Anda di halaman 1dari 14

STRATEGI DAN LANGKAH PEMICUAN MASYARAKAT

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kondisi sanitasi yang buruk dan ketersediaan air minum yang tidak memenuhi
syarat kesehatan akan berkontribusi terhadap berbagai kasus penyakit berbasis
lingkungan, seperti misal diare, kecacingan, dll. Hal ini terlihat dari angka kejadian
penyakit diarea pada thun 2006 sebesar 423 per 1.000 penduduk pada semua umur, dan
pada tahun yang sama terjadi wabah/ KLB diare di 16 provinsi dengan case fatality rate
sebesar 2,52.
Salah satu cara untuk meningatkan akses masyarakat terhadap layanan sanitasi serta
dalam upaya mengendalikan penyakit diare, penyakit kecacingan dan penyakit bebasis
lingkungan lainnya adalah dengan kegiatan terpadu melalui pendekatan sanitasi
total berbasis masyarakat, dan hal ini perlu dilakukan mengingat berbagai upaya
peningkatan cakupan jamban melalui berbagai proyek dan pendekatan top-down yang
selama ini dilakukan tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Sanitasi Total Berbasis Masyrakat (STBM) merupakan suatu pendekatan yang dianut
dalam program Pamsimas, dalam rangka meningkatkan PHBS, khususnya untuk
meningkatkan cakupan jamban keluarga, sehingga terwujud target yang ingin dicapai
dalam Pamsimas, yaitu 80% penduduk yang akses terhadap jamban keluarga, serta kondisi
Cuti Tangan Pakai Sabun ( CTPS) dimasyarakat secara keseluruhan.
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), merupakan suatu hal yang sangat penting
dan menjadi tantangan tersendiri dalam mewujudkan kesehatan masyarakat,
khususnya masyarakat di pedesaan. Hal tersebut disebabkan karena sarana untuk PHBS
dimasyarakat masih sangat terbatas, disamping kesadaran mereka akan hidup sehat yang
masih kurang, dan perlu ditingkatkan.
Untuk mencapai sasaran tersebut perlu dirumuskan STRATEGY yang tepat , yang
dapat dijadikan acuan bagi para pelaksana program STBM khususnya Fasilitator
Kesehatan yang merupakan ujung tombak terdepan dalam pelaksanaan STBM.

1.2. Tujuan
Strategi dan langkah-langkah pelaksanaan pemicuan di tingkat desa ini dimaksudkan
sebagai acuan bagi fasilitator kesehatan, dan unit lain terkait dalam rangka mewujudkan
perilaku hidup bersih dan sehat, dimana masyarakat tidak berperilaku membuang air besar
sembarang, serta perilaku lain sesuai dengan kaidah kesehatan lingkungan.

1.3. Pengertian
a. STBM (Sanitasi Total Bebasis Masyarakat) adalah pendekatan untuk meriubah
perilaku hygiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode
pemicuan.

1
b. Komunitas merupakan kelompok masyarakat yang berinterkasi secara social
berdasarkan kesamaa kebutuhan dan nilai-nali untuk meraih tujuan. Dalam panduan
ini komunitas dapat direfleksikan sebagai kelompok masyarakat dalam wilayah
pedukuhan atau RW
c. ODF (Open Defecation Free) adalah kondisi ketika setiap individu dalam suatu
komunitas tidak buang air besar sembarangan
d. Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang effektif untuk memutus mata
rantai penularan penyakit.
e. Sanitasi total adalah kondisi ketika suatu komunitas i) tidak buang air
besar/BAB sembarangan, ii) mencuci tangan pakai sabun, iii) mengelola air minum
rumah tangga dan makanan yang aman, iv) mengelola sampah dengan benar, dan v)
mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman.
f. PHBS (Perilaku Hidup bersih dan Sehat) adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan
seseorang atau keluarga mampu menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan
berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya.

II. STRATEGI dan LANGKAH PEMICUAN MASYARAKAT

2.1. Strategi
Untuk meningkatkan kinerja pemicuan terhadap masyarakat dalam wilayah kerja
Pamsimas, maka strategi lapangan perlu dikembangan.
a. Penciptaan Lingkungan Kondusif
Penciptaan lingkungan yang kondusif dimaksudkan agar setiap stake holder
atau pemangku kepentingan yang terkait, baik ditingkat Kabupaten, Kecamatan
dan khususnya tingkat Desa memberikan support yang optimal dalam kegiatan
STBM di level masyarakat, sehingga terwujud lingkungan dan perilaku hidup
bersih dan sehat. Untuk itu seorang Fasilitator harus secara pro-aktif melakukan
koordinasi, advokasi, sosialisasi baik kepada instansi pemerintah, organisasi
kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan swasta yang ada di wilayah
kerjanya.
b. Mengutamakan Gerakan Masyarakat
Gerakan masyarakat, kapanpun dan dimanapun dilakukan, akan menimbulkan atau
menciptakan suatu timbulan energy yang besarnya tak terhingga. Untuk itu
dalam program Pamsimas, khususnya pemberdayaan untuk perubahan perilaku dan
peningkatan layanan akses sarana sanitasi/jamban gerakan masyarakat perlu
di”ungkit” dan dirangsang untuk timbul. Kegiatan seperti kerja bakti, gotong
royong dan saling membantu dalam pembuatan jamban keluarga misalnya akan sangat
effektif demi tercapainya ODF pada suatu komunitas. Gerakan masyarakat pada
hakekatnya adalah gerakan untuk “mau saling memberi” dari setiap individu dalam
masyarakat, entah itu dalam bentuk materi atau tenaga, entah itu dari yang “besar
kepada yang kecil” atau bahkan sebaliknya.

2
c. Pemicuan Terfokus
Pemicuan adalah suatu kegiatan sifatnya diharapkan akan menimbulkan effek yang besar
dan berakumulatif. Untuk itu pemicuan harus terfokus dan didasari oleh sesuatu
yang memang akan mampu untuk menjadi besar dan meluas. Dengan demikian
utamakan bahwa dalam pemicuan dipilih daerah yang ada potensinya untuk
berkembang, karena akhirnya daerah tersebut akan dijadikan “acuan” bagi daerah lain
untuk mereplikasi. Pilih suatu wilayah yang besarannya tidak terlalu luas (misal
suatu wilayah dusun atau RW) sehingga relative mudah dicover dan dimonitor.
Daerah tersebut jelas masalahnya dan dianalisis kemungkinan sumber dayanya.
Pemicuan tidak harus dilakukan pada seluruh dukuh atau RW dalam suatu wilayah
desa. Pemicuan yang difokuskan dalam satu atau dua dukuh/RW asalkan terencana,
mantap, serius dan berkesinambungan dalam pendampingan akan lebih menghasilkan
karya yang nyata, disbanding dengan pemicuan yang terlalu luas tetapi tidak mendalam
dan hanya sekilas saja. Pemicuan dalam wilayah dukuh/RW, dan berhasil, kelak akan
menjadi bahan replikasi dan dijadikan acuan, contoh bagi dukuh/RW dalam desa yang
bersangkutan, dan bahkan desa lainnya.

d. Penguatan Kapasitas Fasilitator


Fasilitator merupakan ujung tombak dilapangan, yang berhadapan langsung dengan
masyarakat yang sangat variatif tingkat sosialnya, dari yang tinggi sampai yang rendah
sekalipun. Disini seorang Fasilitator diharapkan sebagai “change agent” dari yang
tadinya hal-hal tidak mungkin menjadi segalanya bisa mungkin. Disamping itu
Fasilitator juga harus berhubungan, berkomunikasi dengan berbagai pemangku
kepentingan yang kadang-kadang “power full dan untouchable” Agar mampu
berkoordinasi dan berkomunikasi tersebut dengan kepercayaan diri yang optimal,
maka kepada fasilitator perlu dibekali berbagai ilmu dan ketrampilan baik yang bersifat
materi-substansi teknis, maupun yang bersifat non-teknis, seperti misal yang terkait
pengembangan diri. Untuk penguatan teknis dapat dilakukan dengan pelatihan
ataupun refreshing, tukar menukar informasi, kunjungan lapangan ke lain daerah,
dan lain-lain. Sedangkan untuk kermampuan non-substansi teknis dapat dilakukan
dengan berbagai cara, misal pelatihan kepemimpinan, pengembangan diri, dan lain-lain.

e. Reward Sistem
Reward system adalah suatu bentuk penghargaan kepada pihak lain, baik itu
dalam bentuk materi maupun non-materi, dan hal ini sangat perlu diterapkan dalam
proses pemicuan STBM. Memberi applous tepuk tangan kepada orang yang baru
selesai memberikan pendapat adalah suatu bentuk reward. Memberi tepuk tangan
kepada orang yang menyatakan sikap telah siap akan membangun jamban dalam
suatu kurun waktu tertentu adalah suatu bentuk reward. Kehadiran seorang dokter
Puskesmas, seorang Camat atau ibu Camat, apalagi seorang Kepala Dinas atau
bahkan Bupati ke suatu desa adalah sebentuk reward bagi desa tersebut yang tinggi
nilainya. Reward juga harus dikembangkan untuk para fasilitator yang sudah
berhasil. Rerward tidak harus dalam bentuk uang. Bentuk reward lain misalnya

3
makan siang bersama dengan Bupati atau para pejabat yang lain, member kesempatan
kepada fasilitator untuk presentasi pada saat rapat kerja, workshop apalagi tingkat
nasional adalah bentuk reward yang sangat tinggi nilainya.

2.2. LANGKAH – LANGKAH PEMICUAN MASYARAKAT


Pemicuan merupakan suatu upaya untuk menimbulkan suatu “energy lebih” dalam
diri sesorang atau kelompok, sehingga terjadi suatu mata rantai gerakan yang
exponensial (menggelora, menggelegar bagai ombak samudra).
Pemicuan kepada masyarakat untuk stop buang air besar sembarangan (STOP BABS)
pada prinsipnya dapat dikelompokan dalam 3 tahap, yaitu tahap pra pemicuan, tahap
pelaksanaan pemicuan dan tahap pasca pemicuan. Pentahapan tersebut tidak berarti ada
pembagian atau pembatasan waktu yang rigid, tetapi merupakan suatu proses yang
mengalir dengan teratur dan berkesinambungan, sebagai suatu kesatuan proses yang utuh
dan dinamis.

2.2.1. Pra Pemicuan

2.2.1.1. Pengenalan/identifikasi Lingkungan


Kondisi lingkungan, suatu daerah yang akan dipicu harus benar-benar
dikenal dan dicermati terlebih dahulu oleh seorang fasilitator. Silaturahmi
dan menjelajah desa merupakan salah cara untuk mengidentifikasi dan
menganalasis kondisi lingkungan suatu desa. Untuk memahami dan
mengenal kondisi lingkungan suatu daerah, seorang Fasiliator
Kesehatan harus sudah tinggal atau berada dalam kurun waktu yang relatif
cukup lama, dan lebih baik kalo seorang Fasilitator telah tinggal menetap di
daerah atau desa yang akan dipicu tersebut. Apabila seorang Fasilitator
sudah tinggal atau menetap disuatu desa, maka fasilitator akan dianggap
sudah sebagai keluarga atau kerabat sendiri, dan bukan dianggap sebagai orang
asing, yang masuk desa dan hanya akan membuat masalah atau mengganggu
ketenangan desa. Untuk memahami dan mengenal kondisi lingkungan
suatu daerah, seorang Fasiliator Kesehatan harus sudah tinggal atau berada
dalam kurun waktu yang relatif cukup lama, dan lebih baik kalo seorang
Fasilitator telah tinggal menetap di daerah atau desa yang akan dipicu tersebut.
Apabila seorang Fasilitator sudah tinggal atau menetap disuatu desa,
maka fasilitator akan dianggap sudah sebagai keluarga atau kerabat sendiri,
dan bukan dianggap sebagai orang asing, yang masuk desa dan hanya akan
membuat masalah atau mengganggu ketenangan desa.
Kondisi lingkungan suatu daerah yang harus dikenali meliputi lingkungan
geofisik maupun sosial budaya, karena kondisi kedua aspek tersebut
nantinya akan sangat berpengaruh dalam proses pemicuan dan tingkat
keberhasilannya.
Dari hasil pengenalan atau identifikasi lingkungan geofisik dan sosial-
budaya yang ada dimasyarakat maka akan dapat ditarik kesimpulan

4
unsur-unsur mana yang masuk dalam kategori sebagai Kekuatan/Peluang
atau sebagai Kendala/Tantangan, yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai
suatu acuan atau pijakan untuk kegiatan pemicuan.

Aspek Sosial-budaya yang perlu diidentifikasi misalnya:


- Tokoh masyarakat misal Uztad, Kyai, Guru Sekolah di desa, dll
- Tokoh pemuda, Tokoh Perempuan
- Organisasi PKK, Organisasi kemasyarakatan , Pramuka, Kelompok
pengajian
- Kejadian penyakit diare, kecacingan, dll
- Tidak ada proyek atau subsidi pemerintah di desa
- Ada solidaritas warga, misal gotong royong, kerja bakti Nilai sosial-
budaya, agama yang mendukung PHBS.
- Dijumpai pengusaha di desa
- Saat-saat orang kesawah
- Kebiasaan orang berkumpul, bergosip ria
- Masyarakat yang homogen
Aspek Geofisik yang perlu diidentifikasi, misalnya :
- Balong-balong, kolam ikan, adanya sungai, danau
- Air sungai kotor
- Kebon kosong yang luas Kotoran manusia dimana-mana Lahan untuk
BAB terbatas, sempit
- Lingkungan kumuh, kotor dan bau menyengat
- Tanah yang subur, dijumpai kebun kopi, coklat, pisang, dll Tingkat air
tanah tinggi (misal gali 1 meter sudah berair) Banyak dijumpai
kakus/jamban di sepanjang sungai
2.2.1.2. Koordinasi dengan Puskemas dan Tim Kecamatan lainnya Sebelum
pelaksaan pemicuan dilaksanakan, Fasilitator harus sudah melakukan
kontak dengan unit lain yang terkait, terutama PUSKESMAS setempat,
agar unit tersebut dapat berdampingan dengan Fasilitator dalam pelaksanaan
pemicuan. Untuk itu seorang Fasilitator harus sudah memberi informasi
kepada Puskesmas kapan dan dimana proses pemicuan akan dilakukan. Selain
unsur dari Puskesmas, unit lain yang seyogyanya ikut bergabung dalam
proses pemicuan adalah unsur Kecmatan (Camat), urusan PMD, PKK dan
tokoh masyarakat setempat ( msl tokoh agama, pemuda, dll)
Dengan bergabungnya petugas Puskesmas diharapkan proses pemicuan
akan lebih terarah dan tepat sasaran, karena petugas Puskemas akan mampu
memberikan bantuan informasi/penyuluhan tentang masalah-masalah
kesehatan yang dihadapi masyarakat khususnya terkait penyakit
berbasis air dan sanitasi. Adanya petugas Puskesmas juga diharapkan
untuk pendampingan saat pasca pemicuan dapat berjalan dengan lebih
baik. Dengan diajaknya petugas Puskesmas dari awal, maka mereka akan
lebih mempunyai rasa untuk mensukseskan pemicuan STOP BABS dalam

5
mewujudkan lingkungan yang sehat tersebut lebih komit.
Petugas Puskesmas yang berperan dalam mendampingi Fasilitator dalam
proses pe micuan adalah Sanitarian, karena petugas ini mempunyai tugas
pokok dan fungsi yang terkait dengan masalah kesehatan lingkungan, dan
merupakan tenaga terdepan dari jajaran kesehatan untuk pelaksanaan
Pamsimas. Dalam siklus proses Pamsimas, Sanitarian akan memberikan
SERTIFIKASI pelaksanaan pemicuan disuatu wilayah.
Namun demikian, selain Sanitarian perlu juga untuk menghikutserta- kan
dokter/ Kepala Puskesmas dan Bidan Desa setempat, karena Kepala
Puskesmas sebagai atasan Sanitarian juga mempunyai tanggung jawab
sepenuhnya dalam mewujudkan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.
Sedangkan Bidan Desa akan sangat membantu Fasilitator dalam
pendampingan selanjutnya, karena Bidan Desa merupakan tenaga kesehatan
yang berada di desa setempat, dan khususnya akan erat terkait dengan isu
gender.
Kehadiran seorang Kepala/dokter Puskesmas, Camat, Ketua PKK dalam
proses kegiatan pemicuan maupun kegiatan lain terkait akan memberingan
motivasi dan rasa kebanggaan tersendiri bagi seseorang maupun
sekelompok masyarakat. Hal ini diharapkan akan memberikan dampak
yang positif bagi berlangsungnya proses pemicuan.
2.2.1.3. Peran masyarakat sekolah
Sekolah merupakan suatu “laboratorium” yang dapat dijadikan obyek vital
sekaligus subyek dalam penerapan STBM. Dalam lingkup sekolah, rantai
pemicuan akan berlangsung secara berjenjang dan berkesinambungan, yaitu
dari guru ke murid dan kemudian murid dapat berperan ganda dalam
proses pemicuan lanjutan, yaitu dari murid ke murid lainnya, dari murid
ke orang tua dan dari murid ke masyarakat sebagai suatu group presure. Effek
pemicuanpun dapat diharapkan lebih dahsyat, mengingat anak usia sekolah
pada umumnya lebih antusias dalam mengadopsi ide-ide baru.
Guru dapat mengajak anak murid untuk menciptakan dan meneriakan yel-
yel hidup sehat dapat, dapat menciptakan lagu-lagu bernuansa PHBS
khususnya dalam kaitanya dengan STOP BABS dan CTPS.
Guru dapat melakukan absensi jamban dan CTPS setiap minggu atau
setiap bulan, dengan cara menanyakan kemana kebiasan BAB kepada murid
secara langsung di depan kelas. Tanyakan kemana pagi ini si murid BAB.
Tanyakan kepada murid pagi ini apa cuci tangan pake sabun setelah dari
BAB. Tanyakan secara terus menerus terkait kebiasaan PHBS, sehingga
hal itu akan memicu murid untuk melakukan hal-hal yang benar sesuai
dengan kaidah kesehatan.
Seorang murid juga tanpa sadar dapat memicu kepada teman-temanya.
Mintakan mereka untuk saling menggambar rumahnya dan rumah-rumah
temannya yang berada disekitarnya, lengkap dengan kebaradan jambannya.
Gambar-gambar tersebut dibaca didepan kelas, kemudian dapat disimpan

6
untuk suatu saat dibuka kembali, apa sudah ada perbedaan atau tidak.
Dapat pula gambar tersebut dipasang di dinding atau papan pengumunan
secara bergantian.
Dengan adanya “desakan moral” dari guru dan temanya, seorang murid
akan tergerak untuk memicu hal-hal yang terjadi di sekolah kepada orang
tuanya.

2.2.2. Pelaksanaan Pemicuan


2.2.2.1.Bina suasana
Proses awal pemicuan tidak harus dilakukan dalam ruang pertemuan
tertutup, missal dalam Balai Desa, tetapi bisa juga dihalaman, atau ditanah
lapang.
Suasana yang riang, santai, penuh keakraban, tidak saling mencurigai dan
terbuka merupakan suasana yang sangat dibutuhkan untuk berlangsunganya
proses pemicuan. Dengan suasana yang demikian, yaitu suasana yang cair,
tidak ada makna perbedaan antara orang kaya dan miskin, antara tua muda,
laki perempuan maka akan terwujud suasana kondusif untuk saling berdialog,
saling mengutarakan pendapat tanpa takut akan tidak dihargai dan disalahkan.
Untuk terwujudnya suasana seperti tersebut di atas, seorang Fasilitator dan
orang lain yang berasal dari luar desa (termasuk Kepala Puskesmas,
Sanitarian, Bidan, dll) harus pandai- pandai membawa diri,
memperkenalkan diri secara terbuka dan disertai rasa humor yang sehat.
Humor yang disampaikan harus menghindari ha-hal yang berbau
pornoaksi, pornografi, tidak menyinggung ras atau kesukuan, tidak
menyinggung perpolitikan, dll.
Perkenalan diri dari seorang Fasilitator adalah merupakan upaya
pembukaan pintu masuk untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Fase
perkenalan merupakan fase yang sensitif, karena bila pada fase ini
masyarakat sudah tertarik, sudah percaya akan kedatangan seorang Fasilitator,
maka mereka akan ‘terhipnotis’ untuk selalu berperan aktif dalam setiap
tahap proses pemicuan.
Untuk lebih menghidupkan suasana awal, maka perlu dikembangkan
adanya proses ‘ice breaking’ lebih dalam, yaitu melalui permainan
(game) atau bentuk-bentuk roll playing lainnya. Dengan dilakukannya roll
playing diharapkan suasana akan lebih hidup, segar dan peserta lebih intim
dalam membaur. Roll playing juga akan berguna dalam dynamika
kelompok, sehingga nantinya proses pemicuan akan bergulir seperti bola salju,
tapi penuh dengan kehangatan, hidup dan tidak kaku.
Setiap bahan untuk joke, game ataupun roll playing diusahakan untuk ada
relevansinya atau dimaknai dengan sifat-sifat seseorang, dengan perilaku
organisasi atau kelompok, model- model komunikasi, dll. Dengan demikian
roll playing tersebut sekaligus merupakan pembelajaran dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam kehidupan berorganisasi.

7
2.2.2.2. Pemetaan perilaku BABS
Pemicuan melalui analisis partisipasi dimulai dengan menggambarkan
peta wilayah RT/RW/Dukuh oleh masyarakat itu sendiri. Kemudian peserta
diminta menggambar sungai, masjid, sekolah, dll yang merupakan sarana
umum di wilayah tersebut.
Selanjutnya peserta diminta mengambarkan peta lokasi rumah masing-
masing, sekaligus tanyakan kepada mereka kemana saat ini mereka buang
air besar. Beri kode simbol atau gambarkan rumah dengan warna kuning
bagi mereka yang BAB sembarangan, dan warna hijau untuk rumah mereka
yang BAB di jamban. Dalam pemicuan bias juga menggunakan bahan-bahan
yang ada disekitar lokasi, seperti daun, batu, ranting kayu, dll. Dengan
memberi simbol atau warna pada lokasi gambar rumah masing-masing,
maka akan terlihat dengan jelas, bagaimana penyebaran tinja yang ada di
wilayah tersebut.
Untuk kepentingan masyarakat dalam memonitor dan evaluasi kondisi
wilayahnya sendiri pada waktu yang akan datang, maka peta yang dibuat
diatas tanah pada saat proses pemicuan “harus “ disalin ke atas kertas yang
cukup lebar (missal kertas flipchart yang disambung- sambung) dan
ditempelkan didinding balai pertemuan atau balai LKM, atau balai pertemuan
lainnya.

2.2.2.3.Transek walk
Pemicuan nyata lapangan dilakukan dengan cara menelusuri
wilayah dalam suatu RT/RW/Dukuh untuk mengetahui lokasi-lokasi
dimana warga setempat buang air besar sembarang. Semua peserta yang
hadir dalam proses pemicuan diajak untuk jalan bersama melihat lokasi
tersebut.
Bila peserta transect melewati suatu lokasi BABS kepada mereka dilarang
untuk menutup hidung, sehingga peserta merasakan betapa bau yang
timbul akibat tinja berada diruang terbuka sembarangan. Ingat, dilarang
menutup hidung saat transect walk dan tetap berhenti ditempat
sekejap untuk diskusi. Ajak peserta untuk mendiskusikan keadaan
tersebut, baik dari aspek keindahan dan kebersihan lingkungan, dari
aspek penyebaran penyakit, dari aspek keselamatan, dll. Akhirnya
tanyakan kepada warga yang BABS tersebut, bagaimana perasaannya
sekarang setelah orang lain menderita akibat bau menyengat.
Jika ada kelompok anak yang ikut dalam transek, atau tak jauh
dari tempat BAB sembarangan tersebut,, tanyakan apakah mereka senang
akan keadaan tersebut. Ajak anak- anak untuk menghentikan kebiasaan
BAB sembarangan, ajak untuk membuat nyanyian, slogan, puisi atau
bentuk-bentuk kesenian lainnya.
Pemicuan dengan melalui transect walk ini akan lebih menyentuh ego

8
seseorang, dengan timbulnya rasa malu dan rasa jijik seseorang apalagi
dengan melihat secara nyata tinja yang berserakan ditanah terbuka

2.2.2.4. Pemicuan melalui analisa kuantitatif tinja


Untuk lebih memberi gambaran tentang tingkat ‘besaran’ tinja yang
tersebar luas secara sembarangan, masyarakat diminta untuk menghitung
sendiri berapa kg/kwtl/ton jumlah tinja yang berhamburan. Tanyakan kepada
mereka berapa jumlah anggota keluarga, kemudian kalikan dengan jumlah
tinja yang dibuang manusia per orang per hari ( yaitu sekitar 400
gram/orang/hari). Dengan cara perhitungan tersebut, maka dapat dihitung
berapa besar tinja yang berhamburan dalam suatu wilayah, dalam kurun
waktu sehari, seminggu, sebulan, setahun dan seterusnya.
Teruskan pertanyaan, KEMANA SELAMA INI TINJA TERSEBUT
PERGI???
- Tinja dikebon dimakan ayam, dan akhirnya dimakan manusia
- Tinja dilahan kosong, mengering, menjadi debu, dihirup manusia
- Tinja di balong/empang dimakan ikan dan akhirnya dimakan masuk ke
manusia.
- Tinja masuk ke sungai mencemari air dan akhirnya masuk ke manusia
juga.

2.2.2.5.Pemicuan melalui sentuhan ego, humanism, rasa jijik, keagamaan


Bilamana masyarakat buang air besar sembarangan di sungai atau di
empang, maka fisik tinja tidak akan terlihat secara nyata, karena dalam
waktu yang relatif singkat tinja tersebut akan hilang tebawa air sungai, atau
tertelan ikan mujair di empang.
Untuk kondisi semacam ini maka perlu teknik-teknik pemicuan lain yang
lebih kena sasaran. Fasilitator hendaknya punya kemampuan berimprovisasi
dalam melakukan pemicuan sesuai dengan kondisi setempat. Misalnya:
- Gunakan pengalaman seorang ibu yang habis melahirkan yang
kemudian BAB disungai pada saat hari hujan.
- Tanyakan pada Ibu tersebut perasaanya, apakah nyaman, apakah aman.
- Gunakan pengalaman seorang ibu yang habis melahirkan yang
kemudian BAB dikebon pada malam hari. Tanyakan pada Ibu tersebut
perasaanya.
- Tanyakan kepada seorang Bapak, bagaimana perasaannya jika
isterinya atau anak perempuannya sedang BAB di sungai atau kebon
kemudian terlihat orang lain.
- Mintakan pada seorang guru agama/Kyai/Uztad untuk menjelaskan
hubungan antara kebersihan dengan agama dan keimanan seseorang.
- Tunjukan seekor ikan yang isi perutnya penuh dengan tinja, dan
tanyakan perasaan mereka bilama mereka makan ikan tadi walau sudah
dimasak

9
- Mintakan kepada seorang warga untuk minum air gelas yang ada lalatnya,
apakah mereka mau meminumnya. Dan lain-lain

1.2.2.6. Pemicuan melalui sentuhan aspek bahaya penyakit


Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang erat kaitannya dengan
air dan saanitasi. Untuk itu masyarakat diajak melihat bagaimana TINJA
kotoran manusia dapat dimakan masuk ke MULUT manusia itu
sendiri dan bahkan manusia lainnya dan akhirnya menimbulkan
penyakit diare. Dalam hal ini biarkan masyarakat untuk membuat
alur kontaminasi ORAL FECAL. Kemudian kembangkkan pertanyaan yang
bersifat memicu perasaan takut atau rasa lainnya, seperti missal:
- Apakah ada peserta atau anggota ke;luarga diskusi yang pernah sakit
diare atau sakit lainnya terkait kesehatan lingkunga
- Apakah yang sakit punya jamban atau tidak
- Penderita dari warga kaya atau miskin
- Bagaimana perasaan ibu/bpk ketika melihat anaknya sakit tergolek di RS
Adakah anak atau anggota keluarga yang mati akibat penyakit
- Bagaimana perasaan mereka saat tau anak atau anggota keluarga mati
- Bagaimana kondisi keuanga saat itu?
- Dan lain-lain
CATATAN
Masih banyak lagi teknik-teknik pemicuan STOP BABS yang dapat dikembangkan oleh seorang
Fasilitator, sesuai dengan kondisi setempat, baik melalui pendekatan sentuhan ego/harga diri,
humanisme, agama/keimanan, sentuhan dari aspek kenyamanan dan keamanan, dan juga
sentuhan dari aspek kesehatan khususnya penyebaran penyakit menular. Untuk itu seorang Fasiliator
Kesehatan harus KREATIF dan INOVATIF dalam melakukan pemicuan. Saling tukar pengalaman
antar fasilitator sehingga didapat saling pembelajaran sesuai dengan kondisi dan situasi daerah sangat
diperlukan.

1.2.2.7. Rencana Tindak dan Pendampingan


Pada akhir sesi pemicuan, masyarakat dikumpulkan kembali untuk membuat
rencana tindakan mereka, sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan
masing-masing. Namun perlu dipahami, bahwa sesi penyusunan Rencana
Tindak pada hakekatnya adalah sesi masyarakat, maka diharapkan yang
memimpin sesi ini adalah salah satu dari anggota yang hadir dalam proses
pemicuan (kelak, mungkin orang ttersebut akan menjadi Natural Leader).
Pancing dan tawarkan pada mereka siapa yang akan memimpin dalam
sesi ini, dan usahakan agar Fasiliator seminimal mungkin untuk
mengintervensi sesi ini.
Rencana tindak pada intinya merupakan kesanggupan seseorang,
KAPAN mereka akan membangun jamban secara swadaya. Berilah
reward/penghargaan saat itu juga (misal cukup dengan tepuk tangan bersama)
bila ada anggota masyarakat yang sudah terpicu dan merencanakan sanggup

10
kapan mereka akan membangun jamban dengan menyebut waktu
pembangunan jamban.
Buatlah daftar kehadiran dan daftar kesangupan bagi mereka yang
hadir dalam proses pemicuan, dan bagi anggota masyarakat yang sudah
memberi kesanggupan pembangunan jamban diminta untuk parap/tanda
tangan. Absensi ini kelak akan berguna sebagai alat monitoring, untuk
“menagih janji-janji” mereka dalam pembangunan jamban. Pembuatan
absen, daftar kesanggupan dan kegiatan “menagih janji” biarkan untuk
dilakukan oleh masyarakat sendiri atau Natural Leader yang ada.
Pada saat melaksanakan Rencana Tindak dari masing masing anggota
masyarakat, maka Fasilitator dan Tim Tingkat Kecamatan harus selalu
pendampingan. Suntikan semangat harus selalu diberikan, terutama bagi
mereka yang belum terpicu. Biarkan masyarakat melakukan inovasi untuk
membangun jambanya sendiri.
Bilamana pada suatu wilayah (RT/RW/Dukuh) terjadi “kegagalan” pada saat
pemicuan awal maupun saat pelaksanaan Rencana Tindak, maka abaikan
untuk sementara wilayah tersebut. Biarkan mereka melihat sendiri hasil yang
terjadi pada wilayah lain terlebih dahulu, baru dilakukan pendampingan lagi

1.2.3. Kunci Kerja Fasilitator


Dalam proses pemicuan, seorang Fasilitator harus menyadari, bahwa kehadirannya
disuatu kelompok adalah bukan untuk menggurui masyarakat, tetapi membantu
mereka untuk mengenal masalah kesehatan lingkungan yang mereka hadapi.
Fasilitator harus menghindari diri akan perasaan bahwa dialah yang lebih tau, lebih
pintar, lebih menguasai masalah yang ada di masyarakat.
Fasilitator harus mengenal prinsip-prinsip fundamental dan yang tidak boleh
dinegoisasi dalam pemicuan STBM. Hal tersebut adalah:
a. Tidak ada subsidi untuk pembangunan jamban keluarga, tidak terkecuali
untuk warga kurang mampu atau kelompok minoritas lainnya. KATAKAN
TIDAK AKAN ADA SUBSIDI.
b. Tidak ada blue-print design yang ditawarkan pada masyarakat dalam
membangun jamban. Hanya masyarakat itu itu sendiri yang menentukan
bentuk jamban, yang menentukan design, dan bukan pihak luar (PU, Dinkes,
dll)
c. Pada awalnya pembangunan jamban mungkin berjalan secara lambat,
namun akan berjalan cepat dan membesar dikemudian hari.
d. STBM/CLTS jangan diartikan sekedar membangun jamban sederhana, tetapi
memang
e. STBM/CLTS dapat dimulai dari jamban yang paling sederhana.
f. Fasilitator tidak mengajari atau menyuruh masyarakat untuk membuat
jamban, tetapi memFASILITASI untuk menganalisa kondisi diri dan lingkungan.
g. Hindari memberitahu apa yang baik dan apa yang buruk. Biarkan masyarakat
menyadari untuk sendiri

11
h. Hindari menjadi pemimpin dan mendominasi dalam proses diskusi.
Fasilitator hanya melemparkan pertanyaan pancingan, dan biarkan masyarakat
yang bicara lebih banyak. Jangan langsung menjawab suatu pertanyaan
masyarakat. Kembalikan setiap pertanyaan kepada masyarakat itu sendiri ( misal
“Bagaimana sebaiknya pendapat Bpk/Ibu/Sdr akan pertanyaan atau usulan
tadi….?)

3.2. MONITORING DAN EVALUASI

3.3.1.Monitoring
Monitoring adalah suatu kegiatan untuk melihat perkembangan suatu kegiatan,
dalam hal ini kegiatan pembangunan sarana jamban keluarga dan PHBS. Monitring
dapat dilakukan oleh masyarakat itu sendiri (monitoring partisipatif) maupun
monitoring yang dilakukan oleh Fasilitator atau oleh Tim Gabungan Lintas
Kecamatan (external monitoring)
Jika masyarakat yang sudah terpicu tetapi belum total (yang mau berubah stop
babs baru sebagian), natural leader dan anggota masyarakat lainnya dapat
melalukan transek walk dengan membawa “peta jamban”. Transek ini dilakukan
dengan mengunjungi rumah rumah dan menanyakan kepada mereka kapan mereka
mau berubah stop babs seperti keluarga lain yang sudah mulai membangun jamban.
Dalam melaksanakan monitoring, maka peta yang dibuat pada saat proses
pemicuan di atas kertas yang ditempelkan didinding balai pertemuan atau balai
LKM, atau balai pertemuan lainnya, akan sangat bermanfaat sebagai alat bantunya.
Dengan melihat peta tersebut maka akan tergambarkan kemajuan kegiatan di
lapangan, dan harus selalu diadakan review peta “jamban” setiap saat (misal
bulanan atau triwulanan).

3.3.2.Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh keberhasilan masyarakat telah
berubah perilakunya dari buang air besar sembarangan kearah PHBS yang lebih
baik sesuai dengan kaidah kesehatan masyarakat disbanding pada saat atau awal
kegiatan berjalan.
Seperti halnya kegiatan monitoring, maka dalam kegiatan evaluasi ini juga dapat
dilakukan oleh masyarakat itu sendiri (evaluasi partisipatif) maupun oleh pihak
gabungan dari Fasilitator dan Tim Tingkat Kecamatan.
Indikator keberhasilan dilihat dari out put kegiatan yaitu berapa banyak
jamban yang dibangun oleh masyarakat dalam suatu wilayah tertentu
(RT/RW/Dukuh). Namun demikian harus dimaknai bahwa STBM bukanlah
jambanisasi dalam suatu desa tetapi yang lebih penting adalah adanya kesadaran
masyarakat untuk menjalankan apa-apa yang telah mereka ketahui terkait masalah
kebersihan, keindahan, kenyamanan dan kesehatan. Untuk mengetahui
keberhasilan dari indicator aspek perilaku, perlu dikembangan monitoring dan
evaluasi secara partisipatif dari masyarakat itu sendiri.

12
Indikator impact yang perlu dilihat adalah seberapa jauh terjadinya penurunan
angka kesakitan penyakit diare. Secara nasional saat ini angka kesakitan diare
adalah sebesar 423 jiwa per 1.000 orang penduduk. Untuk lingkup desa, impact
inii dapat dilihat dengan penurunan kasus diare setiap tahunnya, yang didapat dari
Bidan Desa, Puskesmas Pembantu (Pustu) setempat atau dilevel Puskesmas
Kecamatan.

13
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, Departemen Kesehatan RI, Jakarta 2008

Pedoman Umum Pengelolaan Kegiatan Peningkatan Perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS),
Dit. PL, Ditjen PP-PL Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2008

Pedoman Pelaksanaan Stop Buang air Besar Sembarangan di Indonesia, Dit Penyehatan
Lingkungan Ditjen PP-PL, Departemen Kesehatan bekerjasama dengan Pokja AMPL Pusat
Jakarta, 2008

Sanitasi Total di Indonesia: Perlu lebih dari sekedar proyek, Studi dimensi kelembagaan
Penyebarluasan CLTS di Indonesia, Kerjasama Akademika-Pusat Kajian Kebijakan Publik
Indonesia dan Institute of Development Studies, university of Sussex UK, 2008

Percik, Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, Maret 2008

Pedoman Pengelolaan Promosi Kesehatan, Dalam Pencapaian Perilaku Hidup Bersih dan Sehat,
Departemen Kesehatan RI, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta 2008

14

Anda mungkin juga menyukai