Anda di halaman 1dari 13

Makalah

Perubahan Biokimia Pada Pasca Tangkap/Potong

(Ikan Dan Daging)

Oleh : Kelompok III

Risman Karim 651415029


Uci T. Habi 651415045

Sri Endang Amala 651415065

Nur Alma’rif I. Ente 6514150 48

Sulastri Mustapa 651415050

Yanti Rajak 651415043

Maryam Pomalango 651415069

Delviana Taningo 651415046

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI


PANGAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat pengetahuan yang sehingganya penulis dapat menyelesaikan tugas
penulisan karya ilmiah berupa makalah tentang “Perubahan Biokimia Pada
Pasca Tangkap/Potong (Ikan Dan Daging)” ini. Semoga dengan
terselesaikannya makalah ini, bisa menjadi suatu yang bermanfaat baik bagi
penulis maupun bagi setiap pembacanya.

Gorontalo, Februari 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................................................1


1.2 Tujuan........................................................................................................................2
1.3 Manfaat......................................................................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN.......................................................................................................3

2.1 Post Mortem.............................................................................................................3


a. Perubahan Pre Rigor..............................................................................3
b. Perubahan Rigor Mortis........................................................................4
c. Perubahan Post Rigor............................................................................4

2.2 Nilai pH.....................................................................................................................5

BAB III. PENUTUP................................................................................................................8

3.1 Kesimpulan..............................................................................................................8

3.2 Saran...........................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sekaligus media
yang baik untuk perkembangan mikroorganisme. Penanganan pasca panen daging
segar mutlak diperlukan untuk meminimalkan penurunan mutu dan kerusakannya.
Hal tersebut meliputi penanganan daging postmortem pelayuan, penyimpanan,
pendistribusian hingga pemasaran. Selain itu faktor sanitasi (hygiene) juga sangat
penting untuk dilakukan dalam setiap praktek penanganan pasca panen daging
segar(Susanto, 2014).

Menurut Lawrie (1979) daging adalah bagian dari hewan potong yang
digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang
menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi.
Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan
hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai
untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang
memakannya. Selain itu Brahmantiyo (1996) menyatakan bahwa daging adalah
otot garis melintang yang sebagian besar dihubungkan secara langsung atau tidak
langsung dengan rangka (Dalam Hermansyah, 2008).

Komponen utama penyusun daging adalah otot. Otot hewan berubah


menjadi daging setelah pemotongan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti.
Daging juga tersusun dari jaringan ikat, epitelial, jaringan-jaringan syaraf,
pembuluh darah, dan lemak. Jadi daging tidak sama dengan otot (Soeparno dalam
Hermansyah, 2008).

Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan
mengalami kerusakan. Kerusakan daging oleh mikro organisme mengakibatkan
penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroorganisme ditentukan oleh
penanganan sebelum penyembelihan ternak dan tingkat pengendalian hiegines dan
sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga dikonsumsi (Usmiati dalam
Susanto, 2014).

Teknik penanganan ikan yang paling umum dilakukan untuk menjaga


kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah. Selain itu, pada kondisi suhu
rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dan proses-proses biokimia yang
berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu menjadi
lebih lambat (Gelman et al.Dalam Munandar et al, 2009).

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food).


Indikator mutu atau kesegaran ikan dapat ditentukan dengan mengukur degradasi
ATP (adenosine trifosfat) dengan perhitungan nilai-K. Bersamaan dengan nilai-K,
penurunan kesegaran ikan juga dapat diukur dengan uji organoleptik dengan
menggunakan panelisterlatih. Kemunduran mutu ikan tuna juga dapat diketahui
dari kadar histamine yang terbentuk pada ikan tersebut. Ikan tuna termasuk
kelompok ikan Scombridae yang dapat menghasilkan scombrotoksin yang
merupakan penyebab keracunan makanan karena mengkonsumsi ikan yang telah
menghasilkan histamin lebih dari standar yang ditentukan. Penurunan kesegaran
ikan tuna dan terbentuknya histamin terutama disebabkan oleh aktifitas enzimatis
dan mikro biologis. Selain penurunan kesegaran, keracunan histamin, dan
meningkatnya kadar mikroba, ikan tuna pada berat tertentu mempunyai
kecenderungan mengandung logam berat yang berbahaya, antara lain merkuri dan
cadmium (Widiastuti dan Putro, 2010).

Air susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena
kelezatan dan komposisinya yang ideal selain air susu mengandung semua zat
yang dibutuhkan oleh tubuh, semua zat makanan yang terkandung didalam air
susu dapat diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh tubuh.

1.2 Tujuan

Agar supaya Mahasiswa dapat mengetahui perubahan-perubahan biokimia


pada pasca tangkap/potong (ikan dan daging).
1.3 Manfaat

Mahasiswa tahu akan beberapa perubahan biokimia pada pasca


tangkap/potong (ikan dan daging).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Post Mortem

Dengan berhentinya sirkulasi darah setelah ternak dipotong akan


menyebabkan terhentinya fungsi darah sebagai pembawa oksigen, sehingga
respirasi terhenti dan berlangsung proses glikolisis an aerob. Proses ini dibagi
menjadi 3 phase, yaitu : fase pre rigor, rigormortis dan post rigor (Forrest etal.,
1975). Daging pada fase pre rigor memiliki karakteristik daging yang lentur dan
lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan, yaitu menjadi kaku, hal ini
disebabkan bersatunya aktin dan miosin membentuk aktomiosin, kekakuan otot
setelah pemotongan disebut dengan rigormortis. Jaringan otot hewan pada saat
masih hidup mempunyai pH pada kisaran 7,2 sampai 7,4, dan akan menurun
setelah pemotongan (Bukcle etal. 1987; Foegeding et al. 1996), karena mengalami
glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH (Forrest et al.
1975; Lawrie,1996). Hasil penelitian Duna et al. (1993) bahwa rata-rata pH awal
otot dada broiler 7,09 kemudian menurun menjadi 5,94 yaitu pada enam jam
postmati, sedangkan pada otot dada kalkun pH menurun dari 6,22 pada 15 menit
postmati menjadi 5,8 pada 120 menit setelah mati dan kemudian menjadi 5,47
pada kurang lebih 24 jam setelah mati (Lesiak et al. Dalam Suradi, 2006).

a. Perubahan Pre Rigor

Perubahan pre rigor pada ikan nila terjadi secara bersamaan untuk semua
kombinasi perlakuan setelah ikan nila mati. Perubahan pre-rigor ini ditandai
dengan terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Sedangkan
perubahan rigor mortis pada ikan nila ditandai dengan kekakuan otot ikan yang
diawali dari pangkal ekor hingga mencapai fullrigor. Kekakuan otot ini
dikarenakan adanya kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk
aktomiosin (Eskin dalam Munandaret al. 2009).

b. Perubahan Rigor Mortis

Setelah exsanguination, glikolisis tanpa oksigen berlanjut dan menghasilkan


asam laktat sebagai hasil dari glikolisis anaerobik. Hal ini menyebabkan
penumpukan asam laktat dan karena itu terjadi penurunan pH. Dalam lingkungan
yang normal, otot-otot mulai mengalami proses rigor mortis disebabkan oleh
kekakuan yang terjadi dari cross-linking yang disebut aktomyosin, terbentuk
antara aktin dan myosin. Kekakuan dimulai pada nilai pH daging yangn ormal
5,7-5,8 (Hannula dan Puolanne, dalam Susanto, 2014).

Selama tahap pertama dari proses Rigor mortis fase penundaan, dalam
ototmasih kakukarena tersedia ATP dengan Mg2+, yang membantu untuk
memutuskan ikatanaktin/myosincross dan pada gilirannya memungkinkan otot-
otot untuk merenggang. Kreatinfosfat habisselama fase ini, yang menghambat
fosforilasi ADP menjadi ATP. Hal inimenyebabkanpenurunan tajam dalam
produksi ATP, yang merupakan sinyal awal fasetimbulnya kekerasan,karena masih
tersedia sedikit ATP sehingga dapat memecah ikatan aktin danmyosin, otot
tidakdapat rileks dan menjadi kaku (Aberle et al., dalam Susanto, 2014).

Hasil Penelitian Munandar et al. (2009), Perubahan rigor mortis terjadi


pertama kali pada perlakuan A2B1 (mati menggelepar, tanpa penyiangan) setelah
penyimpanan selama 4 hari 15 jam. Perubahan rigor mortis pada ikan nila dengan
perlakuan A1B1 (mati ditusuk, tanpa penyiangan), A1B2 (mati ditusuk,
penyiangan), dan A2B2 (mati menggelepar, penyiangan) masing-masing terjadi
pada hari ke-5, 6, 4 jam ke-21. Suhu ikan nila pada masa rigor adalah 4,2 °C
(A1B1); 2,9 °C (A1B2); 2,7 °C (A2B1); dan 2,4 °C (A2B2).

c. Perubahan Post Rigor

Perubahan post rigor awal terjadi pertama kali pada perlakuan A2B1 (mati
menggelepar, tanpa penyiangan) setelah penyimpanan selama 7 hari 18 jam.
Sedangkan perubahan post rigor awal pada ikan nila dengan perlakuan A1B1
(mati ditusuk, tanpa penyiangan), A1B2 (mati ditusuk, penyiangan), dan A2B2
(mati menggelepar, penyiangan) masing-masing terjadi pada hari ke-8 jam ke-6,
10, dan hari 8 jam ke-18. Perubahan postrigor ditandai dengan melemasnya
kembali otot ikan. Perubahan post rigor dipengaruhi oleh adanya aktivitas enzim
dan bakteri yang terpusat pada 3 tempat yaitu kulit, insang, dan isi perut (Ilyas
dalam Munandaret al. 2009).

2.2 Nilai pH

Nilai pH otot pada saat ternak masih hidup berkisar 7.2-7.4 dan pH akhir
daging setelah pemotongan dapat diukur sekurang-kurangnya setelah 24 jam.Pada
umumnya pH sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah 6.74
(Shorthose dan Whytes 1988). Nilai pH otot setelah hewan mati akan menurun
dari 7.4 (awal) menjadi 5.6–5.7 pada jam ke-6 sampai jam ke-8, kemudian nilai
pH tersebut akan menurun mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7 pada jam ke-24
postmortem (Aberle et al. 2001). Pada saat mulai rigor mortis pH daging menjadi
6.07 dan kemudian mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24
jam (Lawrie 1979; Soeparno 1994). Nilai pH akhir daging postmortem adalah
sekitar 5.5, yang disesuaikan dengan titik isoelektrik sebagian besar protein
daging. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5.4–5.5 (Lawrie
dalam Hermansyah, 2008).

Lawrie (1979) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi penurunan


pH daging postmortem dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan
intrinsik. Faktor ekstrinsik antara lain adalah suhu lingkungan, penanganan ternak
sebelum dipotong dan suhu penyimpanan, sedangkan faktor intrinsiknya adalah
kandungan glikogen daging dan stres pada ternak. Soeparno (1994) menambahkan
faktor intrinsiknya antara lain spesies, tipe otot, dan keragaman di antara ternak.
(Dalam Hermansyah, 2008).

Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologi


dari otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi asam
laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP (Henckel et
al. 2000).Glikogen otot merupakan bahan metabolik utama yang menyebabkan
akumulasi asam laktat dalam otot, sehingga menyebabkan penurunan nilai pH otot
(Immonen et al. Dalam Hermansyah. 2008).

Menurut Aberle et al. (2001) laju penurunan pH daging secara umum dapat
dibagi menjadi tiga yaitu:

1) Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam
waktu 6–8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7.
Pola penurunan pH ini normal.
2) Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5–6.8. Sifat daging yang
dihasilkan gelap, keras, dan kering sehingga disebut daging dark firm dry
(DFD).
3) Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam-jam
pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4-5.6. Sifat
daging yang dihasilkan pucat, lembek, dan berair, sehingga disebut daging
pale softexudative (PSE) (Dalam Hermansyah, 2008).

Laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya


kapasitas mengikat air, karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang
terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Suhu
tinggi juga dapat mempercepat penurunan pH otot pascamortem dan menurunkan
kapasitas mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan
meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler (Lawrie dalam Suradi,
2006).

Hasil penelitian Suradi (2006), menunjukan bahwa keasaman (pH) tertinggi


(6,34) pada daging ayam broiler segera setelah pemotongan (P0), kemudian
mengalami penurunan dengan semakin lamanya jangka waktu setelah
pemotongan, yaitu 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 jam dengan pH masing-masing 6,24 ;
6,16; 6,10; 6,02; 5,96 dan 5,82. Hal ini menunjukan bahwa dengan terhentinya
suplai oksigen setelah hewan mati menyebabkan terhentinya pula proses respirasi.
Kondisi ini menyebabkan terbentuknya asam laktat hasil pemecahan glikogen
secara an aerob yang mengakibatkan terjadinya penurunan pH sebagaimana
pernyataan Swatland (1984), bahwa terjadinya penurunan pH setelah meotongan
karena pembentukan asam laktat hasil perombakan glikogen secara an aeronik.
Menurut Forrest et al. (1975), bahwa penurunan pH terjadi satu jam pertama
setelah ternak dipotong.

Jangka Waktu Rerata pH Signifikansi


Pemotongan (0,05)

(Jam)
0 6,31 a
2 6,24 ab
4 6,16 bc
6 6,10 bcde
8 6,02 cde
10 5,96 de
12 5,82 e

Keterangan :Nilai rerata yang diikuti huruf kecil sama kearah kolom tidak
berbeda nyata (P<0,05).

Penurunan pH daging ayam broiler setelah pemotongan memperlihatkan


efek yang nyata (P<0,05) setelah pemotongan 4 jam, yaitu dari pH 6,31 menjadi
6,16 dan setelah 6 jam pemotongan memperlihatkan penurunan yang tidak nyata
sampai pemotongan 12 jam (P12), sehingga ada dugaan bahwa proses rigormortis
terjadi pada empat jam setelah pemotongan dan setelah itu penurunan pH menjadi
lambat sampai dicapai pH ultimat. Menurut Suparno (1992), bahwa pH daging
akan mengalami penurunan sesuai dengan waktu penyimpanan, semakin
lamapenyimpanan akan semakin rendah pH daging sampai tercapai pH akhir pada
kisaran 5,4 sampai 5,8 (Suradi, 2006).
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Proses rigormortis pada ayam boiler terjadi pada empat jam setelah
pemotongan dan setelah itu penurunan pH menjadi lambat sampai dicapai
pH ultimat.
2. Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologi
dari otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi
asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP
(Henckel et al. Dalam hermansyah, 2006).
3. Dengan berhentinya sirkulasi darah setelah ternak dipotong akan
menyebabkan terhentinya fungsi darah sebagai pembawa oksigen, sehingga
respirasi terhenti dan berlangsung proses glikolisis an aerob. Proses ini
dibagi menjadi 3 phase, yaitu : fase pre rigor, rigormortis dan post rigor
(Forrest etal., dalamSusanto, 2014).

3.2 SARAN

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah tentang “Perubahan


BiokimiaPada Pasca Tangkap/Potong (Ikan Dan Daging)” ini masih jauh dari
kata kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritikan dan saran yang
sifatnya membangun untuk menjadi acuan perbaikan untuk penulisan makalah-
makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hermansyah, Rohiman Aliyana. 2008. Perubahan Nilai Ph Postmortem Daging


Sapi Yang Dipotong Dengan Menggunakan Restraining Box. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Munandar, Aris et al. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Nila (Oreochromis


Niloticus) Pada Penyimpanan Suhu Rendah Dengan Perlakuan Cara
Kematian Dan Penyiangan. Departemen Perikanan Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa, Staf Dosen Departemen Teknologi Hasil Perikanan
Institut Pertanian Bogor.

Suradi, Kusmajadi. 2006. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post
Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang(Change of Physical
Characteristics of Broiler ChickenMeat Post Mortem During Room
Temperature Storage). Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2006, Vol. 6 No. 1, 23 –
27. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

Susanto, Edy. 2014. Standar Penanganan Pasca Panen Daging Segar. Jurnal
Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014.Program Studi Peternakan Fakultas
Peternakan Universitas Islam Lamongan.

Widiastuti, Indah dan Putro, Sumpeno. 2010. Analisis mutu Ikan Tuna selama
lepas tangkap. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan FAPERTA
Universitas Sriwijaya Indralaya.Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan-KKP.

Anda mungkin juga menyukai