Anda di halaman 1dari 5

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizofrenia dikenal sebagai penyakit gangguan jiwa yang disertai dengan
tanda dan gejala seperti distorsi realita, disorganisasi kepribadian, serta tidak
mampunya individu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Epidemiologi
penyakit gangguan jiwa skizofrenia didunia selalu terjadi peningkatan dalam
pertahunnya, hampir 1% penduduk dunia yang diantaranya mengalami
penyakit tersebut dan biasanya tanda gejala klinis muncul pada usia remaja
akhir atau dewasa muda. Pada pria biasanya antara 15-25 tahun dan pada
wanita antara 25-35 tahun. Resiko berkembangnya skizofrenia pada
kehidupan seseorang di bawah 1% -tepatnya sekitar 0,7%. Dapat diartikan
bahwa 1 dari 140 orang yang berusia ≤ 55 tahun akan mengalami
perkembangaan penyakit gangguan jiwa skizofrenia (Elvira & Hadisukanto,
2010).

Menurut World Health Organization ( 2017) pada umumnya gangguan mental


yang terjadi adalah gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan
4,4% dari populasi global menderita gangguan depresi, dan 3,6% dari
gangguan kecemasan. Jumlah penderita depresi meningkat lebih dari 18%
antara tahun 2005-2017 dan dari jumlah penderita tersebut di perkirakan yang
mengalami kekambuhan mecapai 63 %. Sementara itu, prevalensi skizofrenia
di Indonesia mencapai 1,7 per seribu orang dari populasi pada semua
tingkatan umur. Sulteng dan Gorontalo merupakan daerah dengan prevalensi
skizofrenia tertinggi yaitu 2,0% dengan angka penderita yang mengalami
kekambuhan 75%. Sumatera utara mengalami peningkatan yang sangat drastis
dari 2013-2018 terdapat 2.174 orang penderita skizofrenia (98,2%) dari 2.214
penderita gangguan jiwa dan kunjungan rawat jalan terdapat 11.336 orang
penderita skizofrenia (81,6%) dari 13,899 dan penderita yang mengalami
kekambuhan 58 % (Riskesdas, 2018).
2

Kekambuhan dinilai dari sering berulangnya penyakit yang di alami pasien


skizofrenia dalam kurun waktu tertentu. Pasien skizofrenia yang sering
mengalami kekambuhan, dapat dipengaruhi oleh hubungan yang bermasalah
dengan orang lain, mengalami kesulitan mempertahankan pekerjaan dengan
stabil, dan sering kali berjuang dengan depresi dan kesepian (James,dkk
2013).

Dalam proses kesembuhan, penderita skizofrenia membutuhkan caregiver


untuk mendukung, merawat, dan memenuhi kebutuhan pasien skizofrenia,
keluarga sebagai pendamping serta perawat juga sangat berpengaruh terhadap
kekambuhan penderita skizofrenia. Pasien yang selalu mengalami
kekambuhan membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali pada kondisi
semula dan dengan kekambuhan yang berulang, kondisi penderita bisa
semakin memburuk. Oleh karena itu kecenderungan pengobatan skizofrenia
tidak cukup hanya pada pengendalian gejalanya saja, tetapi juga harus dapat
mencegah kekambuhan penyakit sehingga dapat mengembalikan fungsi pasien
untuk berproduktif dan akhirnya dapat menurunkan frekuensi
kekambuhannya. Frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia sendiri, sangat
dipengaruhi dengan beberapa faktor peran caregiver antara lain: faktor
dukungan, kualitas hidup dan peristiwa hidup yang penuh stress selama
merawat pasien (Ingkikiriwang, 2010).

Caregiver sebagai seseorang yang memberikan bantuan medis, sosial,


ekonomi, atau sumber daya lingkungan kepada seseorang individu yang
mengalami ketergantungan baik sebagian atau sepenuhnya karena kondisi
sakit yang dihadapi individu tersebut (National Alliance for Caregiving,
2010).

Hasil penelitian Abdel et al (2011) Pada umumnya caregiver mengalami


kelelahan, kurang tidur, stress, malu dengan anggota keluarga yang
mengalami skizofrenia. Caregiver juga harus menghadapi beban sosial berupa
3

stigma dan reaksi kemarahan dari tetangga dan lingkungan., keluarga pasien
skizofrenia dimana keluarga pasien skizofrenia mengalami peningkatan beban
terkait perasaan sedih dan khawatir atas kondisi pasien, beban finansial, serta
akibat kelelahan fisik dan psikis selama perawatan.

Menurut Coons & Kaplan (dalam Branka 2013),setiap individu memiliki


kualitas hidup yang berbeda tergantung dari masing-masing individu dalam
menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Jika menghadapi dengan
positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika
menghadapi dengan negatif maka akan buruk pula kualitas hidupnya.

Hasil penelitian Adiningtyas (2010) di wilayah Jakarta, ditemukan hasil


bahwa kualitas hidup anggota keluarga sebagai individu yang merawat
penderita skizofrenia berada pada tingkatan sedang dan baik. Mereka tidak
membutuhkan terapi medis untuk dapat beraktifitas sehari-hari. Pada awal
merawat penderita mereka memiliki perasaan-perasaan negatif seperti merasa
bersalah, merasa tidak berdaya, dan merasa cemas akan masa depan penderita,
namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai bisa menyesuaikan diri dan
menerima hal tersebut. Mereka juga mendapatkan dukungan dari keluarga
besar, selain itu masyarakat juga tidak pernah mengucilkan mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Boyer, Auquier, Caqueo-Urízar, Richieri,


Lancon, & Gutiérrez-Maldonado (2012) di Chili dan Perancis menunjukan
bahwa kualitas hidup anggota keluarga sebagai individu yang merawat
penderita skizofrenia berada pada tingkatan yang rendah dikarenakan beban,
pengetahun dan juga peristiwa hidup yang penuh setres yang di miliki
seorang caregiver.

Dari data survey awal yang telah dilakukan dilakukan dengan mengambil hasil
Rekam Medik di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.M Ildrem dari Januari-Desember
tahun 2018 pasien skizofrenia rawat jalan sebanyak 16.899 dengan rata-rata
4

perbulannya 1.408 pasien dan jika di bandingkan dengan tahun sebelumnya


terjadi peningkatan yang sangat besar dimana pada tahun 2017 terdapat 3.846
dengan rata-rata 321 orang tiap bulannya.

Caregiver yang ditemui di kunjungan Rawat Jalan RS Jiwa Prof. Dr. Ildrem
mengemukakan bahwa merawat pasien skizofrenia dalam waktu yang lama
merupakan tantangan bagi mereka. Pada umumnya caregiver mengalami
kelelahan, kurang tidur, stress, malu dengan anggota keluarga yang
mengalami skizofrenia,bingung jika pasien tidak mau minum obat dan kesal
jika pasien tidak melakukan kegiatan apapum dirumah. Berdasarkan fenomena
tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengeksplorasi lebih lanjut tentang
kualitas hidup caregiver dengan frekuensi kekambuhan pada pasien
skizofrenia di RSJ Prof.Dr.M Ildrem Medan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang terjadi yaitu
“Apakah ada hubungan antara kualitas hidup caregiver dengan frekuensi
kekambuhan pasien skizofrenia yang rawat jalan di poli psikiatri Rumah Sakit
Jiwa Prof.dr.M.Ildrem Medan tahun 2019”?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara kualitas hidup caregiver dengan frekuensi
kekambuhan pasien skizofrena dalam proses perawatan di Rumah Sakit
Jiwa Prof.Dr.M.Ildrem Medan tahun 2019.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui kualitas hidup caregiver pada pasien skizofrenia rawat jalan
di Poli Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.M.Ildrem Medan tahun
2019.
5

2. Mengetahui frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia rawat jalan di Poli


Psikiatri di Rumah Sakit Jiwa Prof.Dr.M.Ildrem Medan tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Resopnden
Menambah wawasan caregiver untuk memberikan informasi mengenai
bagaimana kualitas hidup caregiver yang baik dan dibutuhkan oleh
individu yang mengalami penyakit skizofrenia.

1.4.2 Bagi perawat


Memberikan informasi untuk mengetahui bagaimana kualitas hidup
caregiver bagi penderita skizofrenia, sehingga tenaga medis di Rumah
Sakit dapat memberikan masukan dan saran pada keluarga penderita
skizofrenia tentang kualitas hidup untuk membantu kesembuhan penderita
skizofrenia.

1.4.3 Bagi peneliti selanjutnya


Sebagai bahan dasar peneliti untuk melanjutkan penelitian yang berkaitan
dengan penelitian tentang hubungan antara kualitas hidup caregiver
dengan frekuensi kekambuhan pasien skizofrenia rawat jalan dimanapun
juga.

Anda mungkin juga menyukai