Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat pengetahuan yang sehingganya penulis dapat menyelesaikan tugas
penulisan karya ilmiah berupa makalah tentang “Perubahan Biokimia Pada
Pasca Tangkap/Potong (Ikan Dan Daging)” ini. Semoga dengan
terselesaikannya makalah ini, bisa menjadi suatu yang bermanfaat baik bagi
penulis maupun bagi setiap pembacanya.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................................1
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................8
3.2 Saran...........................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................iv
BAB I
PENDAHULUAN
Daging merupakan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sekaligus media
yang baik untuk perkembangan mikroorganisme. Penanganan pasca panen daging
segar mutlak diperlukan untuk meminimalkan penurunan mutu dan kerusakannya.
Hal tersebut meliputi penanganan daging postmortem pelayuan, penyimpanan,
pendistribusian hingga pemasaran. Selain itu faktor sanitasi (hygiene) juga sangat
penting untuk dilakukan dalam setiap praktek penanganan pasca panen daging
segar(Susanto, 2014).
Menurut Lawrie (1979) daging adalah bagian dari hewan potong yang
digunakan manusia sebagai bahan makanan, selain mempunyai penampakan yang
menarik selera, juga merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi.
Sedangkan menurut Soeparno (1994) daging didefinisikan sebagai semua jaringan
hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai
untuk dimakan serta tidak menimbulkan ganguan kesehatan bagi yang
memakannya. Selain itu Brahmantiyo (1996) menyatakan bahwa daging adalah
otot garis melintang yang sebagian besar dihubungkan secara langsung atau tidak
langsung dengan rangka (Dalam Hermansyah, 2008).
Daging yang disimpan pada suhu kamar pada waktu tertentu akan
mengalami kerusakan. Kerusakan daging oleh mikro organisme mengakibatkan
penurunan mutu daging. Jumlah dan jenis mikroorganisme ditentukan oleh
penanganan sebelum penyembelihan ternak dan tingkat pengendalian hiegines dan
sistem sanitasi yang baik selama penanganan hingga dikonsumsi (Usmiati dalam
Susanto, 2014).
Air susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia karena
kelezatan dan komposisinya yang ideal selain air susu mengandung semua zat
yang dibutuhkan oleh tubuh, semua zat makanan yang terkandung didalam air
susu dapat diserap oleh darah dan dimanfaatkan oleh tubuh.
1.2 Tujuan
PEMBAHASAN
Perubahan pre rigor pada ikan nila terjadi secara bersamaan untuk semua
kombinasi perlakuan setelah ikan nila mati. Perubahan pre-rigor ini ditandai
dengan terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Sedangkan
perubahan rigor mortis pada ikan nila ditandai dengan kekakuan otot ikan yang
diawali dari pangkal ekor hingga mencapai fullrigor. Kekakuan otot ini
dikarenakan adanya kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk
aktomiosin (Eskin dalam Munandaret al. 2009).
Selama tahap pertama dari proses Rigor mortis fase penundaan, dalam
ototmasih kakukarena tersedia ATP dengan Mg2+, yang membantu untuk
memutuskan ikatanaktin/myosincross dan pada gilirannya memungkinkan otot-
otot untuk merenggang. Kreatinfosfat habisselama fase ini, yang menghambat
fosforilasi ADP menjadi ATP. Hal inimenyebabkanpenurunan tajam dalam
produksi ATP, yang merupakan sinyal awal fasetimbulnya kekerasan,karena masih
tersedia sedikit ATP sehingga dapat memecah ikatan aktin danmyosin, otot
tidakdapat rileks dan menjadi kaku (Aberle et al., dalam Susanto, 2014).
Perubahan post rigor awal terjadi pertama kali pada perlakuan A2B1 (mati
menggelepar, tanpa penyiangan) setelah penyimpanan selama 7 hari 18 jam.
Sedangkan perubahan post rigor awal pada ikan nila dengan perlakuan A1B1
(mati ditusuk, tanpa penyiangan), A1B2 (mati ditusuk, penyiangan), dan A2B2
(mati menggelepar, penyiangan) masing-masing terjadi pada hari ke-8 jam ke-6,
10, dan hari 8 jam ke-18. Perubahan postrigor ditandai dengan melemasnya
kembali otot ikan. Perubahan post rigor dipengaruhi oleh adanya aktivitas enzim
dan bakteri yang terpusat pada 3 tempat yaitu kulit, insang, dan isi perut (Ilyas
dalam Munandaret al. 2009).
2.2 Nilai pH
Nilai pH otot pada saat ternak masih hidup berkisar 7.2-7.4 dan pH akhir
daging setelah pemotongan dapat diukur sekurang-kurangnya setelah 24 jam.Pada
umumnya pH sapi yang diukur pada jam pertama postmortem adalah 6.74
(Shorthose dan Whytes 1988). Nilai pH otot setelah hewan mati akan menurun
dari 7.4 (awal) menjadi 5.6–5.7 pada jam ke-6 sampai jam ke-8, kemudian nilai
pH tersebut akan menurun mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7 pada jam ke-24
postmortem (Aberle et al. 2001). Pada saat mulai rigor mortis pH daging menjadi
6.07 dan kemudian mencapai pH akhir 5.50 yang dicapai kurang lebih setelah 24
jam (Lawrie 1979; Soeparno 1994). Nilai pH akhir daging postmortem adalah
sekitar 5.5, yang disesuaikan dengan titik isoelektrik sebagian besar protein
daging. Pada umumnya, glikogen tidak ditemukan pada pH antara 5.4–5.5 (Lawrie
dalam Hermansyah, 2008).
Menurut Aberle et al. (2001) laju penurunan pH daging secara umum dapat
dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Nilai pH menurun secara bertahap dari 7.0 sampai berkisar 5.6–5.7 dalam
waktu 6–8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.3–5.7.
Pola penurunan pH ini normal.
2) Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan
dan tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6.5–6.8. Sifat daging yang
dihasilkan gelap, keras, dan kering sehingga disebut daging dark firm dry
(DFD).
3) Nilai pH menurun relatif cepat sampai berkisar 5.4-5.5 pada jam-jam
pertama setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5.4-5.6. Sifat
daging yang dihasilkan pucat, lembek, dan berair, sehingga disebut daging
pale softexudative (PSE) (Dalam Hermansyah, 2008).
(Jam)
0 6,31 a
2 6,24 ab
4 6,16 bc
6 6,10 bcde
8 6,02 cde
10 5,96 de
12 5,82 e
Keterangan :Nilai rerata yang diikuti huruf kecil sama kearah kolom tidak
berbeda nyata (P<0,05).
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Proses rigormortis pada ayam boiler terjadi pada empat jam setelah
pemotongan dan setelah itu penurunan pH menjadi lambat sampai dicapai
pH ultimat.
2. Penurunan nilai pH setelah hewan mati ditentukan oleh kondisi fisiologi
dari otot pada saat pemingsanan dan dapat berhubungan terhadap produksi
asam laktat atau terhadap kapasitas produksi energi otot dalam bentuk ATP
(Henckel et al. Dalam hermansyah, 2006).
3. Dengan berhentinya sirkulasi darah setelah ternak dipotong akan
menyebabkan terhentinya fungsi darah sebagai pembawa oksigen, sehingga
respirasi terhenti dan berlangsung proses glikolisis an aerob. Proses ini
dibagi menjadi 3 phase, yaitu : fase pre rigor, rigormortis dan post rigor
(Forrest etal., dalamSusanto, 2014).
3.2 SARAN
Suradi, Kusmajadi. 2006. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post
Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang(Change of Physical
Characteristics of Broiler ChickenMeat Post Mortem During Room
Temperature Storage). Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2006, Vol. 6 No. 1, 23 –
27. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Susanto, Edy. 2014. Standar Penanganan Pasca Panen Daging Segar. Jurnal
Ternak, Vol.05, No.01, Juni 2014.Program Studi Peternakan Fakultas
Peternakan Universitas Islam Lamongan.
Widiastuti, Indah dan Putro, Sumpeno. 2010. Analisis mutu Ikan Tuna selama
lepas tangkap. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan FAPERTA
Universitas Sriwijaya Indralaya.Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan-KKP.