Anda di halaman 1dari 9

PENGARUH SYNDROM LOBUS FRONTALIS TERHADAP UJARAN PENDERITA

COMMOTION SELEBRI

1. Pendahaluan
Gangguan-gangguan dalam berbahasa dapat dapat terjadi pada siapa saja. Tidak kenal usia
dan jenis kelamin. Namun, seringkali seseorang tidak menyadari sepenuhnya jika dirinya
mengalami gangguan dalam berbahasa. Gangguan berbahasa dapat diketahui dari gaya berbicara
atau berkomunikasi dengan orang lain. Dan gejala-gejala gangguan berbahasa dikenali dari
kejanggalan dalam pelafalan ujaran, dan analisis pemahaman berbahasa.
Salah satu faktor penyebab seseorang mengalami gangguan berbahasa adalah cedera otak.
Cedera otak merupakan penyakit yang dapat menimbulkan luka di kepala. Luka-luka pada
kepala bisa diakibatkan oleh berbagai macam faktor seperti kecelakaan kendaraan, kontak keras
dengan benda keras. Luka-luka ini memiliki dua jenis, yakni luka dalam dan luka luar. Pada
kasus luka luar, tengkorak tidak lagi utuh karena ada rembesan darah yang keluar dari
kepala.dalam, sedangkan luka dalam, tengkorak masih utuh namun terjadi kerusakan pada otak.
Pada penderita luka kepala dalam dapat mengakibatkan cacat permanen seperti, gangguan
berbicara atau penglihatan dan beberapa gangguan kognisi lainnya.(Steinberg,2009:53)
Luka kepala dalam,sama halnya dengan coomotion selebri atau gegar otak. Karena
commotion selebri merupakan penyakit yangdapat mengakibatkan terjadinya luka kepala berupa
pendarahan di dalam otak. Apabila pendarahan itu meluas akan menyebabka kematian.
Sebaliknya, jika luka tersebut larut dalam kepala akan mengakibatkan kecacatan pada otak.
Kecacatan itu pula yang dapat menyebabkan gangguan berfikir dan perubahan tabiat watak yang
berpengaruh terhadap ujaran berkomunikasi. Kecacatan permanen di otak itu dipicu oleh
gangguan atau cedera pada daerah tertentu pada hemisfer kiri. Karena hemisfer kiri lebih
dominan berperan dalam fungsi kebahasaan atau verbal.(Arifudin,2010: 277)
Pada bagian ini, penulis akan menguraikan bagaimana commotion selebri berdampak pada
perubahan tabiat watak terutama pada ujaran penderitanya. Seringkali penderita tidak menyadari
jika ujaran kotor, dan kasar itu bukan berasal dari lingkungan saja melainkan berasa dari
Syndrom Lobus Frontal. Untuk penjelasan lebih lanut, akan dibahas dalam bab analisis dan
sintesis.
Analisis dan Sintesis
A. Analisis data
Pada bagian ini, penulis akan menguraikan hasil observasinya berupa data dan analisis
penderita. Sebagaimana tertera pada table berikut ini
Gejala sebelum terjadinya kecelakaan
Gelaja bahasa Sumber permasalahan Analisis dalam Kajian ilmu
psikolinguistik
1. Orangnya ramah dan 1. Penderita 1. Diindikasi penderita
supel mengalami gegar mengalami Syndrom
2. Rendah hati otak ringan pasca Lobus Frontalis.
3. Sederhana kecelakaan.
4. Bicaranya sopan 2. Benturan keras
5. Giat bekerja yang dialami
6. Bertanggungjawab penderita terletak
7. setia pada hemisfer kiri
bagian depan,
sekitar frontal lobe.

Pasca kecelakaan
Perubahan yang terjadi Bukti
1. Bicaranya kasar 1. ketika si Penderita SLF pulang ke
2. Mudah marah, emosinya meluap-luap rumah, emosinya mudah sekali meluap-
3. Mudah tersinggung luap. Maka ketika ia melihat istrinya, ia
4. Suka bicara yang bukan-bukan selalu mengolok-olokkan istrinya
5. Tidak suka bekerja dengan beragam caci maki contohnya,
6. Kasar dalam perilakuannya, serta selalu mengatakan bodoh, matamu
7. Tidak dapat dipercaya picek opodll
8. Sombong 2. si Penderita SLF juga seringkali
9. Sering tidak sadar jika ia marah berdiam diri di rumah memilih menjadi
seorang pengangguran daripada
menjadi seorang petani.
3. Ketika dia diberi amanat seringkali
melalaikan amanat itu,
4. dan juga sering berbohong dan
mengatakan hal-hal yang tidak-tidak.
Seperti, kadang suka pamer harta.
Padahal dia tidak punya apa-apa.

Berdasarkan data-data penderita yang telah diuraikan dalam table di atas, penulis akan
menjabarkannya dalam beberapa analisis dan sintesisnya di bawah ini,
1. Analisis melalui kajian ilmu neurologi dalam kajian berbahasa
Dalam kajian ilmu neurologis otak dibagi menjadi beberapa bagian-bagian Lobus.
Diantaranya;
a) Lobus Frontal bertugas mengurusi ihwal yang berkaitan dengan kognisis; lobe
temporal mengurusi hal-hal yang berkaian dengan pendengaran, lobe osipital
menangani ihwal penglihatan; dan lobe parietal mengurusi rasa somaestik, yakni rasa
yang ada pada tangan, kaki, muka dsb.
Pada lobe frontal terdapat suatu daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah
broca. Nama ini berasal dari seorang ahli bedah saraf Prancis yang bernama Piere
Paul Broca, ia menyelidiki berbagai kasus yang berkenaan dengan masalah gangguan
ujaran, hingga akhirnya ia dapat menyimpulkan bahwa” seseorang berbicara dengan
memakai hemisfer kiri. Daerah yang berkaintan dengan wicara ini dikenal dengan
daerah broca.Sementara itu, bagian lobe temporal dan agak menjorok ke daerah
parietal ada bagian yang berkaitan dengan komprehensi. Daerah ini kemudian dikenal
dengan nama daerah wernicke.
Pada semua lobe terdapat apa yang dinamakan girus (gyrus)dan sulkus (sulcus).
Girus adalah semacam gunduk atau bukit dengan lereng-lerengnya sedangkan sulkus
adalah seperti lembah, bagian yang masuk ke dalam. Salah satu girus tersebut adalah
girus angular (anguar gyrus). Girus ini mempunyai fungsi untuk menghubungkan apa
yang kita lihat dengan apa yang kita fahami di daerah Wernicke.
Untuk menghubungkan apa yang kita dengar atau lihat dengan apa yang kita
ujarkan ada kelompok fiber yang dinamakan fasikulus arkurat(arcuate fasciculus).
Tugas-tugas fiber-fiber ini adalah untuk mengkoordinir pendengaran, penglihatan,
dan pemahaman yang diproses di daerah Wernicke dengan proses pengujaran yang
dilakukan di daerah Broca.
Di dekat daerah Broca, agak ke belakang, ada jalur yang dinamakan konteks
motor (motor conteks). Konteks ini bertugas untuk mengendalikan alat-alat ujaran
seperti lidah, rahang, bibir, dan pita suara.Pada lobe temporal terdapat korteks
pendengaran primer (primary auditory contex) yang berfungsi untuk menanggapi
bunyi yang didengar. Pada lobe osipital juga terdapat konteks yang serupa, konteks
visual, tetapi tugasnya adalah untuk menanggapi apa yang
dilihat.(Soenjono,2012:206-208)
Berdasarkan landasan teori neurologi dengan bahasa yang sudah dijelaskan di
atas. Kini, penulis akan menuraikandan menjabarkan analisis permasalahan dan
sintesis berdasarkan pada data di atas.
a) Penderita Syndrom Lobus Frontalis akan merasakan perubahan watak-tabiat setelah
mengalami kecelakaan. Dampak dari benturan keras yang dialami penderita dapat
berpengaruh pada Lobus Frontalis dalam memproduksi ujarannya di daerah broca.
Maka tak heran jika penderita akan mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia ujarkan
sebelumnya, seperti kata-kata kasar, kotor dll.
b) Sindrom perubahan watak-tabiat atau yang dinamakan “frontal lobe syndrome” yang
dulunya gambaran penyakitnya diperkenalkan sebagai “The American crowbar case
syndrome” telah diteliti oleh sebagian besar mahasiswa kedokteran di Amerika.
Mereka meneliti seorang petani yang bernama Phineas P. Page mendapatkan
kecelakaan sewaktu dia bekerja. Sebatang linggis masuk ke dalam otaknya melalui
orbita dan merusak bagian prefrontal, sehingga terdapat pemotongan yang hampir
mutlak dari lobus frontalis. Setelah ia sembuh 12 tahun lamanya, ia mengalami
perubahan watak-tabiat. Dahulu ia tekun bekerja, setia, bertanggungjawab terhadap
istri dan anaknya pasca kecelakaan perubahan tabiat watak sangatlah menonjol sekali.
Kini ia tidak lagi tekun belajar, suka membentak-bentak istrinya, sombong dan
pembicaraannya sangatlah “porno”, suka bicara yang bukan-bukan, mau menang
sendiri dan kasar dalam perilakunya.
Hasil dari penelitian mahasiswa di Amerika, kini sindrom lobus frontalis ini sudah
diketahui lengkap berkat pengalaman yang diperoleh dari pembedahan tumor-tumor
serta kontusio pada lobus frontalis. Secara sistematik telah dikenal korelasi antara lesi
dengan gangguan watak-tabiat, gangguan kognitif, dan psikomotorik.
c) Gangguan psikomotorik adalah gerakan voluntar yang merupakan menifestasi
eksternal dari apa yang terkandung dalam fikiran. Gerakan isyarat sewaktuberpidato,
bahkan gerak jalan pun merupakan manifestasi kaitan erat antara psike dan motorik.
Seorang pria dengan watak wanita misalnya, gerak-geriknya kehalusan lazim bagi
wanita. Seorang yang dalam keadaan depresi, misalnya gerakannya serba
“loyo” bahkan, psikomotorik pada penderita dengan kerusakan di lobus frontalis
memperlihatkan kedunguan atau kesembronoan. Dalam hal ini, tampaknya gangguan
inisiatiflah yang mendasar perubahan tabiat itu. Contohnya,penderitamalas untuk
pergi bekerja, malas untuk melakukan suatu pekerjaan.sehingga penderita lebih
memilih menjadi seorang pengangguran yang hanya berdiam diri di rumah.
d) Kognisio adalah yang pertama terganggu pada syndrome lobus frontalis. Penderita
tidak langsung mengerti apa yang ditanyakan dan seringkali dianggap tuli, karena
selalu bertanya “Apa? Apa?” sebagian dari gangguan ini disebabkan oleh
terganggunya daya ingat. Karena itu, kata-kata yang digunakan untuk menyusun
kalimat atau mengerti kalimat yang didengarnya tidak beres. Kemunduran dalam
daya ingat itu terutama mengenai ingatan akan sesuatu dalam jangka pendek (recent
memory). Contohnya, ketika korban marah-marah meluap-luap akhirnya ketika sang
anak menanyakan kenapa ayahnya marah, penderita hanya mengatakan “ apa? Kapan
aku marah. Aku tidak marah.”Jika penderita tidak mampu mengurutkan kembali
kejadian yang telah berlalu. Dan jika disuruh bercerita, penderita akan mengarang
cerita yang tidak sama dengan aslinya.Ia akan menceritakan banyak kesalahan dan
ceritanya banyak ditambah-tambahi sendiri. Tetapi sebenarnya perbuatan itu
merupakan mekanisme kompensasi bagi ingatannya yang berkurang. Itulah yang
dinamakan konfabulasi.
e) Gangguan perangai dijumpai juga pada sindrom lobus frontalis. Euforia (bersenang
hati, berseri-seri yang tak sesuai), berbicara kotor dan cabul ((koprolalia), cepat
marah-marah, mempunyai kecenderungan kepada perbuatan ganas, bisa mewarnai
kepribadian penderita sindrom Lobus Frontalis.(Sidharta,2008:216) Penderita juga
mempunyai kadar emosi yang tidak sesuai, terkadang, dikala moodnya bagus ia akan
diam. Tetapi bila moodnya jelek, seseorang yang ada disampingnya, entah tu salah
atau tidak pasti ia akan memarahinya. Dan juga penderita seringkali mengatakan hal
yang tak pantas, atau bahasa tabu “misuh”seperti “jancuk, anjing” itu di depan
anaknya sendiri, tanpa malu, padahal sebelum kecelakaan itu terjadi penderita tidak
pernah mengatakan ucapan-ucapan kasar.
f) Berdasarkan hasil dari analisis permasalahan, penulis akan sedikit menjabarkan
mengenai penanganan lingkungan keluarganya dalam menangani masalah pada
penderita sindrom frontal lobe. Sebagai berikut
 Diperlukan pengertian serta pemahaman dari anggota keluarga untuk selalu
merangkul penderita,
 Begitu pula penderita, penderita harus mempunyai insight, atau pemahaman
dari apa yang telah terjadi pada dirinya sendiri untuk selalu pandai-pandai
mengatur emosi agar selalu tercipta kedamaian dan ketenangan batin dalam
diri penderita
Kesimpulan

Gangguan orang berbahasa tidak selalu ditemukan dengan segala atribut keanehannya.
Akan tetapi, permasalahan kecil seperti marah-marah tanpa alasan ini perlu diselidiki apa
solusinya. Tidak selamanya orang yang marah-marah itu dapat diartikan normal atau wajar.
Kenormalan orang marah adalah tahu konteksnya.
Berbeda dengan tipe penderita Syndrome Frontal Lobe, sindrom ini dapat menyerang
siapa saja. Pasca kecelakaan merupakan pemicu terjadinya syndrome ini. Penderita Sindrom
Frontal Lobe seringkali mengatakan kata-kata yang ucapannya kotor, yang bukan berasal dari
factor lingkungan sekitar, melainkan berasal dari kerusakan di daerah lobe frontal tepatnya di
daerah broca yang disebut sebagai daerah produksi ujaran.
Melalui kajian ilmu psikolinguistik ini, penulis dapat menemukan sumber permasalahan
yang terjadi pada penderita. Diharapkan keluarga penderita dapat menerima perubahan sikap
korban pasca kecelakaan yang telah menyerang saraf lobe frontal pada penderita. Begitu pula
pada penderita, agar senantiasa dapat mengatur kadar emosinya.
Daftar Pustaka

Sidharta Priguna, Marjono Mahar. 2008. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Dian Rakyat
Dardjowidojo. 2012. Psikologi Linguistik.Jakarta: Pustaka Obor Indonesia
Steinberg. 2008. Psikologi Kognitif.Jakarta: Pustaka Pelajar
Arifuddin. 2010. Neuropsikolinguistik.Jakarta: Rajawali Press.
Data penelitian
Nama : Sugeng Raharjo
Umur :45 tahun
Status : suami, dari ketiga anak-anaknya
Masalah : perubahan tabiat watak pasca kecelakaan.
Observasi : melalui wawancara dengan anak dan istrinya.

Anda mungkin juga menyukai