Anda di halaman 1dari 7

Oleh: Rizvialdi

030.15.002
PAIN MANAGEMENT

1. Definisi
a. Nyeri  pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (The International
Association for the study of pain).
b. Nosiseptif  noci (bahaya/cedera). Digunakan untuk menggambarkan respon
saraf terhadap rangsang traumatis atau berbahaya. Semua nosisepsi
menghasilkan neri, tidak semua nyeri datang dari nosisepsi

2. Pembagian Nyeri
a. Nyeri Akut  disebabkan oleh stimulasi berbahaya karena cedera, proses
penyakit, atau fungsi otot atau organ yang tidak normal. Hampir selalu
nosiseptif. Nyeri nosiseptif berfungsi untuk mendeteksi, melokalisasi, dan
membatasi kerusakan jaringan
i. Nyeri Somatik Luar  Nyeri tajam di permukaan kulit, subkutis,
mukosa
ii. Nyeri Somatik Dalam  Nyeri tumpul di otot rangka, tulang, sendi,
jaringan ikat
iii. Nyeri Viseral  karena penyakit atau disfungsi organ dalam
1. True Visceral pain Sering dikaitkan dengan aktivitas
simpatis atau parasimpatis abnormal yang menyebabkan mual,
muntah, berkeringat, dan perubahan tekanan darah dan detak
jantung.
2. Parietal pain  Tajam dan sering digambarkan sebagai sensasi
menusuk yang dilokalisasi ke area di sekitar organ atau dirujuk
ke situs yang jauh
b. Nyeri Kronik
i. subjektif, dipengaruhi oleh kelakuan, kebiasaan, dll.
ii. Progresif, berlangsung 1-6 bulan
iii. Gangguan musculoskeletal, gangguan visceral kronis, lesi saraf perifer,
lesi radiks, lesi CNS, cancer pain
c. Bedasarkan Kualitas Nyeri
i. Nyeri Cepat (fast pain)  Dihantar serabut saraf kecil bermielin A-
delta dengan kecepatan 12-30 meter/detik, contoh: Nyeri tusuk, Nyeri
pembedahan
ii. Nyeri Lambat (slow pain)  Dihantar serabut saraf tak bermielin C
dengan kecepatan 0,5-2 meter/detik, contoh: terbakar, berdenyut/ngilu,
linu
d. Berdasarkan patofisiologi
i. Nyeri Nosiseptif  aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer
ii. Nyeri neuropati  kerusakan saraf perifer atau sentral
iii. Nyeri campuran
3. Mekanisme Nyeri
a. Transduksi  Rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi impuls saraf
b. Transmisi
i. Neuron aferen primer  saraf sensoris perifer ke medulla spinalis
ii. Neuron penerima kedua  medulla spinalis ke batang otak dan
talamus
iii. Neuron penerima ketiga  thalamus ke korteks cerebri
c. Modulasi  timbul di nosiseptor perifer, medulla spinalis, supraspinal 
dapat menghambat atau memberi fasilitasi
d. Persepsi  mekanisme belum jelas, sangat subjektif
e. Zat penghasil nyeri  zat mediator inflamasi  bradykinin, histamin,
katekolamin, sitokinin, serotonin, proton, lekotrien, prostalglandin, substansi
P, 5 -hidroksitriptamin

f. Respon sistemik terhadap nyeri


 meningkatkan hormone katabolic (katekolamin, kortisol, glucagon, renin,
aldosterone, angiotensin, antidiuretic hormone), menurunkan hormone
anabolic (insulin, testosterone)
 Manifestasi nyeri  hipertensi, takikardi, hiperventilasi, ileus, retensi urin
g. Skala nyeri  Verbal Rating Scale, Numeric Rating Scale, Visual Analog
Scale, tingkah laku pasien. Dikelompokkan menjadi tidak nyeri, nyeri ringan,
sedang, berat, sangat nyeri
4. Metode penghilang nyeri
a. Analgetik golongan opioid  nyeri hebat
b. NSAID  nyeri ringan-sedang
c. Dapat secara sistemis (peroral, rektal, transdermal, sublingual, subkutan,
intramuscular, intravena, infus). Paling digemari  opioid IM
d. Dapat secara regional  epidural opioid (morfin 1-6mg, petidin 20-60 mg,
fentanyl 25-100 ug. Intraspinal opioid (morfin 0,1-0,3 mg, petidin 10-30 mg,
fentanyl 5-25 ug)

5. Opioid
a. Opioid
 Zat baik sintetik atau natural yang berikatan dengan reseptor morfin
Analgetik narkotika yang Biasa digunakan dalam anesthesia untuk nyeri
pembedahan atau pasca pembedahan
b. Opium (getah candu), Opiat (obat yang terbuat dari opium), Narkotik (semua
obat yang dapat menyebabkan tidur/tidak spesifik)
c. Mekanisme kerja
i. Reseptor terkonsentrasi di Otak tengah (sist. Limbik, thalamus,
hipotalamus, korpus striatum, RAS) dan Corda Spinalis (substansia
gelatinosa), pleksus saraf usus
ii. Molekul opioid berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan
efek
iii. Reseptor morfin:
1. Reseptor mu (u)
a. u-1  analgesia supraspinal, sedasi
b. u-2  analgesia spinal, depresi napas, eforia,
ketergantungan fisik, kekakuan otot
2. Reseptor delta  analgesia spinal, epileptogen
3. Reseptor kappa (k)
a. k-1  analgesia spinal
b. k-2  unkown
c. k-3  supraspinal
4. Reseptor Sigma  disforia, halusinasi, stimulasi jantung
5. Reseptor Epsilon  respon hormonal
iv. Supraspinal  reseptor subsansia grisea (periakuaduktus dan
periventricular)
v. Spinal  substansia gelatinosa
vi. Morfin terutama bekerja di reseptor mu dan sisanya kappa
vii. Golongan opioid
1. Agonis  mengaktifkan reseptor (c/: morfin, papaveretum,
petidin, fentanyl, alfentanil, sufenanil, remifentanil, kodein,
alfaprodin)
2. Antagonis  tidak mengaktifkan reseptor dan mencegah
agonis merang sang reseptor (c/: nalokson, natrekson)
3. Agonis-antagonis  pentasosin, nalbufin, butarfanol,
buprenorfin
d. Klasifikasi Opioid
i. Natural  morfin, kodein, papaverine, tebain
ii. Semisintetik  heroin, dihidromorfin, derivate tebain
iii. Sintetik  petidin, fentanyl, alfentanil, sufentanil, remifentanil
6. Morfin
a. Morfin lebih mudah larut dalam air
b. Bekerja secara long acting
c. Terhadap sistem saraf pusat mempunyai 2 sifat
i. Depresi  analgesic, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi
ii. Stimulasi  Parasimpatis, miosis, mual-muntah, hipereaktif reflex
spinal, konvulsi, sekresi ADH
d. Hipoventilasi  depresi napas dan hiperkapnea  peningkatan aliran darah
otak  TIK meningkat
e. Sistem respirasi  melepaskan histamin  bronkokonstriksi
f. Sistem KV  merangsang vagus  bradikardi dan hipotensi ortostatik
g. Sal. Cerna  kejang otot usus  konstipasi. Kejang sfingter odii  kolik
(tidak dianjurkan pada penderita gangguan empedu). Kolik empedu dapat di
dd serangan jantung, cara membedakan diberikan antagonis opioid
h. Sistem Ekskresi ginjal kejang sfingter vesika  retensi urine
i. Toleransi morfin  peningkatan dosis pada penggunaan obat berulang untuk
mendapatkan efek klinis yang sama seperti sebelumnya, kembali normal 1-2
minggu
j. Adiksi morfin  ketergantungan fisik dan psikis yang ditandai withdrawal
syindrome  ketakutan, gelisah, lakrimasi, rinorea, berkeringat, mual muntah,
diare, menguap terus, merinding, midriasis, hipertensi, takikardi, kejang perut
dan otot
k. Efek samping morfin  mual muntah, pruritus. Hilang dengan nalokson
l. Farmakologi morfin
i. Dapat diberikan secara subkutan, intramuscular, intravena, epidural,
atau intratrakeal
ii. Absorpsi paruh waktu  30 menit (subkutan), 8 menit (IM)
iii. 1/3 morfin yang diabsorpsi berikatan dengan albumin plasma
iv. Sebagian besar dikonjugasikan di hepar oleh asam glukoronat
v. Metabolit dikeluarkan 90% urin 10% feses
m. Penggunaan morfin dalam anestesi
i. Obat analgesia utama  harus ditambahkan
benzodiazepine/fenotiasin/inhalasi volatile dosis rendah
ii. Mengurangi nyeri sedang  0,1-0,2 mg/kgBB (subkutan, IM) dapat
diulang tiap 4 jam
iii. Nyeri hebat  1-2mg IV k/p
iv. Nyeri pasca bedah/persalinan  2-4 mg epidural, 0,05-0,2 mg
intratrakeal. Dapat diulang tiap 6-12 jam
7. Petidin
a. Meperidine, damerol
b. Zat sintetik, formulanya beda dengan norfin, efek klinis kurang lebih sama
c. Perbedaan petidin dengan morfin:
i. Lebih larut dalam lemak
ii. Metabolism di hepar lebih cepat, menghasilkan normoperidin
iii. Sifat seperti atropine  kering dimulut, blurry vision, takikardia
iv. Menyebabkan konstipasi, efek ke sfingter odii lebih ringan
v. Menghilangkan getaran pasca bedah (bukan hipotermi) dengan dosis
20-25mg
vi. Lama kerja petidin lebih pendek
d. Dosis petidin
i. IM 1-2mg/KgBB dapat diulang 3-4 jam
ii. IV 0,2-0,5 mg/KgBB
iii. Subkutan tidak dianjurkan  iritasi
iv. Spinal 1-2mg/kgBB

8. Fentanil
a. Zat sintetik dengan kekuatan 100x morfin
b. Lebih larut dalam lemak  lebih mudah masuk sawar jaringan
c. Efek depresi napas lebih lama dibandingkan efek analgesiknya  hanya
digunakan untuk anesthesia pasca pembedahan
d. Dosis 1-3 ug/KgBB efek analgesiknya 30 menit
e. Dosis besar 50-150ug/kgBB dengan kombinasi benzodiazepine dan  induksi
bedah jantung
f. Efek samping  kekakuan otot punggung  harus disertai pelumpuh otot

9. Sulfentanil  kekuatan analgesic 5-10x fentanyl, dosis 0,1-0,3 mg/KgBB

10. Alfentanil
a. Kekuatan 1/5 – 1/3 fentanil
b. E.S mual muntah sangat besar
c. Mula kerja cepat
d. Dosis 10-20 ug/KgBB

11. Tramadol
a. Analgetik sentral, afinitas rendah, berkerja pada reseptor mu
b. Kelemahan 10-20% dari morfin
c. Dapat diberikan oral, IM, IV
d. Dosis 50-100 mg/KgBB dapat diulang tiap 4-6jam dosis max. 400 mg
12. Antagonis
a. Nalokson
i. Antagonis murni opioid, bekerja di semua reseptor
ii. Efek pemberian setelah pemberian morfin  laju nafas meningkat,
kantuk menghilang, pupil dilatasi, tekanan darah meningkat
iii. Digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan
iv. Dosis dicicil 1-2 ug/KgBB IV dapat diulang 3-5 menit sampai ventilasi
baik
v. Dosis IM 2x dosis IV
vi. Keracunan opioid  3-10 ug/KgBB per infus
vii. Depresi napas neonates karena ibu diberikan opioid  10 ug/KgBB
dapat diulang setelah 2 menit, 1 ampul 0,4mg nalokson diencerkan 10
ml, sehingga 0,05/ml
b. Naltrekson
i. Antagonis opioid kerja Panjang untuk penderita ketergantungan opioid
ii. PO bertahan 24 jam dosis 5-10mg
iii. Dapat menghilangkan pruritus, mual muntah, tanpa menghilangkan
efek analgesic opioid

Anda mungkin juga menyukai