. Tetanus
D. Tanda Dan Gejala
1. Tanda-tanda hypoksemia/hypoksia
a. Disorientasi, bingung, gelisah, apatis, atau kesadaran menurun
b. Takipnoe
c. Nafas pendek dan dangkal / dipsnoe
d. Takikardi, vasokonstriksi, tensi meningkat
2. Tanda-tanda hyperkapnoe
a. Sakit kepala akibat vasodilatasi serebral
b. Depresi mental, miosis, keringat dingin, kulit / sklera / konjungtiva memerah.
c. Takikardi
d. Aritmia
E. Pohon Masalah/Patofisiologi

Gagal nafas akut dapat disebabkan karena hipoventilasi, gangguan difusi, dan
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q Mismatch). Menurut patofisiologinya
gagal nafas akut di bedakan menjadi 2 bentuk yaitu, hipoksemik atau kegagalan
oksigenasi dan hiperkapnik atau kegagalan ventilasi.
Gagal nafas akut hipoksemia disebabkan karena hipoventilasi, gangguan difusi,
dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q Mismatch). Letak kelainan pada
sindrom ini adalah pada membran alveolar kapiler, kerusakan pada membran alveolar
kapiler, ini akan mengakibatkan terjadinya gangguan pengambilan oksigen dengan
akibatnya terjadinya hipoksemia. Kelainan terutama berupa peningkatan permeabilitas
membran tersebut sehingga terjadi kebocoran cairan yang mula-mula mengisi jaringan
interstitial antara endotelium kapiler dan epithelium alveolar, kemudian proses berlanjut
dengan pengisian cairan di ruang alveoli, karena kebocoran cairan berlanjut, paru
menjadi lebih kaku dan compliance (kelenturan) paru menurun, penurunan ini akan
mengakibatkan terjadi penurunan ventilasi dan perbandingan ventilasi-perfusi menurun
sehingga terjadilah hipoksemia arterial (proses gangguan difusi), Akhirnya masuk dan
mengisi ruang alveoli, ventilasi sama sekali tidak terjadi, perbandingan ventilasi-perfusi
menjadi nol, maka terjadilah shunt atau pintasan, lebih banyak ruang alveoli yang terisi,
lebih berat pintasan intrapulmoner yang terjadi, dan tekanan oksigen arterial menjadi
semakin menurun ,(proses ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi V/Q Mismatch),
Terjadi penutupan ruang jalan napas terminalis dengan akibat terjadi atelektasis,
penurunan volume paru dan akan memperberat penurunan tekanan oksigen arterial.
Tekanan CO2 arterial tetap rendah disebabkan karena terjadi kompensasi berupa
takipnea. (proses hipoventilasi mengakibatkan terjadinya hipoksemia).
Dengan tanda dan gejala gejala hipoksemia merupakan akibat langsung dari
hipoksia jaringan. Tanda dan gejala yang sering dicari untuk menentukan adanya
hipoksemia seringkali baru timbul setelah PaO2 mencapai 40 sampai 50 mmHg.
Jaringan yang sangat peka terhadap penurunan oksigen diantaranya adalah otak, jantung,
dan paru-paru. Tanda dan gejala yang paling menonjol adalah gejala neurologis, berupa
sakit kepala, kekacauan mental, gangguan dalam penilaian, bicara kacau, gangguan
fungsi motorik, agitasi dan gelisah yang dapat berlanjut menjadi delirium dan menjadi
tidak sadar. Respons kardiovaskular yang mula-mula tehadap hipoksemia adalah
takikardi dan peningkatan curah jantung serta tekanan darah. Jika hipoksia menetap,
bradikardi, hipotensi, penurunan curah jantung dan aritmia dapat terjadi. Hipoksemia
dapat menyebabkan vasokonstriksi pada pembuluh darah paru-paru. Efek metabolik dari
hipoksia jaringan metabolisme anaerobik yang mengakibatkan asidosis metabolic.
sedangkan gagal nafas akut hiperkapnik disebabkan karena hipoventilasi.
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan
ekstrapulmoner. Hiperkapnik yang terjadi karena kelainan extrapulmoner dapat
disebabkan karena 1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau 2) gangguan pada
respon ventilasi.Gagal nafas tipe hiperkapnia adalah kegagalan tubuh untuk
mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai
dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnea) disertai dengan penurunan
pH yang abnormal. Gagal nafas hiperkapnia terutama disebabkan oleh hipoventilasi
elveolar. Kegagalan ventilasi dapat terjadi bila PaCO2 meninggi dan pH kurang dari
7,35. Kegagalan ventilasi terjadi bila “minut ventilation” berkurang secara tidak wajar
atau bila tidak dapat meningkat dalam usaha memberikan kompensasi bagi peningkatan
produksi CO2 atau pembentukan rongga tidak berfungsi pada pertukaran gas (dead
space)
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat. Peningkatan
PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya terutama melalui
turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCO2. Karena
CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, PH turun secara
cepat dan hebat karena hiperkapnia akut. (Purwato dkk, 2009). Hiperkapnea
menyebabkan konstriksi pada pembuluh darah paru-paru, sehingga dapat memperberat
hipertensi arteri pulmonalis. Jika retensi CO2 sangat berat, maka dapat terjadi penurunan
kontraktilitas miokardium, vasodilatasi sistemik, gagal jantung, dan hipotensi.
Hiperkapnea menyebabkan asidosis respiratorik yang sering bercampur dengan asidosis
metabolik jika terjadi hiposia. Campuran ini dapat mengakibatkan penurunan yang serius
dari pH darah. Respon kompensasi ginjal terhadap asidosis respiratorik adalah reabsorpsi
bikarbonat untuk mempertahankan pH darah tetap normal.
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa Gas Darah Arteri : Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk menentukan
adanya asidosis respiratorik dan alkalosis respiratorik, serta untuk mengetahui
apakah klien mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada
klien yang sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini juga
sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan terapi atau
pengobatan yang diberikan terhadap klien.
_ pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
_ paO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
_ pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
_ BE di bawah -2 atau di atas +2
- Saturasi O2 kurang dari 90 %
2. Radiologi : Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta fluoroskopi akan
banyak data yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi, pneumothoraks, efusi
pleura, hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru : Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui
ada tidaknya gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV1 > 83%
prediksi. Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan FEV1/FVC lebih rendah dari nilai
normal. Jika FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih besar dari nilai
normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.
4. Elektrokardiogram (EKG) : Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG
yang ditandai dengan perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF,
serta jantung yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung
sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan Sputum : Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan.
Jika perlu lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai
ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan disebabkan oleh
bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan keganasan. Sputum yang
berwarna merah jambu dan berbuih (pink frothy), kemungkinan disebabkan edema
paru. Untuk sputum yang mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih
sering merupakan tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru. (Said. 2011)
G. Penatalaksanaan Medis
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area) di
rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
Prioritas dalam penanganan gagal nafas berbeda-beda tergantung dari etiologinya,
tetapi tujuan primer penanganan adalah sama pada semua pasien, yaitu menangani sebab
gagal nafas dan bersamaan dengan itu memastikan ada ventilasi yang memadai dan jalan
nafas yang bebas. (Hall, 2008)
1. Perbaiki jalan napas (Air Way)
Terutama pada obstruksi jalan napas bagian atas, dengan hipereksistensi kepala
mencegah lidah jatuh ke posterior menutupi jalan napas, apabila masih belum
menolong maka mulut dibuka dan mandibula didorong ke depan (triple airway
maneuver) atau dengan menggunakan manuver head tilt-chin lift), biasanya berhasil
untuk mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas. Sambil menunggu dan
mempersiapkan pengobatan spesifik, maka diidentifikasi apakah ada obstruksi oleh
benda asing, edema laring atau spasme bronkus, dan lain-lain. Mungkin juga
diperlukan alat pembantu seperti pipa orofaring, pipa nasofaring atau pipa trakea.
2. Terapi oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk menaikkan
PaO2 sampai normal. Pada terapi oksigen, besarnya oksigen yang diberikan tergantung
dari mekanisme hipoksemia, tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah
oksigen yang diperlukan, potensi efek samping oksigen, dan ventilasi semenit pasien.
Cara pemberian oksigen dibagi menjadi dua yaitu sistem arus rendah dan sistem arus
tinggi. Pemberian terapi oksigen harus memenuhi kriteria 4 tepat 1 waspada yaitu
tepat indikasi, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat waktu pemberian, dan wasapada
terhadap efek samping. (Ulaynah, Ana. 2010)
Alat Kateter Nasal 1-6 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 24-44%
Arus Kanula Nasal 1-6 L/menit
Rendah Konsentrasi : 24-44%
Simple Mask 6-8 L/menit
Konsentrasi : 40-60%
Mask + Rebreathing 6-8 L/menit
Konsetrasi : 60-80%
Alat AMBU BAG 10 L/menit
Oksigen Konsentrasi : 100%
Arus Tinggi Bag Mask + Jackson 10 L/menit
Rees Konsentrasi : 100%

3. Ventilasi Bantu
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to nose).
Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan ventilasi
menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi IPPB (Intermittent
Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas spontan melalui mouth piece atau
sungkup muka yang dihubungkan dengan ventilator. Setiap kali pasien melakukan
inspirasi maka tekanan negative yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan
memberikan bantuan napas sebanyak sesuai yang diatur.

4. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya diperlukan obat-
obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar pasien tidak berontak
dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama ventilator.
5. Terapi farmakologi
a. Bronkodilator.
Mempengaruhi langsung pada kontraksi otot polos bronkus. Merupakan
terapi utama untuk pnyakit paru obstruktif atau pada penyakit dengan
peningkatan resistensi jalan napas seperti edema paru, ARDS, atau
pneumonia.
b. Agonis B adrenergik / simpatomimetik
Memilik efek agonis terhadap reseptor beta drenergik pada otot polos
bronkus sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi. golongan ini memiliki
efek samping antara lain tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan
hipokalemia. Lebih efektif digunakan dalam bentuk inhalasi sehinga dosis
yang lebih besar dan efek kerjanya lebih lama.
c. Antikolinergik
Respon bronkodilator terhadap obat antikolinergik tergantung pada derajat
tonus parasimpatis intrisik. Obat-obatan ini kurang berperan pada asma,
dimana obstruksi jalan nafas berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan dengan
bronkitis kronik dimana tonus parasimpatis lebih berperan. Pada gagal nafas,
antikolinergik harus diberikan bersamaan dengan agonis beta adrenergik.
Contoh dari antikolinergik adalah Ipatropium Bromida, tersedia dalam bentuk
MDI (metered dose-inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek samping
jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urine.
d. Teofilin
Mekanisme kerja melalui inhibisi kerja fosfodieterase pada AMP siklik,
translokasi kalsium, antagonis adenosin, dan stimulasi reseptor beta-
adrenergik, dan aktifitas anti-inflamasi. Efek samping meliputi takikardia,
mual, dan muntah. Komplikasi terparah antara lain aritmia jantung,
hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.
Kortikosteroid(Gwinnutt, C. 2011)

6. Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Tindakan terapi untuk memulihkan
kondisi pasien gagal napas:
a. Penghisapan paru untuk mengeluarkan sekret agar tidak menghambat saluran
napas.
b. Postural drainage, juga untuk mengeluarkan sekret.
c. Latihan napas, jika kondisi pasien sudah membaik

2.2 PNEUMONIA

A. Pengertian
Pneumonia adalah salah satu penyakit peradangan akut parenkim paru yang
biasanya dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah akut. Dengan gejala batuk dan
disertai dengan sesak nafas yang disebabkan agen infeksius seperti virus, bakteri,
mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi asing, berupa radang paru-paru yang
disertai eksudasi dan konsolidasi dan dapat dilihat melalui gambaran radiologis
(Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma, 2015).
Pneumonia ialah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengensi jaringan paru
(alveoli) (Depkes, 2006).
Pneumonia ini adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus jamur, dan benda asing. Tubuh mempunyai daya tahan
yang berguna untuk melindungi dari bahaya infeksi melalui mekanisme daya tahan
traktus respiratorius yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis dari rongga hidung
2. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan secret yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
3. Reflex batuk
4. Reflex epiglottis yang mencegah terjadinya aspirasi secret yang terinfeksi
5. Drainase system limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
6. Fagositas, aksi enzimatik dan respons imunohumoral terutrama dari IgA.
7. Jaringan limfoid di naso-ofaring
(Ngastiyah, 2005)

Jaringan yang meradang ini akan mengeluarkan lendir, cairan, dan sel-sel yang
sudah rusak, yang memenuhi saluran udara, sehingga menyebabkan sulit bernapas.
Infeksi itu bilamana sudah menyebar, disebut sebagai bronchopneumonia. Penyakit ini
bisa terjadi mengikuti selesma dan merupakan komplikasi cacar air ( chickenpox),
campak, dan batuk rejan. Jika penyakit itu menyerang satu atau lebih bagian (lobus)
paru-paru, maka dia disebut lobar pneumonia. (Hardinge, 2009).

B. Etiologi
Menurut Misnadiarly (2008) , pneumonia yang ada di kalangan masyarakat
umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri
dan virus) dan protozoa.
1. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia
lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah
Streptococcus pneumonia sudah ada di kerongongan manusia sehat. Begitu
pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera
memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia
akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya
meningkat cepat.
2. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang
tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV).
Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada
balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar
pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi
terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang
menyebabkan kematian.
3. Mikoplasma
Mikoplasia adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada
manusia. Mikoplasia tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski
memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat
ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering
pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga
pada yang tidak diobati.
4. Protozoa
Pneumonia yang disebabhkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis.
Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia
pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya
dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat
dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carini pada
jaringan paru atau specimen yang berasal dari paru.

C. Tanda dan Gejala

Menurut Misnadiarly (2008), tanda dan gejala pneumonia adalah sebagai berikut :
1. Gejala
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas atas akut
selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat
mencapai 40o celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan dahak kental,
terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita juga ditemui
gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala.
2. Tanda-tanda pneumonia pada balita antara lain :
- Batuk nonproduktif - Kekakuan dan nyeri otot
- Ingus (nasal discharge) - Sesak napas
- Suara napas lemah - Menggigil
- Penggunaan otot bantu napas - Berkeringat
- Demam - Lelah
- Sianosis (kebiru-biruan) - Terkadang kulit menjadi
- Thorax photo menunjukkan lembab
- infiltrasi melebar - Mual dan muntah

D. Klasifikasi
1) Klasifikasi berdasarkan anatomi.

a. Pneumonia Lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih
lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral
atau “ganda”
b. Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir bronkiolus,
yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi
dalam lobus yang berbeda didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis.
c. Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi pada dinding
alveolar (intrastisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular

2) Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan :


a. Pneumonia Komunitas

Dijumpai pada H. influenza pada pasien perokok, pathogen atipikal pada lansia,
gram negative pada pasien dari rumah jompo, dengan adanya PPOK, penyakit
penyerta kardiopolmonal/jamak, atau paska terapi antibiotika spectrum luas.

b. Pneumonia Nosokomial

Tergantung pada 3 faktor yaitu : tingkat berat sakit, adanya resiko untuk jenis
pathogen tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia.
Faktor utama untuk pathogen tertentu :
Patogen Factor resiko
Staphylococcus aureus Methiciliin Koma, cidera kepala, influenza,
resisten S.aureus pemakaian obat IV, DM, gagal ginjal
Ps. Aerugionsa Pernah dapat antibiotic, ventilator>2 hari
lama dirawat di ICU, terapi
steroid/antibiotic kelanianan struktur paru
(bronkiektasis, kritik fibrosis), malnutrisi
Anaerob Aspirasi, selesai oprasi abdomen
Acinobachter spp Antibiotic sebelum onset pneumonia dan
ventilasi mekanik
Sumber : IPD hal 2199

Faktor resiko pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit menurut Morton.
Pneumonia yang didapat dari Rumah Sakit
Factor resiko terkait-pejamu
− Pertambahan usia
− Perubahan tingkat kesadaran
− Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK)
− Penyakit berat, Malnutrisi, Syok
− Trauma tumpul, Trauma kepala berat, Trauma dada
− Merokok, Karang gigi
Factor resiko terkait-pengobatan
− Ventilasi mekanik, Reintubasi atau intubasi sendiri
− Bronkoskopi, Selang nasogastrik
− Adanya alat pemantauan tekanan intracranial (TIK)
− Terapi antibiotic sebelumnya
− Terapi antacid
− Peningkatan pH lambung
− Penyakit reseptor histamine tipe-2
− Pemberian makan enternal
− Pembedahan kepala, pembedahan thoraks atau abdomen atas
− Posisi telentang
Factor resiko terkait-infeksi
− Mencuci tangan kurang bersih
− Mengganti selang ventilator kurang dari 48 jam sekali
Sumber : Kritis vol 1 hal:723

c. Pneumonia Aspirasi
Disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis kimia akibat aspirasi bahan toksik,
akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan atau lambung edema paru, dan
obstruksi mekanik simple oleh bahan padat.

d. Pneumonia pada Gangguan Imun


Terjadi akibat proses penyakit dan akibat terapi. Penyebab infeksi dapat
disebabkan oleh kuman phatogen atau mikroorganisme yang biasanya
nonvirulen,berupa bakteri, protozoa, parasit, virus, jamur, dan cacing.
E. Pohon Masalah
Etiologi (virus, bakteri, mokoplasma, protozoa)
Ketidakefektifan
Defisiensi Pengetahuan Droplet terhirup Bersihan Jalan Nafas

Kurang pengetahuan,
informasi Masuk pada alveoli Sesak, ronkhi

Nyeri Akut Reaksi peradangan Obstuksi saluran nafas

Merangsang IL-1 PMN (leukosit & Konsolidasi-


makrofag penumpukkan eksudat
meningkat) di alveoli
Zat endogen pyrogen

Mengaktifasi Gangguan difusi O2


Prostaglandin cytokine

Berdistribusi ke BGA abnormal


Ekstravasasi cairan
hipotalamus ke alveoli
Konfusi, iritabilitas,
sianosis, dispneu,
Transportasi O2 pernafasan cuping
Suhu tubuh terganggu hidung
Hipertermi
meningkat
Gangguan
HR meningkat, Pertukaran Gas
kelelahan, kelemahan

Demam, berkeringat
Intoleransi Aktivitas Respon batuk

Cairan tubuh
berkurang

Peningkatan Penggunaan otot


Risiko Kekurangan pemecahan cadangan bantu abdomen
Volume Cairan makanan

Ketidakseimbangan Refluk fagal


Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh
Mual, muntah
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Leukosit, hasil pemeriksaan leukosit > 15.000/μl dengan dominasi netrofil sering
didapatkan pada pneumonia bakteri. Didapatkan leukositosis dengan predominan
polimorfonuklear. Leukopenia menunjukkan prognosis yang buruk.
b. Cairan pleura, eksudat dengan sel polimorfonuklear 300-100.000/mm. Protein di
atas 2,5 g/dl dan glukosa relatif lebih rendah dari glukosa darah.
c. Titer antistreptolisin serum, pada infeksi streptokokus meningkat dan dapat
menyokong diagnosa.
d. Kadang ditemukan anemia ringan atau berat.
2. Pemeriksaan mikrobiologik
a. Spesimen : usap tenggorok, sekresi nasofaring, bilasan bronkus atau sputum
darah, aspirasi trachea fungsi pleura, aspirasi paru.
b. Diagnosa definitif jika kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi
paru.
3. Pemeriksaan imunologis
a. Sebagai upaya untuk mendiagnosis dengan cepat
b. Mendeteksi baik antigen maupun antigen spesifik terhadap kuman penyebab.
c. Spesimen: darah atau urin.
d. Tekniknya antara lain: Conunter Immunoe Lectrophorosis, ELISA, latex
agglutination, atau latex coagulation.
4. Pemeriksaan radiologis, gambaran radiologis berbeda-beda untuk tiap
mikroorganisme penyebab pneumonia.
a. Pneumonia pneumokokus: gambaran radiologiknya bervariasi dari infiltrasi
ringan sampai bercak-bercak konsolidasi merata (bronkopneumonia) kedua
lapangan paru atau konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Bayi dan
anak-anak gambaran konsolidasi lobus jarang ditemukan.
b. Pneumonia streptokokus, gambaran radiologik menunjukkan bronkopneumonia
difus atau infiltrate interstisialis. Sering disertai efudi pleura yang berat, kadang
terdapat adenopati hilus.
c. Pneumonia stapilokokus, gambaran radiologiknya tidak khas pada permulaan
penyakit. Infiltrat mula-mula berupa bercak-bercak, kemudian memadat dan
mengenai keseluruhan lobus atau hemithoraks. Perpadatan hemithoraks umumnya
penekanan (65%), < 20% mengenai kedua paru.

G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Misnadiarly (2008) dan Effendy (2001), penatalaksanaan pneumonia
dilakukan berdasarkan penentuan klasifikasi pada anak, yaitu :
1. Pneumonia Berat
Tanda : tarikan dinding dada ke dalam
Penderita pneumonia berat juga mungkin disertai tanda lain, seperti :
- Nafas cuping hidung
- Suara rintihan
- Sianosis
Tindakan : cepat dirujuk ke rumah sakit ( diberikan satu kali dosis antibiotika dan
kalau ada demam atau wheezing diobati lebih dahulu)
2. Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, disertai nafas cepat
Tindakan :
a. Nasehati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
b. Beri antibiotik selama 5 hari
c. Anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat apabila keadaan memburuk
d. Bila demam, obati
e. Bila ada wheezing , obati
WHO menganjurkan penggunaan antibiotika untuk pengobatan pneumonia yakni
dalam bentuk tablet atau sirup ( kortimoksazol, amoksisilin, ampisilin ) atau dalam
bentuk suntikan intra muskuler ( prokain penisilin )
3. Bukan Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, tidak ada nafas cepat
Tindakan :
a. Bila batuk > 30 hari, rujuk
b. Obati penyakit lain bila ada
c. Nasehati ibunya untuk perawatan di rumah
d. Bila demam, obati
e. Bila ada wheezing , obati
Selain penatalaksanaan diatas ada beberapa penatalaksaan pada penderita
pneumonia, diantaranya:
1. Oksigen 1-2 L/menit
Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmhg atau saturasi 95-96% berdasarkan
pemeriksaan AGD
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak
3. Fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak , khususnya dengan clapping dan vibrasi
4. Pemberian kortikosteroid , diberikan pada fase sepsis
5. Ventilasi mekanis , indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila
terjadi hipoksemia persisten, gagal nafas yang disertai peningkatan respiratory
distress dan respiratory arrest
6. IVFD Dextrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1,+ KCl 10 mEq/500 ml cairan. Jumlah cairan
sesuai BB, kenaikan suhu, dan status hidrasi.
7. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat di mulai makanan enteral bertahap melalui
selang nasogastrik dengan feeding drip.
8. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta
agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.
9. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
10. Antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :
Untuk kasus pneumonia Community base :
- Ampisilin 100mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
- Kloramfenikol 75mg/Kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
Untuk kasus pneumonia Hospital base :
- Sefotaksim 100mg/Kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
- Amikasin 10-15mg/Kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
- Antipiretik : Paracetamol 10-15 mg/kgBB/x beri
- Mukolitik : Ambroxol 1,2 -1,6 mg/kgBB/2 dosis/ oral

Mikroorganisme Antibiotika
Streptokokus Penisilin G 50.000 unit/hari IV atau
Stafilokokus Penisilin Prokain 600.000U/kali/hari IM atau
Ampisilin 100mg/Kg BB/hari atau
Seftriakson 75-200 mg/Kg BB/hari

M.Pnemoniae Eritromisin 15mg/Kg BB/hari atau derivatnya


H.Influenzae Kloramfenikol 100mg/Kg BB/hari atau
Klebsiella Sefalosforin
Tabel Pemilihan Antibiotika berdasarkan Etiologi

Bila tidak ditangani secara tepat, akan mengakibatkan komplikasi. Komplikasi dari
pneumonia / bronchopneumonia adalah :
1. Otitis media akut (OMA) terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang berlebihan akan
masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi masuknya udara ke telinga
tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian gendang telinga akan tertarik ke
dalam dan timbul efusi.
2. Efusi pleura.
3. Abses otak.
4. Endokarditis.
5. Osteomielitis.
 Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
 Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura
terdapat di satu tempat atau seluruh rongga pleura.
 Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
 Infeksi sitemik.
 Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
 Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

2.3 STATUS ASTHMATIKUS


A. PENGERTIAN
Asma adalah suatu peradangan pada bronkus akibat reaksi hipersensitif mukosa
bronkus terhadap alergen. Reaksi hipersensitif pada bronkus dapat mengakibatkan
pembengkakan pada mukosa bronkus. (Sukarmain, 2009).
Yakni suatu asma yang refraktor terhadap obat-obatan yang konvensional
(Smeltzer, 2001). status asmatikus merupakan keadaan emergensi dan tidak langsung
memberikan respon terhadap dosis umum bronkodilator (Depkes RI, 2007).
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa pernapasan wheezing,
ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut
menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena leher,
hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir
dengan tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus maka suara wheezing
dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan ( Purnomo,
2008 ).
B. Etiologi
Penyebab hipersensitifitas saluran pernapasan pada kasus asma banyak
diakibatkan oleh faktor genetik (keturunan). Sedangkan faktor pemicu timbulnya
reaksi hipersensistifitas saluran pernapasan dapat berupa:
1. Hirup debu yang didapatkan dijalan raya maupun debu rumah tangga.
2. Hirupan asap kendaraan, asap rokok, asap pembakaran.
3. Hirup aerosol (asap pabrik yang bercampur gas buangan seperti nitrogen).
4. Pajanan hawa dingin.
5. Bulu binatang.
6. Stress yang berlebihan.
Selain faktor-faktor diatas kadang juga ada individu yang sensitife terhadap
faktor pemicu diatas tetapi penderita lain tidak. (Sukarmin, 2009).
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik pada pasien asmatikus adalah batuk, dyspnoe (sesak nafas), dan
wheezing (terengah-engah). Pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada,
pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan
waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisa, duduk dengan tangan
menyangga ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
1) Tingkat I :
a. Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
b. Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun dengan test
provokasi bronkial di laboratorium.
2) Tingkat II :
a. Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan
adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas (batuk, sesak nafas, wheezing).
b. Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3) Tingkat III :
a. Tanpa keluhan.
b. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
c. Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang
kembali.
4) Tingkat IV :
a. Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
b. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5) Tingkat V :
a. Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut
yang berat bersifat refrakter (tak beraksi) sementara terhadap pengobatan yang
lazim dipakai.
b. Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel
( Sukarmin, 2009 ).

D. Patofisiologi
Karakteristik dasar dari asma ( konstriksi otot polos bronchial, pembengkakan mukosa
bronchial, dan pengentalan sekresi ) mengurangi diameter bronchial dan nyata pada
status asmatikus.
Abnormalitas ventilasi – perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan respirasi
alkalosis pada awalnya, diikuti oleh respiratori asidosis.Terhadap penurunan PaO2
dan respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO2 dan peningkatan pH. Dengan
meningkatnya keparahan status asmatikus, PaCO2 meningkat dan pH turun,
mencerminkan respirasi asidosis ( Krisanty Paula, 2009 ).
E. Pathway

Riwayat asma

Paparan terhadap factor predisposisi dan factor presipitasi

Reaksi hipersensitivitas
Saluran napas (bronkiolus)

Pengeluaran zat-zat : histamine


Anafilaksis yang berekasi lambat, (leukotrient
Kemotatik eosinofilik, dan bradikinin oleh sel mast

Spasme otot Sumbatan Edema Inflamasi


bronchus mukus dinding bronchus

Mk: Bersihan Obstruksi sal nafas Alveoli tertutup


Jalan Nafas ( bronchospasme )
Tidak Efektif Hipoksemia Mk: Gangguan
pertukaran gas
Penyempitan jalan napas Asidosis metabolik
Mk: Defisit Pengetahuan

Penurunan volume aliran udara


ke paru

Upaya kompensasi tubuh


(Peningkatan kerja pernafasan)

Mk: Pola Nafas


Hyperventilasi nafsu makan menurun sesak nafas
Tidak Efektif

Retensi CO2 intake oral tidak adekuat rasa tidak nyaman

Asidosis respiratorik
Mk: Mk: Gangguan
Ketidakseimbangan pola tidur
Nutrisi Kurang dari
Kebutuhan Tubuh
F. Penatalaksanaan
Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan keadaan obstruktif
jalan napas yang berat. Perhatian khusus harus diberikan dalam perawatan, sedapat
mungkin dirawat oleh dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan
dilakukan secara tepat berpedoman secara klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat
menilai respon pengobatan apakah membaik atau justru memburuk. Perburukan
mungkin saja terjadi oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi maupun
sebagai akibat terjadinya komplikasiseperti infeksi, pneumothoraks,
pneumomediastinum yang sudah tentu memerlukan pengobatan lainnya. Efek
samping obat yang berbahaya dapat terjadi pada pemberian drips aminofilin. Dokter
yang merawat harus mampu dengan akurat menentukan kapan penderita meski
dikirim ke unit perawatan intensif.
Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim dari UGD
dilakukan penatalaksaanan sebagai berikut :
1. Pemberian terapi oksigen dilanjutkan
Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis, danhipoksemia.
Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan masker Venturi atau
kateter hidung diberikan. Aliran oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai
– nilai gas darah. PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg. Pemberian
sedative merupakan kontraindikasi. Jika tidak terdapat respons terhadap
pengobatan berulang, dibutuhkan perawatan di rumah sakit.
2. Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam, kemudian
dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan yang
jelas. Sebagian alternative lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dengan
nebuhaler / volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan
drips salbutamol atau terbutalin.
3. Aminofilin
Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5 – 0,9 mg/kg BB / jam.
Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila belum
diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada penderita dengan penyakit
hati, gagal jantung, atau bila penderita menggunakan simetidin, siprofloksasin
atau eritromisin. Dosis tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian
aminofilin perlu diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis
harus diturunkan. Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera
dihentikan karena terjadi gejala toksik yang berbahaya.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2 – 8 jam tergantung
beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan adalah hidrokortison
200 – 400 mg dengan dosis keseluruhan 1 – 4 gr / 24 jam. Sediaan yang lain
dapat juga diberikan sebagai alternative adalah triamsiolon 40 – 80 mg,
dexamethason / betamethason 5 – 10 mg. bila tidak tersedia kortikosteroid
intravena dapat diberikan kortikosteroid per oral yaitu predmison atau
predmisolon 30 – 60 mg/ hari.
5. Antikolonergik
Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam kombinasi
dengan agonis β2secara inhalasi nebulisasi terutama penambahan –
penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian agonis β2 sudah memberikan
hasil yang baik.
6. Pengobatan lainnya
a. Hidrasi dan keseimbangan elektrolit
Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan
elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis metabolic. Ringer laktat
dapat diberikan sebagai terapi awal untuk dehidrasi dan pada keadaan
asidosis metabolic diberikan Natrium Bikarbonat.
b. Mukolitik dan ekpetorans
Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan
berat ekspektorans seperti obat batuk hitam dan gliseril guaikolat dapat
diberikan, demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.
c. Fisioterapi dada
Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi lainnya
hanya dilakukan pada penderita hipersekresi mucus sebagai penyebab
utama eksaserbasi akut yang terjadi.
d. Antibiotic
Diberikan kalau jelas ada tanda – tanda infeksi seperti demam, sputum
purulent dengan neutrofil leukositosis.
e. Sedasi dan antihistamin
Obat – obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang
perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat
dalam pengobatan asma akut berat malahan dapat menyebabkan
pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.
7. Penatalaksanaan lanjutan
Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor yang ketat terhadap
respon pengobatan dengan menilai parameter klinis seperti sesak napas, bising
mengi, frekuensi napas, frekuensi nadi, retraksi otot bantu napas. APE,
fotothoraks, AGD, kadar serum aminofilin, kadar kalium dan gula darah
diperiksa sebagai dasar tindakan selanjutnya.
Indikasi perawatan intensif
Penderita yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi intensif
yangdiberikan perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke unit
perawatan intensif. Adapun penderita yang memerlukan perawatan intensif
yaitu
a. Terdapat tanda- tanda kelelahan
b. Gelisah, bingung, kesadaran menurun
c. Terjadi henti napas ( PaO2 < 40 mmHg atau PaCO2 > 45 mmHg )
sesudah pemberian oksigen.
8. Penatalaksanaan lanjutan diruangan
Pada penderita yang telah menunjukkan respon yang baik terhadap
pengobatan, terapi intensif dilanjutkan paling sedikit 2 hari. Pada 2 – 5 hari
pertama semua pengobatan intravena diganti, diberikan steroid oral dan
aminofilin oral serta agonis β2 dengan inhaler dosis terukur 6 – 8 x/ hari atau
preparat oral 3 – 4 x/hari. Pada hari 5 – 10, steroid oral ( predmison,
predmisolon ) diturunkan, obat agonis β2 dan aminofilin diteruskan (
Nugroho, 2016 ).
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji
obstruksi jalan nafas akut.
2. Pemeriksaan gas darah arteri dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan
manufer fungsi pernafasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau
bilapasien tidak berespon terhadap tindakan
3. Arus puncak ekspirasi APE mudah di periksa dengan alat yang sederhana,
flowmeter dan merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat
beratnnya penyakit
4. Pemeriksaan foto thorax pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal
– hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga
mendapat penanganan seperti atelektasis, pneuonia, dan pneumothorax
5. Elektrokardiografi tanda- tanda abnormalita sementara dan refersible setelah
terjadi perbaikan klinis adalah gelombang p meninggi ( p = pulmonal ),
takikardi dengan atau tanda aritmia supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi
ventrikel kanan dan defiasi aksis ke kanan ( Nugroho, 2016 ).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah
1. Pneumotoraks
2. Atelektasis
3. Gagal nafas
4. Bronchitis ( Nur Arif Amin, 2015 ).

2.4 ARDS
A. Pengertian
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome-ARDS)
merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi
paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru
yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada (Udobi et al, 2003).
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan perlukaan inflamasi paru
yang bersifat akut dan difus, yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas vaskular
paru, peningkatan tahanan paru, dan hilangnya jaringan paru yang berisi udara.
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang
menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium paru-paru dan ruang
alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal,
tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau
tidak sama sekali (Farid, 2006).
Gagal nafas ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang
dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari
45 mmHg (Hiperkapnia)(Brunner & Sudarth, 2001).

B. Etiologi
Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS
adalah:
a. Sistemik :
1) Syok karena beberapa penyebab
2) Sepsis gram negative
3) Hipotermia, Hipertermia
4) Takar lajak obat (Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat,Metadone,
Bleomisin)
5) Gangguan hematology (DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal)
6) Eklampsia
7) Luka bakar
b. Pulmonal :
1) Pneumonia (Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii)
2) Trauma (emboli lemak, kontusio paru)
3) Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
4) Pneumositis
c. Non-Pulmonal :
1) Cedera kepala
2) Peningkatan TIK
3) Pascakardioversi
4) Pankreatitis
5) Uremia
d. Depresi Sistem Saraf Pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernapasan
yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla)
sehingga pernapasan lambat dan dangkal.
Kelainanneurologis primer akan mempengaruhi fungsi pernapasan. Impuls
yang timbul dalam pusat pernapasan menjalar melalui saraf yang membentang dari
batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernapasan. Penyakit
pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan
neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi.
e. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari,
penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
f. Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari
hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi
pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan
mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah
pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang
mendasar.
g. Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau
pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung
yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru
adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

Tabel 1. Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS


Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
 Pneumonia  Sepsis
 Aspirasi gaster  Trauma berat
 Trauma inhalasi  Pankreatitis Akut
 Tenggelam  Bypass kardiopulmonal
 Kontusi paru  Tranfusi massif
 Emboli lemak  Overdosis obat
 Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru
C. Patofisologi
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal nafas akut yang
merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non kardiak. Edema ini disebabkan oleh
karena adanya peningkatan permeabilitas membrane kapiler sebagai akibat dari kerusakan
alveolar yang difus. Selain itu, protein plasma diikuti dengan makrofag, neutrofil, dan
beberapa sitokin akan dilepaskan dan terakumulasi dalam alveolus, yang kemudian akan
menyebabkan terjadinya dan berlangsungnya proses inflamasi, yang pada akhirnya dapat
memperburuk fungsi pertukaran gas yang ada. Pada keadaan ini membrane hialin (hialinisasi)
juga terbentuk dalam alveoli (Amin & Purwoto,2007).
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase, yaitu fase eksudatif,
fase proliteratif, fase fibrinolitik.
Fase-fase patologi ARDS :
a. Fase eksudatif
Fase eksudatif merupakan fase pertama yang timbul pada pasien ARDS, muncul
lebih kurang 12 hingga 36 jam, atau hingga 7 hari sejak paparan pertama pasien dengan
factor risiko. Pada fase ini terjadi kerusakan dari sel endothelial kapiler alveolar dan
pneumosit tipe I, mengakibatkan penurunan kemampuan sawar alveolar untuk menahan
cairan dan makromolekul. Gambaran histologis berupa eosinofilik padat membrane
hialin dan kolaps alveoli. Sel endotel membesar, sambungan interselular melebar dan
vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan membrane kapiler terganggu dan
mengakibatkan kebocoran kapiler. Pneumosit tipe I juga membesar dengan vacuola
sitoplasmik, yang sering terlihat di membrane basal. Lebih lanjut lagi kelainan ini akan
mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang disebabkan oleh akumulasi sel-sel
radang, debris selular, protein plasma, surfaktan alveolar yang rusak, menimbulkan
penurunan aerasi dan atelektaksis. Keadaan tersebut kemudian akan diperburuk dengan
adanya oklusi mikrovascula dan menyebabkan penurunan dari kemampuan perfusi darah
menuju ke daerah ventilasi (Lorrain et al, 2010).
Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya sintas (shunting)
interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada keadaan lanjut hiperkarbia, disertai dengan
peningkatan kerja nafas yang ditandai dengan gejala dispnea, takipnea, atau gagal nafas
pada pasien. Secara radiologis, kalainan ronsen thorax yang dapat dijumpai pada fase
awal perkembangan ARDS ini, dapat berupa opasitas alveolar dan interstisial yang
melibatkan setidaknya dua per tiga dari keseluruhan lapangan paru (Udobi et al, 2003).
b. Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase proliferative yang terjadi
pada hari ke-7 hingga ke-21 dari awal gejala.Fase proliferatif ditandai dengan organisasi
eksudat dan fibrosis. Paru-paru yang tetap berat dan solid, dan secara mikroskopik
integritas arsitektur paru-paru menjadi lebih kaku, kapiler jaringan rusak dan ada
progresifitas penurunan profil kapiler di jaringan. Proliferasi intimal jelas dalam
pembuluh darah kecil lebih lanjut mengurangi daerah luminal. Ruang interstisial menjadi
nekrosis yang melebar, dan mengisi lumen alveolar dengan leukosit, sel darah merah,
fibrin, dan puing-puing sel. Sel alveolus tipe II berkembang dalam upaya untuk menutupi
epitel permukaan yang gundul dan berdiferensiasi menjadi sel tipe I. Fibroblas menjadi
jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di alveolar lumen. Hasil dari proses ini
adalah penyempitan ekstrem atau bahkan kolapnya ruang udara. Fibrin dan puing-puing
sel digantikan oleh fibril kolagen. Tempat utama fibrosis adalah ruang intra-alveolar,
tetapi juga terjadi di dalam interstitium (Levy et al, 2007).
c. Fase Fibrotik (Fibrosis Alveolitis)
Fase terakhir dari perkembangan ARDS adalah fase fibrotic yang hanya akan
dialami oleh sebagian kecil dari pasien, yakni pada minggu ke-3 atau ke-4 penyakit. Pada
fase ini, edema alveolar dan eksudat inflamasi yang terlihat pada fase awal penyakit akan
mengalami perubahan menuju fibrosis duktal dan interstisial yang intensif. Struktural
asiner akan mengalami kerusakan yang berat, mengakibatkan terjadinya perubahan mirip
emfisema dengan munculnya bula-bula yang besar. Fibroproliferasi intimal juga akan
terjadi pada jaringan mikrosirkulasi pulmoner yang pada akhirnya akan menyababkan
terjadinya oklusi vaskular yang progresif dan hipertensi pulmoner. Pada akhirnya
konsekuensi fisiologis yang muncul dari perubahan perubahan yang terjadi ini adalah
adanya peningkatan resiko dari pneumothoraks, reduksi dari komplians paru, dan
peningkatan dari ruang mati (dead space) pulmoner (Price & Wilson, 2002).
D. Pathway

Trauma langsung / trauma tidak


langsung pada paru

Toksik terhadap epithelium


Mengganggu mekanisme
alveolar
pertahanan saluran napas

Kehilangan fungsi slia Kerusakan membrane kapiler


Tidakjalan napas jalan
efektifnya alveoli
napas
Kerusakan epithelium Gangguan
alveolar endothelium kapiler

Kebocoran cairan ke Kebocoran cairan


dalam alveoli kearah interstitial
Kelemahan otot Penurunan
Sesak napas nafsu makan Edema alveolar Atelektaksis Edema Interstitial
Mudah lelah Intake nutrisi
tak adekuat
Volume dan compliance
Intoleransi Penurunan paru menurun
aktivitas berat badan
Gangguan
Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
pemenuhan
hubungan arterio –venus dan
Perubahan kelainan difusi alveoli - kapiler
status
kesehatan Kerusakan
Koping individu
nutrisi pertukaran gas
tak efektif

Kurang info
tentang penyakit
Stress psikologis

Ansietas

E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama pada kasus ARDS :
a. Peningkatan jumlah pernapasan
b. Klien mengeluh sulit bernapas, retraksi dan sianosis
c. Pada Auskultasi mungkin terdapat suara napas tambahan
d. Penurunan kesadaran mental
e. Takikardi, takipnea
f. Dispnea dengan kesulitan bernafas
g. Terdapat retraksi interkosta
h. Sianosis
i. Hipoksemia
j. Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing
k. Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop

ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada
paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas. Awalnya
pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat
dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS
ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada
auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing (Farid, 2006).
Analisa gas darah pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat
rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-
batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal (Ware et al,2000).
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi
oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas
paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi.
Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini,
bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat (Farid, 2006).

F. Komplikasi
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella, Pseudomonas, dan
Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang resisten merupakan
penyebab utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas akibat ARDS. Tension
pneumothorax juga bisa terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan positive
pressure ventilation (PPV) serta positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang
dirawat dengan bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan volume intravaskular
serta penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan transpor O2 dan kegagalan organ.
Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian, merupakan gejala umum yang
dirasakan pasien ARDS (Farid, 2006).

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah:
1) Hipoksemia (penurunan PaO2)
2) Hipokapnia (penurunan PCO2) pada tahap awal karena hiperventilasi
3) Hiperkapnia (peningkatan PCO2) menunjukkan gagal ventilasi
4) Alkalosis respiratori (pH > 7,45) pada tahap dini
5) Asidosis respiratori/metabolik terjadi pada tahap lanjut
b. Pemeriksaan Rontgent Dada:
1) Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru
2) Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli
c. Tes Fungsi paru :
1) Penurunan komplain paru dan volume paru
2) Pirau kanan-kiri meningkat

Sedangkan menurut Doenges, 1999, pemeriksaan penunjang untuk ARDS adalah:


a. LED: meningkat pada hampir semua kasus, jumlah eosinofilnya normal.
b. Tes fungsi paru : normal atau menunjukan defek restriktik disertai gangguan
pertukaran udara.
c. BGA : hasil BGA menunjukan adanya hipoksemia.
d. Bioksi darah : PaO2/FiO2< 200 = ARDS PaO2/FiO2< 300 = ALI
e. Foto thorak dan CT: terdapat infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region
perihilir paru yang biasanya multivokal. Pada tahap lanjut, interstisial bilatareral difus
dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan semua lobus paru. Ukuran
jantung normal, berbeda dari edema paru kardogenik. Gas darah arteri seri
membedakan gambaran kemajuan hipoksemia, hipokapnea dapat terjadi pada tahap
awal sehubungan dengan hiperventilasi. Alkalosis respiratorik dapat terjadi pada tahap
dini dan pada tahap lanjut terjadi asidosis metabolik. Tes fungsi paru, Pengukuran
pirau, dan kadar asam laktat meningkat.

Gambar 1.ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat

H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi :
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat
suportif
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang
adekuat
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Terapi yang dilakukan :
a. Terapi Oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik yang penting dan secara
potensial mempunyai efek samping toksik. Pasien tanpa riwayat penyakit paru-paru
tampak toleran dengan oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa abnormalitas
fisiologi yang signifikan.
b. Ventilasi Mekanik
Aspek penting perawatan ARDS adalah ventilasi mekanis. Terapi modalitas
ini bertujuan untuk memmberikan dukungan ventilasi sampai integritas membrane
alveolakapiler kembali membaik. Dua tujuan tambahan adalah :
1) Memelihara ventilasi adekuat dan oksigenisasi selama periode kritis
hipoksemia berat.
2) Mengatasi factor etiologi yang mengawali penyebab distress pernapasan.
c. Positif End Expiratory Breathing (PEEB)
Ventilasi dan oksigen adekuat diberikan melaui volume ventilator dengan
tekanan dan kemmampuan aliran yang tinggi, di mana PEEB dapat ditambahkan.
PEEB di pertahankan dalam alveoli melalui siklus pernapasan untuk mencegah
alveoli kolaps pada akhir ekspirasi.
d. Memastikan volume cairan yang adekuat
Dukungan nutrisi yang adekuat sangatlah penting dalam mengobati pasien
ARDS, sebab pasien dengan ARDS membutuhkan 35 sampai 45 kkal/kg sehari
untuk memmenuhi kebutuhan normal.
e. Terapi Farmakologi
Penggunaan kortikosteroid dalam pengobatan ARDS adalah controversial,
pada kenyataanya banyak yang percaya bahwa penggunaan kortikosteroid dapat
memperberat penyimpangan dalam fungsi paru dan terjadinya superinfeksi.
Akhirnya kotrikosteroid tidak lagi di gunakan.
f. Pemeliharaan Jalan Napas
Selan endotrakheal di sediakan tidak hanya sebagai jalan napas, tetapi juga
berarti melindungi jalan napas, memberikan dukungan ventilasi kontinu dan
memberikan kosentrasi oksigen terus-menerus. Pemeliharaan jalan napas meliputi :
mengetahui waktu penghisapan, tehnik penghisapan, dan pemonitoran konstan
terhadap jalan napas bagian atas.
g. Pencegahan Infeksi
Perhatian penting terhadap sekresi pada saluran pernapasan bagian atas dan
bawah serta pencegahan infeksi melalui tehnik penghisapan yang telah di lakukan
di rumah sakit.
h. Dukungan nutrisi
Malnutrisi relative merupakan masalah umum pada pasien dengan masaalah
kritis. Nutrisi parenteral total atau pemberian makanan melalui selang dapat
memperbaiki malnutrisi dan memmungkinkan pasien untuk menghindari gagal
napas sehubungan dengan nutrisi buruk pada otot inspirasi.

2.5 KANKER PARU


A. Pengertian
Kanker paru-paru berasal dari jaringan tipis paru-paru, pada umumnya
berupa lapisan sel yang terletak pada saluran udara. Dua tipe utama kanker ini
adalah kanker paru-paru sel kecil (SCLC) dan kanker paru-paru non-sel kecil
(NSCLC). Tipe-tipe ini didiagnosa berdasarkan bentuk sel yang terlihat di bawah
mikroskop. Lebih dari 80% kanker paru-paru merupakan tipe kanker paru-paru
non-sel kecil. Tiga sub-tipe utama dari kanker paru-paru non-sel kecil adalah
adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma sel besar.
Keganasan di rongga torak mencakup kanker paru, tumor mediastinum,
metastasis tumor di paru dan mesotelioma ganas (kegasanan di pleura). Kasus
keganasan rongga toraks terbanyak adalah kanker paru. Di dunia, kanker paru
merupakan penyebab kematian yang paling utama di antara kematian akibat
penyakit keganasan. Laki-laki adalah kelompok kasus terbanyak meskipun angka
kejadian pada perempuan cendrung meningkat, hal itu berkaitan dengan gaya
hidup (merokok).
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup
keganasan yang berasal dari paru sendiri (primer) dan metastasis tumor di paru.
Metastasis tumor di paru adalah tumor yang tumbuh sebagai akibat penyebaran
(metastasis) dari tumor primer organ lain. Definisi khusus untuk kanker paru
primer yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus. Meskipun jarang dapat
ditemukan kanker paru primer yang bukan berasal dari epitel bronkus misalnya
bronchial gland tumor. Tumor paru jinak yang sering adalah hamartoma.
Kanker paru-paru merupakan kanker paling umum kedua yang diidap pria
dan kanker paling umum ketiga yang diidap wanita di Singapura. Pria memiliki
resiko kanker paru-paru 3 kali lebih tinggi dari wanita. Dari 3 kelompok etnis
utama, etnis Cina memiliki resiko tertinggi, yang diikuti oleh etnis Melayu dan
India.
Kanker paru-paru terbagi atas 2 tipe utama:
Kanker Paru-paru Non-Sel Kecil (NSCLC). NSCLC merupakan tipe paling
umum dari kanker paru-paru, dan tidak seagresif dibandingkan dengan SCLC.
NSCLC cenderung tumbuh dan menyebar lebih lambat. Bila didiagnosa secara
dini, pembedahan dan/atau radioterapi, kemoterapi, dapat memberikan harapan
akan kesembuhan.
Kanker Paru-paru sel kecil (SCLC). SCLC merupakan kanker yang
memiliki tingkat pertumbuhan pesat dan menyebar cepat ke pembuluh darah
menuju anggota tubuh lainnya. Seringkali, kanker ini dikategorikan sebagai
penyakit kompleks saat terdiagnosa. Kanker ini biasanya diobati melalui
kemoterapi dan bukan melalui prosedur pembedahan.

B. Etiologi
Seperti umumnya kanker yang lain, penyebab yang pasti dari kanker paru
belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama disamping adanya faktor lain
seperti kekebalan tubuh, genetik, dan lain-lain (Amin, 2006).
1. Merokok
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan paling
penting, yaitu 85% dari seluruh kasus ( Wilson, 2005). Rokok mengandung
lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi dapat
menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok dipengaruhi oleh
usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap setiap hari, lamanya
kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok (Stoppler,2010).

2. Perokok pasif
Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan antara perokok
pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh orang lain di dalam
ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pada orang-orang yang tidak merokok, tetapi mengisap
asap dari orang lain, risiko mendapat kanker paru meningkat dua kali (Wilson,
2005).
3. Polusi udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara, tetapi
pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek. Kematian akibat
kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga menyatakan bahwa
penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat dengan kelas tingkat
sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang pada mereka dengan kelas
yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat dijelaskan dari kenyataan bahwa
kelompok sosial ekonomi yang lebih rendah cenderung hidup lebih dekat
dengan tempat pekerjaan mereka, tempat udara kemungkinan besar lebih
tercemar oleh polusi. Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi
(juga ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005).
4. Paparan zat karsinogen
Beberapa zat karsinogen seperti asbestos, uranium, radon, arsen,
kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, dan vinil klorida dapat menyebabkan
kanker paru (Amin, 2006). Risiko kanker paru di antara pekerja yang
menangani asbes kira-kira sepuluh kali lebih besar daripada masyarakat
umum. Risiko kanker paru baik akibat kontak dengan asbes maupun uranium
meningkat kalau orang tersebut juga merokok.

5. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko terkena
kanker paru (Amin, 2006).
6. Genetik
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko
lebih besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan tumor
memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker paru. Tujuan
khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-gen K-ras dan
myc), dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor (termasuk gen rb, p53, dan
CDKN2) (Wilson, 2005).
7. Penyakit paru
Penyakit paru seperti tuberkulosis dan penyakit paru obstruktif kronik
juga dapat menjadi risiko kanker paru. Seseorang dengan penyakit paru
obstruktif kronik berisiko empat sampai enam kali lebih besar terkena kanker
paru ketika efek dari merokok dihilangkan (Stoppler, 2010).

C. Tanda dan Gejala


Keluhan utama:
1. Batuk-batuk dengan/tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen) lebih dari 3
minggu
2. Batuk darah
3. Sesak napas
4. Suara serak
5. Nyeri dada yang persisten
6. Sulit/sakit menelan
7. Benjolan di pangkal leher
8. Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri
yang hebat.Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak,
pembesaran hepar atau patah tulang. Ada pula gejala dan keluhan tidak khas seperti :
1. Berat badan berkurang
2. Nafsu makan hilang
3. Demam hilang timbul
4. Sindrom paraneoplastik, seperti hypertrophic pulmonary osteoartheopathy,
trombosis vena perifer dan neuropatia.

D. Faktor Risiko
1. Laki-laki,
2. Usia lebih dari 40 tahun
3. Perokok
4. Tinggal/bekerja di lingkungan yang mengandung zat karsinogen atau polusi
5. Paparan industri / lingkungan kerja tertentu
6. Perempuan perokok pasif
7. Riwayat pernah mendapat kanker organ lain atau anggota keluarga dekat yang
menderita kanker paru (masih dalam penelitian).
8. Tuberkulosis paru (scar cancer), angka kejadiannya sangat kecil.
9. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok atau terpapar pada faktor risiko
di atas dan mempunyai tanda dan gejala respirasi yaitu batuk, sesak napas,
nyeri dada disebut golongan risiko tinggi (GRT) maka sebaiknya segera
dirujuk ke dokter spesialis paru.

E. Pemeriksaan Medis
Prosedur diagnosis untuk kanker paru dilakukan hingga didapat diagnosis
pasti (jenis histologis) dan dapat ditentukan stage penyakit hingga dapat
dipikirkan modaliti terapi yang tepat. Selain itu harus dipertimbangkan keadan
umum pasien (performance status) dan kemampuan keuangan.
Prosedur diagnostik untuk mendapatkan sel kanker dapat dilakukan dari cara
paling sederhana hingga tindakan invasif tergantung kondisi pasien. Pilihan itu
antara lain biopsi jarum halus jika ada massa superfisial, pungsi dan biopsi pleura
jika ada efusi pleura, bronkoskopi disertai dengan bilasan, sikatan, kuretase,
biopsi massa intrabronkus, dll sebagai usaha untuk mendapatkan jenis histologis.
Prosedur diagnostik untuk menentukan stage penyakit antara lain, foto
toraks, CT-scan toraks sampai kelenjar suprarenal dan bronkoskopi. Pemeriksaan
CT-scan (MRI) kepala dan bone scan dilakukan jika ada keluhan (atas indikasi)
atau pasien yang akan dibedah.
Tumor marker tidak dilakukan untuk diagnosis kanker paru tetapi hanya
bermanfaat untuk evalausi hasil terapi.
Sitologi dahak: Cairan kental (dahak) yang dibatukkan dari paru-paru.
Laboratorium kemudian akan memeriksa sampel dahak untuk
mencari sel kanker.
Thoracentesis: Dokter menggunakan jarum panjang untuk mengambil cairan
(cairan pleura) dari dada. Laboratorium kemudian melakukan tes
pada cairan tersebut untuk mencari sel kanker.
Bronkoskopi: Dokter memasukkan selang ringan yang tipis (bronkoskop)
melalui hidung atau mulut menuju paru-paru. Dokter akan
mengambil sampel sel dengan jarum, kuas, atau alat lain. Dokter
juga mungkin akan membasuh area tersebut dengan air untuk
mengambil sampel sel dalam air.
Aspirasi jarum halus: Dokter menggunakan jarum halus untuk mengambil
sampel jaringan atau cairan dari paru-paru atau kelenjar getah
bening.
Biopsi terbuka: Dalam beberapa kasus di mana jaringan tumor sulit untuk
diperoleh, biopsi langsung terhadap tumor paru atau kelenjar
getah bening melalui pembedahan dinding dada bisa dilakukan
bilamana diperlukan

Pencitraan : - CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru


dan pleura.
- MR
Pada kondisi tertentu diagnosis tidak dapat ditegakkan meskipun telah
dilakukan berbagai prosedur diagnosis, maka torakotomi eksplorasi dapat
dilakukan.
1. Jenis Histologis Kanker Paru
Jenis Sel Kanker Paru secara umum dibagi atas dua kelompok yaitu :
a. Kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) atau small cell lung
cancer (SCLC)
b. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) atau non-small
cell lung cancer (NSCLC), mencakup adenokarsinoma, karsinoma sel
skuamosa, karsinoma sel besar (large cell ca) dan karsinoma
adenoskuamosa. Meskipun kadang ditemukan jenis lain dengan
frekuensi yang sangat jarang misal karsinoid dll.
2. Staging Kanker Paru
Staging (penderajatan) untuk kanker paru berdasarkan tumor (T) dan
penyebarannya ke getah bening (N) dan organ lain (M).

a. Stage kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) terdiri dari
1) Stage terbatas (limited) jika hanya melibatkan satu sisi paru
(hemitoraks)
2) Stage luas (extensived) jika sudah meluas dari satu hemitoraks atau
menyebar ke organ lain.
b. Stage kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) dibagi
atas :
Stage 0, IA, IB, IIA, IIB, IIIA, IIIB dan IV yang ditentukan menurut
International Staging System for Lung Cancer 1997, berdasarkan sistem
TNM.
STAGE
K
a Stadium TNM
t
Occult carcinoma Tx N0 M0
0e Tis N0 M0
IAg T1 N0 M0
IBo T2 N0 M0
r
IIA T1 N1 M0
i
IIB T2 N1 M0, T3 N0 M0
IIIA T1 N2 M0, T2 N2 M0, T3 N1 M0, T3 N2 M0
T
IIIB Sebarang T N3 M0, T4 sebarang N M0
IVN Sebarang T sebarang N M1
M
untuk Kanker Paru :
T : Tumor Primer
To : Tidak ada bukti ada tumor primer
Tx : Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan
sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara
radiologis atau bronkoskopis.
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm,
dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura viseral dan secara
bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus (belum
sampai ke bronkus utama). Tumor sembarang ukuran dengan
komponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang meluas ke
proksimal bronkus utama.
T2 : Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut :
- Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
- Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari
karina, dapat mengenai pleura viseral
- Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang
meluas ke daerah hilus, tetapi belum
mengenai seluruh paru.
T3 : Tumor sembarang ukuran, dengan perluasan langsung pada
dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma,
pleura mediastinum atau tumor dalam bronkus utama yang
jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor
yang berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis
obstruktif seluruh paru.
T4 : Tumor sembarang ukuran yang mengenai mediastinum atau
jantung, pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, karina,
tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau tumor satelit
nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.
N : Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx : Kelenjar getah bening regional tak dapat dinilai
No : Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
N1 : Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau
hilus ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 : Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum
ipsilateral dan/atau KGB subkarina
N3 : Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau
KGB skalenus/supraklavikula ipsilateral/kontralateral
M : Metastasis (anak sebar) jauh
Mx : Metastasis tak dapat dinilai
Mo : Tak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh. Nodul ipsilateral di luar lobus
tumor primer dianggap sebagai M1

F. Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :
1. Kuratif
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup
klien.
2. Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
3. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun
keluarga.
4. Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian
nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001 dan Doenges, rencana Asuhan Keperawatan,
2000)
5. Pembedahan.
Hanya diindikasikan untuk KPKBSK stage I atau II atau untuk
pengobatan paliatif yaitu pada kondisi mengancam nyawa misal batuk darah
masif, distres pernapasan karena sindrom vena kava superior, nyeri hebat pada
Pancoast tumor, nyeri hebat pada sindrom pleksus brakialis. Jika pada saat
bedah didapat pembesaran KGB maka semua harus diangkat dan pada kasus
pasca bedah dengan metastasis KGB mediastinal (N2) dipertimbangkan
pemberian radioterapi dan/atau kemoterapi.
Bedah paliatif lain dilakukan oleh dokter bedah syaraf yaitu membuang
tumor metastasis yang berupa soliter nodule di otak dan menimbulkan
gangguan kualitas hidup penderita. Pilihan lain untuk tumor meta dikepala
adalah menggunakan cyber knife yang sudah dapat dilakukan beberapa senter
di Indonesia.
Bedah adalah terapi lokal dan dapat terjadi stage pre-bedah (cTNM)
berbeda dengan diagnosis pasca-bedah. Jika terjadi perbedaan maka stage
yang digunakan adalah stage pasca-bedah (pTNM) dan pilihan terapi
tergantung pada hasil akhir.
Di RS Persahabatan untuk KPKBSK stage IIIA jika memungkinkan
diberikan neoadjuvan therapy yaitu memberikan kemoterapi 2-3 siklus
dilakukan pemeriksaan ulang untuk re-staging jika terjadi down staging atau
tetap maka bedah dilakukan.
6. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks
khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsy.
7. Pneumonektomi (pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua lesi bisa
diangkat.
8. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau
bula emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
9. Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
10. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit peradangan
yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru – paru
berbentuk baji (potongan es).
11. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris)
12. Radiasi
Radioterapi atau iradiasi diberikan pada kasus stage III dan IV KPKBSK,
dapat diberikan tunggal untuk mengatasi masalah di paru (terapi lokal) atau
gabungan dengan kemoterapi. Radioterapi dapat diberikan jika sistem
homeostatik (darah) baik yaitu:
1. HB > 10 gr%
2. Leukosit > 4.000/dl
3. Trombosit > 100.000/dl
Dosis untuk kanker primer adalah 5.000 – 6.000 cGy dengan
menggunakan COBALT atau LINAC dengan cara pemberian 200 cGy/x/hari,
5 hari dalam seminggu. Pemberian radiosensitiser dapat lebih meningkatkan
respons irradiasi itu, misalnya dengan memberikan obat anti-kanker
karboplatin, golongan taxan, gemsitabine, capecitabine dengan dosis sangat
kecil sehingga tidak mempunyai efek sistemik. Radioterapi dapat diberikan
sendiri (radiotherapy only) atau kombinasi dengan kemoterapi (konkuren,
sekuensial atau alternating) meskipun sebagai konsekuensinya toksisiti
menjadi lebih banyak dan sangat mengganggu.
Evaluasi toksisiti harus dilakukan setiap setelah pemberian 5x, jika
ditemukan gangguan sistem hemostatik salah satu atau lebih :
1. HB <10 gr%
2. Leukosit < 3.000/dl
3. Trombosit < 100.000/dl
Maka pemberian irradiasi harus dihentikan dulu dan dilakukan koreksi
toksisiti itu dan dapat segera dimulai jika sudah memenuhi syarat. Toksisiti
non-hematologik juga sering timbul dan yang sangat menganggu pasien adalah
esopagitis, batuk akibat pneumonitis radiasi atau fibrosis. Jika melebihi grade
3 WHO naka irradiasi harus dipertimbangkan untuk dihentikan.
Evaluasi renspons irradiasi dilakukan setiap setelah pemberian 10x (1.000
cGy) dengan foto toraks:
1. Respons komplit : tumor menghilang 100%, iradiasi dapat dilanjutkan
sampai selesai
2. Respons sebagian/parsial : tumor mengecil < 90% tapi > 50%, irradiasi
dapat dilanjutkan dan nilai kembali setelah 10x pemberian berikutnya.
3. Tumor menetap/stabil : tumor mengecil < 50% atau membesar <25%,
irradiasi dapat diteruskan dengan evalauasi lebih ketat. Jika respons
subyektif memburuk atau bertambah irradiasi harus di hentikan.
4. Progresif : tumor bertambah besar > 25% atau tumbuh tumor baru maka
irradiasi harus dihentikan.
Pemberian irradiasi untuk KPKSK harus diberikan setelah pasien mendapat
kemoterapi 6 siklus.
13. Kemoterafi.
Kemoterapi dapat diberikan pada semua jenis histologis kanker paru.
1. Kemoterapi untuk KPKSK
2. Kemoterapi adalah terapi pilihan untuk KPKSK stage terbatas atau stage
luas. Tambahan radiasi kepala dilakukan setelah kemoterapi 6 siklus.
3. Kemoterapi untuk KPKBSK berdasarkan stage. Kemoterapi dapat
diberikan pada semua stage tetapi pada stage I dan II pascabedah
kemoterapi ditentukan berdasarkan stage pascabedah. Kemoterapi untuk
KPKBS stage III dan IV merupakan terapi paliatif. Stage I dan II yang
inoperable cases ( PS buruk atau tidak bersedia di operasi atau ada
kontraindikasi untuk operasi) dapat dianjurkan kemoterapi dan sebaiknya
dipertimbangkan pula radioterapi.
Kemoterapi dapat diberikan jika memenuhi syarat antara lain: keadaan
umum baik skala karnofsky >70), fungsi hati, ginjal dan sistem homeostatik
(darah) baik dan masalah finasial dapat diatasi. Syarat untuk hemostatik yang
memenuhi syarat adalah ;
a. HB > 10 gr%
b. Leukosit > 4.000/dl
c. Trombosit > 100.000/dl
Tampilan umum berdasarkan Skala karnofsky dan WHO

Pengertian
Skala
90 –
0 dapat beraktifiti normal, tanpa keluhan yang menetap
100
70 - dapat beraktifiti normal tetapi ada keluhan berhubungan dengan
1
80 sakitnya
50 – membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan aktifiti
2
70 yang spesifik
30 –
3 sangat bergantung pada bantuan orang lain untuk aktifiti rutin
50
10 -
4 Tidak dapat bangkit dari tempat tidur
30

G. Oterapi
Evaluasi toksisiti non-hematologik segera setelah pemberian kemoterapi dimulai,
toksisiti itu dinilai tingat keparahannya berdasarkan skala toksisiti WHO sedangkan
toksisiti hematologik sebaiknya dilakukan setiap 1 minggu. Berat ringannya toksisiti
akan mempengaruhi jadwal pemberian kemoterapi berikutnya. Toksisiti non-
hematologik yang paling sering timbul
a. Mual dan muntah
b. Diare
c. Neuropati
d. Alopesia
Toksisiti hematologi grade III/IV harus segera dikoreksi untuk menghindarkan
terjadinya neutropenia fever yaitu demam pada pasien dengan neutrofil < 1.000/dl.
Jadwal kemoterapi akan tertunda jika ditemukan gangguan sistem hematopoitik
a. HB < 10 gr%
b. Leukosit < 3.000/dl
c. Trombosit < 100.000/dl
Jika setelah dilakukan koreksi nilai batas dapat dicapai maka kemoterapi dapat segera
diberikan. Jadwal kemoterapi sebaiknya jangan tertunda > 2 minggu.

H. Rejimen kemoterapi
Kemoterapi untuk kanker paru minimal berupa rejimen yang terdiri dari
lebih dari 1 obat anti-kanker dan diberikan dengan siklus 21 atau 28 hari setiap
siklusnya.
Kemoterapi untuk KPKSK diberikan sampai 6 siklus dengan ”cisplatin
based” rejimen yang diberikan :
1. Sisplatin + etoposid
2. Sisplatin + irinotekan (CPT-11)
3. Pada keadaan tertentu sisplatin dapat digantikan dengan karboplatin dan
irinotekan digantikan dengan dosetaksel.
Kemoterapi untuk KPKBSK dapat 6 siklus (pada kasus tertentu diberikan
sampai lebih dari 6 siklus) dengan ”platinum based” rejimen yang diberikan
sebagai terapi lini pertama (first line) adalah :
a. Karboplatin/sisplatin + etoposid
b. Karboplatin/sisplatin + gemsitabin
c. Karboplatin/sisplatin + paklitaksel
d. Karboplatin/sisplatin + dosetaksel

I. Respons kemoterapi
Respons kemoterapi dapat dinilai dari 2 sisi, dari pasien disebut dengan
respons subyektif dan dari penyakitnya atau tumornya disebut dengan respons
obyektif.

Respons subyektif yaitu menilai respons pada subyektif


Penilaian respons subyektif dilakukan setiap akan memberikan siklus
kemoterapi berikutnya. Respons yang dinilai adalah apakah terjadi
pertambahan berat badan dan/atau penurunan keluhan akibat tumornya.
Respons obyektif yaitu menilai respons pada tumor primernya
a. Respons obyektif kemoterapi dilakukan minimal setelah pemberian 2
siklus ( H -1 siklus ke 3) dengan foto toraks. CT-scan dilakukan untuk
menilai respons objektif setelah 3 siklus ( H -1 siklus ke 4).
b. Respons obyektif menggunakan kriteria
c. Respons komplit (CR = complete response) jika tumor hilang 100% dan
menetap dalam 3 minggu
d. Respons sebagian (PR = partial response) jika tumor mengecil < 90%
tetapi > 50% dan menetap dalam 3 minggu
e. Menetap (SD = stable diseases) jika tumor mengecil < 50% atau membesar
< 25% dan menetap dalam 3 minggu
f. Progresif (PD = progressive diseases) jika tumor membesar > 25% atau
tumbul tumor atau metastasis baru.

J. Sikap Untuk Evaluasi Kemoterapi


Penilaian dari evalausi respons kemoterapi harus mewakili respons
subyektif dan obyektif.
Pada KPKSK jika pada evaluasi pertama (setelah pemberian 3 siklus
menjelang pemberian siklus ke-4) terdapat CR/PR kemoterapi dilanjutkan
sampai 6 siklus, jika terdapat SD/PD evaluasi ulang hasil pemeriksan patologi
anatomi, apakah benar KPKSK ??
Pada KPKBSK jika pada evaluasi pertama (setelah pemberian 3 siklus
menjelang pemberian siklus ke-4) terdapat CR/PR atau SD tetapi respons
subyektif baik maka kemoterapi dapat dilanjutkan sampai 6 siklus. Jika
respons kemoterapi PR meskipun respons subyektif baik maka kemoterapi
tetap dapat diberikan dengan memberikan rejimen yang berbeda atau lini
kedua (second line).

K. Targeted Therapy
Targeted therapy adalah obat kanker yang menggunakan reseptor untuk
membunuh sel kanker, yang telah digunakan luas saat ini adalah obat yang
bekerja sebagai TKI (tirosin kinase inhibitor). Seperti erlotinib dan gefitinib,
obat golongan ini lebih sederhana cara pemberiannya dan ringan efek
sampingnya, tetapi pemanfaatannya sebagai terapi lini pertama (first line)
masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Penggunaan obat obat lain misal imunoterapi, herbal medicine, chinese
traditional medicine, dll masih dalam penelitian dan belum menjadi standar
pengobatan kanker paru.

Anda mungkin juga menyukai