Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skizofrenia
2.1.1 Defenisi Skizofrenia
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi
atau terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Skizofrenia merupakan
suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya
pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu
(Nuraenah, 2012).

Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang


mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal
kognitif, mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015).
Skizofrenia merupakan gangguan mental dengan hendaya dalam
neurokognisi dan sosial-kognisi. Karakteristik skizofrenia yaitu adanya
abnormalitas dalam neurodevelopmental dan behavioral (Nieto dkk
2013).

Psikopatologi pada skizofrenia dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu


gejala positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi
halusinasi, waham, gaduh gelisah, dan perilaku aneh atau bermusuhan.
Gejala negatif meliputi afek tumpul, datar, menarik diri, motivasi turun,
miskin kontak sosial (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis dan sulit
berpikir abstrak. Gejala disorganisasi meliputi disorganisasi pembicaraan,
disorganisasi tingkah laku, gangguan pemusatan perhatian, dan gangguan
pengolahan informasi (Sadock,2010).

skizofrenia secara umunya merupakan jenis penyakit mental yang parah.


Penyakit ini adalah penyakit yang serius dan mengkhawatirkan yang
ditandai dengan adanya penurunan fungsi dalam berkomunikasi, gangguan

6
7

realita (berupa halusinasi dan waham), gangguan kognitif (tidak mampu


berpikir secara abstrak), serta mengalami kesulitan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Gangguan jiwa berat seperti skizofrenia selalu
menimbulkan keresahan bagi keluarga dibanding dengan pasien itu
sendiri, karena kadang kala pasien tidak menyadari bahwa dirinya sedang
sakit. Hal ini menimbulkan pandangan (stigma) bahwa gangguan ini
dianggap sebagai penyakit kutukan yang disebabkan oleh karma dan lain
sebagainya. Stigma ini makin berkembang ketika gangguan ini terdapat
dimasyarakat yang relatif tidak berpendidikan dimana mitos yang tidak
rasional masih berkuasa (Temes, 2011).

2.1.2 Penyebab Skizofrenia


Sampai saat ini belum ditemukan penyebab yang pasti bagaimana
seseorang dapat menderita skizofrenia, padahal orang lain tidak.
Skizofrenia merupakan suatu gangguan atau penyakit, hal tersebut
dinyatakan berdasarkan dari penelitian biologis, genetik, fenomenologi.
Penyebab skizofrenia menurut penelitian mutakhir antara lain yaitu faktor
genetik, virus, auto antibody, malnutrisi (Sari, 2011)

Penyebab skizofrenia menurut PPDGJ-III, (dalam Maslim, R. 2013) ; (a)


isi pikiran yang selalu berulang-ulang, baik dari dalam dirinya (insertion)
maupun dari luar darinya (withdrawal). (b) delusi/waham. (c) halusinasi
auditorik. (d) arus pikiran yang terputus yang berakibat pembicaraan yang
tidak relevan. (e) perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah. (f)
gejala apatis, bicara yang jarang.

2.1.3 Tanda dan Gejala Skizofrenia


Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Fase prodromal
Biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa minggu,
bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi
8

jelas. Gejala tersebut meliputi: menurunnya fungsi pekerjaan, fungsi


sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri.
Perubahan-perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat
resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan “orang ini tidak
seperti yang dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk
prognosisnya.

2. Fase aktif
Gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua
individu datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan
gejala-gejala tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami
eksaserbasi atau terus bertahan.

1) Fase aktif akan di ikuti oleh fase residual.


Fase residual, gejala-gejala fase ini sama dengan fase prodromal
tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang.

Disamping gejala-gejala yang terjadi, dari ketiga fase tersebut,


penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif 12 yaitu
gangguan berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan
dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial) (Luana, 2007).
Sedangkan menurut Bleuler dalam Maramis (2009) gejala
skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Gejala primer.
Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir, gangguan
emosi, gangguan kemauan serta autisme.
a) Gejala sekunder.
Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi, dan gejala
katatonik maupun gangguan psikomotor yang lain.
9

2.1.4 Jenis Skizofrenia


Adapun beberapa jenis skizofrenia menurut Maramis (2009), yaitu:
1. Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas.
Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat.

Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita


kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan.
Makin lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada
akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang
menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur”
atau “penjahat”.

2. Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, permulaannya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25
tahun. Gejala yang muncul adalah gangguan proses berfikir, gangguan
kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini, termasuk juga
waham dan halusinasi.

3. Skizofrenia katatonik
Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbul pada saat usia
remaja dan dewasa awal yaitu 15-30 tahun, jenis ini biasanya akut dan
ditandai dengan gejala awal stres emosional. Mungkin terjadi gaduh
gelisah katatonik atau stupor katatonik.
10

4. Stupor katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak memperdulikan
keadaanlingkungannya dan memiliki emosi yang sangat dangkal.
Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan
stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.

5. Gaduh gelisah katatonik


Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tanpa
disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar.

6. Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dengan jenis lainnya dalam patofisiologi penyakit.
Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-
gejala skizofrenia simpleks atau gejala campuran hebefrenia dan
katatonia. Tidak demikian dengan skizofrenia paranoid yang
patofisiologinya sedikit konstan.

7. Episode skizofrenia akut


Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti
keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini
timbul perasaan seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah.
Semuanya seakan-akan mempunyai arti yang khusus
baginya.Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau
biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang
bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala
salah satu jenis skizofrenia yang lainnya.
11

8. Skizofrenia residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-
gejala primer dari jenis bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala
sekunder. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan
skizofrenia.

9. Skizofrenia skizoafektif
Skizofrenia skizoafektif, cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek,
tetapi mungkin juga timbul lagi serangan. Disamping gejala-gejala
skizofrenia dapat timbul secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi
atau gejala-gejala mania.

2.2 Frekuensi Kekambuhan


Kekambuhan dapat disebabkan oleh empat faktor yaitu: pasien
(ketidakpatuhan minum obat), dokter sebagai pemberi resep, penanggung
jawab pasien (perawat puskesmas), dan caregiver (keluarga yang
mengasuh). Buckley (2006) menyatakan bahwa frekuensi kekambuhan
pasien skizofrenia dapat menurun signifkan menjadi 25% dari 65%, apabila
mendapat perawatan dan dukungan yang maksimal dari keluarga selama
berada dirumah. Sebaliknya bila tidak mendapat perawatan dan dukungan
yang tepat, sangat mudah untuk dapat kambuh. Daya dukung keluarga
yang buruk berpengaruh pada pasien skizofrenia sehingga memiliki
peluang 6 kali lipat mengalami kekambuhan dibandingkan keluarga yang
memiliki dukungan baik (Pratama, Syahrial, & Isak, 2015).

Kekambuhan klien skizofrenia menimbulkan dampak yang buruk bagi


keluarga, klien dan rumah sakit. Dampak kekambuhan bagi keluarga yakni
menambah beban keluarga dari segi biaya perawatan dan beban mental
bagi keluarga karena anggapan negatif masyarakat kepada klien.
Sedangkan bagi klien adalah sulit diterima oleh lingkungan atau
masyarakat sekitar. Dari pihak rumah sakit beban akan bertambah berat
12

karena bertambahnya klien yang dirawat sehingga perawatan yang


diberikan oleh tim medis menjadi kurang maksimal karena jumlah tenaga
kesehatan tidak seimbang dengan banyaknya pasien gangguan jiwa yang
dirawat (Taufik, 2014).

Frekuensi kekambuhan dinilai dari banyaknya jumlah kekambuhan yang


dialami pasien dalam kurun waktu tertentu. Sebuah studi yang dilakukan di
Hongkong oleh Christy (2011) menemukan bahwa dari 93 pasien psikosis,
tingkat kekambuhan adalah 21% pada tahun pertama, 33% pada tahun
kedua, dan 40% pada tahun ketiga.

kejadian kekambuhan skizofrenia dapat dikategorikan menjadi kategori


rendah, tinggi dan sedang. Dikatakan kategori rendah apabila klien tidak
pernah kambuh dalam waktu satu tahun, sedang apabila klien kambuh satu
kali dalam waktu kurang dari satu tahun dan tinggi apabila klien kambuh
lebih dari dua kali dalam satu tahun (Nifu, 2012).

2.3 Caregiver
2.3.1 Definisi Caregiver
Caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah orang yang
memberikan perawatan langsung pada anak atau orang dewasa yang
menderita penyakit kronis. Caregiver sebagai seseorang yang memberikan
bantuan medis, sosial, ekonomi, atau sumber daya lingkungan kepada
seseorang individu yang mengalami ketergantungan baik sebagian atau
sepenuhnya karena kondisi sakit yang dihadapi individu tersebut (National
Alliance for Caregiving, 2010).

Mifflin (2007) juga menyatakan caregiver sebagai seseorang dalam


keluarga, baik itu orang tua angkat, atau anggota keluarga lain yang
membantu memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang mengalami
ketergantungan. Caregiver keluarga (family caregiver) didefinisikan
13

sebagai individu yang memberikan asuhan keperawatan berkelanjutan


untuk sebagai waktunya secara sungguh-sungguh setiap hari dan dalam
waktu periode yang lama, bagi anggota keluarganya yang menderita
penyakit kronis (Gwen, 2014).

2.3.2 Jenis Caregiver


Caregiver dibagi menjadi caregiver informal dan caregiver formal.
Caregiver informal adalah seseorang individu (anggota keluarga, teman,
atau tetangga) yang memberikan perawatan tanpa di bayar, paruh waktu
atau sepanjang waktu, tinggal bersama maupun terpisah dengan orang
yang dirawat, sedangkan caregiver formal adalah caregiver yang
merupakan bagian dari sistem pelayanan, baik di bayar maupun suka
relawan (Daulay, 2014)

Ada dua jenis caregiver, yaitu formal dan informal. Caregiver formal atau
disebut juga penyedia layanan kesehatan adalah anggota suatu organisasi
yang dibayar dan dapat menjelaskan norma praktik, profesional, perawat
atau relawan. Sementara informal caregiver bukanlah anggota organisasi,
tidak memiliki pelatihan formal dan tidak bertanggung jawab terhadap
standar praktik, dapat berupa anggota keluarga ataupun teman. Dengan
demikian caregiver keluarga merupakan bagian dari informal caregiver
(Fadilla, 2014).

Family caregiver atau caregiver keluarga menurut Wenberg (dalam


Family Caregiver Alliance Center on Caregiving, 2007), adalah pasangan,
anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan
pribadi dengan pasien, dan memberikan berbagai bantuan yang tidak
dibayar untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau
lemah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa caregiver keluarga
adalah anggota keluarga pasien, yang bersedia dan bertanggung jawab
dalam merawat, memberikan dukungan secara fisik, sosial, emosional
14

serta menyediakan waktunya untuk keluarga yang mengalami skizofrenia


hingga pulih atau bahkan hingga akhir hayatnya.

2.4 Kualitas Hidup


2.4.1 Defenisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup didefinisikan sebagai penilaian individu atas kepuasan pada
keadaan yang dialami saat ini bila dibandingkan dengan persepsi yang
menurut mereka ideal, keadaan tersebut terkait dengan kesehatan fisik,
psikis dan sosial.
Dimensi- dimensi kualitas hidup terdiri dari physical well-being,
psychological well-being, dan social well- being.
1. Physical well-being mengacu pada penilaian individu atas fungsi dan
hal-hal yang mengganggu secara fisik. Physical well-being terkait
dengan cara seseorang menangapi dan menerima keadaan fisiknya.
Physical well-being memiliki aspek physical function dan physical
symptom.
1) Physical function didefinisikan sebagai bagaimana penilaian
individu terhadap kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan
berbagai kegiatan.
2) Physical symptom menunjukkan bagaimana penilaian individu
terhadap gejala penyakit yang dialami dan efek samping dari
kegiatan yang dilakukan.
2. Psychological Well-being. Fungsi psikologis mewujudkan aspek
kualitas hidup seseorang yang berhubungan dengan rasa kesejahteraan,
kepuasan dengan kehidupan atau rasa keseluruhan dari tujuan dan
makna. Konsep psychological well-being terdiri dari aspek emosi dan
kognitif.
1) Emotional-psychological well-being didefinisikan perasaan, baik
yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau emosi yang
dapat mengganggu terkait dengan kemampuan individu untuk
mengatasi penyakit, gejala fisik, dan kegiatan yang dilakukan.
15

2) Cognitive psychological well-being didefinisikan bagaimana


penilaian subjek terhadap kemampuan berfikir terkait dengan
proses dalam perhatian, memori, konsentrasi, atau bahasa (Ahles &
Saykin, 2001; Brezden, Philips, Abdolell, dkk, 2000; Schagen, van
Dam, Muller, 1999 dalam Kirana 2016).
3. Social Well-being Hubungan sosial diartikan sebagai hubungan antara
dua individu atau lebih dimana tingkah laku individu tersebut akan
saling mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki tingkah laku
individu lainnya (Power dalam Lopez & Synder, 2003 dalam Kirana
2016).

2.4.2 Domain Kualitas Hidup


Menurut World Health Organization Quality of Life – BREF membagi
kualitas hidup dalam empat domain yaitu fisik, psikologis, hubungan
sosial, dan lingkungan.

Domain I – fisik
WHOQOL membagi domain fisik pada tiga bagian, yaitu:
1. Nyeri dan ketidak nyamanan
Menilai pengalaman sensasi fisik yang tidak menyenangkan yang
dialami oleh pasien dan sampai sejauh mana sensasi tersebut
mengganggu dan mempengaruhi kehidupan sehari-harinya.
2. Tenaga dan lelah
Aspek ini mengeksplor tenaga, antusiasme dan keinginan individu
untuk selalu dapat melakukan aktivitas sehari-hari, sebaik aktivitas lain
seperti rekreasi. Kelelahan membuat individu tidak mampu mencapai
kekuatan yang cukup untuk merasakan hidup yang sebenarnya.
Kelelahan merupakan akibat dari beberapa hal seperti sakit, depresi,
atau pekerjaan yang terlalu berat.
3. Tidur dan istirahat
16

Aspek ini fokus pada seberapa banyak tidur dan istirahat. Masalah
tidur termasuk kesulitan untuk pergi tidur, bangun tengah malam,
bangun di pagi hari dan tidak dapat kembali tidur dan kurang segar
saat bangun di pagi hari.

Domain II – Psikologis
WHOQOL membagi domain psikologis pada lima bagian, yaitu:
1. Perasaan positif
Menilai seberapa besar pengalaman perasaan positif yang memberikan
perasaan kebahagiaan, penuh harapan, kedamaian, kenikmatan
terhadap hal-hal yang menyenangkan dalam hidup serta pandangan
tentang masa depannya.
2. Berfikir, belajar, ingatan dan konsentrasi
Aspek ini mengeksplor pandangan individu terhadap pikiran,
pembelajaran, ingatan, konsentrasi dan kemampuannya dalam
membuat keputusan. Hal ini juga termasuk kecepatan dan kejelasan
individu mengambil gagasan.
3. Harga diri
Aspek ini menguji apa yang individu rasakan tentang diri mereka
sendiri. Hal ini bisa saja memiliki jarak dari perasaan positif sampai
perasaan yang negatif tentang diri mereka sendiri. Perasaan seseorang
dari harga sebagai individu dieksplor. Aspek dari harga diri fokus
dengan perasaan individu dari kekuatan diri, kepuasan dengan diri dan
kendali diri.
4. Gambaran diri dan penampilan
Aspek ini menguji pandangan individu dengan tubuhnya. Apakah
penampilan tubuh kelihatan positif atau negatif.Fokus pada kepuasan
individu dengan penampilan dan akibat yang dimilikinya pada konsep
diri. Hal ini termasuk perluasan dimana apabila ada bagian tubuh yang
cacat akan bisa dikoreksi misalnya dengan berdandan, berpakaian,
menggunakan organ buatan dan sebagainya.
17

5. Perasaan negatif
Aspek ini focus pada seberapa banyak pengalaman perasaan negatif
individu, termasuk patah semangat, perasaan berdosa, kesedihan,
keputusasaan, kegelisahan, kecemasan, dan kurang bahagia dalam
hidup. Hal ini termasuk pertimbangan dari seberapa menyedihkan
perasaan negatif dan akibatnya pada fungsi keseharian individu.

Domain III – Hubungan sosial


WHOQOL membagi domain hubungan sosial menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Hubungan perorangan
Menilai seberapa jauh hubungan pertemanan, cinta dan dukungan
yang diharapkan dan diperoleh dalam menjalin hubungan intim
baik secara emosional maupun fisik.
2. Dukungan sosial
Aspek ini menguji apa yang individu rasakan pada tanggung
jawab, dukungan, dan tersedianya bantuan dari keluarga dan
teman. Aspek ini fokus pada seberapa banyak yang individu
rasakan pada dukungan keluarga dan teman, faktanya pada
tingkatan mana individu tergantung pada dukungan di saat sulit.

Domain IV – Lingkungan
WHOQOL membagi domain lingkungan pada delapan bagian,
yaitu:
1. Keamanan fisik dan keamanan
Aspek ini menguji perasaan individu pada keamanan dari
kejahatan fisik. Ancaman pada keamanan bisa timbul dari
beberapa sumber seperti tekanan orang lain atau politik. Aspek
ini berhubungan langsung dengan perasaan bebas individu.
2. Lingkungan rumah
18

Aspek ini menguji tempat yang terpenting dimana individu


tinggal (tempat berlindung dan menjaga barang-barang).
Kualitas sebuah rumah dapat dinilai pada kenyamanan, tempat
teraman individu untuk tinggal.
3. Sumber penghasilan
Menilai pandangan pasien tentang sumber keuangan yang
diperolehnya apakah dapat memenuhi seluruh kebutuhan
hidupnya agar gaya hidup yang nyaman baginya dapat
terpenuhi.
4. Kesehatan dan perhatian sosial: ketersediaan dan kualitas
Aspek ini menguji pandangan individu pada kesehatan dan
perhatian sosial di dekat sekitar. Dekat berarti berapa lama
waktu yang diperlukan untuk mendapatkan bantuan.
5. Kesempatan untuk memperoleh informasi baru dan
keterampilan
Aspek ini menguji kesempatan individu dan keinginan untuk
mempelajari keterampilan baru, mendapatkan pengetahuan
baru, dan peka pada apa yang terjadi. Termasuk program
pendidikan formal, atau pembelajaran orang dewasa atau
aktivitas di waktu luang, baik dalam kelompok atau sendiri.
6. Partisipasi dalam kesempatan berekreasi dan waktu luang
Aspek ini mengeksplor kemampuan individu, kesempatan dan
keinginan untuk berpartisipasi dalam waktu luang, hiburan dan
relaksasi.
7. Lingkungan fisik (polusi/ keributan/ kemacetan/ iklim)
Aspek ini menguji pandangan individu pada lingkungannya.
Hal ini mencakup kebisingan, polusi, iklim dan estetika
lingkungan dimana pelayanan ini dapat meningkatkan atau
memperburuk kualitas hidup.
19

8. Transportasi
Aspek ini menguji pandangan individu pada seberapa mudah
untuk menemukan dan menggunakan pelayanan transportasi.

2.5 Penelitian Terkait


Menurut penelitian Adiningtyas (2007) mengenai gambaran kualitas hidup
anggota keluarga penderita skizofrenia, di wilayah Jakarta, ditemukan hasil
bahwa kualitas hidup anggota keluarga sebagai individu yang merawat
penderita skizofrenia berada pada tingkatan sedang dan baik. Mereka tidak
membutuhkan terapi medis untuk dapat beraktifitas sehari-hari. Pada awal
merawat penderita mereka memiliki perasaan-perasaan negatif seperti
merasa bersalah, merasa tidak berdaya, dan merasa cemas akan masa depan
penderita, namun seiring berjalannya waktu, mereka mulai bisa
menyesuaikan diri dan menerima hal tersebut. Mereka juga mendapatkan
dukungan dari keluarga besar, selain itu masyarakat juga tidak pernah
mengucilkan mereka. Penelitian ini menggunakan alat ukur World Health
Organization Quality of Life-Bref (WHOQOL-BREF).

Penelitian yang dilakukan oleh Boyer, Auquier, Caqueo-Urízar, Richieri,


Lancon, & Gutiérrez-Maldonado (2012) di Chili dan Perancis menunjukan
bahwa kualitas hidup anggota keluarga sebagai individu yang merawat
penderita skizofrenia berada pada tingkatan yang rendah. Sedangkan,
berdasarkan penelitan Adiningtyas (2004) di Jakarta menunjukan hasil
bahwa kualitas hidup mereka berada pada tingkatan yang sedang dan baik.
Hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan tingkat kualitas hidup pada
anggota keluarga sebagai individu yang merawat penderita skizofrenia.

Kualitas hidup keluarga sebagai caregiver merupakan salah satu aspek


yang penting dalam mencegah kekambuhan pasien skizofrenia. Hasil
analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 40% caregiver
memiliki kualitas hidup yang rendah. Rafiah (2011) menemukan bahwa
20

rendahnya kualitas hidup caregiver berdampak terhadap kualitas caregiver


dalam merawat pasien skizofrenia. Pada penelitian ini, umumnya
responden mengatakan kesulitan untuk membagi waktu untuk bekerja,
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan merawat pasien.

Espina (2003), menjelaskan permasalahan stres dan penurunan kualitas


hidup keluarga sebagai caregiver berkaitan dengan pergeseran pekerjaan,
tugas rumah tangga, dan merawat pasien. Hasil penelitian Gutierrez (2006),
menemukan bahwa beban ekonomi berkontribusi besar terhadap
menurunnya kualitas hidup caregiver karena tingginya biaya pengobatan
pasien skizofrenia. Alejandra (2009) menegaskan bahwa perasaan
terbebani dan ketegangan bagi caregiver yang dapat mengurangi kualitas
hidup caregiver dan mengurangi kualitas perawatan terhadap anggota
keluarganya yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil uji bivariat
antara faktor kualitas hidup caregiver dengan frekuensi kekambuhan
pasien skizofrenia ditemukan hubungan yang sangat kuat dan memiliki
arah hubungan negatif artinya semakin tinggi kualitas hidup keluarga
sebagai caregiver, maka semakin berkurang frekuensi kekambuhan pasien
skizofrenia.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Watson (2010) yang


menemukan bahwa anggota keluarga yang merawat penderita skizofrenia
tidak mengalami masalah pada semua dimensi yang diukur dan kualitas
hidup anggota keluarga yang merawat penderita skizofrenia berada dalam
tingkat sedang. Hal tersebut mungkin karena dinegara barat beban ekonomi
tidak begitu dirasakan dan fasilitas kesehatan yang sangat memadai.
21

2.6 Kerangka Konsep

Skema 2.1
Kerangka konsep penelitian

Variabel Independent Variabel Dependent

Kualitas Hidup Caregiver Frekuensi kekambuhan

2.7 Hipotesis Penelitian

Ha: Ada hubungan antara kualitas hidup caregiver dengan frekuensi


kekambuhan pasien skizofrenia rawat jalan

Anda mungkin juga menyukai